Misteri Mengilai: Suara Kematian, Mitologi, dan Psikologi Ketakutan Abadi
Ada suara yang mampu menembus lapisan kesadaran terdalam manusia, menggetarkan tulang belakang, dan memicu naluri purba untuk melarikan diri. Itu bukanlah sekadar teriak atau ratapan, melainkan mengilai—suara melengking, tajam, dan biasanya berkelanjutan, yang seringkali diasosiasikan dengan kesakitan ekstrem, kegilaan, atau, yang paling menakutkan, kehadiran entitas gaib. Dalam berbagai kebudayaan, khususnya di Nusantara, mengilai bukan hanya respons vokal, melainkan sebuah pertanda, sebuah narasi yang dibawa oleh angin malam.
Fenomena akustik ini menempati ruang unik dalam studi folklor dan psikologi. Secara biologis, mengilai merupakan sinyal alarm frekuensi tinggi yang didesain untuk menarik perhatian secara instan, memotong kebisingan latar belakang. Namun, ketika suara itu berasal dari kegelapan, ketika tidak ada sumber fisik yang jelas, atau ketika ia dikaitkan dengan makhluk yang melampaui batas realitas, mengilai berubah menjadi bahasa horor yang universal. Kita akan menyelami kedalaman makna suara ini, dari mitos-mitos yang mengikatnya pada kematian hingga analisis ilmiah tentang mengapa suara tersebut memiliki kekuatan sedahsyat itu atas jiwa manusia.
I. Mengilai dalam Mitologi Nusantara: Signifikansi Suara Tanpa Tubuh
Di kepulauan Indonesia, suara mengilai telah lama diinternalisasi sebagai bagian integral dari lanskap spiritual dan supranatural. Ini bukan sembarang suara; ia adalah penanda batas antara dunia yang terlihat dan yang tidak terlihat. Jika seseorang mendengar lolongan atau ratapan di hutan, itu mungkin hewan. Tetapi jika yang terdengar adalah suara melengking tawa yang tiba-tiba berhenti, atau tangisan menusuk yang bergema tanpa sumber fisik yang jelas, maka itu dikaitkan dengan sosok yang jauh lebih tua dari ingatan manusia.
Karakter mitologi yang paling identik dengan suara mengilai adalah Kuntilanak dan Pontianak. Kedua entitas ini—meski berbeda dalam detail regional—memiliki benang merah yang sama: mereka adalah hantu wanita yang meninggal dalam kondisi tragis, seringkali saat melahirkan. Suara mereka adalah manifestasi dari rasa sakit abadi dan kemarahan yang tidak tersalurkan.
1. Kuntilanak: Tawa Melengking di Pohon Kapuk
Kuntilanak, yang dikenal luas di Jawa, Sumatera, dan Malaysia (sebagai Pontianak), menggunakan suara mengilai sebagai alat utamanya. Ada diktum populer: jika suara itu terdengar pelan dan jauh, berarti ia berada sangat dekat. Jika suara itu terdengar keras dan menggelegar, justru menandakan jarak yang jauh. Paradoks akustik ini bukan hanya detail cerita seram, melainkan filosofi mendalam tentang bagaimana entitas gaib memanipulasi persepsi manusia terhadap ruang dan waktu.
Tawa mengilai Kuntilanak memiliki karakteristik unik. Ia sering digambarkan sebagai campuran antara tawa mengejek yang mengerikan dan tangisan bayi yang menyayat hati, sebuah kontradiksi yang mencerminkan asal-usul tragisnya. Suara ini mengganggu tidak hanya karena frekuensinya yang tinggi, tetapi juga karena resonansi emosionalnya. Ia membawa beban sejarah kelam dan kegagalan sistem sosial dalam melindungi seorang wanita. Mendengar Kuntilanak mengilai di tengah malam, di bawah sinar bulan yang tertutup awan, seringkali dianggap sebagai ramalan nasib buruk atau bahkan kematian. Di beberapa desa, jika suara mengilai terdengar tiga malam berturut-turut, itu dipercaya sebagai tanda bahwa jiwa di desa tersebut akan diambil, dan persiapan untuk ritual penolak bala pun segera dilakukan. Ini menunjukkan betapa suara tersebut diintegrasikan ke dalam sistem kepercayaan kolektif, bukan hanya sebagai cerita sampingan, tetapi sebagai inti dari peringatan spiritual.
Kisah-kisah panjang yang beredar di kalangan tetua seringkali menekankan bahwa cara Kuntilanak memilih targetnya terkait erat dengan suara. Ia mungkin mulai dengan bisikan samar, lalu berubah menjadi tangisan tersedu-sedu, dan akhirnya memuncak dalam mengilai yang menusuk. Transisi ini adalah proses psikologis untuk mengisolasi korban, memisahkan mereka dari rasa aman yang ditawarkan oleh lingkungan yang ramai. Ketika seseorang sendirian, keheningan malam yang biasanya damai menjadi kanvas bagi manifestasi suara ini. Rasa sunyi yang dalam, yang hanya dipecahkan oleh suara jangkrik, membuat suara melengking sekecil apa pun terasa amplifikasi seribu kali lipat, memutarbalikkan realitas pendengaran.
2. Membandingkan dengan Banshee: Rintihan Celtic
Meskipun Kuntilanak adalah figur khas Asia Tenggara, fenomena suara perempuan yang mengilai atau meratap sebagai pertanda kematian memiliki resonansi global. Banshee (Bean-Sidhe) dari mitologi Irlandia dan Skotlandia adalah contoh paling terkenal dari paralel ini. Banshee tidak selalu terlihat, tetapi suaranya—yang disebut keening atau ratapan—adalah peringatan pasti akan kematian yang akan datang dalam keluarga tertentu.
Perbedaan utama terletak pada fungsinya. Kuntilanak seringkali mengejar atau menyakiti, sedangkan Banshee berfungsi sebagai pembawa pesan pasif. Namun, dampak suaranya serupa: keduanya menggunakan frekuensi vokal yang sangat tinggi dan emosional (baik tawa gila atau ratapan duka) untuk menembus hati pendengar. Ratapan Banshee adalah kesedihan murni yang termanifestasi sebagai suara, sementara mengilai Kuntilanak adalah gabungan antara dendam, kepedihan, dan godaan yang mematikan. Kedua suara ini memanfaatkan kelemahan akustik manusia dan resonansi emosional untuk menciptakan pengalaman horor yang melebihi visual. Suara Banshee adalah kesedihan kolektif; suara Kuntilanak adalah teror individual.
Lebih jauh, dalam konteks cerita rakyat Filipina, kita menemukan Tiyanak—entitas bayi yang menangis memikat manusia ke dalam hutan sebelum berubah menjadi wujud mengerikan. Meskipun Tiyanak lebih fokus pada tangisan bayi, puncak transformasinya seringkali melibatkan teriakan atau mengilai yang bukan lagi suara manusia, menandai pengkhianatan visual dan akustik. Fenomena universal ini menunjukkan bahwa suara perempuan yang tersiksa atau jahat adalah salah satu arketipe ketakutan yang paling kuat dalam sejarah manusia, digunakan untuk mendefinisikan batas-batas bahaya dan moralitas.
Penting untuk dicatat bahwa dalam tradisi lisan, detail mengenai frekuensi dan kualitas mengilai menjadi semakin rumit. Beberapa tetua di Jawa Barat bahkan membedakan antara ‘ngikik’ (tertawa kecil) yang diikuti oleh ‘mengilai’ yang menusuk. Ngikik adalah tahap awal, semacam permainan kucing-kucingan; sementara ‘mengilai’ adalah penyerangan penuh. Mereka percaya bahwa kekuatan supranatural makhluk tersebut terpusat pada kemampuan mereka untuk memproduksi suara yang melanggar hukum fisika normal, sebuah suara yang dapat memecahkan kaca, atau, secara metaforis, memecahkan kewarasan manusia.
II. Anatomi Akustik Mengilai: Mengapa Suara Frekuensi Tinggi Memicu Ketakutan?
Di luar ranah mitologi, mengilai adalah fenomena fisik dan psikologis yang dapat dijelaskan. Suara ini mengganggu sistem saraf otonom kita, memicu respons fight or flight (melawan atau lari) bahkan sebelum korteks serebral sempat memproses makna suara tersebut. Psikolog dan ahli akustik telah lama mempelajari mengapa frekuensi tertentu—terutama yang tajam dan tak harmonis—memiliki dampak emosional yang jauh lebih kuat dibandingkan suara normal.
1. Frekuensi Alarm dan Resonansi Tubuh
Mengilai, atau shriek, biasanya berada dalam pita frekuensi yang sangat tinggi, seringkali di atas 2.000 Hz, dan dapat mencapai 5.000 Hz atau lebih pada kondisi panik ekstrem. Pita frekuensi ini sangat mirip dengan suara alarm bahaya, seperti alarm mobil atau gesekan kuku di papan tulis. Sebuah studi ilmiah menunjukkan bahwa suara yang memuat modulasi akustik yang tidak teratur, disertai dengan lonjakan frekuensi yang cepat, secara langsung memicu respons rasa sakit di amigdala, pusat emosi di otak, sebelum sinyal tersebut mencapai korteks pendengaran.
Suara melengking memiliki kecenderungan untuk ‘mengebor’ ke dalam telinga tengah dan dalam, menghasilkan sensasi fisik yang tidak menyenangkan. Ini bukan hanya tentang volume; ini tentang kualitasnya yang tajam. Saat Kuntilanak diceritakan mengilai, deskripsi yang menyertainya adalah 'suara yang membuat telinga berdenging' atau 'suara yang membuat kepala sakit'. Deskripsi folklor ini sangat akurat secara fisiologis. Frekuensi tinggi dapat menyebabkan getaran abnormal pada tulang-tulang kecil di telinga, yang diterjemahkan otak sebagai bahaya fisik yang mendesak. Ini adalah warisan evolusioner: nenek moyang kita belajar bahwa suara frekuensi tinggi yang tajam seringkali berarti predator atau ancaman dekat yang memerlukan respons segera.
2. Mengurai Tawa Histeris dan Panic Shriek
Ada dua jenis mengilai yang relevan: panic shriek (teriakan panik) dan hysterical cackle (tertawa histeris). Keduanya memiliki kesamaan dalam frekuensi tinggi, tetapi berbeda dalam konteks emosional.
Panic shriek adalah respons naluriah terhadap bahaya yang mendadak, bertujuan untuk memberi sinyal bahaya kepada kelompok dan meningkatkan aliran adrenalin. Ini adalah suara keputusasaan murni. Sebaliknya, hysterical cackle yang diasosiasikan dengan hantu seperti Kuntilanak atau Joker dalam budaya Barat, adalah distorsi tawa—suara yang seharusnya menyenangkan kini disajikan sebagai ancaman. Tawa histeris ini lebih mengganggu karena ia melanggar harapan sosial kita tentang emosi. Tawa adalah sinyal keselamatan dan kesenangan; ketika ia menjadi melengking, dingin, dan tidak beralasan, otak kita kesulitan mengklasifikasikan sinyal tersebut, menyebabkan disonansi kognitif yang intens, yang kita alami sebagai teror.
Dalam narasi hantu, penggunaan tawa mengilai adalah cara efektif untuk menunjukkan kegilaan atau kebencian abadi. Hantu tersebut tidak hanya menakutkan, tetapi ia menikmati teror yang ia sebarkan. Suara mengilai adalah senjatanya, sebuah serangan sonik yang bertujuan untuk menghancurkan ketenangan dan memprovokasi kepanikan. Kejutannya seringkali terletak pada bagaimana suara itu muncul dari keheningan total, menekankan kekosongan di sekitar pendengar dan memperkuat perasaan isolasi.
Penelitian tentang respons pendengaran di University College London menemukan bahwa teriak ketakutan memiliki modulasi akustik yang unik yang secara langsung mengaktifkan amigdala, lebih kuat daripada teriak biasa. Modulasi ini—disebut ‘roughness’—adalah ketidakstabilan frekuensi yang membuat suara terasa kasar dan tidak menyenangkan. Ketika kita mendengar entitas gaib mengilai, kita tidak hanya mendengar suara, tetapi kita merasakan ‘kekasaran’ emosional yang langsung diinterpretasikan otak sebagai ancaman kehidupan yang ekstrem, melampaui logika dan rasionalitas yang biasanya kita gunakan untuk memproses informasi.
III. Mengilai dalam Kehidupan Nyata: Trauma dan Manifestasi Suara
Tidak semua mengilai berasal dari dunia gaib. Dalam kehidupan nyata, suara ini adalah indikator kuat dari trauma mendalam, penderitaan fisik, atau gangguan kejiwaan. Studi kasus psikiatri menunjukkan bahwa pasien yang mengalami delusi atau episode skizofrenia akut terkadang mengeluarkan teriakan atau tawa mengilai yang benar-benar mengerikan, karena mereka mengalami realitas yang terdistorsi di mana ancaman dan teror bersifat absolut.
1. Histeria dan Kontrol Diri yang Hilang
Istilah 'histeria' dulunya sering dikaitkan dengan wanita, menggambarkan keadaan emosional yang tidak terkontrol, seringkali ditandai dengan tangisan atau tawa mengilai. Meskipun istilah ini sekarang dianggap usang dalam psikiatri modern, manifestasi vokal dari trauma tetap relevan. Seseorang yang mengalami serangan panik hebat, kehilangan kendali atas realitas, atau berada di ambang batas fisik rasa sakit seringkali akan mengeluarkan suara yang tidak dikenali, yaitu mengilai. Suara ini adalah upaya putus asa tubuh untuk melepaskan tekanan yang tak tertahankan.
Mengapa kita sering menghubungkan mengilai dengan figur hantu wanita? Mungkin karena secara historis, masyarakat sering menekan ekspresi emosional yang ekstrem pada wanita. Ketika penderitaan atau kemarahan tidak diizinkan untuk diungkapkan secara normal (seperti protes atau negosiasi), mereka bermigrasi ke ranah mitos, di mana penderitaan wanita yang meninggal tragis (Kuntilanak) dilegalkan untuk mengilai dan membalas dendam. Hantu tersebut menjadi cerminan dari trauma sosial yang tidak diakui.
2. Budaya Horor dan Pemanfaatan Suara
Dalam seni, terutama film horor, suara mengilai adalah fondasi jump scare dan pembangunan atmosfer. Efektivitas suara ini sangat bergantung pada ekspektasi dan keheningan. Seorang desainer suara horor profesional akan tahu bahwa suara mengilai yang efektif bukanlah sekadar suara keras, melainkan suara yang kualitasnya tidak manusiawi, yang melanggar batas vokal yang dapat dicapai oleh pita suara normal. Ini sering dicapai melalui modulasi frekuensi ekstrem, penambahan gema yang tidak wajar, dan pemotongan suara yang mendadak, menghasilkan kesan entitas yang tidak terikat oleh aturan fisiologi.
Dalam sastra dan film horor Indonesia, suara mengilai Kuntilanak sering diperlakukan sebagai karakter itu sendiri. Ia memiliki dinamika: kadang ia menggoda, kadang ia memperingatkan, dan pada puncaknya, ia menyerang. Film-film klasik horor Indonesia pada era 70-an dan 80-an sangat mengandalkan efek suara mengilai yang sederhana namun kuat untuk menciptakan teror massal, membuktikan bahwa imajinasi kolektif kita lebih takut pada apa yang kita dengar daripada apa yang kita lihat.
Fenomena media massa telah memperkuat asosiasi ini. Setiap kali sebuah film horor atau serial dokumenter menampilkan hantu, hampir selalu ada suara mengilai yang khas, menciptakan arketipe pendengaran. Anak-anak yang tumbuh mendengarkan cerita ini secara tidak sadar memprogram otak mereka untuk mengaitkan suara melengking tertentu dengan bahaya supranatural yang fatal. Oleh karena itu, ketika mereka benar-benar mendengar suara yang tidak biasa di malam hari, respons otomatis mereka adalah panik, terlepas dari apakah sumbernya adalah angin, burung hantu, atau entitas gaib yang melegenda.
IV. Kisah-Kisah Mengilai: Manifestasi Teror di Pedalaman
Kekuatan mitos di Indonesia terletak pada bagaimana ia terus diperbarui melalui kesaksian dan cerita lisan. Berikut adalah beberapa narasi panjang yang memperkuat peran suara mengilai sebagai tanda bahaya yang tidak dapat diabaikan, mencerminkan sejauh mana ketakutan terhadap suara ini telah meresap dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang masih dekat dengan alam.
1. Kasus Pohon Beringin Tua dan Lirik Tawa
Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Merapi, terdapat pohon beringin yang usianya diperkirakan ratusan tahun. Pohon ini dikenal sebagai tempat tinggal ‘Mak Suro’, nama lokal untuk sosok Kuntilanak yang sangat tua dan kuat. Kisah ini berputar di sekitar sekelompok remaja yang mencoba membuktikan bahwa cerita hantu hanyalah mitos. Mereka memutuskan untuk berkemah di dekat pohon tersebut pada malam Jumat Kliwon, malam yang dipercaya paling kuat energinya.
Awalnya, malam itu damai, hanya ada suara jangkrik dan percikan api unggun. Sekitar pukul dua pagi, saat semua sudah terlelap kecuali satu remaja bernama Risa yang bertugas berjaga, keheningan tiba-tiba pecah. Bukan dengan jeritan keras, melainkan dengan suara ‘ngikik’—tertawa kecil yang terdengar seperti seorang wanita sedang menahan tawa di balik kain tipis. Suara itu begitu dekat, seolah-olah berasal dari ranting di atas kepala Risa. Risa, yang awalnya berniat berani, kini terpaku, keringat dingin membanjiri punggungnya. Dia mencoba membangunkan teman-temannya, tetapi lidahnya terasa kaku.
Tawa kecil itu berubah. Perlahan-lahan, frekuensinya naik, menjadi lebih melengking, lebih tajam, berubah menjadi mengilai yang memanjang. Suara itu bukan lagi tawa; itu adalah rintihan kegilaan yang dimampatkan menjadi jeritan frekuensi tinggi. Risa menutup telinganya, tetapi suara itu seolah-olah merambat melalui tulang rahangnya. Ia merasakan tekanan di dadanya seolah-olah ada tangan dingin yang mencekiknya. Ketika mengilai itu mencapai puncaknya, salah satu teman Risa, Bima, tiba-tiba terbangun dengan mata terbelalak, berteriak ngeri, “Dia di sini! Dia di sini!” Bima kemudian pingsan, dan Risa bersumpah melihat bayangan putih melayang cepat melintasi puncak pohon beringin sebelum suara itu menghilang sepenuhnya.
Ketika Bima siuman keesokan paginya, ia menderita demam tinggi dan tidak bisa menjelaskan apa yang ia lihat. Yang ia ingat hanyalah suara mengilai yang baginya terasa seperti jarum yang menusuk otak, dan bisikan di tengah suara itu yang menyebutkan namanya. Cerita ini menjadi pelajaran keras bagi desa tersebut: kekuatan hantu tidak selalu terletak pada penampakan, tetapi pada kemampuan mereka untuk menciptakan resonansi teror melalui manipulasi akustik yang tak tertahankan.
2. Mengurai Jeda: Teknik Manipulasi Suara Mengilai
Dalam banyak kesaksian, yang membuat suara mengilai hantu begitu menakutkan adalah bukan intensitasnya yang konstan, melainkan jeda dan perubahannya. Hantu seringkali bermain-main dengan jarak dan dinamika. Mereka mungkin memulai dengan ratapan jauh yang terdengar seperti angin, membangun rasa aman palsu. Lalu, tiba-tiba, ratapan itu terpotong, digantikan oleh keheningan mutlak yang lebih menakutkan daripada suara apa pun. Keheningan ini berfungsi sebagai ‘panggung’ bagi serangan akustik berikutnya.
Jeda ini menciptakan ketegangan psikologis yang luar biasa. Pendengar tahu bahwa sesuatu telah berhenti, tetapi tidak tahu apakah itu berarti bahaya telah berlalu atau justru semakin dekat. Ketika suara mengilai berikutnya datang, ia menyerang korban yang sudah berada dalam kondisi hiper-waspada, membuat dampak emosionalnya berlipat ganda. Ini menunjukkan kecerdasan supranatural dalam memanfaatkan psikologi pendengaran manusia; hantu tahu bahwa ketidakpastian adalah bahan bakar teror yang paling efektif.
Di wilayah Minangkabau, ada keyakinan bahwa suara mengilai yang terdengar di dekat sungai atau air terjun adalah ulah orang bunian yang sedang berburu atau sedang marah. Bunian, makhluk halus yang tinggal di alam paralel, sering digambarkan memiliki suara yang sangat merdu dan memikat, tetapi ketika marah atau mengganggu manusia, suara mereka bisa berubah menjadi mengilai yang kasar dan tidak harmonis. Suara ini dikatakan dapat menyebabkan pendengarnya kehilangan arah dan tersesat di hutan, sebuah bentuk teror yang mengarah pada konsekuensi fisik: kelaparan dan kelelahan. Jadi, mengilai di sini berfungsi ganda: sebagai sinyal bahaya dan sebagai alat disorientasi.
Faktor lingkungan juga memainkan peran penting. Malam yang gelap gulita, tanpa cahaya buatan, memperkuat semua sensasi pendengaran. Tanpa input visual untuk memvalidasi atau menolak sumber suara, otak harus bergantung sepenuhnya pada telinga. Ketika telinga menangkap suara mengilai yang mustahil, otak mengisi kekosongan visual dengan gambaran terburuk dari mitologi yang pernah didengarnya. Inilah mengapa cerita-cerita ini paling sering terjadi di lokasi terpencil, di mana batas antara realitas dan imajinasi menjadi kabur oleh kegelapan.
V. Refleksi Filosofis: Mengilai Sebagai Ekspresi Penderitaan Abadi
Jika kita melepaskan diri sejenak dari perspektif horor murni dan melihat mengilai dari sudut pandang filosofis, kita dapat melihat bahwa suara ini melambangkan penderitaan yang tak terselesaikan. Hantu yang mengilai adalah jiwa yang terperangkap dalam siklus rasa sakit mereka sendiri. Suara mereka adalah manifesto tragedi, bukan hanya ancaman.
1. Suara Kemarahan yang Tak Terungkap
Banyak mitos hantu wanita didasarkan pada ketidakadilan dan kekerasan. Kuntilanak adalah korban kekejaman, ditinggalkan, atau diperkosa. Mengilai adalah teriakan yang tidak sempat ia lepaskan saat masih hidup. Itu adalah puncak kemarahan yang meluap, sebuah pembalasan sonik terhadap dunia yang mengecewakannya. Dengan demikian, setiap kali kita mendengar mengilai, kita diingatkan bukan hanya pada hantu itu sendiri, tetapi pada akar penderitaan manusia yang menghasilkan legenda tersebut.
Filosofi Jawa sering mengajarkan bahwa setiap suara memiliki roh. Suara mengilai membawa roh dendam dan kesedihan yang sangat padat sehingga dapat dirasakan secara fisik. Ini adalah konsep di mana emosi menjadi entitas yang dapat didengar. Jika suara normal adalah komunikasi, maka mengilai adalah anti-komunikasi; itu adalah pelepasan energi primal yang bertujuan untuk menghancurkan dialog dan menggantikannya dengan kekacauan.
2. Evolusi Ketakutan dan Mengilai Digital
Seiring zaman berubah, kemampuan kita untuk mereproduksi dan memanipulasi suara mengilai juga berkembang. Di era digital, efek suara mengilai dapat direkayasa hingga mencapai tingkat ‘ketidakmanusiawian’ yang sempurna. Produser musik horor dan pembuat film terus berupaya menemukan frekuensi dan modulasi yang paling efisien untuk memicu respons amigdala, mengkomersialkan rasa takut primal kita.
Namun, ironisnya, seberapa pun canggihnya teknologi, ketakutan mendasar kita terhadap suara mengilai tetap berakar pada keheningan. Di kota-kota modern yang dipenuhi polusi suara, kita jarang mengalami keheningan malam yang absolut. Hilangnya keheningan ini mungkin mengurangi insiden penampakan atau pendengaran mengilai, karena hantu (atau persepsi kita tentang mereka) membutuhkan kanvas sunyi untuk menorehkan teror mereka. Mungkin urbanisasi telah melindungi kita, bukan dari hantu, tetapi dari keheningan yang memungkinkan kita mendengar penderitaan mereka.
Suara mengilai adalah pengingat abadi bahwa ada lapisan realitas, baik fisik maupun spiritual, yang melampaui kemampuan kita untuk dikendalikan. Itu adalah suara alam yang menuntut perhatian kita, suara jiwa yang menuntut keadilan, atau suara otak yang diperingatkan akan bahaya fatal. Ia adalah salah satu misteri akustik paling kuat dan bertahan lama yang terus mendefinisikan batas-batas horor dan kejiwaan manusia. Selama masih ada malam yang sunyi dan kisah-kisah lama, selama itu pula kita akan terus merinding mendengar suara melengking yang datang dari kegelapan, suara mengilai yang abadi.
***
Eksplorasi ini membawa kita kembali ke inti pertanyaan: mengapa suara mengilai memiliki otoritas yang begitu besar atas pikiran dan tubuh kita? Jawabannya terletak pada konvergensi sempurna antara biologi dan mitos. Secara biologis, suara itu adalah sinyal bahaya primal yang tidak bisa kita abaikan. Secara mitologis, ia adalah identitas yang dikaitkan dengan kekuatan supranatural yang tak terkalahkan—seperti Kuntilanak yang memanfaatkan setiap nada tinggi untuk menyebarkan teror. Dalam fusi antara insting dan legenda inilah, suara melengking tersebut menemukan kekuatan abadi untuk menghantui dan memengaruhi narasi budaya kita tentang kematian, trauma, dan ketakutan itu sendiri.
Di setiap pelosok Nusantara, legenda terus hidup melalui bisikan dan peringatan. Para tetua masih mengingatkan anak-anak untuk tidak bermain terlalu larut di bawah pohon besar atau di dekat makam tua. Peringatan ini sering kali disertai dengan deskripsi mendetail tentang suara yang harus dihindari: bukan lolongan serigala, bukan tangisan burung hantu, melainkan tawa melengking seorang wanita yang datang dan pergi tanpa jejak fisik. Tawa inilah, suara mengilai yang penuh misteri, yang menjaga batas-batas antara dunia manusia dan dunia lain, memastikan bahwa kengerian tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap spiritual kita.
***
Lebih dalam lagi, mari kita kaji bagaimana mengilai memengaruhi ritual dan praktik spiritual. Di beberapa komunitas tradisional, ketika suara mengilai yang diyakini berasal dari hantu tertentu terdengar, tindakan penolak bala tidak hanya melibatkan doa dan pembacaan ayat suci, tetapi juga penciptaan bunyi tandingan. Mereka mungkin memukul kentungan (semacam alat komunikasi kayu) dengan ritme yang sangat cepat dan keras, atau membunyikan lesung padi. Tujuan akustik dari tindakan ini adalah untuk ‘menenggelamkan’ atau ‘mengganggu’ frekuensi suara supranatural tersebut, secara efektif mematahkan mantra sonik yang dilemparkannya. Ini adalah pengakuan kuno bahwa suara memiliki kekuatan spiritual dan hanya suara lain yang lebih kuat yang dapat menetralisirnya. Ritual ini mencerminkan pemahaman mendalam tentang perang akustik antara dunia manusia dan dunia gaib.
Kita juga harus mempertimbangkan peran angin dan atmosfer dalam memperkuat legenda mengilai. Dalam banyak kasus, suara tersebut terdengar samar, dibawa oleh embusan angin. Kondisi atmosfer seperti inversi suhu di malam hari dapat menyebabkan suara merambat jauh lebih efektif dan aneh. Suara yang berasal dari jarak beberapa kilometer dapat terdengar seolah-olah hanya beberapa meter jauhnya, dan kualitasnya dapat terdistorsi, menghasilkan efek ‘melengking’ atau ‘bergetar’ yang tidak wajar. Bagi masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan modern tentang akustik atmosfer, distorsi ini adalah bukti yang tak terbantahkan dari manipulasi entitas gaib. Mereka menyimpulkan bahwa hanya hantu yang bisa memutarbalikkan suara sedemikian rupa, memperkuat asosiasi antara fenomena fisik yang jarang terjadi dan teror supranatural.
Dalam konteks modern, di mana kebisingan perkotaan menjadi norma, suara mengilai seringkali muncul dalam konteks yang lebih terisolasi—seperti di area konstruksi yang ditinggalkan, kompleks perumahan yang belum selesai, atau di lantai atas gedung-gedung tua yang tidak berpenghuni. Lokasi-lokasi ini, yang secara fisik terputus dari aliran kehidupan sehari-hari, menciptakan kantong-kantong keheningan yang memungkinkan manifestasi akustik ini terjadi. Pengalaman horor kontemporer ini menunjukkan adaptasi mitologi; Kuntilanak dan sosok sejenisnya tidak lagi hanya menghuni hutan karet atau pohon beringin, tetapi juga kekosongan dan keheningan yang diciptakan oleh struktur beton yang gagal di perkotaan.
Perluasan narasi mengilai juga mencakup figur-figur yang kurang populer tetapi sama-sama menakutkan, seperti Hantu Jeruk Purut di Jakarta, yang konon menghantui kuburan. Meskipun penampakannya yang menonjol adalah sosok tanpa kepala, seringkali pengunjung kuburan melaporkan mendengar tangisan wanita yang melengking yang tidak mungkin berasal dari manusia hidup. Tangisan ini, yang berada di ambang batas antara ratapan dan mengilai, menambah lapisan kesedihan dan misteri pada sosok yang sudah tragis tersebut. Suara adalah dimensi yang melengkapi kengerian visual, menciptakan teror multi-sensori yang sulit untuk diabaikan atau dilupakan.
Fenomena mengilai juga bisa dilihat sebagai bentuk komunikasi non-verbal yang sangat intens. Ketika kata-kata gagal untuk mengungkapkan rasa sakit atau amarah, suara primal mengambil alih. Dalam konteks psikiatri dan psikologi klinis, pasien yang menderita trauma masa lalu yang parah, terutama trauma yang tidak dapat mereka proses secara kognitif, sering kali memiliki respons vokal yang ekstrem terhadap pemicu, termasuk teriakan atau mengilai yang tidak terkendali. Suara tersebut adalah pelepasan paksa dari memori yang tertekan. Mitos Kuntilanak dan Banshee dapat dipandang sebagai personifikasi budaya dari pelepasan trauma kolektif yang tak terungkapkan.
Analisis sastra juga menunjukkan bahwa penulis horor menggunakan kata ‘mengilai’ dengan sangat hati-hati. Ini bukan sekadar sinonim dari ‘berteriak’. Kata mengilai membawa konotasi yang lebih gelap, seringkali menyiratkan kegembiraan jahat (tawa mengilai) atau kesedihan yang telah berubah menjadi kegilaan (ratapan mengilai). Pilihan kata ini secara instan menyiapkan pembaca untuk jenis teror yang berbeda—teror yang tidak dapat dilawan dengan kekuatan fisik, tetapi harus dihadapi dengan kekuatan mental. Kualitas linguistik inilah yang memperkuat misteri dan kedalaman narasi horor di Indonesia dan sekitarnya.
Bagi yang mengalami kesaksian mendengar suara mengilai, dampak jangka panjangnya bisa signifikan. Mereka sering melaporkan insomnia, kecemasan, dan peningkatan sensitivitas pendengaran di malam hari. Efek ini, yang dikenal sebagai ‘acoustic trauma’ atau trauma akustik, menunjukkan bahwa bahkan jika suara itu secara fisik tidak melukai telinga, dampaknya pada psikologi bisa sama merusaknya. Mengilai, baik nyata maupun ilusi, meninggalkan jejak yang tidak mudah dihapus, sebuah pengingat bahwa ketakutan terbesar seringkali datang dalam bentuk yang tak terlihat dan tak tersentuh, hanya bisa didengarkan, dan selamanya bersemayam di dalam ingatan.
Secara keseluruhan, perjalanan kita melalui misteri mengilai menegaskan bahwa suara melengking ini adalah jembatan yang kuat—jembatan antara dunia mitos dan ilmu pengetahuan, antara trauma masa lalu dan ketakutan masa kini, dan antara keheningan yang damai dan teror yang tiba-tiba. Kekuatannya yang abadi menjadikannya salah satu elemen horor yang paling efektif dan paling mengakar dalam kesadaran kolektif manusia.
Suara itu, dengan segala resonansi dan frekuensinya, adalah penanda budaya akan bahaya. Ia menuntut kita untuk mendengarkan lebih dari sekadar kata-kata. Ia menuntut kita untuk mendengarkan jiwa-jiwa yang terperangkap, penderitaan yang tak berkesudahan, dan batas-batas tipis yang memisahkan kita dari kekacauan. Mengilai adalah lagu sedih sekaligus tawa mengejek dari dunia lain, sebuah melodi yang, bagi mereka yang pernah mendengarnya, tidak akan pernah terlupakan.
***
Dalam konteks yang lebih luas, mari kita eksplorasi varian regional dari suara mengilai. Di Bali, misalnya, ada kisah tentang Leak. Leak sering dikaitkan dengan sihir dan transformasinya yang mengerikan. Meskipun penampakan Leak yang terbang dengan organ dalam yang terurai sudah cukup menakutkan, yang seringkali menjadi penanda kedatangannya adalah suara melengking yang dihasilkan saat ia berpindah tempat—gabungan antara suara tertawa yang tercekik dan deru angin yang cepat. Ini adalah mengilai yang berbeda, lebih mekanis dan lebih jahat, mengindikasikan penggunaan ilmu hitam yang kuat. Suara ini mengancam secara langsung karena ia bukan lagi ratapan korban, melainkan arogansi dan kekuasaan seorang penyihir. Mendengar Leak mengilai adalah peringatan untuk segera berlindung, karena kontak fisik seringkali berarti nasib yang jauh lebih buruk daripada sekadar ketakutan.
Perbedaan regional ini menggarisbawahi fleksibilitas arketipe suara melengking dalam folklor. Dari Kuntilanak yang mewakili penderitaan feminin yang teraniaya, hingga Leak yang mewakili kekuatan kegelapan yang disengaja, mengilai selalu menjadi medium transmisi teror yang efisien. Di satu tempat, ia adalah duka; di tempat lain, ia adalah tantangan. Namun, secara universal, ia adalah suara yang frekuensinya melampaui kenyamanan. Jika kita perhatikan narasi-narasi yang dikumpulkan, kita melihat pola: hantu yang memiliki suara mengilai jarang sekali adalah hantu yang "diam". Mereka aktif, agresif, dan selalu mencari kontak dengan manusia, meskipun hanya melalui resonansi akustik.
Mari kita kembali sejenak pada dimensi ilmiah tentang ‘kekasaran’ suara yang memicu amigdala. Ini bukan hanya berlaku untuk suara melengking yang tiba-tiba. Suara yang dihasilkan oleh alat musik yang dimainkan secara disonan, atau bahkan musik metal tertentu yang menggunakan vokal ‘shriek’ yang disengaja, juga dapat memicu respons kecemasan. Dalam kasus hantu mengilai, suara ini adalah disonansi murni yang dilepaskan ke lingkungan yang harmonis. Ia melanggar semua aturan fisika dan psikologi suara yang kita harapkan. Kualitas mengilai inilah—yang tidak teratur, tidak disengaja oleh pita suara normal, dan tajam tak tertahankan—yang menggerakkan narasi horor dari generasi ke generasi, menjadikannya warisan ketakutan yang sesungguhnya.
Pengaruh mengilai bahkan merambah ke subkultur dan urban legend yang lebih baru. Dalam kisah-kisah yang beredar di kalangan pengguna internet, terdapat cerita tentang rekaman suara misterius yang jika diputar, akan mengeluarkan mengilai digital yang merusak speaker dan menyebabkan pendengar mengalami pusing dan mual. Meskipun ini adalah bentuk modernisasi mitos, esensinya tetap sama: suara frekuensi tinggi yang berasal dari sumber tak dikenal, yang secara fisik dan psikologis merusak, adalah manifestasi teror yang paling murni. Mitos ini berfungsi sebagai peringatan modern terhadap bahaya yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga digital dan akustik.
Akhirnya, pertanyaan yang tersisa adalah bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan ketakutan kolektif ini. Jawabannya mungkin terletak pada pengakuan terhadap suara tersebut. Daripada berusaha menyangkal keberadaan Kuntilanak atau Banshee, kita perlu memahami bahwa suara mengilai adalah bagian dari lanskap emosional manusia—sebuah pengingat akan batas-batas penderitaan, kematian, dan misteri yang tidak akan pernah bisa sepenuhnya dipecahkan oleh ilmu pengetahuan. Mengilai adalah desahan panjang dari sejarah yang penuh duka, terbungkus dalam resonansi frekuensi tinggi, menunggu di sudut keheningan berikutnya untuk dihidupkan kembali.
Dalam tidur kita, dalam keheningan yang paling dalam, atau saat kita sendirian di tepi hutan yang gelap, telinga kita tetap waspada. Dan jika suatu saat, melodi yang menusuk dan tak menyenangkan itu terdengar, kita tahu—kita telah memasuki narasi horor tertua di dunia, yang disampaikan hanya melalui kekuatan sebuah suara yang mengilai.
***
Tidak ada pembahasan lengkap tentang fenomena mengilai tanpa merujuk pada pengaruh lingkungan alam. Di hutan-hutan tropis yang padat, kelembaban tinggi dan pepohonan rimbun seringkali meredam suara, menciptakan suasana senyap yang menekan. Ketika suara mengilai muncul dalam lingkungan yang teredam ini, kontrasnya menjadi sangat ekstrem. Para saksi mata sering menggambarkan bagaimana suara itu seolah-olah ‘memotong’ kelembaban dan kegelapan, menciptakan kekosongan sonik di sekelilingnya. Efek akustik ini tidak dapat direplikasi dalam lingkungan perkotaan yang bising, yang menjelaskan mengapa legenda hantu yang bersuara melengking selalu terkait erat dengan keaslian alam liar yang gelap dan tak terjamah.
Kita menutup eksplorasi ini dengan refleksi bahwa meskipun zaman telah berganti dan pemahaman kita tentang dunia telah berkembang pesat, suara mengilai tetap menjadi salah satu alat naratif paling ampuh yang dimiliki manusia untuk memahami dan memproses ketidakpastian. Ia adalah bukti bahwa rasa takut adalah bahasa yang universal, dan terkadang, kata-kata terbaik untuk mendeskripsikan teror hanyalah frekuensi yang terlalu tinggi untuk diucapkan oleh lidah manusia biasa.