Konsep ‘mengindonesiakan’ jauh melampaui sekadar penerjemahan atau penamaan ulang. Ini adalah sebuah proses ideologis, kultural, linguistik, dan struktural yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan, merujuk pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar, serta memastikan bahwa segala aspek kehidupan, baik yang berasal dari dalam maupun luar, berakar kuat dalam konteks keberagaman dan persatuan Indonesia. Mengindonesiakan adalah upaya sadar untuk mengambil entitas global atau konsep asing, mencernanya melalui saringan kearifan lokal, dan kemudian mengembalikannya dalam bentuk yang relevan, akseptabel, dan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia secara menyeluruh, tanpa menghilangkan identitas aslinya. Proses ini melibatkan adaptasi, akulturasi, dan internalisasi—sebuah dialog abadi antara tradisi yang kaya dan modernitas yang tak terelakkan.
Kata kunci dari proses ini adalah ‘otonomi kultural’—kemampuan bangsa untuk berdiri tegak di tengah arus globalisasi yang masif, bukan sebagai pengekor pasif, melainkan sebagai subjek aktif yang mampu menentukan arah budayanya sendiri. Mengindonesiakan berarti memastikan bahwa teknologi terbaru, ideologi ekonomi, hingga tren seni populer tidak sekadar diimpor mentah-mentah, melainkan diolah sedemikian rupa sehingga ia berbicara dalam dialek Indonesia, memuat semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan memberikan solusi yang kontekstual terhadap permasalahan lokal. Ini adalah strategi pertahanan budaya sekaligus strategi pembangunan nasional. Tanpa adanya proses pengindonesiaan yang kuat dan terencana, Indonesia berisiko kehilangan keunikan karakternya, menjadi sekadar tiruan dari peradaban lain, dan nilai-nilai luhur yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa akan terkikis habis oleh homogenisasi global. Oleh karena itu, mengindonesiakan adalah mandat sejarah yang berkelanjutan, sebuah pekerjaan yang tidak pernah usai seiring perubahan zaman dan tantangan yang menyertainya.
Proses mengindonesiakan bahasa adalah jantung dari pembangunan identitas nasional. Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bejana utama tempat segala ide, emosi, dan pengetahuan harus bermuara dan disebarkan secara merata di seluruh Nusantara.
Tindakan mengindonesiakan secara linguistik paling jelas terlihat dalam upaya pembakuan bahasa oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa). Pembakuan ini tidak hanya melibatkan penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan penetapan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD)—yang kini bertransformasi menjadi PUEBI—tetapi juga melalui upaya pencarian padanan kata yang setara. Ketika gelombang teknologi dan sains global memperkenalkan istilah-istilah baru seperti ‘e-commerce’, ‘download’, atau ‘virtual reality’, tugas mengindonesiakan adalah menciptakan terminologi yang mudah dipahami, kontekstual, dan mampu menggantikan istilah asing tersebut tanpa mengurangi makna esensialnya. Ini adalah sebuah upaya kedaulatan linguistik, memastikan bahwa wacana ilmiah, pemerintahan, dan publik dapat berjalan menggunakan bahasa nasional yang kuat dan mandiri. Padanan kata yang berhasil diindonesiakan, seperti 'gawai' (gadget), 'daring' (online), atau 'luring' (offline), menunjukkan keberhasilan adaptasi ini. Proses ini memastikan Bahasa Indonesia tetap relevan dan mampu menampung kompleksitas dunia modern.
Namun, tantangannya bukan hanya mencari padanan. Tantangannya adalah memastikan padanan tersebut diadopsi secara luas oleh masyarakat, terutama di kalangan profesional dan generasi muda yang cenderung lebih cepat menyerap istilah asing. Oleh karena itu, mengindonesiakan istilah asing harus disertai dengan sosialisasi yang masif dan penetapan kebijakan bahasa di lembaga-lembaga formal, mulai dari kurikulum pendidikan hingga komunikasi resmi pemerintah. Jika upaya ini tidak dilakukan secara konsisten, maka Bahasa Indonesia berisiko terdegradasi menjadi bahasa komunikasi informal saja, sementara bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya mengambil alih peran sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedaulatan negara modern sangat bergantung pada kedaulatan bahasanya; tanpa bahasa yang kuat, bangsa akan kesulitan merumuskan pemikirannya sendiri, dan alih-alih mengindonesiakan dunia, kita justru terasing dari identitas linguistik kita sendiri.
Mengindonesiakan juga berarti memperkaya Bahasa Indonesia baku dengan khazanah dari bahasa-bahasa daerah. Indonesia memiliki ratusan bahasa lokal yang kaya akan kosakata unik yang seringkali tidak memiliki padanan dalam bahasa asing. Pengindonesiaan dalam konteks ini adalah pengangkatan status kata-kata lokal menjadi kata serapan nasional. Contoh suksesnya adalah kata-kata seperti 'Nusantara', 'gotong royong', 'musyawarah', atau 'mufakat', yang berasal dari bahasa daerah namun kini menjadi kosakata inti yang merepresentasikan nilai-nilai khas Indonesia. Proses ini bukan hanya sekadar menambah jumlah kata dalam KBBI, tetapi merupakan pengakuan terhadap warisan budaya dan kearifan lokal yang terkandung dalam setiap bahasa daerah.
Pemuliaan bahasa daerah ini berfungsi ganda: pertama, ia memperkaya Bahasa Indonesia sehingga ia menjadi bahasa yang lebih ekspresif dan mendalam. Kedua, ia memberikan insentif bagi penutur bahasa daerah untuk tetap bangga dan memelihara bahasa ibu mereka, karena mereka tahu bahwa bahasa tersebut memiliki jalur resmi untuk berkontribusi pada bahasa persatuan. Dalam jangka panjang, strategi ini menciptakan ekosistem linguistik yang sehat, di mana Bahasa Indonesia bertindak sebagai payung besar yang melindungi dan memajukan seluruh warisan bahasa daerah, menjadikannya sebuah identitas kolektif yang dinamis dan inklusif. Proses mengindonesiakan ini memastikan bahwa Bahasa Indonesia benar-benar milik semua, dibentuk oleh semua, dan merefleksikan mozaik linguistik bangsa.
Aspek terakhir dari pengindonesiaan bahasa adalah membangun sikap bahasa yang positif. Sikap bahasa ini mencakup rasa bangga, kesetiaan, dan kesadaran normatif terhadap penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Di era ketika jargon asing seringkali dianggap lebih 'keren' atau 'profesional', mengindonesiakan adalah sebuah gerakan untuk menempatkan Bahasa Indonesia pada posisi tertinggi dalam semua ranah komunikasi formal. Ini termasuk penamaan gedung, produk, merek, dan layanan publik yang diutamakan menggunakan Bahasa Indonesia, sesuai dengan amanat undang-undang. Kebijakan ini, yang sering disebut 'pengutamaan bahasa negara', adalah manifestasi nyata dari kedaulatan kultural.
Ketika sebuah perusahaan multinasional menggunakan nama produk dalam Bahasa Indonesia yang indah dan tepat, atau ketika sebuah institusi pendidikan tinggi menggunakan terminologi ilmiah yang telah diindonesiakan, ini adalah kemenangan bagi proses pengindonesiaan. Hal ini mengirimkan pesan bahwa kecanggihan dan modernitas tidak harus diukur melalui seberapa banyak istilah asing yang digunakan, melainkan seberapa efektif kita dapat mengkomunikasikan ide-ide kompleks tersebut dalam bahasa persatuan kita sendiri. Mengindonesiakan dalam hal sikap adalah menumbuhkan keyakinan bahwa Bahasa Indonesia mampu menjadi medium bagi kemajuan, sebuah jembatan yang menghubungkan ilmu pengetahuan global dengan realitas lokal, sehingga pengetahuan tersebut dapat diakses oleh setiap warga negara tanpa hambatan linguistik. Proses ini membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, media, dan, yang paling penting, setiap individu warga negara untuk secara konsisten mempraktikkan dan menjunjung tinggi bahasa negaranya.
Mengindonesiakan seni dan budaya adalah bagaimana bangsa ini merespons tren global tanpa kehilangan akar lokal, menciptakan fusi yang unik dan otentik.
Dalam dunia kesenian, mengindonesiakan berarti mengambil bentuk-bentuk seni universal—seperti film, musik pop, atau teater modern—dan memberinya napas, narasi, dan estetika yang khas Indonesia. Hal ini bukan hanya sekadar menggunakan bahasa Indonesia dalam lirik atau dialog, tetapi menanamkan filosofi lokal ke dalam struktur penceritaan dan komposisi. Ambil contoh industri perfilman. Mengindonesiakan film berarti menghasilkan karya yang tidak hanya mengeksplorasi isu-isu lokal, tetapi juga menggunakan format sinematik yang mengakomodasi gaya bertutur tradisional, misalnya, melalui penggunaan simbolisme Jawa, etika Sunda, atau mistisisme Borneo. Genre horor, misalnya, diindonesiakan dengan memasukkan elemen-elemen folklor lokal seperti kuntilanak atau pocong, yang memiliki makna sosial dan historis yang berbeda dengan hantu-hantu Barat.
Dalam musik, proses pengindonesiaan terlihat jelas dalam lahirnya genre-genre fusi. Musik pop modern diolah dengan memasukkan tangga nada pelog atau slendro, ritme kendang, atau penggunaan instrumen tradisional seperti suling atau sasando, yang menghasilkan suara yang modern namun tetap terasa akarnya. Upaya ini memastikan bahwa seniman Indonesia tidak hanya meniru, tetapi menjadi inovator yang berakar. Mengindonesiakan seni adalah tentang menemukan keseimbangan antara inovasi teknis global (misalnya, teknologi studio rekaman terbaru) dan kekayaan ekspresi tradisional. Tujuannya adalah agar ketika sebuah karya seni Indonesia dipertunjukkan di panggung internasional, ia langsung dikenali sebagai milik Indonesia, membawa narasi kemanusiaan yang universal namun disampaikan melalui lensa budaya Nusantara yang unik. Proses adaptasi ini memungkinkan kesenian Indonesia tetap relevan bagi generasi muda sambil tetap melestarikan warisan nenek moyang.
Mengindonesiakan dalam ranah kuliner adalah upaya mengangkat makanan tradisional dari status 'makanan daerah' menjadi 'gastronomi nasional' yang diakui dan diapresiasi secara global. Upaya ini melibatkan standarisasi resep, penjaminan mutu, dan penceritaan (storytelling) yang kuat. Misalnya, bagaimana rendang, soto, atau nasi goreng tidak hanya disajikan di warung pinggir jalan, tetapi juga di restoran kelas atas dengan presentasi yang modern, namun dengan rasa otentik yang terjaga. Proses ini adalah tentang memodernisasi distribusi dan pemasaran tanpa mengorbankan esensi rasa. Ini adalah strategi ekonomi kreatif yang penting, karena kuliner adalah salah satu duta budaya paling efektif.
Lebih dari sekadar resep, mengindonesiakan kuliner juga mencakup pengakuan terhadap bahan-bahan lokal. Penggunaan rempah-rempah asli Indonesia, seperti pala dari Maluku, vanili dari Papua, atau kopi Arabika dari Gayo, dipromosikan sebagai komoditas premium global. Ini adalah upaya untuk menempatkan Indonesia sebagai pusat sumber daya kuliner dan memastikan bahwa rantai nilai ekonomi dari makanan tersebut sebagian besar kembali ke petani dan produsen lokal. Ketika sebuah produk makanan global seperti burger atau pizza masuk, proses mengindonesiakan mengharuskannya beradaptasi dengan lidah lokal, misalnya dengan tambahan sambal matah, bumbu rica-rica, atau penggunaan bahan baku lokal sebagai topping. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengindonesiaan adalah dialog dua arah: kita mengirim budaya kita ke dunia, dan kita menerima budaya dunia, tetapi kita mewarnainya dengan palet rasa kita sendiri. Ini adalah penegasan identitas melalui cita rasa, memastikan bahwa pengalaman gastronomi di Indonesia selalu terasa khas Nusantara.
Dalam aspek konservasi, mengindonesiakan berarti menerapkan kearifan lokal dalam perencanaan pembangunan dan arsitektur modern. Alih-alih mengadopsi mentah-mentah desain bangunan modern dari negara subtropis, pengindonesiaan arsitektur berarti kembali pada prinsip-prinsip rumah adat: penggunaan material lokal yang berkelanjutan (bambu, kayu ulin), sistem ventilasi alami yang disesuaikan dengan iklim tropis, dan orientasi bangunan yang memperhatikan kosmologi atau adat istiadat setempat. Proses ini memastikan bahwa pembangunan fisik tidak hanya efisien dan modern, tetapi juga harmonis dengan lingkungan dan budaya setempat.
Konservasi kearifan lokal juga meluas pada praktik-praktik sosial, seperti sistem pengelolaan sumber daya alam. Contohnya adalah sistem ‘subak’ di Bali atau ‘sasi’ di Maluku. Mengindonesiakan praktik-praktik ini berarti memberikan pengakuan hukum dan dukungan teknologi modern kepada sistem tradisional ini, bukan menggantinya dengan birokrasi sentralistik. Ini adalah pengakuan bahwa solusi terhadap masalah lingkungan atau sosial yang paling berkelanjutan seringkali sudah ada dalam tradisi nenek moyang. Dengan mengindonesiakan kearifan lokal ke dalam kebijakan publik, negara memastikan bahwa pembangunan berjalan di atas fondasi yang kokoh, dihormati oleh masyarakat, dan sesuai dengan karakteristik ekologis dan sosial wilayah Indonesia yang sangat beragam. Mengindonesiakan adalah upaya untuk menyeimbangkan antara kemajuan teknologis dan keberlanjutan filosofis yang diwariskan dari generasi ke generasi, memastikan bahwa kemajuan tidak datang dengan harga hilangnya jiwa bangsa.
Ranah politik dan hukum adalah arena di mana ideologi pengindonesiaan diterjemahkan menjadi kerangka kerja praktis dan struktural. Mengindonesiakan sistem politik berarti memastikan bahwa tata kelola negara, mulai dari filosofi dasar hingga mekanisme implementasi, beroperasi berdasarkan nilai-nilai yang digali dari bumi Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD NRI 1945.
Pancasila adalah instrumen pengindonesiaan paling fundamental. Sebagai falsafah hidup bangsa, Pancasila berfungsi sebagai saringan utama terhadap masuknya ideologi-ideologi asing—baik kapitalisme radikal, komunisme, maupun ekstremisme agama—yang mungkin bertentangan dengan semangat persatuan dan keadilan sosial. Proses mengindonesiakan ideologi adalah menafsirkan dan menerapkan lima sila tersebut dalam setiap kebijakan publik. Misalnya, Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia mewajibkan negara untuk merumuskan kebijakan ekonomi yang tidak hanya mengejar pertumbuhan (growth) tetapi juga pemerataan (equity). Ini adalah upaya untuk menghindari model ekonomi yang sepenuhnya liberal tanpa jaring pengaman sosial atau model sosialis yang mengabaikan hak individu.
Demokrasi di Indonesia, dalam proses pengindonesiaan, tidak boleh hanya menjadi tiruan dari demokrasi liberal Barat. Demokrasi kita harus memiliki corak khas yang menekankan ‘musyawarah mufakat’ yang disalurkan melalui ‘Hikmat Kebijaksanaan’—suatu penekanan pada pengambilan keputusan kolektif yang mengutamakan harmoni daripada sekadar suara mayoritas. Ketika sistem politik diindonesiakan, ia menjadi lebih responsif terhadap budaya konsensus Indonesia dan kurang rentan terhadap polarisasi tajam yang sering menghinggapi sistem multipartai murni. Pengindonesiaan Pancasila sebagai ideologi adalah pekerjaan berat yang memerlukan edukasi berkelanjutan dan keteladanan dari para pemimpin, memastikan bahwa landasan berpikir bangsa tetap konsisten dengan nilai-nilai persatuan yang telah disepakati sejak kemerdekaan.
Dalam sektor hukum, mengindonesiakan adalah pengakuan dan pengintegrasian Hukum Adat ke dalam sistem hukum nasional. Indonesia adalah negara dengan pluralisme hukum, di mana hukum formal (positif), hukum agama, dan hukum adat hidup berdampingan. Mengindonesiakan sistem hukum berarti tidak secara total menolak warisan kolonial atau hukum modern, tetapi mencari titik temu di mana Hukum Adat, yang berakar pada keadilan komunal dan restoratif, dapat melengkapi atau mengisi kekosongan dalam hukum positif yang seringkali terlalu kaku atau individualistik. Hukum adat, misalnya dalam penyelesaian sengketa tanah atau kasus kekeluargaan di banyak wilayah, seringkali lebih efektif dan adil karena melibatkan tokoh adat dan mengutamakan rekonsiliasi daripada hukuman murni.
Pengindonesiaan hukum ini juga berarti dekolonisasi mentalitas hukum. Banyak undang-undang yang masih merupakan turunan dari masa kolonial Belanda. Tugas mengindonesiakan adalah mengganti kerangka berpikir kolonial tersebut dengan kerangka berpikir yang didasarkan pada hak asasi manusia universal yang diinterpretasikan dalam konteks Pancasila. Ini adalah proses panjang pembaharuan hukum yang menjamin bahwa produk perundang-undangan baru benar-benar mencerminkan kebutuhan, etika, dan keadilan yang diyakini oleh masyarakat Indonesia. Misalnya, UU Desa yang memberikan pengakuan dan kewenangan kepada desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat adalah salah satu bentuk konkret dari pengindonesiaan dalam tata kelola hukum, memastikan bahwa otonomi lokal dan kearifan masyarakat tradisional dihargai oleh negara.
Dalam hubungan internasional, mengindonesiakan adalah penerapan politik luar negeri 'Bebas Aktif'. Prinsip ini adalah manifestasi pengindonesiaan dalam arena geopolitik. 'Bebas' berarti Indonesia tidak terikat pada blok kekuatan manapun, mencerminkan kemandirian dan kedaulatan yang kita junjung tinggi. 'Aktif' berarti Indonesia tidak pasif, melainkan berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Diplomasi yang diindonesiakan adalah diplomasi yang mengedepankan dialog, mediasi, dan mencari solusi damai, seperti yang terlihat dalam peran Indonesia di ASEAN atau dalam penyelesaian konflik global.
Lebih lanjut, mengindonesiakan diplomasi adalah mempromosikan nilai-nilai Indonesia, seperti toleransi beragama dan musyawarah mufakat, sebagai solusi potensial bagi masalah global. Ketika Indonesia berbicara di forum PBB atau G20, ia membawa narasi yang khas, yaitu narasi negara kepulauan yang multikultural namun bersatu. Ini adalah kekuatan lunak (soft power) yang diindonesiakan, sebuah modalitas diplomasi yang unik. Dengan demikian, proses pengindonesiaan di tingkat global adalah cara Indonesia menegaskan identitasnya di tengah persaingan antarnegara, menunjukkan bahwa kedaulatan bukan hanya tentang militer dan ekonomi, tetapi juga tentang kemampuan untuk menyumbangkan ideologi dan nilai-nilai positif bagi peradaban dunia.
Bagian terpenting dari mengindonesiakan adalah memastikan bahwa sistem ekonomi dan perkembangan teknologi diarahkan untuk mencapai kemakmuran bersama, bukan hanya untuk segelintir elite, sejalan dengan cita-cita Sila Kelima Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. Ini adalah perlawanan terhadap dogma pasar bebas murni yang sering kali mengabaikan kepentingan rakyat kecil dan keberlanjutan lingkungan.
Mengindonesiakan sistem ekonomi berarti kembali pada prinsip-prinsip Ekonomi Pancasila. Inti dari sistem ini adalah peran sentral koperasi sebagai soko guru perekonomian, di mana usaha bersama dan asas kekeluargaan diutamakan. Hal ini berbeda dari sistem kapitalis yang menekankan persaingan bebas individu dan akumulasi modal. Mengindonesiakan ekonomi adalah mendorong pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta memastikan bahwa sektor-sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak (seperti air, listrik, dan telekomunikasi) dikuasai oleh negara (atau entitas yang dikontrol negara) untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam praktiknya, pengindonesiaan ekonomi melibatkan kebijakan hilirisasi dan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Hilirisasi, misalnya, adalah upaya mengindonesiakan nilai tambah komoditas. Alih-alih mengekspor bahan mentah seperti nikel atau bauksit, kita mewajibkan pengolahan (smelting) di dalam negeri. Dengan demikian, lapangan kerja tercipta, teknologi transfer, dan nilai ekonomi yang jauh lebih besar tetap berada di Indonesia. TKDN adalah kebijakan yang memaksa perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia untuk menggunakan persentase tertentu dari komponen lokal dalam produk mereka. Ini adalah mekanisme proteksi sekaligus pemberdayaan yang memastikan bahwa investasi asing tidak hanya mengambil untung, tetapi juga membangun kapasitas industri domestik. Mengindonesiakan ekonomi adalah memastikan bahwa kue pembangunan dibagi secara adil dan bahwa bangsa ini tidak hanya menjadi pasar bagi produk asing, tetapi juga produsen yang mandiri.
Arus teknologi informasi global menghadirkan tantangan besar terhadap proses pengindonesiaan. Aplikasi, platform media sosial, dan infrastruktur digital seringkali didominasi oleh perusahaan asing, yang berpotensi mengancam kedaulatan data dan membentuk narasi publik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai nasional. Mengindonesiakan teknologi adalah upaya untuk menciptakan kedaulatan digital. Ini mencakup pengembangan infrastruktur data center di dalam negeri, menciptakan sistem identitas digital yang aman dan dikelola oleh negara, serta mendorong lahirnya 'unicorn' dan 'decacorn' Indonesia yang mampu bersaing di tingkat global.
Langkah konkret dalam mengindonesiakan teknologi adalah mendukung pengembangan perangkat lunak dan aplikasi lokal yang secara spesifik dirancang untuk mengatasi masalah Indonesia. Misalnya, platform pendidikan daring yang disesuaikan dengan kurikulum nasional, atau sistem telemedis yang mampu menjangkau wilayah 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal) dengan infrastruktur yang terbatas. Fokusnya adalah pada 'kemandirian teknologis'. Alih-alih menjadi sekadar pengguna pasif, Indonesia harus menjadi pengembang dan pencipta teknologi. Program-program pemerintah yang mendorong riset dan inovasi dalam negeri, pemberian insentif pajak bagi startup lokal, dan pengembangan talenta digital dalam negeri adalah inti dari proses pengindonesiaan teknologi. Ketika kita berhasil mengindonesiakan teknologi, kita tidak hanya mengadopsi alat baru; kita menggunakannya untuk memperkuat persatuan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara massal, menjadikannya pelayan bagi kepentingan nasional, bukan sebaliknya.
Pengindonesiaan juga mensyaratkan bahwa inovasi yang dilakukan harus berakar pada kebutuhan lokal. Inovasi yang diindonesiakan adalah inovasi yang berangkat dari masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia—misalnya, sistem mitigasi bencana yang disesuaikan dengan kondisi geologis Nusantara, atau sistem pertanian yang efisien untuk lahan gambut. Ini adalah penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kontekstual dan berbasis lokasi.
Untuk mencapai hal ini, diperlukan pengindonesiaan dalam sistem pendidikan. Kurikulum harus dirancang untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi global namun memiliki jiwa nasionalis yang kuat dan kesadaran terhadap masalah lokal. Lulusan perguruan tinggi harus mampu memimpin transformasi industri dengan memprioritaskan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Mengindonesiakan SDM berarti menanamkan integritas, etos gotong royong, dan tanggung jawab sosial dalam diri para profesional muda. Mereka harus melihat diri mereka bukan hanya sebagai pekerja global, tetapi sebagai agen perubahan yang berkomitmen untuk memajukan Indonesia. Melalui inovasi yang diindonesiakan dan SDM yang berkomitmen, Indonesia dapat bertransformasi dari negara konsumen menjadi negara produsen, sekaligus menjaga martabat dan nilai-nilai kebangsaannya di tengah kancah persaingan global yang semakin ketat.
Di tengah arus deras globalisasi, proses mengindonesiakan menjadi semakin krusial sebagai benteng pertahanan jati diri bangsa.
Tantangan terbesar bagi proses mengindonesiakan saat ini datang dari homogenisasi kultural yang dibawa oleh media digital dan budaya populer global. Generasi muda terpapar secara instan pada tren, bahasa, dan nilai-nilai dari luar (misalnya, melalui K-Pop, Hollywood, atau platform media sosial asing) yang seringkali kontras dengan etika dan adat Indonesia. Pergeseran nilai ini dapat mengikis rasa bangga terhadap budaya sendiri dan melemahkan ikatan sosial. Tugas mengindonesiakan dalam konteks ini adalah bagaimana menjadikan budaya dan nilai-nilai lokal sebagai pilihan yang 'seksi', relevan, dan menarik bagi kaum muda, sehingga mereka tidak melihat tradisi sebagai sesuatu yang kuno, melainkan sebagai sumber kreativitas dan keunikan.
Hal ini menuntut adaptasi. Misalnya, memanfaatkan platform digital yang sama untuk menyebarkan konten yang diindonesiakan. Jika anak muda menghabiskan waktu di media sosial, maka narasi tentang sejarah, cerita rakyat, dan kearifan lokal harus disajikan dalam format yang dinamis dan interaktif di platform tersebut. Mengindonesiakan budaya populer berarti menciptakan pahlawan lokal, cerita lokal, dan tren lokal yang dapat bersaing dengan konten global. Jika tidak, proses pengindonesiaan akan gagal karena hanya menjadi gerakan elitis yang dipaksakan, alih-alih menjadi gerakan organik yang didukung oleh aspirasi kolektif masyarakat. Keberhasilan pengindonesiaan di masa depan sangat bergantung pada kemampuannya untuk berinovasi tanpa kehilangan esensi.
Proses pengindonesiaan juga harus menghadapi ancaman dari ideologi ekstrem yang menolak konsep Bhinneka Tunggal Ika. Ekstremisme, dalam bentuk apapun, adalah antitesis dari pengindonesiaan, karena ia berusaha memecah belah bangsa berdasarkan suku, agama, atau ras, dan menggantikan Pancasila dengan ideologi tunggal yang sempit. Mengindonesiakan dalam hal ini adalah menegakkan dan menginternalisasikan nilai-nilai toleransi, moderasi, dan persatuan dalam kerangka Pancasila.
Langkah ini memerlukan penguatan narasi kebangsaan di semua lini. Pendidikan harus secara konsisten mengajarkan pluralisme dan pentingnya dialog antarbudaya dan antaragama. Media harus mempromosikan kisah-kisah sukses tentang keberagaman yang hidup harmonis. Dalam konteks politik, mengindonesiakan berarti memastikan bahwa setiap kelompok merasa diwakili dan dihargai, sehingga tidak ada ruang bagi sentimen terpinggirkan yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok intoleran. Upaya ini memastikan bahwa konsep 'Indonesia' adalah rumah bagi semua, tanpa memandang latar belakang, dan bahwa persatuan tidak dicapai melalui penyeragaman, melainkan melalui penghormatan terhadap perbedaan. Proses ini merupakan pertarungan ideologis yang harus dimenangkan demi kelangsungan hidup negara majemuk.
Masa depan proses mengindonesiakan adalah tentang mencapai resiliensi atau ketahanan nasional di tengah ketidakpastian global, sambil meningkatkan kontribusi Indonesia terhadap dunia. Resiliensi berarti kemampuan untuk menyerap guncangan ekonomi, bencana alam, atau perubahan geopolitik tanpa kehilangan arah dan tanpa mengorbankan nilai-nilai inti bangsa. Pengindonesiaan harus menjadi motor penggerak ketahanan pangan, ketahanan energi, dan ketahanan kesehatan yang berbasis pada sumber daya dan pengetahuan lokal.
Kontribusi global Indonesia, atau ‘Mengindonesiakan Dunia’ dalam arti yang lebih luas, adalah hasil akhir dari proses ini. Ketika Indonesia berhasil menyeimbangkan modernitas dengan tradisi, efisiensi ekonomi dengan keadilan sosial, dan otonomi teknologi dengan keragaman budaya, maka model pembangunan Indonesia (yaitu, model yang berakar pada Pancasila) dapat menjadi contoh bagi negara-negara berkembang lainnya. Ini berarti mengekspor konsep-konsep seperti musyawarah, gotong royong, atau pluralisme hukum sebagai alternatif solusi terhadap masalah-masalah global seperti konflik, ketidaksetaraan, dan krisis iklim. Proses mengindonesiakan adalah perjalanan abadi menuju penemuan dan penegasan jati diri, sebuah janji untuk menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat, yang mampu berdiri setara dengan bangsa-bangsa lain, membawa warna dan nilai khas Nusantara ke dalam peradaban global.
Secara keseluruhan, mengindonesiakan adalah tindakan yang multidimensi dan berkelanjutan. Ini adalah komitmen untuk selalu mencari dan menemukan cara agar segala sesuatu yang menyentuh Indonesia, baik fisik maupun non-fisik, dapat berfungsi dan beradaptasi dalam kerangka etika, estetika, dan filosofi kebangsaan kita. Proses ini memerlukan kesadaran kolektif bahwa identitas bukanlah warisan statis, melainkan sebuah konstruksi dinamis yang harus terus diperjuangkan dan diperbaharui oleh setiap generasi. Kualitas dan kedalaman proses pengindonesiaan yang kita lakukan hari ini akan menentukan posisi dan peran Indonesia di panggung dunia di masa yang akan datang, memastikan bahwa kita tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan memberikan kontribusi yang berarti, dengan tetap teguh pada semangat Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila.