Tindakan mengawini—sebuah istilah yang mengandung bobot historis, sosiologis, dan spiritual yang luar biasa—adalah fondasi tak terhindarkan dari hampir setiap peradaban manusia yang pernah tercatat. Lebih dari sekadar penyatuan dua individu, praktik ini merupakan arsitektur sosial yang kompleks, mekanisme vital untuk transfer kekayaan, legitimasi keturunan, dan stabilitas komunitas. Memahami hakikat mengawini berarti menggali jauh ke dalam naluri biologis, norma hukum, dan kerangka filosofis yang menopang eksistensi kolektif kita.
Gambar 1. Ilustrasi visualisasi ikatan yang dihasilkan dari tradisi mengawini.
Definisi formal dari tindakan mengawini seringkali terbatas pada kerangka hukum atau agama. Namun, dari perspektif antropologi, ia adalah mekanisme utama untuk mengorganisir hubungan aliansi, mengendalikan agresi seksual, dan mendefinisikan batas-batas kekerabatan. Konsep institusionalisasi penyatuan ini membedakan manusia dari spesies lain. Ketika seseorang memutuskan untuk mengawini, mereka tidak hanya memilih pasangan hidup; mereka memilih kontrak yang mengikat mereka dengan jaringan kewajiban yang luas.
Secara biologis, dorongan untuk berpasangan dan bereproduksi adalah universal. Namun, peradaban kuno menyadari bahwa reproduksi tanpa struktur sosial akan menghasilkan kekacauan. Tindakan mengawini diciptakan sebagai perangkat untuk mengubah naluri yang tidak teratur menjadi sistem yang teratur. Ini adalah langkah evolusioner yang memastikan bahwa sumber daya dibagi, perlindungan anak terjamin, dan pengetahuan dapat diwariskan melalui garis keturunan yang jelas (legitimasi).
Salah satu fungsi paling krusial dari praktik mengawini adalah menciptakan garis keturunan yang sah (legitimasi). Dalam masyarakat agraris dan feodal, legitimasi ini adalah segalanya, menentukan siapa yang berhak mewarisi tanah, gelar, dan status sosial. Bahkan dalam masyarakat modern yang kompleks, status pernikahan pasangan yang mengawini tetap menjadi penentu hak waris, hak asuh, dan manfaat sosial lainnya. Tanpa kerangka formal ini, struktur kepemilikan komunal akan runtuh.
Di banyak budaya, tindakan mengawini bukanlah urusan pribadi, melainkan perjanjian antar-keluarga atau antar-klan. Pernikahan strategis digunakan untuk mengakhiri perseteruan, menggabungkan kekuatan ekonomi, atau mengamankan perdamaian politik. Ketika dua orang memutuskan untuk mengawini, mereka secara efektif memperluas lingkaran sosial dan pertahanan kolektif mereka, menciptakan 'jembatan' yang sebelumnya tidak ada.
Struktur pernikahan tradisional telah lama mendefinisikan peran gender yang ketat, meskipun ini terus berevolusi. Dalam banyak sistem patriarki, pria yang mengawini bertanggung jawab atas perlindungan dan penyediaan, sementara wanita bertanggung jawab atas pengelolaan rumah tangga dan reproduksi sosial (membesarkan anak). Pembagian kerja ini, meskipun saat ini banyak dikritik dan diubah, pada masanya dianggap sebagai cara paling efisien untuk menjamin kelangsungan hidup unit keluarga. Interpretasi ulang terhadap 'kewajiban' setelah mengawini menjadi salah satu isu sentral dalam sosiologi kontemporer.
Aksi mengawini pada dasarnya adalah pengucapan janji—suatu komitmen filosofis yang melampaui perasaan sesaat. Kontrak ini menuntut integritas, kesetiaan, dan kemampuan untuk memprioritaskan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Dalam kerangka etika, pernikahan berfungsi sebagai 'laboratorium' moralitas, tempat individu belajar tentang pengorbanan dan empati.
Monogami, meskipun bukan satu-satunya bentuk pernikahan yang diakui secara historis, mendominasi diskursus barat dan banyak sistem hukum modern. Keputusan untuk mengawini secara monogami menyiratkan janji eksklusif yang berfungsi untuk memusatkan energi emosional dan ekonomi pada unit keluarga tunggal. Pelanggaran terhadap janji kesetiaan ini seringkali dianggap sebagai ancaman mendasar terhadap stabilitas unit tersebut, yang pada gilirannya mengancam stabilitas sosial yang lebih luas.
Dalam sejarah hukum, terutama hukum Romawi dan hukum adat Eropa, tindakan mengawini sering kali melibatkan transfer quasi-kepemilikan atas wanita dan sumber dayanya. Meskipun pandangan ini telah ditinggalkan oleh hukum modern, residu filosofisnya masih mempengaruhi bagaimana masyarakat memandang "hak" pasangan terhadap waktu, tubuh, dan aset finansial satu sama lain setelah mengawini. Saat ini, fokus bergeser dari 'kepemilikan' menjadi 'kemitraan yang setara'.
Sifat paling luar biasa dari kontrak mengawini adalah jangka waktunya yang abadi ('sampai maut memisahkan'). Ini adalah janji yang dibuat tidak hanya kepada individu yang dicintai tetapi juga kepada diri masa depan, berjanji untuk tetap berkomitmen melalui perubahan keadaan, kesulitan finansial, dan penyakit. Struktur abadi ini memberikan rasa aman yang mendalam, memungkinkan pasangan untuk mengambil risiko investasi jangka panjang (seperti membeli rumah atau memulai bisnis) karena mereka memiliki kepastian dukungan struktural.
Meskipun tujuan inti dari mengawini (produksi sosial dan biologis) tetap konstan, metode dan ritualnya sangat bervariasi di seluruh dunia. Variasi ini mencerminkan adaptasi terhadap kondisi ekologis, sistem ekonomi, dan keyakinan spiritual lokal. Variasi ini menunjukkan fleksibilitas manusia dalam menginstitusionalkan komitmen.
Konsep mengawini terikat erat dengan aturan tentang siapa yang boleh dinikahi. Endogami (pernikahan di dalam kelompok, klan, atau kasta) bertujuan untuk mengonsolidasikan kekayaan dan identitas budaya, menjaga kemurnian garis keturunan atau status sosial. Sebaliknya, Eksogami (pernikahan di luar kelompok) bertujuan untuk memperluas jaringan aliansi dan menghindari konsekuensi genetik dari perkawinan sedarah. Masyarakat sering menyeimbangkan kedua kebutuhan ini melalui aturan-aturan yang sangat spesifik tentang siapa yang "cukup jauh" atau "cukup dekat" untuk mengawini.
Aspek ekonomi dari mengawini seringkali diwujudkan dalam praktik mas kawin (dowry) atau harga pengantin (bride price), yang berfungsi sebagai penstabil finansial atau kompensasi keluarga. Perdebatan seputar peran mas kawin dalam modernitas menunjukkan betapa sulitnya melepaskan praktik ekonomi dari fondasi sosiologis mengawini.
Gambar 2. Struktur dasar pembentukan unit kekerabatan melalui mengawini.
Dalam sistem harga pengantin, keluarga mempelai pria membayar sejumlah kompensasi kepada keluarga mempelai wanita. Tindakan ini sering disalahartikan sebagai "pembelian," padahal secara sosiologis, ini adalah kompensasi atas hilangnya tenaga kerja wanita dan pemberian jaminan finansial bahwa anak-anak yang dihasilkan dari tindakan mengawini akan dirawat dengan baik. Praktik ini sangat umum di Afrika Sub-Sahara, Asia Tenggara, dan beberapa bagian Indonesia.
Mas kawin, yang umum di Asia Selatan, adalah transfer kekayaan dari keluarga mempelai wanita kepada mempelai wanita sendiri, atau kepada keluarga mempelai pria. Meskipun secara ideal dimaksudkan untuk menyediakan jaminan finansial bagi wanita dalam pernikahan, praktik ini sering disalahgunakan dan telah menjadi beban sosial yang signifikan. Dalam konteks modern, mas kawin bertindak sebagai modal awal bagi pasangan yang baru mengawini.
Peran negara dan agama dalam mengatur proses mengawini sangatlah penting. Kedua institusi ini memberikan sanksi formal yang mengubah hubungan interpersonal menjadi entitas legal dan spiritual yang diakui secara publik. Hukum memberikan hak dan kewajiban, sementara agama memberikan dimensi sakral yang menuntut kepatuhan moral.
Di hampir semua agama besar, tindakan mengawini adalah sakramen atau upacara suci. Pemberian legitimasi oleh Tuhan atau dewa-dewa membuat janji pernikahan menjadi tidak dapat dibatalkan atau, setidaknya, sangat sulit untuk dibatalkan. Dalam Islam, pernikahan (nikah) adalah kontrak, namun tetap memiliki dimensi ibadah yang mendalam. Dalam Kekristenan, pernikahan sering dipandang sebagai representasi mistis dari hubungan Kristus dengan Gereja. Sifat sakral inilah yang memberikan kekuatan moral yang besar kepada komitmen untuk mengawini.
Negara modern melihat tindakan mengawini sebagai kontrak sipil yang penting untuk tujuan administrasi publik. Kontrak ini mengatur pajak, kepemilikan properti bersama (goni-gini), hak waris otomatis, dan tanggung jawab hukum timbal balik. Fungsi hukum ini memastikan stabilitas ekonomi bagi pasangan dan perlindungan bagi anak-anak. Tanpa pengakuan negara, konsekuensi sosial dari tindakan mengawini akan jauh berkurang, mengurangi insentif untuk komitmen jangka panjang.
Ketika kontrak mengawini gagal, negara menyediakan kerangka kerja untuk disolusinya (perceraian). Proses ini, meskipun menyakitkan, menunjukkan betapa formalnya tindakan mengawini itu. Hukum perceraian harus menyeimbangkan klaim emosional, kepentingan anak-anak, dan pembagian aset yang telah dibangun bersama selama bertahun-tahun. Perdebatan seputar kemudahan atau kesulitan perceraian (misalnya, perbedaan antara sistem berbasis kesalahan dan sistem tanpa kesalahan) mencerminkan filosofi masyarakat tentang seberapa suci atau seberapa pragmatis kontrak mengawini harus dipandang.
Gelombang modernitas, industrialisasi, dan globalisasi telah mengubah secara radikal praktik dan ekspektasi seputar mengawini. Pergeseran dari pernikahan yang diatur (arranged) menjadi pernikahan berbasis cinta (love match) mencerminkan individualisasi masyarakat, namun tantangan baru pun muncul seiring perubahan ini.
Dahulu, keputusan untuk mengawini adalah keputusan yang rasional dan kolektif, didorong oleh kebutuhan ekonomi dan sosial klan. Kini, di banyak wilayah, dominasi romantisisme telah mengubah tindakan mengawini menjadi pencarian pemenuhan emosional individu. Pasangan modern yang mengawini menuntut lebih dari sekadar kerja sama ekonomi; mereka menuntut persahabatan, dukungan emosional, dan kepuasan pribadi, yang seringkali meningkatkan beban ekspektasi pada ikatan tersebut.
Salah satu perubahan terbesar adalah masuknya wanita ke pasar tenaga kerja. Ini secara fundamental mengubah dinamika kekuatan dalam rumah tangga yang mengawini. Ketika wanita memiliki pendapatan independen, kebutuhan untuk mengawini demi keamanan ekonomi berkurang, dan kemitraan cenderung lebih setara. Hal ini juga meningkatkan tingkat perceraian di beberapa negara, bukan karena pernikahan lebih buruk, tetapi karena individu kini memiliki pilihan keluar yang layak dari hubungan yang tidak memuaskan.
Masyarakat kontemporer bergulat dengan perluasan definisi siapa yang boleh mengawini. Perjuangan untuk pengakuan pernikahan sesama jenis, yang merupakan isu hak asasi manusia dan sosiologis, menunjukkan bahwa institusi mengawini masih memiliki kekuatan simbolis dan material yang besar. Ketika negara mengakui penyatuan non-tradisional, mereka menegaskan kembali bahwa fungsi inti dari mengawini—yakni komitmen, stabilitas, dan pembentukan unit sosial yang diakui—tetap relevan, terlepas dari orientasi seksual pasangan.
Komitmen jangka panjang yang inheren dalam tindakan mengawini memiliki implikasi mendalam bagi kesehatan mental, akumulasi kekayaan, dan kesinambungan generasi. Stabilitas yang ditawarkan oleh ikatan yang sukses adalah modal sosial yang tak ternilai harganya.
Secara statistik, pasangan yang mengawini cenderung memiliki kekayaan bersih yang lebih tinggi daripada individu yang tidak. Ini bukan hanya karena penggabungan aset, tetapi karena tindakan mengawini mendorong perencanaan finansial jangka panjang, mengurangi pengeluaran yang tidak perlu (efisiensi rumah tangga), dan meningkatkan akses ke kredit. Pernikahan bertindak sebagai mekanisme manajemen risiko, di mana satu pasangan dapat mengambil risiko karier sementara yang lain menyediakan jaring pengaman finansial. Komitmen ini memungkinkan optimalisasi sumber daya.
Individu yang berhasil mengawini cenderung melaporkan tingkat kesehatan fisik dan mental yang lebih baik. Dukungan emosional yang konsisten dari pasangan bertindak sebagai penyangga terhadap stres dan kesepian. Hubungan yang stabil menawarkan rasa memiliki dan tujuan, yang merupakan faktor kunci dalam umur panjang. Namun, penting untuk dicatat bahwa stabilitas ini hanya berlaku untuk hubungan yang sehat; pernikahan yang tidak bahagia dapat memiliki dampak negatif sebaliknya.
Unit keluarga yang dibentuk melalui tindakan mengawini adalah lembaga utama transmisi nilai. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang stabil lebih mungkin untuk menginternalisasi norma-norma sosial, mencapai keberhasilan pendidikan, dan menjadi anggota masyarakat yang produktif. Tindakan mengawini dengan demikian memastikan bahwa modal budaya—mulai dari bahasa, tradisi, hingga etos kerja—diwariskan secara efisien kepada generasi berikutnya. Ini adalah kesinambungan yang membuat peradaban bertahan.
Ketika kakek-nenek, orang tua, dan anak-anak terikat melalui kontrak mengawini, tercipta jaring resiliensi. Dalam krisis (ekonomi atau kesehatan), unit yang mengawini dan terhubung dapat saling mendukung, mengurangi beban pada sistem kesejahteraan negara. Ini menunjukkan bahwa meskipun institusi ini tampak tradisional, peran fungsionalnya dalam masyarakat modern tetap sangat ekonomis dan praktis.
Seiring teknologi mengubah cara kita berinteraksi dan mendefinisikan identitas, praktik mengawini juga berada di bawah pengawasan dan evolusi terus-menerus. Apakah makna janji abadi ini akan berubah di era digital dan usia harapan hidup yang semakin panjang?
Platform daring dan aplikasi kencan telah mendemokratisasi proses pencarian pasangan untuk mengawini. Individu kini memiliki akses ke populasi calon pasangan yang jauh lebih besar daripada yang ditawarkan oleh lingkungan lokal mereka. Meskipun ini meningkatkan otonomi, hal ini juga menimbulkan tantangan, seperti fenomena 'pilihan yang berlebihan' dan kesulitan dalam transisi dari interaksi digital ke komitmen dunia nyata.
Beberapa futuris telah mengusulkan model "komitmen berjangka" (term marriage), di mana pasangan mengawini untuk jangka waktu tertentu (misalnya, lima atau sepuluh tahun), dengan opsi untuk memperbarui atau mengakhiri kontrak tanpa stigma perceraian tradisional. Meskipun ini belum diadopsi secara luas, proposal ini menyoroti tekanan yang dirasakan oleh individu modern terhadap janji 'seumur hidup'. Namun, oposisi terhadap ide ini berakar pada keyakinan bahwa mengurangi sifat abadi akan menghilangkan insentif untuk investasi emosional dan ekonomi yang dalam.
Mengapa, di zaman di mana individu dapat memilih untuk hidup sendiri, memiliki anak tanpa pasangan, dan mencapai keamanan ekonomi secara independen, institusi mengawini masih bertahan? Jawabannya terletak pada kebutuhan mendasar manusia akan pengakuan, komitmen yang disaksikan, dan integrasi ke dalam jaringan sosial yang lebih besar. Tindakan mengawini, dengan segala kerumitan dan evolusinya, tetap menjadi bahasa universal untuk menyatakan bahwa "kita bersama-sama menghadapi dunia ini."
Pada akhirnya, praktik mengawini adalah cerminan dari kemanusiaan kita. Ia adalah respons yang elegan terhadap kekacauan keberadaan, menawarkan struktur, makna, dan kesinambungan di tengah ketidakpastian. Selama manusia mencari makna, keamanan, dan cara untuk memastikan bahwa warisan mereka hidup terus, tradisi mengawini akan terus berfungsi sebagai jangkar peradaban yang tak tergantikan.
Dinamika kekuatan di dalam unit yang dibentuk melalui tindakan mengawini adalah area studi sosiologis yang sangat kaya. Kekuatan ini tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga emosional, keputusan, dan pengaruh sosial. Memahami bagaimana pasangan menavigasi kekuatan ini sangat penting untuk memahami keberhasilan atau kegagalan ikatan tersebut.
Ketika pasangan memutuskan untuk mengawini, mereka secara implisit setuju untuk membagi area keputusan. Dalam model tradisional, keputusan besar (karier, pindah rumah) seringkali didominasi oleh salah satu pihak, biasanya yang memiliki sumber daya ekonomi yang lebih besar. Namun, dalam pernikahan egaliter modern, proses ini melibatkan negosiasi konstan. Kekuatan diukur dari siapa yang memiliki suara terakhir dalam hal keuangan, pengasuhan anak, atau bahkan pilihan liburan. Tindakan mengawini menciptakan medan negosiasi yang berkelanjutan, di mana resolusi konflik menjadi penentu utama kualitas hubungan.
Penelitian menunjukkan bahwa bukan ketiadaan konflik yang menentukan pernikahan yang sehat, melainkan cara konflik diselesaikan. Pasangan yang berhasil mengawini belajar untuk berargumen secara konstruktif, menggunakan konflik sebagai alat untuk memahami kebutuhan satu sama lain, bukan sebagai senjata untuk dominasi. Komitmen abadi yang dilekatkan pada tindakan mengawini memaksa pasangan untuk berinvestasi dalam teknik resolusi yang lebih baik, karena mereka tidak memiliki opsi untuk 'keluar' dengan mudah.
Seringkali, kekuatan disalahartikan hanya sebagai pendapatan. Namun, dalam unit yang mengawini, kontribusi non-moneter (seperti pekerjaan rumah tangga, manajemen emosional, atau pengasuhan) memiliki nilai yang sangat besar. Ketidakseimbangan yang terjadi ketika kontribusi non-moneter diabaikan atau dianggap remeh adalah salah satu penyebab utama ketidakpuasan dalam pernikahan modern. Pengakuan formal terhadap nilai dari pekerjaan ini, yang seringkali dilakukan oleh pihak yang mengawini tanpa pendapatan, menjadi krusial untuk menciptakan rasa hormat dan kesetaraan dalam rumah tangga.
Ritual adalah inti dari tindakan mengawini. Setiap masyarakat, dari suku terpencil hingga metropolis modern, menandai transisi ini dengan serangkaian upacara yang kaya akan simbolisme. Ritual-ritual ini tidak hanya memperindah acara, tetapi juga berfungsi sebagai alat sosiologis yang penting.
Ritual mengawini memiliki fungsi ganda: pertama, mengubah status sosial individu dari lajang menjadi pasangan yang terikat; kedua, mensosialisasikan kontrak kepada komunitas. Dengan menjadi saksi janji tersebut, komunitas memberikan legitimasi dan secara implisit berjanji untuk mendukung unit keluarga yang baru. Upacara publik ini memastikan bahwa pasangan tidak bisa mundur dari janji mereka tanpa menghadapi konsekuensi sosial yang besar.
Pakaian khusus (seperti gaun pengantin) melambangkan kemurnian, transisi, atau status baru. Pertukaran cincin, sebuah tradisi kuno yang akarnya dapat ditelusuri kembali ke Mesir Kuno, melambangkan siklus abadi dan ikatan yang tak terputus. Tindakan mengenakan cincin di jari manis, yang dipercaya terhubung langsung ke hati, adalah simbol fisik dari janji emosional yang dibuat saat mengawini. Simbolisme ini membantu pasangan mengingat komitmen mereka saat menghadapi kesulitan sehari-hari.
Di Indonesia, proses mengawini seringkali jauh lebih panjang daripada sekadar upacara inti. Tradisi seperti lamaran (peminangan), siraman (mandi ritual), dan upacara adat lainnya (seperti midodareni di Jawa atau manappu di Batak) berfungsi untuk mempersiapkan pasangan secara spiritual dan fisik, sekaligus menyatukan kedua belah pihak keluarga. Proses yang diperpanjang ini menekankan bahwa tindakan mengawini adalah sebuah perjalanan, bukan hanya satu hari acara, memperkuat investasi emosional dan materi dari seluruh jaringan kekerabatan.
Filosofi politik dan hukum seringkali melihat tindakan mengawini sebagai unit pemerintahan mini yang penting. Ketertiban publik dimulai dari ketertiban rumah tangga. Tanpa kemampuan untuk menciptakan unit-unit stabil ini, struktur masyarakat yang lebih besar (negara) akan goyah.
Salah satu fungsi paling kuno dari tindakan mengawini adalah pengendalian konflik. Dengan memberikan saluran yang diakui secara sosial untuk hubungan seksual dan reproduksi, masyarakat mengurangi kekerasan dan persaingan yang tak teratur. Aturan incest taboo (larangan inses) dan eksogami memastikan bahwa energi reproduksi diarahkan ke luar, menciptakan aliansi dan memperluas jaringan dukungan, bukan malah menciptakan permusuhan internal. Dalam konteks ini, mengawini adalah teknologi sosial untuk perdamaian.
Tindakan mengawini adalah satu-satunya mekanisme universal yang terbukti efektif dalam mengasuh generasi baru. Meskipun ada model pengasuhan alternatif, pernikahan menyediakan kerangka kerja yang optimal untuk sosialisasi anak, menggabungkan sumber daya dan peran figur orang tua secara konsisten. Kelangsungan peradaban—memastikan ada cukup orang dewasa yang terdidik dan stabil untuk menjalankan masyarakat di masa depan—secara langsung bergantung pada efektivitas unit-unit yang dibentuk melalui praktik mengawini.
Ketika pasangan memutuskan untuk mengawini, mereka secara kolektif berjanji untuk berinvestasi dalam sumber daya manusia masa depan—anak-anak mereka. Investasi ini meliputi pendidikan, kesehatan, dan warisan emosional. Sebuah masyarakat yang gagal mendukung institusi mengawini atau unit keluarga yang stabil akan menghadapi biaya sosial yang sangat besar di masa depan, termasuk peningkatan masalah kesejahteraan, masalah kesehatan mental, dan penurunan modal pendidikan kolektif.
Dari sudut pandang psikologis, keputusan untuk mengawini mewakili puncak dari komitmen jangka panjang. Ini adalah pengakuan bahwa individu telah mengatasi ketidakpastian dan kerentanan untuk bersatu dengan orang lain.
Pernikahan yang sukses dapat dipahami melalui lensa teori keterikatan (attachment). Pasangan yang mengawini menciptakan 'basis aman' (safe base) satu sama lain. Kehadiran pasangan memberikan kenyamanan, dukungan, dan regulasi emosional. Janji yang melekat pada tindakan mengawini memperkuat kualitas keterikatan ini, membebaskan energi mental yang jika tidak akan dihabiskan untuk mengkhawatirkan stabilitas hubungan.
Melalui proses mengawini, identitas individu mulai bergabung menjadi identitas bersama—sebuah 'kami' atau 'we-ness'. Pasangan mulai berbagi cerita, harapan, dan bahkan ingatan (transactive memory system). Fenomena ini, yang sering disalahartikan sebagai hilangnya individualitas, sebenarnya merupakan strategi adaptif yang memungkinkan pasangan untuk mengatasi masalah yang lebih besar daripada yang bisa mereka tangani sendiri. Keberhasilan mengawini sering bergantung pada sejauh mana pasangan dapat menyeimbangkan identitas pribadi mereka dengan identitas kolektif ini.
Setelah menelusuri berbagai dimensi—dari antropologi kuno hingga dinamika psikologis modern—jelas bahwa tindakan mengawini bukan sekadar kesepakatan pribadi. Ia adalah perangkat multi-fungsi yang diciptakan oleh manusia untuk mengatasi tantangan eksistensial, ekonomi, dan reproduksi. Ia adalah manifestasi dari kebutuhan mendasar kita akan struktur, cinta yang dilegitimasi, dan kesinambungan generasi.
Dalam dunia yang ditandai oleh perubahan cepat dan ketidakpastian, kontrak untuk mengawini tetap menjadi salah satu janji manusia yang paling kuat dan transformatif. Ia adalah keputusan untuk berani berharap pada masa depan, untuk menginvestasikan diri secara total pada kesejahteraan orang lain, dan untuk berpartisipasi dalam proyek abadi yang dikenal sebagai peradaban manusia.