Ilustrasi visual: Simbolisasi pemindahan paksa (penggusuran) dari lokasi awal.
Konflik pertanahan dan praktik menggusur permukiman menjadi salah satu isu pembangunan yang paling sensitif dan kompleks di Indonesia. Di balik narasi modernisasi, penataan kota, dan kepentingan umum, tersimpan kisah-kisah tragis tentang hilangnya hak milik, disintegrasi komunitas, dan krisis identitas. Tindakan penggusuran, yang seringkali dilakukan demi proyek infrastruktur skala besar, ekspansi korporasi, atau penertiban tata ruang, selalu meninggalkan luka mendalam yang dampaknya jauh melampaui kerugian material semata.
Untuk memahami sepenuhnya dimensi krisis ini, kita harus bergerak melampaui permukaan hukum dan melihat ke jantung persoalan kemanusiaan. Penggusuran bukan sekadar pemindahan fisik; ini adalah penghancuran ekosistem sosial-ekonomi yang telah dibangun oleh individu dan keluarga selama beberapa generasi. Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai aspek yang melingkupi praktik penggusuran, mulai dari fondasi hukum yang rapuh, dampak sosial dan psikologis yang menghancurkan, hingga peran aktor-aktor kunci dalam siklus konflik agraria yang tak berujung, serta upaya-upaya konstruktif untuk mewujudkan keadilan agraria yang hakiki.
1. Fondasi Hukum dan Interpretasi "Kepentingan Umum"
Di Indonesia, kerangka hukum yang mengatur perampasan tanah, atau dalam bahasa yang lebih halus disebut pengadaan tanah, berakar pada Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin hak milik. Namun, pelaksanaan di lapangan sering kali bertabrakan dengan prinsip-prinsip tersebut. Konflik utama muncul dari interpretasi elastis terhadap frasa "untuk kepentingan umum," yang secara inheren membuka celah untuk penyalahgunaan kekuasaan atau pembenaran atas pemindahan paksa.
1.1. Dilema Kepentingan Umum vs. Hak Individual
Konsep kepentingan umum (KU) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum seringkali diposisikan sebagai supremasi kolektif yang harus mengalahkan hak individual, khususnya hak atas tempat tinggal. Padahal, pembangunan yang berkelanjutan seharusnya bersifat inklusif dan tidak boleh menciptakan korban baru. Ketika kepentingan umum diterjemahkan secara sempit hanya sebagai proyek fisik (jalan tol, bandara, pelabuhan), maka dimensi sosial, budaya, dan kemanusiaan dari permukiman warga terabaikan sepenuhnya. Interpretasi yang benar seharusnya menuntut bahwa KU juga mencakup peningkatan kesejahteraan sosial dan perlindungan hak asasi manusia bagi semua warga negara, termasuk mereka yang terancam digusur.
Dalam banyak kasus, kepentingan umum yang didengungkan ternyata lebih condong kepada kepentingan ekonomi segelintir korporasi atau elite politik. Proses penentuan lokasi dan valuasi ganti rugi seringkali minim partisipasi warga yang terdampak. Ketika warga mencoba melawan atau bernegosiasi, mereka dengan mudah distigmatisasi sebagai penghalang pembangunan, kriminal, atau penyerobot tanah negara. Stigmatisasi ini berfungsi sebagai alat delegitimasi yang membenarkan penggunaan kekuatan represif untuk menggusur, menghancurkan fondasi psikologis perlawanan warga.
1.2. Kelemahan dalam Ganti Kerugian yang Layak
Hukum mewajibkan pemberian ganti rugi yang "layak dan adil". Namun, definisi "layak dan adil" ini menjadi medan pertempuran utama. Penilaian aset (appraisal) seringkali hanya berfokus pada nilai fisik bangunan dan tanah, gagal memperhitungkan nilai non-material seperti lokasi strategis untuk mencari nafkah, akses ke sekolah, kedekatan dengan fasilitas kesehatan, dan yang paling krusial, nilai sosial dari jaringan komunitas (social capital).
Relokasi ke tempat baru, meskipun secara fisik mungkin menyediakan bangunan yang layak, seringkali memutus mata rantai ekonomi informal yang menjadi tumpuan hidup warga, terutama di kawasan perkotaan padat. Sebuah warung kecil, misalnya, kehilangan seluruh pelanggannya di lokasi baru yang sepi. Seorang buruh harian kehilangan akses mudah ke terminal bus atau pabrik tempatnya bekerja. Ini berarti, ganti rugi yang hanya berfokus pada nilai properti secara de facto adalah ganti rugi yang tidak adil, karena gagal mengganti kerugian atas hilangnya mata pencaharian dan masa depan ekonomi.
Selain itu, proses hukum yang panjang dan mahal membuat warga miskin enggan, atau tidak mampu, menempuh jalur litigasi untuk mendapatkan keadilan. Ancaman penggusuran yang masif dan mendadak sering memaksa warga menerima tawaran ganti rugi yang sangat rendah demi menghindari konfrontasi fisik, menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang luar biasa dalam proses negosiasi. Pemerintah atau korporasi memanfaatkan kelemahan struktural ini, mengubah proses pengadaan tanah dari negosiasi setara menjadi ultimatum yang memaksa.
Keadilan dalam konteks penggusuran harus mencakup tiga pilar: ganti rugi finansial yang memadai, penyediaan permukiman pengganti yang berkelanjutan secara ekonomi dan sosial, serta kompensasi atas trauma dan hilangnya kohesi sosial. Tanpa ketiga pilar ini, tindakan menggusur hanyalah pemindahan kemiskinan dari satu tempat ke tempat lain, bahkan memperburuknya.
2. Dampak Sosial dan Krisis Kemanusiaan Akibat Penggusuran
Konsekuensi dari penggusuran meluas jauh dari batas-batas properti yang dihancurkan. Dampak sosial dan psikologis menciptakan krisis kemanusiaan yang sulit dipulihkan, mengubah struktur masyarakat dan memperparah ketimpangan yang sudah ada.
2.1. Disintegrasi Jaringan Sosial (Social Capital)
Permukiman padat, khususnya di kawasan informal, seringkali memiliki tingkat modal sosial (social capital) yang sangat tinggi. Jaringan ini meliputi mekanisme saling bantu, pinjaman antar tetangga tanpa bunga, penitipan anak, hingga sistem keamanan lingkungan berbasis swadaya. Ketika proses menggusur terjadi, jaringan ini hancur total. Warga yang direlokasi ke tempat terpisah atau ke unit rumah susun yang asing kehilangan mekanisme dukungan ini. Isolasi sosial yang timbul akibat relokasi ini seringkali menjadi beban yang jauh lebih berat daripada beban finansial.
Modal sosial yang hancur juga berdampak pada kesehatan mental dan fisik. Kehilangan tetangga yang dipercayai sama dengan kehilangan jaring pengaman utama saat terjadi krisis (sakit, kehilangan pekerjaan, atau bencana). Hal ini meningkatkan kerentanan individu terhadap tekanan hidup dan memperburuk kondisi psikologis pasca-trauma akibat penggusuran itu sendiri. Analisis mendalam menunjukkan bahwa pemulihan modal sosial membutuhkan waktu puluhan tahun, jauh melampaui waktu yang dibutuhkan untuk membangun kembali rumah secara fisik.
2.2. Dampak Terhadap Pendidikan dan Kesehatan
Anak-anak adalah korban yang paling rentan dalam proses penggusuran. Pemindahan tiba-tiba seringkali memaksa mereka pindah sekolah di tengah semester, mengganggu kesinambungan pendidikan dan menurunkan prestasi akademik. Di lokasi relokasi, akses ke sekolah yang berkualitas mungkin berkurang, atau biaya transportasi untuk mencapai sekolah lama menjadi terlalu mahal. Anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah atau mengalami penurunan kinerja akademik menghadapi masa depan yang suram, mengabadikan siklus kemiskinan yang ingin dihindari oleh pembangunan.
Selain pendidikan, kesehatan masyarakat juga menurun drastis. Stres akut yang dialami selama proses penggusuran—mulai dari ancaman, ketidakpastian, hingga konfrontasi fisik—meningkatkan risiko penyakit mental seperti depresi dan kecemasan. Di lokasi relokasi, jika infrastruktur sanitasi buruk atau jarak ke pusat kesehatan jauh, angka penyakit menular dan malnutrisi dapat meningkat. Tekanan ekonomi pasca-penggusuran juga sering membuat keluarga mengurangi pengeluaran untuk nutrisi dan perawatan kesehatan dasar, menciptakan krisis ganda: trauma psikologis dan kerentanan fisik.
Penting untuk dipahami bahwa trauma penggusuran adalah trauma kolektif. Seluruh komunitas merasakan hilangnya keamanan, rasa memiliki, dan harga diri. Proses pemulihan harus melibatkan intervensi psikososial yang terstruktur, bukan sekadar pemberian bantuan sembako. Negara dan lembaga terkait seringkali abai terhadap dimensi ini, fokus hanya pada pembersihan lahan dan pembangunan infrastruktur, meninggalkan puing-puing emosional di belakang mereka.
2.3. Penggusuran dan Peningkatan Ketidaksetaraan Kota
Praktik menggusur, terutama di pusat kota, secara efektif berfungsi sebagai mekanisme pembersihan sosial (social cleansing). Tujuannya adalah memindahkan penduduk berpenghasilan rendah ke pinggiran kota untuk membebaskan lahan strategis bagi kepentingan properti dan bisnis bernilai tinggi. Hal ini secara fundamental mengubah karakter kota menjadi eksklusif, di mana hanya kelompok kaya yang memiliki hak penuh atas ruang kota.
Pemindahan ke pinggiran kota (urban periphery) seringkali disertai dengan peningkatan biaya hidup dan biaya transportasi yang signifikan, meskipun harga sewa atau cicilan di lokasi baru mungkin lebih rendah. Warga yang dipaksa pindah harus mengeluarkan lebih banyak uang dan waktu hanya untuk mencapai tempat kerja mereka di pusat kota, mengurangi waktu istirahat, interaksi keluarga, dan peluang ekonomi. Ini bukan sekadar masalah tempat tinggal; ini adalah masalah akses terhadap peluang ekonomi dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan kota.
Pemerintah gagal melihat bahwa permukiman informal yang digusur sebenarnya memainkan peran penting dalam ekosistem ekonomi kota, menyediakan tenaga kerja murah dan jasa-jasa informal yang esensial. Dengan menghilangkan permukiman ini, kota tidak menjadi lebih baik, melainkan kehilangan fondasi tenaga kerjanya, meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan, dan memperparah segregasi spasial antara si kaya dan si miskin.
Penggusuran menjadi manifestasi nyata dari kegagalan tata ruang yang inklusif. Tata ruang seharusnya merencanakan tempat bagi semua kelas sosial, memastikan bahwa hak atas kota (Right to the City) benar-benar dapat dinikmati oleh semua penduduk, tanpa terkecuali mereka yang berada di lapisan paling bawah piramida ekonomi. Menggusur hanya mempercepat polarisasi sosial dan menciptakan kota yang secara fundamental tidak adil.
3. Aktor-Aktor Konflik dan Siklus Kekerasan Struktural
Konflik penggusuran melibatkan berbagai aktor yang memiliki kepentingan, kekuatan, dan sumber daya yang berbeda. Memahami dinamika kekuasaan antar aktor ini sangat penting untuk membongkar mengapa praktik pemindahan paksa ini terus berlanjut dan sulit dihentikan.
3.1. Peran Negara dan Otoritas Lokal
Negara, melalui pemerintah pusat dan otoritas daerah, memegang peran ganda: sebagai pelindung hak warga negara sekaligus sebagai inisiator proyek pembangunan yang membutuhkan penggusuran. Ketika dua peran ini bertentangan, negara seringkali memilih peran sebagai fasilitator pembangunan, mengesampingkan fungsi pelindung hak asasi.
Otoritas lokal sering menggunakan peraturan daerah (Perda) atau klaim atas tanah milik negara (Tanah BMN/BMD) sebagai dasar hukum untuk menggusur. Argumen utama yang digunakan adalah penertiban aset dan penataan kawasan. Namun, penertiban ini seringkali dilakukan tanpa mekanisme pemulihan yang memadai bagi warga. Biaya politik dan sosial dari penggusuran selalu ditanggung oleh warga, sementara manfaat ekonominya dinikmati oleh segelintir investor.
Selain itu, penggunaan aparat keamanan (Polisi dan TNI) dalam proses eksekusi menunjukkan adanya kekerasan struktural yang dilegalkan. Kehadiran aparat bersenjata berfungsi untuk mengintimidasi, meredam perlawanan, dan memastikan bahwa proses pemindahan berjalan cepat tanpa memedulikan negosiasi akhir. Negara, yang seharusnya menjadi mediator keadilan, justru menjadi pihak yang memfasilitasi kekerasan terhadap warganya sendiri.
3.2. Korporasi dan Kepentingan Modal
Sektor swasta, khususnya pengembang properti, industri perkebunan, dan pertambangan, adalah motor utama di balik permintaan lahan besar-besaran yang memicu penggusuran. Korporasi seringkali memanfaatkan ketidakpastian hukum, kelemahan regulasi tata ruang, dan koneksi politik untuk memperoleh hak atas tanah.
Dalam banyak kasus, korporasi melakukan 'land banking' (penyimpanan tanah) dengan mengakuisisi lahan yang telah diklaim warga selama bertahun-tahun, menggunakan kekuatan finansial untuk menekan harga ganti rugi. Mereka juga sering menggunakan jasa preman atau oknum tertentu untuk memprovokasi konflik dan menciptakan iklim ketakutan di komunitas yang menolak untuk digusur. Ketika terjadi konflik fisik, narasi yang dibangun selalu menyudutkan warga sebagai pihak yang melanggar hukum, sementara korporasi menampilkan diri sebagai entitas legal yang hanya menjalankan haknya.
Keterlibatan korporasi menciptakan siklus kekerasan ekonomi: warga miskin dipaksa menjual hak mereka dengan harga murah, pindah ke lokasi yang semakin jauh dari pusat ekonomi, dan aset yang mereka tinggalkan diolah menjadi properti mewah yang tidak terjangkau bagi mayoritas penduduk. Ini adalah penggusuran yang didorong oleh keuntungan, di mana nilai kemanusiaan dikorbankan demi maksimalisasi profit.
3.3. Peran Masyarakat Sipil dan Advokasi
Di tengah tekanan negara dan modal, masyarakat sipil, organisasi non-pemerintah (LSM), dan akademisi memainkan peran krusial sebagai penjaga keadilan. Mereka mendampingi warga dalam proses hukum, mengadvokasi hak-hak korban, dan mendokumentasikan pelanggaran yang terjadi. Tanpa peran aktif masyarakat sipil, banyak kasus penggusuran akan lenyap tanpa jejak dan tanpa pertanggungjawaban.
Namun, advokasi ini juga menghadapi tantangan besar, termasuk keterbatasan sumber daya, ancaman kriminalisasi terhadap aktivis, dan kekuatan media massa yang seringkali dikendalikan oleh narasi pembangunan versi pemerintah atau korporasi. Keberhasilan advokasi seringkali hanya terbatas pada kasus-kasus tertentu yang berhasil menarik perhatian publik dan media nasional. Dalam skala yang lebih luas, perjuangan untuk menghentikan praktik menggusur masih sangat panjang dan membutuhkan reformasi struktural yang fundamental.
Siklus kekerasan struktural ini berputar karena adanya impunitas. Para pembuat keputusan, baik di pemerintahan maupun di korporasi, jarang sekali dimintai pertanggungjawaban atas kerugian sosial dan ekonomi yang mereka timbulkan. Selama impunitas ini berlanjut, praktik penggusuran akan terus menjadi alat utama dalam menata ulang ruang kota dan agraria sesuai kepentingan elite.
4. Tipologi Penggusuran di Indonesia: Dari Kota ke Pedalaman
Penggusuran tidak memiliki format tunggal. Ia hadir dalam berbagai bentuk dan motif di berbagai wilayah, masing-masing membawa tantangan dan dampak spesifik.
4.1. Penggusuran untuk Proyek Infrastruktur Kota
Ini adalah jenis penggusuran yang paling sering disorot media, terjadi di kawasan perkotaan padat. Motifnya jelas: pembangunan jalan tol, jalur kereta cepat, stasiun, atau normalisasi sungai (proyek pencegahan banjir). Meskipun proyek-proyek ini seringkali diklaim demi kepentingan publik yang lebih luas, eksekusinya hampir selalu bermasalah.
Karakteristiknya adalah kecepatan dan sifatnya yang mendadak. Karena tanah yang dibutuhkan berada di lokasi premium, negosiasi berjalan sangat alot. Warga yang menolak sering kali dituduh menghambat proyek strategis nasional. Dalam kasus normalisasi sungai, penggusuran seringkali memicu perdebatan mengenai status hukum tanah bantaran sungai, di mana warga telah menghuni selama puluhan tahun, bahkan sebelum peraturan tata ruang modern ditetapkan. Pemerintah sering menggunakan dalih 'mengembalikan fungsi alam' untuk menggusur, padahal solusi teknis dan partisipatif (misalnya pembangunan vertikal di lokasi yang sama) seringkali diabaikan demi solusi pemindahan paksa yang lebih cepat.
4.2. Penggusuran di Wilayah Pesisir dan Konservasi
Penggusuran di wilayah pesisir didorong oleh dua faktor utama: proyek reklamasi untuk properti mewah atau proyek konservasi/pariwisata. Nelayan dan masyarakat pesisir adalah korban utama. Ketika area pesisir diklaim untuk resort, bandara baru, atau properti, masyarakat nelayan kehilangan akses ke sumber daya maritim mereka—pelabuhan kecil, area tangkapan ikan tradisional, dan tempat pelelangan ikan. Relokasi mereka ke daratan jauh dari pantai menghancurkan mata pencaharian mereka sepenuhnya, karena profesi nelayan sangat tergantung pada kedekatan fisik dengan laut.
Di sisi lain, penggusuran atas nama konservasi juga problematis. Masyarakat adat atau masyarakat lokal yang telah menjaga hutan dan sumber daya alam selama bergenerasi tiba-tiba dianggap sebagai perusak lingkungan dan harus digusur demi menetapkan kawasan taman nasional atau cagar alam. Klaim ini mengabaikan pengetahuan lokal dan sejarah panjang interaksi harmonis antara masyarakat dengan alam. Konservasi yang mengusir penduduk lokal adalah kegagalan ganda: kegagalan sosial dan kegagalan ekologis jangka panjang.
4.3. Konflik Agraria di Pedesaan: Perkebunan dan Pertambangan
Di luar kota, praktik menggusur berhubungan erat dengan konflik agraria. Jutaan hektar lahan telah dialokasikan kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit, HTI, dan tambang, seringkali tumpang tindih dengan tanah adat atau tanah garapan rakyat. Penggusuran di sini bersifat sistemik dan jangka panjang.
Prosesnya dimulai dari penguasaan lahan secara bertahap, kadang menggunakan intimidasi atau pemalsuan dokumen. Ketika warga menolak, perusahaan sering menggunakan dukungan militer atau polisi untuk membersihkan lahan. Kerugian yang dialami warga pedesaan sangat fatal: mereka kehilangan bukan hanya rumah, tetapi juga sumber pangan (kebun, sawah), identitas kultural yang melekat pada tanah, dan masa depan anak cucu mereka.
Kasus-kasus ini menyoroti perlunya pengakuan yang tegas terhadap hak-hak masyarakat adat dan reformasi agraria yang sejati, di mana negara mengambil peran aktif untuk mendistribusikan kembali tanah yang dikuasai secara berlebihan oleh korporasi, bukan sebaliknya, justru memfasilitasi penggusuran.
5. Dimensi Psikologis dan Trauma Eksistensial
Dampak penggusuran tidak terbatas pada kerugian fisik atau ekonomi; inti dari krisis ini terletak pada dimensi psikologis dan hilangnya rasa aman eksistensial. Proses menggusur adalah trauma yang menghancurkan fondasi psikologis individu dan komunitas.
5.1. Kehilangan Identitas dan Rasa Memiliki
Bagi banyak warga, rumah dan lingkungan bukan sekadar tempat berlindung, melainkan perpanjangan dari diri mereka, tempat memori dan sejarah keluarga terukir. Penggusuran adalah penghapusan paksa dari sejarah tersebut. Hilangnya lingkungan yang familiar, yang mengandung jejak langkah dan interaksi sosial harian, menimbulkan perasaan hampa dan disorientasi yang mendalam. Para korban sering mengalami krisis identitas, merasa seperti 'orang asing di negeri sendiri' meskipun mereka hanya pindah beberapa kilometer.
Trauma ini diperparah ketika penggusuran dilakukan dengan kekerasan dan intimidasi. Citra rumah yang diratakan oleh buldoser di depan mata menjadi simbol kekalahan dan ketidakberdayaan yang menghantui. Perasaan ketidakadilan yang akut memicu kemarahan, frustrasi, dan, dalam jangka panjang, apatisme terhadap proses politik, karena mereka merasa bahwa sistem tidak melindungi mereka sama sekali.
5.2. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) Komunitas
Dampak psikologis dari penggusuran seringkali memenuhi kriteria Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), namun dalam skala komunitas. Gejala meliputi peningkatan kewaspadaan (hypervigilance) terhadap ancaman penggusuran di masa depan, mimpi buruk, dan penghindaran (avoidance) terhadap diskusi atau tempat yang mengingatkan mereka pada peristiwa traumatis.
Bagi lansia, dampak ini bisa sangat melumpuhkan. Mereka kehilangan rutinitas harian, aksesibilitas fisik, dan jaringan teman sebaya yang merupakan sumber dukungan vital. Tingkat mortalitas dan morbiditas (kesakitan) sering kali meningkat drastis setelah penggusuran, menunjukkan korelasi langsung antara stres psikologis yang ekstrem dan penurunan kesehatan fisik. Anak-anak yang menyaksikan orang tua mereka diperlakukan secara tidak manusiawi juga membawa beban psikologis ini ke masa dewasa.
Pemulihan dari trauma ini membutuhkan pengakuan publik atas ketidakadilan yang mereka alami, permintaan maaf dari otoritas, dan kepastian bahwa insiden serupa tidak akan terulang. Tanpa pengakuan ini, proses penyembuhan akan terhambat oleh perasaan bahwa penderitaan mereka dianggap remeh atau bahkan pantas mereka terima.
5.3. Dampak Ekonomi Jangka Panjang dan Ketidakpastian
Ketidakpastian ekonomi pasca-penggusuran adalah sumber stres psikologis yang terus-menerus. Uang ganti rugi, jika ada, seringkali habis digunakan untuk menutupi hutang, biaya pindah, atau biaya hidup yang meningkat di tempat baru, dan jarang sekali cukup untuk membeli properti sebanding. Korban penggusuran seringkali terperangkap dalam lingkaran kemiskinan sekunder, di mana mereka terpaksa mengambil pekerjaan dengan upah lebih rendah atau menjadi penyewa permanen, menghilangkan harapan untuk memiliki tempat tinggal permanen lagi.
Stres finansial ini merusak hubungan keluarga. Konflik internal meningkat, angka perceraian bisa melonjak, dan kekerasan dalam rumah tangga mungkin terjadi sebagai hasil dari tekanan ekonomi yang ekstrem. Ini menunjukkan bahwa dampak penggusuran adalah multi-generasi, mempengaruhi stabilitas unit keluarga dan kohesi sosial dalam jangka waktu yang sangat panjang, melampaui batas-batas fisik permukiman yang dihancurkan.
6. Jalan Menuju Keadilan: Solusi dan Rekomendasi Preventif
Menghentikan siklus penggusuran yang merusak membutuhkan perubahan paradigma, dari pendekatan pembangunan yang bersifat top-down dan represif menjadi pendekatan yang inklusif, partisipatif, dan berbasis hak asasi manusia.
6.1. Reformasi Hukum dan Pengetatan Definisi "Layak dan Adil"
Langkah pertama adalah mereformasi kerangka hukum pengadaan tanah. Definisi ganti rugi yang "layak dan adil" harus diperluas secara eksplisit untuk mencakup kerugian non-material:
- Kompensasi Sosial: Penghitungan kerugian atas hilangnya akses pekerjaan, hilangnya modal sosial (jaringan), dan biaya transportasi yang meningkat di lokasi baru.
- Kompensasi Psikologis: Pengakuan dan kompensasi atas trauma yang dialami, serta penyediaan layanan konseling profesional pasca-penggusuran.
- Hak atas Permukiman yang Berkelanjutan: Relokasi tidak boleh hanya menyediakan bangunan fisik, tetapi harus menjamin keberlanjutan ekonomi, yaitu akses ke pekerjaan, pasar, dan fasilitas publik yang setara atau lebih baik dari lokasi asal.
Selain itu, mekanisme sengketa harus dibuat lebih mudah diakses oleh warga miskin, termasuk penyediaan bantuan hukum gratis yang berkualitas dari negara sejak tahap negosiasi awal. Pengadilan harus lebih proaktif dalam melindungi hak warga, bukan hanya memverifikasi legalitas proses administrasi penggusuran.
6.2. Pendekatan Alternatif Pembangunan Kota
Konsep pembangunan yang mengedepankan hak atas tempat tinggal menuntut alternatif selain penggusuran. Dua pendekatan utama yang harus didorong adalah:
In-Situ Upgrading (Penataan di Tempat): Ini adalah solusi paling humanis, di mana permukiman informal ditata ulang dan ditingkatkan kualitasnya tanpa memindahkan penduduk aslinya. Contohnya termasuk perbaikan sanitasi, pelebaran gang, dan legalisasi status kepemilikan. Pendekatan ini mempertahankan modal sosial dan ekonomi komunitas secara utuh, membuktikan bahwa pembangunan dan penertiban dapat dilakukan tanpa menggusur.
Land Banking Sosial (Bank Tanah): Pemerintah harus menciptakan cadangan lahan (land banking) khusus untuk permukiman kembali warga miskin. Lahan ini harus berada di lokasi strategis yang masih memiliki akses ke pusat ekonomi kota. Bank tanah ini mencegah spekulasi harga tanah dan memastikan bahwa lokasi relokasi tidak menjadi 'tempat pembuangan' kemiskinan di pinggiran kota yang tidak memiliki fasilitas dasar.
Pembangunan infrastruktur juga harus mengadopsi prinsip 'penggusuran sebagai pilihan terakhir' (eviction as a last resort). Jika penggusuran tidak terhindarkan, maka harus melalui proses yang transparan, partisipatif, dan dilakukan jauh-jauh hari, memberikan waktu yang cukup bagi warga untuk mempersiapkan diri secara finansial dan mental.
6.3. Peran Partisipasi dan Pengakuan Hak Adat
Partisipasi warga bukan sekadar formalitas, tetapi prasyarat mutlak dalam setiap proyek pembangunan. Warga yang terancam digusur harus dilibatkan dalam perencanaan sejak tahap paling awal, termasuk penentuan apakah proyek tersebut benar-benar mencerminkan "kepentingan umum" mereka.
Dalam konteks konflik agraria, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat harus menjadi prioritas nasional. Proses registrasi dan pemetaan wilayah adat harus dipercepat, dan klaim korporasi yang tumpang tindih dengan wilayah adat harus ditinjau ulang secara ketat. Menggusur masyarakat adat adalah menghilangkan warisan budaya dan pengetahuan lokal yang tak ternilai harganya.
Pemerintah harus bersikap tegas terhadap korporasi yang terbukti menggunakan cara-cara ilegal atau kekerasan untuk mendapatkan lahan. Pencabutan izin usaha (HGU atau IUP) bagi perusahaan yang melanggar hak asasi manusia harus menjadi sanksi yang ditegakkan, bukan sekadar ancaman kosong. Reformasi kelembagaan ini membutuhkan komitmen politik tingkat tinggi yang berkelanjutan.
7. Merangkai Ulang Harapan dan Keadilan
Isu penggusuran adalah barometer sejati dari komitmen sebuah negara terhadap prinsip-prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia. Ketika sebuah negara memilih untuk menggusur warganya sendiri demi keuntungan ekonomi atau proyek prestise, negara tersebut mengkhianati janji konstitusionalnya untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Praktik menggusur adalah tindakan yang mendehumanisasi, merampas bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga martabat, masa depan, dan memori kolektif.
Selama proses penggusuran masih diwarnai oleh intimidasi, ganti rugi yang tidak adil, dan ketiadaan partisipasi, maka pembangunan yang dicanangkan hanyalah fasad yang menutupi ketidakadilan struktural. Keadilan agraria sejati menuntut pengakuan bahwa hak atas tempat tinggal adalah hak dasar yang tidak dapat dinegosiasikan. Hal ini menuntut adanya mekanisme pemulihan yang komprehensif, bukan sekadar 'uang tutup mulut', melainkan program yang dirancang untuk memulihkan modal sosial, ekonomi, dan psikologis komunitas yang hancur.
Harapan untuk masa depan terletak pada kemampuan kita untuk mengubah narasi. Penggusuran tidak boleh lagi dipandang sebagai "resiko yang harus ditanggung demi kemajuan", melainkan sebagai kegagalan moral dan politik yang harus dihindari dengan segala cara. Diperlukan sinergi antara gerakan masyarakat sipil, akademisi, dan reformis di dalam pemerintahan untuk memastikan bahwa setiap kebijakan tata ruang dan pembangunan mengedepankan kesejahteraan rakyat, bukan hanya keuntungan segelintir elite. Hanya dengan meletakkan kemanusiaan di pusat pembangunan, kita dapat menghentikan tindakan menggusur yang terus-menerus melukai bangsa ini.
Refleksi mendalam tentang tragedi penggusuran harus mendorong kita untuk berinvestasi dalam solusi yang mengakar pada keadilan. Solusi seperti *in-situ upgrading*, perumahan sosial terjangkau di lokasi strategis, dan penguatan hak-hak agraria masyarakat adat adalah jalan ke depan. Pembangunan harus menjadi alat untuk mengurangi ketimpangan, bukan sebaliknya, menjadi penyebab utama dari lahirnya kemiskinan baru dan trauma sosial yang berkepanjangan. Menggusur, pada akhirnya, adalah isu tentang pilihan etika: apakah kita membangun bangsa yang adil bagi semua, atau hanya bagi mereka yang memiliki modal dan kekuasaan.
Kompleksitas masalah ini membutuhkan peninjauan ulang terhadap seluruh Undang-Undang Pengadaan Tanah, yang harus disesuaikan dengan standar hak asasi manusia internasional. Konsep ganti rugi harus diubah dari sekadar pembayaran tunai menjadi pembangunan kembali kehidupan (livelihood restoration). Ini berarti, jika mata pencaharian seseorang bergantung pada lokasi atau komunitasnya, negara berkewajiban untuk memastikan bahwa mata pencaharian tersebut dapat direplikasi di lokasi yang baru, bahkan jika itu berarti menyediakan pelatihan kerja atau modal usaha tambahan. Kegagalan melakukan hal ini adalah kegagalan sistemik yang mengabadikan penderitaan.
Setiap kisah penggusuran adalah bukti bahwa kita belum mencapai kemerdekaan yang sejati dari penindasan struktural. Perjuangan melawan praktik menggusur adalah perjuangan untuk menegakkan martabat manusia. Itu adalah seruan untuk mengakui bahwa hak hidup di lingkungan yang aman dan bermartabat adalah hak yang tak terpisahkan dari status kita sebagai manusia. Marilah kita terus mendorong dan mengawal reformasi ini, memastikan bahwa pembangunan di Indonesia benar-benar berwajah kemanusiaan dan tidak lagi menuntut korban demi kemajuan yang semu.