I. Anatomi Verbalisasi Kekuasaan
Kata kerja mengatasnamakan mengandung bobot semantik yang luar biasa. Ia bukan sekadar perwakilan atau delegasi; ia adalah tindakan memindahkan otoritas, legitimasi, atau kebenaran absolut dari entitas abstrak—Rakyat, Tuhan, Keadilan, Ilmu Pengetahuan—ke individu atau kelompok yang bertindak. Fenomena ini terletak pada inti dari hampir semua struktur kekuasaan, baik yang sah maupun yang korup. Ketika seseorang memilih untuk mengatasnamakan sesuatu yang lebih besar dari dirinya, ia secara instan memompa kekuatan verbalnya, mengubah pernyataan subjektif menjadi dogma yang menuntut kepatuhan universal.
Proses pengatasnamaan adalah jembatan psikologis. Di satu sisi, ia membebaskan aktor dari tanggung jawab pribadi karena tindakannya diklaim sebagai keharusan transenden. Di sisi lain, ia melumpuhkan kritik karena siapa pun yang menentang tindakan tersebut secara otomatis dianggap menentang entitas suci atau absolut yang diwakilinya. Ini adalah mekanisme retorika yang paling efektif dalam sejarah manusia untuk mengubah kepentingan pribadi menjadi keharusan moral atau politik.
Bahaya laten dari tindakan ini terletak pada ilusi transparansi yang diciptakannya. Kekuasaan yang dipegang secara eksplisit oleh individu dapat dipertanyakan. Namun, kekuasaan yang diklaim dipegang atas nama konsep universal (seperti "demokrasi" atau "moralitas") menjadi benteng yang sulit ditembus. Individu yang mengatasnamakan kebenaran seringkali jauh lebih berbahaya daripada tiran yang mengakui tirani mereka sendiri, karena mereka menjual penindasan sebagai sebuah kebutuhan, bahkan sebagai sebuah kebajikan.
Dalam konteks modern, di mana informasi dan narasi menjadi komoditas paling berharga, kemampuan untuk berhasil mengatasnamakan menentukan siapa yang memenangkan pertempuran opini publik. Setiap media, setiap gerakan sosial, setiap kebijakan pemerintah, dan bahkan setiap iklan komersial berusaha mencari titik legitimasi tertinggi untuk menghindari pertanyaan mendasar mengenai motivasi sejati mereka. Inilah sebabnya mengapa studi tentang pengatasnamaan adalah studi tentang kekuasaan itu sendiri.
II. Mengatasnamakan di Arena Politik dan Kekuasaan Negara
Panggung politik adalah teater utama di mana seni mengatasnamakan dipentaskan secara kolosal. Negara, sebagai entitas abstrak yang memegang monopoli kekerasan yang sah, selalu memerlukan justifikasi di luar kemauan individu pemimpinnya. Justifikasi ini hampir selalu berupa pengatasnamaan: atas nama kedaulatan, atas nama ketertiban umum, atas nama kepentingan nasional, atau yang paling kuat, atas nama Rakyat.
A. Tirani Mayoritas dan Ilusi Mandat
Dalam sistem demokrasi, individu yang berkuasa memperoleh mandat melalui suara. Namun, mandat ini seringkali disalahgunakan, diubah dari izin terbatas untuk menjalankan tugas menjadi cek kosong untuk melakukan apa pun. Ketika seorang politisi berkata, "Kami melakukan ini atas nama jutaan pemilih yang mendukung kami," mereka seringkali mengabaikan nuansa, kompleksitas, dan keberagaman kepentingan yang sebenarnya diwakili oleh jutaan suara tersebut. Pengatasnamaan "Rakyat" menjadi alat ampuh untuk menihilkan oposisi. Oposisi tidak lagi dilihat sebagai kritik konstruktif, tetapi sebagai pengkhianat terhadap kehendak kolektif yang diklaim telah direpresentasikan secara sempurna oleh pihak yang berkuasa.
Konsep "kehendak umum" (atau volonté générale) yang sering didengungkan, meskipun awalnya dimaksudkan untuk kebaikan bersama, telah menjadi sumber tirani verbal terbesar. Mereka yang mengklaim telah menafsirkan kehendak umum merasa berhak melanggar hak-hak minoritas atau hak-hak individu, karena secara retoris, tindakan mereka selalu dimotivasi oleh entitas yang lebih suci: entitas kolektif yang tak terdefinisikan. Ini menciptakan paradoks: demi membela 'demokrasi', tindakan anti-demokrasi dapat dilakukan; demi membela 'keamanan', kebebasan dapat dikorbankan.
Elaborasi ini mengantar kita pada fenomena di mana kekuasaan eksekutif cenderung menggelembung. Di bawah tekanan krisis—ekonomi, kesehatan, atau keamanan—pemerintah secara rutin membenarkan perluasan wewenang mereka. Pengambilan keputusan yang tadinya bersifat deliberatif dan inklusif diubah menjadi keputusan cepat yang bersifat sentralistik. Argumen yang selalu dipakai adalah urgensi dan keselamatan publik. Siapa yang berani menentang keselamatan? Dengan mengatasnamakan "darurat", batas-batas konstitusional menjadi kabur, dan pengawasan publik dilemahkan. Setelah krisis berlalu, sangat jarang kekuasaan tambahan ini dilepaskan kembali, menjadikannya warisan permanen dari pengatasnamaan kebutuhan.
B. Manipulasi Sejarah dan Ideologi Negara
Bukan hanya kebijakan sehari-hari yang dijiwai oleh pengatasnamaan, tetapi juga narasi sejarah dan ideologi pendirian negara. Banyak rezim otoriter membangun legitimasinya dengan mengatasnamakan sebuah "masa depan cerah", sebuah "tujuan historis yang tak terhindarkan", atau bahkan "takdir bangsa". Dalam narasi semacam ini, penderitaan yang terjadi saat ini dibenarkan sebagai harga yang harus dibayar untuk mencapai utopia kolektif. Kritik terhadap rezim dianggap sebagai sabotase terhadap proses sejarah itu sendiri.
Ketika sejarah disaring dan dibakukan oleh kekuasaan, ia menjadi alat pengatasnamaan yang tak tertandingi. Sekolah, monumen, dan media digunakan untuk menanamkan versi tunggal tentang apa yang "benar" dan apa yang "patut dipertahankan" atas nama tradisi atau fondasi pendiri. Dengan demikian, penguasa tidak perlu bersusah payah menjelaskan keputusannya; mereka cukup merujuk pada prinsip-prinsip suci yang telah mereka klaim sebagai penerusnya. Inilah tirani legitimasi yang berasal dari masa lalu yang dikonstruksi.
Fenomena ini meluas ke militerisme dan kebijakan luar negeri. Perang, tindakan kolektif paling destruktif, hampir selalu diluncurkan tidak atas nama kepentingan minyak atau sumber daya, tetapi atas nama "kebebasan", "demokrasi", atau "membela peradaban". Pengatasnamaan idealisme ini berfungsi sebagai pembersih moral, memungkinkan kekejaman yang tak terbayangkan dilakukan dengan keyakinan diri bahwa mereka sedang melayani tujuan yang lebih tinggi, tujuan yang jauh melampaui moralitas individu prajurit atau pemimpin. Tanpa payung pengatasnamaan yang kuat, hampir tidak mungkin memobilisasi massa untuk melakukan pengorbanan ekstrem.
III. Mengatasnamakan Kebenaran Transenden dan Agama
Jika politik mengatasnamakan Rakyat, maka agama mengatasnamakan Tuhan. Ini adalah bentuk pengatasnamaan yang paling absolut, karena entitas yang diwakilinya dianggap sempurna, abadi, dan tak tertandingi. Ketika pemimpin agama, teolog, atau bahkan ekstremis mengklaim berbicara atas nama ilahi, mereka tidak hanya mencari kepatuhan, tetapi juga penyerahan total terhadap rasionalitas dan otonomi individu.
A. Tirani Tafsir dan Monopoli Moralitas
Kebenaran transenden seringkali diakses melalui teks-teks kuno atau revelasi yang memerlukan interpretasi. Kelompok yang berhasil memonopoli hak untuk menafsirkan teks ini pada dasarnya memegang kekuasaan untuk menentukan apa yang benar dan salah atas nama Tuhan. Mereka menempatkan diri mereka sebagai perantara yang tidak dapat diganggu gugat, mengubah pesan spiritual yang seharusnya bersifat universal menjadi seperangkat aturan kaku yang menegaskan posisi mereka di puncak hierarki sosial dan moral.
Bahaya utama adalah bahwa segala tindakan, bahkan yang paling diskriminatif atau kekerasan, dapat dibenarkan. Pembunuhan, pengucilan, atau penindasan terhadap kelompok minoritas dapat diklaim sebagai pemenuhan kewajiban ilahi, bukan sekadar kejahatan manusiawi. Dalam situasi seperti ini, dialog rasional berhenti berfungsi. Bagaimana seseorang bisa bernegosiasi dengan klaim yang datang langsung dari surga? Kritik terhadap tindakan tersebut secara otomatis dikonversi menjadi penghujatan terhadap fondasi iman.
Sejarah penuh dengan perang, inquisisi, dan perpecahan yang semuanya diinisiasi oleh kelompok-kelompok yang saling klaim mengatasnamakan kehendak yang sama. Ironisnya, semakin tinggi klaim mereka terhadap kebenaran, semakin besar kecenderungan mereka untuk bertindak secara inhuman. Hal ini karena pengatasnamaan menyediakan perisai psikologis; pelaku merasa tidak bertanggung jawab atas kekejaman mereka, melainkan sekadar alat suci dalam rencana kosmik yang lebih besar.
B. Kultus Personalitas dan Pemujaan Karisma
Mengatasnamakan juga menjadi mekanisme pembentuk kultus personalitas. Seorang pemimpin karismatik mungkin tidak secara eksplisit mengklaim dirinya sebagai utusan, tetapi ia menciptakan aura bahwa ia adalah satu-satunya yang benar-benar memahami atau menerima petunjuk dari entitas abstrak (Tuhan, alam semesta, atau takdir). Pengikut kemudian menyalurkan otoritas entitas tersebut kepada pemimpin, menjadikan kritik terhadap pemimpin sama dengan kritik terhadap kebenaran itu sendiri.
Dalam lingkungan kultus semacam ini, struktur komunal yang terbentuk sangatlah kuat, didasarkan pada eliminasi disonansi kognitif. Segala penyimpangan, kegagalan, atau bahkan skandal yang dilakukan oleh pemimpin dapat dijelaskan sebagai ujian, misteri, atau taktik yang hanya dapat dipahami oleh sang pemimpin. Pengatasnamaan di sini berfungsi sebagai sistem kekebalan yang melindungi individu pemimpin dari pemeriksaan moral atau etika yang normal, memungkinkan eksploitasi finansial, emosional, dan bahkan fisik terhadap pengikutnya.
Elaborasi dari poin ini membawa kita pada bagaimana narasi pengatasnamaan menguasai ranah sosial. Ketika individu bertindak, mereka sering mencari pembenaran eksternal. Dalam konteks ideologi politik atau agama yang sangat terpolarisasi, seseorang merasa sah untuk melakukan intimidasi, perundungan, atau bahkan kekerasan online karena mereka merasa mereka tidak bertindak sebagai individu jahat, melainkan sebagai prajurit yang membela kebenaran absolut yang mereka yakini. Kebrutalan disamarkan sebagai keberanian moral, dan intoleransi sebagai ketegasan iman. Ini adalah konsekuensi langsung dari keberhasilan pengatasnamaan dalam memindahkan tanggung jawab dari diri sendiri ke entitas yang lebih tinggi.
Dalam kasus ekstrem, kelompok-kelompok yang mengklaim mengatasnamakan moralitas publik menggunakan klaim ini untuk membenarkan pengawasan berlebihan terhadap kehidupan pribadi orang lain. Mereka mengklaim bahwa perilaku individu tertentu merusak kain moral masyarakat, dan oleh karena itu, intervensi mereka adalah tindakan defensif atas nama ‘kesucian’ kolektif. Ironisnya, fokus obsesif pada moralitas eksternal seringkali berfungsi untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan moral internal kelompok yang mengatasnamakan tersebut. Mereka menggunakan cermin masyarakat untuk menutupi retak di rumah mereka sendiri.
IV. Mengatasnamakan Pasar, Sains, dan Etika Bisnis
Dunia modern tidak lagi didominasi hanya oleh dogma agama atau perintah raja, tetapi juga oleh otoritas yang disebut "pasar bebas," "efisiensi," dan "ilmu pengetahuan." Pengatasnamaan telah bermigrasi dari kuil dan istana ke ruang rapat perusahaan dan laboratorium.
A. Kapitalisme dan Keadilan Pasar
Dalam ranah ekonomi, tindakan korporasi seringkali dibenarkan atas nama "efisiensi pasar" atau "kemajuan ekonomi." Keputusan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja massal, eksploitasi sumber daya alam, atau penghindaran pajak seringkali disajikan bukan sebagai tindakan yang didorong oleh keserakahan, melainkan sebagai keharusan yang menyakitkan demi memastikan daya saing dan kelangsungan hidup perusahaan, yang pada akhirnya akan menguntungkan masyarakat luas.
Fenomena yang sangat menonjol adalah greenwashing. Korporasi yang secara substansial merusak lingkungan akan mengeluarkan kampanye besar-besaran yang mengatasnamakan "keberlanjutan," "tanggung jawab sosial," dan "masa depan planet yang lebih hijau." Dengan retorika ini, mereka berusaha mengubah narasi dari entitas perusak menjadi aktor moral. Mereka menggunakan klaim abstrak dan mulia untuk menyamarkan praktik inti yang merugikan. Bagi publik yang tidak memiliki akses data mendalam, pengatasnamaan ini seringkali berhasil menenangkan kekhawatiran dan memposisikan perusahaan sebagai mitra, bukan musuh, lingkungan.
B. Otoritas Ilmu Pengetahuan yang Disalahgunakan
Ilmu pengetahuan seharusnya didasarkan pada skeptisisme dan pengujian hipotesis, namun otoritas ilmiah itu sendiri seringkali dijarah untuk tujuan pengatasnamaan. Istilah "Studi menunjukkan bahwa..." atau "Para ahli setuju bahwa..." sering digunakan untuk memberikan bobot tak terbantahkan pada argumen yang mungkin didanai atau bias. Ini disebut pengatasnamaan otoritas epistemik.
Dalam perdebatan publik mengenai kebijakan kesehatan atau teknologi, pihak-pihak yang berkonflik seringkali berlomba untuk mengatasnamakan "Sains" sebagai pendukung mutlak mereka. Hal ini berbahaya karena ia menyederhanakan proses ilmiah yang kompleks dan penuh ketidakpastian menjadi sebuah diktum tunggal. Ketika sains dipolitisasi dan diklaim sebagai pembenaran absolut, ia kehilangan sifat esensialnya: kemampuan untuk diuji, dibantah, dan dikoreksi. Mereka yang mempromosikan pseudo-sains atau riset yang didanai dengan bias menggunakan pengatasnamaan ini untuk membungkam para ilmuwan sejati yang menuntut transparansi dan metodologi yang ketat.
Ekspansi lebih lanjut dari pengatasnamaan di ranah profesional terjadi di bidang hukum dan etika. Pengacara sering kali mengatasnamakan "semangat hukum" atau "keadilan prosedural" untuk membenarkan taktik yang secara moral dipertanyakan, seperti menunda proses atau mengeksploitasi celah hukum demi keuntungan klien mereka. Di sini, otoritas abstrak Keadilan digunakan untuk menyaring praktik yang pragmatis dan terkadang sinis. Hakim, pada gilirannya, harus berjuang melawan kecenderungan untuk mengatasnamakan "ketertiban" atau "stabilitas sosial" sebagai pembenaran atas keputusan yang mengorbankan hak-hak minoritas atau hak-hak individu yang rentan. Selalu ada godaan untuk menggunakan otoritas sistem, bukan untuk menegakkan kebenaran substansial, tetapi untuk mempertahankan integritas struktural sistem itu sendiri.
Perluasan pengatasnamaan dalam bidang teknologi juga semakin merajalela. Perusahaan teknologi raksasa, misalnya, membenarkan pengumpulan data pribadi yang invasif atas nama "inovasi," "pengalaman pengguna yang lebih baik," atau bahkan "keamanan nasional." Mereka mengklaim bahwa tanpa pengawasan data yang masif, kemajuan tidak mungkin terjadi. Pengatasnamaan ini berhasil mengalihkan fokus dari pelanggaran privasi menjadi penerimaan yang enggan terhadap ‘harga’ yang harus dibayar demi kenyamanan digital. Mereka yang kritis terhadap praktik ini dicap sebagai penganut paham anti-kemajuan atau anti-teknologi, seolah-olah kemajuan dan pengawasan adalah dua hal yang tak terpisahkan.
V. Dampak Sosiologis dan Erosi Kepercayaan Publik
Tindakan berulang mengatasnamakan, terutama ketika klaim tersebut terbukti palsu atau hanya berfungsi sebagai kedok, memiliki konsekuensi yang merusak pada fondasi masyarakat: erosi kepercayaan.
A. Disintegrasi Kredibilitas Institusional
Ketika politisi secara terus-menerus mengatasnamakan kehendak rakyat tetapi bertindak untuk kepentingan pribadi; ketika pemimpin agama mengatasnamakan kesucian tetapi terlibat dalam skandal; atau ketika korporasi mengatasnamakan etika tetapi merusak lingkungan, publik belajar untuk tidak lagi mempercayai institusi, melainkan hanya retorika yang mereka gunakan.
Erosi ini menghasilkan sinisme yang meluas. Masyarakat mulai mengasumsikan bahwa setiap klaim yang muluk-muluk pasti memiliki motif tersembunyi. Mereka tidak lagi bertanya, "Apa yang mereka katakan?" tetapi, "Apa yang mereka sembunyikan?" Pengatasnamaan yang berlebihan, alih-alih memberikan legitimasi, justru menciptakan lingkungan di mana legitimasi menjadi mustahil untuk dicapai, bahkan ketika niatnya murni.
B. Polarisasi dan Kebenaran Tribal
Pengatasnamaan memainkan peran penting dalam memperparah polarisasi. Kelompok-kelompok yang berkonflik, baik politik, ideologi, maupun sosial, masing-masing mengklaim bahwa mereka adalah satu-satunya pihak yang bertindak atas nama kebenaran sejati (misalnya, atas nama 'keadilan sosial' atau atas nama 'kebebasan individu').
Klaim eksklusif atas kebenaran ini menghalangi kemungkinan kompromi atau empati. Jika lawan Anda tidak hanya salah, tetapi juga menentang prinsip-prinsip suci yang Anda wakili, maka lawan tersebut tidak perlu diyakinkan, tetapi harus dikalahkan atau dimusnahkan. Pengatasnamaan mengubah lawan politik menjadi musuh moral, dan perdebatan kebijakan menjadi perang eksistensial. Ini adalah langkah retoris yang secara efektif melumpuhkan ruang publik yang sehat.
Jika kita memperdalam analisis psikologis, pengatasnamaan menyediakan mekanisme pembenaran yang sempurna untuk kekerasan verbal dan perundungan kolektif. Dalam ekosistem media sosial yang anonim dan reaktif, individu yang bersembunyi di balik layar merasa benar-benar kebal secara moral ketika mereka menyerang seseorang. Mereka percaya bahwa mereka tidak melakukan penyerangan pribadi, melainkan sedang melaksanakan tugas suci atas nama komunitas online mereka, atas nama kesucian nilai-nilai yang mereka anut, atau atas nama koreksi moral yang dibutuhkan oleh dunia. Rasa anonimitas dan rasa kepemilikan terhadap kebenaran mutlak menciptakan perpaduan yang sangat toksik, yang secara kolektif disebut 'mob justice' atau keadilan massa.
Sangat penting untuk memahami bahwa pengatasnamaan berhasil karena naluri manusiawi untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Ketika seseorang merasa kecil dan tak berarti dalam masyarakat yang kompleks, menjadi "tentara keadilan" atau "penjaga moralitas" yang mengatasnamakan kelompoknya memberikan tujuan dan identitas yang kuat. Ini adalah jalan pintas menuju signifikansi diri, yang diperkuat oleh validasi kelompok. Semakin keras seseorang mengatasnamakan, semakin ia diterima dan divalidasi dalam kelompok tribalnya, terlepas dari kebenaran aktual klaimnya.
Konsekuensi jangka panjang dari polarisasi yang didorong oleh pengatasnamaan ini adalah runtuhnya wacana publik bersama. Masyarakat tidak lagi berbagi seperangkat fakta yang sama, apalagi nilai-nilai yang sama. Setiap kelompok memiliki kebenaran yang diklaim atas nama entitas suci mereka sendiri. Dalam keadaan di mana legitimasi universal telah hancur, kekuasaan tidak lagi berasal dari konsensus yang dicapai melalui akal sehat, tetapi dari kekuatan narasi yang paling efektif dalam memobilisasi basis pendukung. Ini adalah kekuasaan yang dibangun di atas ilusi, dan ilusi ini sangat rapuh serta bergantung pada disinformasi yang berkelanjutan. Ketika ilusi itu runtuh, masyarakat cenderung jatuh ke dalam kekacauan atau, lebih sering, ke dalam pelukan otoritarianisme yang menjanjikan "ketertiban" atas nama stabilitas yang hilang.
VI. Mekanisme Pertahanan Terhadap Pengatasnamaan
Mengingat bahwa mengatasnamakan adalah taktik abadi yang digunakan oleh kekuasaan yang tak bertanggung jawab, pertahanan terbaik masyarakat adalah literasi kritis dan kejelian institusional.
A. Mendekonstruksi Klaim Abstrak
Langkah pertama dalam melawan tirani verbal pengatasnamaan adalah selalu menuntut spesifisitas. Ketika seseorang mengklaim bertindak atas nama "Kepentingan Nasional" atau "Keadilan", kita harus bertanya: Apa definisi operasional dari konsep tersebut dalam konteks ini? Siapa yang menentukan kepentingan tersebut? Kepentingan siapa yang diutamakan dan kepentingan siapa yang dikorbankan?
Tuntutan terhadap spesifisitas ini memaksa aktor yang mengatasnamakan untuk turun dari tingkat retorika abstrak ke tingkat tindakan nyata dan konsekuensi yang dapat diukur. Ketika klaim universal dipaksa untuk berhadapan dengan data empiris dan implikasi moral yang konkret, lapisan ilusi yang diciptakan oleh pengatasnamaan akan mulai mengelupas.
B. Memperkuat Akuntabilitas dan Transparansi
Otoritas yang sah harus selalu terikat pada transparansi dan akuntabilitas. Institusi yang menuntut kepercayaan atas nama prinsip mulia harus secara konsisten membuktikan bahwa tindakan mereka sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut. Hal ini membutuhkan sistem pengawasan yang independen dan kuat—pers yang bebas, yudikatif yang berani, dan lembaga audit yang tidak bias.
Dalam ranah politik, akuntabilitas berarti memastikan bahwa pemangku jabatan menanggung konsekuensi personal (hukum, politik, dan moral) ketika mereka menyalahgunakan mandat yang mereka terima atas nama Rakyat. Selama konsekuensi atas penyalahgunaan kekuasaan yang mengatasnamakan sesuatu itu lemah atau tidak ada, insentif untuk melanjutkan manipulasi verbal akan tetap tinggi.
C. Memupuk Skeptisisme yang Terukur
Masyarakat harus memupuk skeptisisme yang sehat, yang berbeda dari sinisme buta. Skeptisisme yang terukur adalah kemampuan untuk mencintai nilai-nilai abstrak (Keadilan, Kebenaran) tetapi secara simultan mencurigai klaim siapa pun yang mengaku memiliki monopoli atas nilai-nilai tersebut.
Pendidikan kritis memainkan peran krusial di sini, mengajarkan individu untuk membedakan antara sumber otoritas yang sah (berdasarkan bukti dan proses) dan klaim otoritas yang diimpor (berdasarkan emosi, karisma, atau dogma tak teruji). Kita harus selalu ingat bahwa Kebenaran tidak memerlukan perwakilan manusia yang sempurna; ia hanya memerlukan proses pencarian yang jujur.
Keseluruhan perjuangan melawan bahaya mengatasnamakan adalah perjuangan yang tak pernah berakhir untuk menjaga kemurnian niat dan integritas tindakan publik. Setiap kali kita mendengar sebuah klaim yang terdengar terlalu agung, terlalu suci, atau terlalu universal untuk dipertanyakan, kita harus berhenti sejenak dan menyelidiki siapa yang diuntungkan dari legitimasi tersebut. Tindakan inilah—pengujian yang konstan terhadap niat yang tersembunyi di balik kata-kata besar—yang berfungsi sebagai benteng terakhir masyarakat yang bebas dari tirani ilusi.
Untuk benar-benar melindungi diri dari kekejaman yang dilakukan atas nama entitas abstrak, kita perlu menanamkan budaya yang menghargai akuntabilitas pribadi di atas legitimasi kolektif. Ketika seseorang melakukan kesalahan, ia harus bertanggung jawab sebagai individu, bukan bersembunyi di balik bendera partai, agama, atau ideologi. Hukum harus diterapkan pada individu, bukan hanya pada struktur. Dengan demikian, kita membalikkan logika pengatasnamaan: bukan entitas abstrak yang memberikan kebenaran kepada individu, melainkan integritas individu yang harus membuktikan validitas klaim mereka terhadap entitas abstrak.
Hal ini juga menuntut reorientasi dalam pendidikan etika dan kewarganegaraan. Fokusnya harus beralih dari kepatuhan terhadap otoritas (yang mudah dijarah oleh mereka yang mengatasnamakan) ke pengembangan penilaian moral independen. Individu yang telah dilatih untuk mempertimbangkan konsekuensi etis dari tindakan mereka sendiri, daripada sekadar mengikuti perintah yang datang atas nama sebuah tujuan suci, adalah benteng terbaik melawan manipulasi retoris. Masyarakat yang warganya mampu berkata, "Meskipun tindakan ini diklaim atas nama X, hati nurani saya menolak," adalah masyarakat yang telah mengembangkan kekebalan terhadap ilusi kekuasaan.
Lebih lanjut, pertahanan kolektif melibatkan pemeliharaan pluralisme yang kuat. Pengatasnamaan selalu bekerja paling efektif dalam lingkungan monolitik, di mana satu narasi tunggal berhasil mengklaim dominasi absolut. Pluralisme—baik ideologis, budaya, maupun keagamaan—memastikan bahwa selalu ada suara yang bersaing, selalu ada interpretasi alternatif, dan selalu ada skeptisisme bawaan terhadap setiap klaim otoritas tunggal. Ketika kebenaran dibagi menjadi beberapa perspektif yang sah, klaim untuk mengatasnamakan kebenaran mutlak menjadi jauh lebih sulit untuk dipertahankan. Oleh karena itu, membela ruang untuk perbedaan pendapat dan kritik yang konstruktif adalah tindakan preventif paling penting melawan penyalahgunaan kekuasaan yang bersembunyi di balik jubah legitimasi abstrak.
Penting untuk dicatat bahwa media, terutama media independen, memiliki tugas historis yang berat dalam melawan pengatasnamaan. Tugas mereka bukan hanya melaporkan apa yang dikatakan oleh pemegang kekuasaan, tetapi untuk mengungkapkan apa yang disembunyikan di balik klaim tersebut. Jika seorang pejabat publik mengatakan, "Kami memberlakukan kebijakan ini atas nama pertumbuhan ekonomi," tugas jurnalistik yang kritis adalah menyelidiki dan mempublikasikan data tentang siapa yang benar-benar tumbuh dan siapa yang tertinggal. Ini adalah pekerjaan membongkar retorika, menggali niat yang mendasari, dan menuntut bukti konkret, sehingga setiap klaim pengatasnamaan dihadapkan pada cahaya kebenaran faktual. Tanpa pengawasan media yang gigih, lingkungan kekuasaan akan selalu dipenuhi oleh ilusi verbal.
Kita harus terus menerus mempertanyakan terminologi yang digunakan dalam wacana publik. Kata-kata seperti 'Reformasi', 'Modernisasi', 'Pemberdayaan', atau 'Keamanan' seringkali merupakan istilah netral yang siap dijarah dan digunakan untuk mengatasnamakan kebijakan yang merugikan. Mengubah kosakata publik dari istilah abstrak yang tidak menantang menjadi istilah yang konkret dan dapat diukur adalah bagian integral dari pertahanan terhadap manipulasi. Jika istilah yang digunakan kabur, legitimasi yang diklaim akan selalu lebih besar daripada substansi tindakan itu sendiri. Memperjuangkan presisi linguistik adalah memperjuangkan kejelasan moral dan politik.
VII. Simpulan: Kebenaran di Bawah Naungan Klaim
Fenomena mengatasnamakan adalah cerminan abadi dari perjuangan manusia antara kepentingan pribadi dan tuntutan kolektif. Ini adalah teknik retorika tertua di dunia, memungkinkan individu dan kelompok untuk menyamarkan agenda mereka dengan jubah kebenaran universal.
Baik itu atas nama Tuhan, Rakyat, Pasar, atau Sains, bahaya utama selalu sama: pemindahan tanggung jawab pribadi ke entitas abstrak yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Dalam tirani verbal ini, kritik dibungkam, moralitas diabaikan, dan kebenaran faktual menjadi korban pertama.
Kewaspadaan adalah harga dari otonomi. Masyarakat yang ingin mempertahankan kebebasan dan integritas harus secara kolektif menolak untuk menerima klaim kekuasaan yang tidak disertai dengan bukti akuntabilitas dan transparansi yang mutlak. Kita harus belajar untuk menghormati nilai-nilai besar, tetapi mencurigai semua orang yang mengklaim mengatasnamakan nilai-nilai tersebut, karena seringkali, di balik klaim yang paling mulia, tersembunyi kepentingan yang paling sempit dan egois.
Tugas setiap warga negara yang sadar bukanlah untuk menghancurkan otoritas, karena otoritas yang sah adalah fondasi keteraturan, tetapi untuk terus menerus menantang legitimasi yang diproduksi secara artifisial. Kita harus menuntut bahwa setiap tindakan kekuasaan dipertanggungjawabkan atas nama manusia yang bertanggung jawab, bukan atas nama entitas yang tak terlihat. Hanya dengan begitu kita dapat berharap untuk memisahkan ilusi kekuasaan dari pelayanan sejati terhadap kebenaran dan keadilan kolektif. Kegagalan untuk melakukan pengawasan konstan ini adalah undangan terbuka bagi tirani untuk bersembunyi di balik kata-kata paling indah dan paling agung dalam kamus kita. Pengawasan ini harus menjadi praktik yang berakar dalam budaya, sebuah kebiasaan kolektif untuk selamanya menuntut bukti dan integritas substansial, bukan sekadar janji-janji yang diucapkan dengan keyakinan dogmatis. Kekuatan kata-kata agung harus diukur bukan dari resonansi emosionalnya, melainkan dari bobot etika dan faktual yang mendasarinya.