Jalan Menuju Kemanusiaan yang Paling Murni
Dalam lanskap emosi dan interaksi manusia yang kompleks, ada satu kekuatan yang berfungsi sebagai jangkar moralitas dan katalisator perubahan positif: tindakan mengasihani. Kata ini, yang sering kali digunakan secara bergantian dengan belas kasih atau empati, membawa makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar rasa iba yang dangkal. Mengasihani adalah respons aktif terhadap penderitaan orang lain, sebuah pengakuan mendalam akan kerapuhan eksistensi manusia, dan dorongan intrinsik untuk meringankan beban tersebut. Jika kita menilik kembali sejarah peradaban, nilai ini selalu berdiri sebagai pilar utama dalam membangun masyarakat yang adil dan beradab, membedakan antara sekadar hidup berdampingan dengan hidup dalam harmoni yang terikat oleh kepedulian bersama.
Hakikat dari mengasihani tidak terletak pada superioritas atau peran penyelamat, melainkan pada pemahaman bahwa penderitaan adalah universal. Ketika kita mampu mengasihani, kita melepaskan tembok pemisah antara 'diri kita' dan 'orang lain', menyadari bahwa dalam kondisi yang berbeda, kitalah yang mungkin berada di posisi membutuhkan bantuan tersebut. Eksplorasi mendalam ini akan membawa kita menelusuri bagaimana tindakan dan perasaan mengasihani beroperasi pada tingkat individu, kolektif, spiritual, dan filosofis, membongkar lapisan-lapisan yang membuat konsep ini menjadi kunci utama etika kemanusiaan.
Untuk memahami sepenuhnya kekuatan mengasihani, kita harus terlebih dahulu membedakannya dari emosi-emosi terkait lainnya. Meskipun sering disamakan, belas kasihan (compassion), iba (pity), dan empati (empathy) memiliki mekanisme kerja dan hasil yang berbeda secara signifikan.
Iba (Pity) umumnya melibatkan perasaan sedih atau kasihan terhadap kesialan orang lain. Meskipun niatnya baik, iba sering kali menempatkan subjek dalam posisi yang lebih rendah, menciptakan jarak psikologis. Iba cenderung pasif; kita merasa buruk atas penderitaan orang lain tetapi mungkin tidak merasakan dorongan kuat untuk bertindak. Perasaan iba sering kali berakhir pada pengamatan tanpa keterlibatan substansial.
Empati (Empathy) adalah kemampuan untuk memahami dan berbagi perasaan orang lain seolah-olah kita mengalaminya sendiri. Ini adalah prasyarat kognitif dan emosional yang kuat untuk mengasihani. Kita menempatkan diri dalam sepatu orang lain. Namun, empati sendiri bisa sangat melelahkan (empathetic distress) jika tidak diimbangi dengan batas yang sehat. Jika kita terlalu tenggelam dalam penderitaan orang lain tanpa kemampuan untuk bertindak, kita dapat mengalami kelelahan emosional.
Mengasihani atau Belas Kasihan (Compassion), sebaliknya, adalah empati yang dipadukan dengan keinginan aktif untuk mengurangi penderitaan tersebut. Ini adalah emosi yang digerakkan oleh aksi. Mengasihani adalah respon aktif dan konstruktif terhadap empati. Dalam konteks psikologi kontemporer, belas kasihan dianggap lebih berkelanjutan daripada empati karena melibatkan regulasi emosi yang lebih baik—kita merasakan penderitaan tanpa tenggelam di dalamnya, sehingga kita bisa bertindak secara efektif dan tanpa mengalami kelelahan berlebihan.
Inti dari tindakan mengasihani adalah adanya pengakuan bahwa penderitaan bukanlah nasib yang harus diterima begitu saja, tetapi kondisi yang dapat diubah atau diringankan melalui intervensi yang penuh kasih dan bijaksana. Proses ini melibatkan tiga komponen utama yang harus terus diasah:
Tanpa komponen ketiga, tindakan mengasihani hanyalah iba yang dihiasi. Kekuatan transformatifnya terletak pada perubahan dari kesadaran pasif menjadi keterlibatan aktif. Ini adalah sebuah keputusan moral yang berulang, menuntut kita untuk selalu memeriksa diri sendiri: Apakah rasa kasihan kita hari ini berujung pada tindakan nyata, atau sekadar desahan simpati yang cepat berlalu?
Figur 1: Empati sebagai Jembatan menuju Tindakan Mengasihani
Konsep mengasihani bukanlah penemuan modern. Berabad-abad lamanya, para filsuf dan tradisi spiritual telah menempatkan belas kasihan sebagai fondasi moralitas. Dari Stoa kuno hingga utilitarianisme modern, peran kepedulian universal telah menjadi subjek perdebatan yang intens namun krusial.
Dalam tradisi Timur, khususnya Buddhisme, konsep Karuna (belas kasih) adalah salah satu dari empat kediaman ilahi (Brahma Vihara) dan merupakan praktik sentral yang diperlukan untuk mencapai pencerahan. Karuna secara eksplisit berarti 'keinginan untuk menghilangkan penderitaan' makhluk lain. Ia tidak hanya terbatas pada manusia tetapi meluas ke semua makhluk hidup. Dalam konteks ini, mengasihani adalah bukan hanya pilihan moral, tetapi sebuah jalur spiritual yang esensial.
Sebaliknya, tradisi Barat, terutama filsafat Yunani kuno, awalnya cenderung hati-hati terhadap emosi yang kuat seperti 'pity' (kasihan). Stoik, misalnya, sering kali melihat emosi kuat sebagai gangguan terhadap nalar (logos) dan kebijaksanaan. Namun, seiring berjalannya waktu, para filsuf moral mulai mengakui bahwa kepedulian terhadap orang lain adalah prasyarat untuk masyarakat yang fungsional. Immanuel Kant, meskipun fokus pada Kewajiban (Duty), tidak menafikan bahwa tindakan yang dimotivasi oleh kepedulian etis terhadap penderitaan orang lain memiliki nilai moral yang tinggi.
Ketika kita memasuki era modern, etika kepedulian (Ethics of Care), yang sering dikaitkan dengan pemikir feminis, menempatkan hubungan interpersonal dan kebutuhan orang lain di pusat pertimbangan moral. Mereka berargumen bahwa mengasihani dan merawat bukanlah sekadar hasil sampingan dari prinsip-prinsip abstrak, melainkan fondasi bagi keputusan etis yang sebenarnya. Etika ini menegaskan bahwa kita tidak hidup dalam isolasi moral; penderitaan orang lain secara inheren menuntut respons dari kita.
Apakah mengasihani itu sebuah pilihan personal atau kewajiban etis universal? Sebagian besar sistem etika utama cenderung mengarah pada yang terakhir. Jika kita setuju bahwa manusia memiliki hak mendasar untuk terbebas dari penderitaan yang tidak perlu, maka mengasihani menjadi kewajiban untuk bertindak ketika hak itu dilanggar atau terancam. Kewajiban ini muncul dari pemahaman yang mendalam tentang kemanusiaan bersama:
Pengabaian terhadap tindakan mengasihani, dalam banyak hal, adalah pengabaian terhadap kemanusiaan kita sendiri. Hal ini bukan hanya merugikan subjek penderitaan, tetapi juga merusak tatanan moral di dalam jiwa pelaku dan masyarakat secara keseluruhan. Filsuf Arthur Schopenhauer bahkan menyatakan bahwa belas kasihan adalah fondasi tunggal dan sejati dari moralitas yang sebenarnya. Tanpa dasar ini, semua tindakan kebajikan lainnya hanyalah hasil dari perhitungan egois atau kepatuhan buta.
Studi neurosains dan psikologi kontemporer memberikan bukti yang solid bahwa tindakan mengasihani adalah bawaan (innate) dalam diri manusia dan memiliki manfaat yang signifikan, baik bagi penerima maupun pemberi.
Ketika kita terlibat dalam tindakan mengasihani, otak kita melepaskan hormon-hormon yang mendorong ikatan sosial dan kesejahteraan. Oksitosin, sering disebut 'hormon cinta' atau 'hormon ikatan', dilepaskan, tidak hanya dalam hubungan romantis atau orang tua-anak, tetapi juga dalam konteks altruisme dan belas kasihan. Pelepasan oksitosin ini mengurangi tingkat stres, menurunkan tekanan darah, dan meningkatkan perasaan koneksi dan kepercayaan.
Menariknya, penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang mengalami empati yang ekstrem (berbagi rasa sakit orang lain), area otak yang terkait dengan rasa sakit (insula anterior) menjadi aktif. Namun, ketika perasaan itu bertransisi menjadi belas kasihan (keinginan untuk membantu), terjadi aktivasi di area otak yang berbeda—yang terkait dengan penghargaan dan afiliasi sosial (seperti striatum ventral). Ini menunjukkan bahwa mengasihani adalah strategi koping yang lebih sehat daripada empati yang murni, karena ia mendorong solusi dan tindakan, bukan sekadar resonansi penderitaan.
Meskipun mengasihani adalah kekuatan positif, praktik tanpa batas atau tanpa kesadaran diri dapat mengarah pada kondisi yang dikenal sebagai Kelelahan Belas Kasihan (Compassion Fatigue). Kondisi ini berbeda dari *burnout* (kelelahan kerja) karena secara spesifik terkait dengan paparan berulang terhadap trauma dan penderitaan orang lain.
Seseorang yang terus-menerus mengasihani, terutama dalam profesi bantuan (perawat, pekerja sosial, psikolog), dapat mulai menunjukkan gejala berikut:
Oleh karena itu, mengasihani harus selalu dimulai dari diri sendiri, suatu konsep yang dikenal sebagai Belas Kasihan Diri (Self-Compassion). Kita tidak dapat secara berkelanjutan menuangkan dari cangkir yang kosong. Mengasihani diri sendiri—memperlakukan diri sendiri dengan kebaikan yang sama yang kita berikan kepada orang lain saat kita gagal atau menderita—adalah fondasi untuk mengasihani orang lain secara berkelanjutan dan mendalam. Ini adalah pengakuan bahwa kita juga rentan dan layak mendapatkan kebaikan.
Dampak terbesar dari mengasihani terlihat ketika ia diterapkan pada skala sosial, membentuk kebijakan, menggerakkan filantropi, dan mendorong keadilan.
Ketika individu mengamalkan mengasihani, terciptalah jaringan dukungan. Ketika institusi mengamalkannya, terciptalah struktur yang adil. Mengasihani pada tingkat institusional berarti merancang sistem yang secara inheren mengurangi penderitaan dan mempromosikan martabat. Ini mencakup:
Institusi yang gagal dalam mengasihani cenderung menghasilkan birokrasi yang dingin, peraturan yang kejam, dan sistem yang hanya melayani mereka yang sudah memiliki hak istimewa. Mengasihani adalah mata air yang harus terus-menerus membasahi dan melembutkan beton kekuasaan dan peraturan.
Figur 2: Mengasihani diwujudkan melalui Aksi Nyata dan Dukungan.
Dalam situasi konflik, mengasihani tampak sebagai hal yang paling sulit dilakukan, namun justru paling dibutuhkan. Belas kasihan memungkinkan kita untuk melihat kemanusiaan di balik musuh, membedakan antara tindakan buruk dengan inti dari individu tersebut.
Proses pemaafan (forgiveness) yang sejati hampir selalu didasarkan pada mengasihani. Memaafkan bukanlah melupakan atau membenarkan kejahatan, melainkan melepaskan belenggu kebencian yang mengikat kita pada pelaku. Ini adalah tindakan mengasihani diri sendiri dan juga mengasihani pelaku—memahami bahwa tindakan mereka sering kali berasal dari penderitaan atau kekurangan yang ekstrem. Belas kasihan dalam konteks ini membuka jalan menuju rekonsiliasi dan perdamaian yang berkelanjutan, seperti yang sering terlihat dalam komisi kebenaran dan rekonsiliasi pasca-konflik.
Jika mengasihani adalah otot, maka ia perlu dilatih secara rutin. Bagaimana kita dapat memastikan bahwa kecenderungan bawaan kita ini tidak tertekan oleh stres kehidupan modern dan egoisme?
Pengembangan belas kasihan, terutama melalui teknik kesadaran (mindfulness) dan meditasi, telah menjadi fokus penting dalam psikologi terapan. Meditasi Metta (Loving-Kindness Meditation), yang berasal dari tradisi Buddhis, adalah salah satu metode yang paling efektif.
Meditasi Metta melibatkan pengiriman niat baik secara sistematis kepada kelompok-kelompok berikut:
Latihan ini berulang kali menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengasihani bukanlah sifat yang tetap, tetapi keterampilan yang dapat diperkuat. Semakin sering kita berlatih memperluas lingkaran kepedulian, semakin mudah dan otomatis respons belas kasihan kita dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam beberapa dekade terakhir, etika mengasihani telah diperluas melampaui batas-batas spesies manusia. Kesadaran akan penderitaan hewan, yang didorong oleh gerakan hak-hak hewan, menuntut kita untuk mempertimbangkan kembali bagaimana belas kasihan diterapkan pada makhluk hidup lain yang memiliki sistem saraf dan kemampuan untuk merasa sakit. Filosofi ini mengajarkan bahwa mengasihani yang sejati harus universal; ia menolak batasan artifisial yang kita buat untuk membenarkan pengabaian penderitaan.
Jika kita dapat mengasihani seekor anjing yang terluka, tetapi menolak mengasihani seekor babi yang disembelih dalam kondisi brutal, maka belas kasihan kita masih selektif dan belum mencapai kemurnian universal yang dicita-citakan oleh etika yang paling tinggi. Mengasihani pada tingkat ini menuntut kita untuk hidup dengan lebih sadar, mengakui bahwa setiap pilihan konsumsi dan tindakan kita memiliki konsekuensi etis yang melibatkan penderitaan makhluk lain.
Mengasihani tidak hanya menyelesaikan masalah yang ada, tetapi juga mencegah masalah di masa depan. Budaya yang dipandu oleh belas kasihan adalah budaya yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Salah satu arena di mana mengasihani sering gagal adalah dalam ranah kritik dan konflik ideologis. Dalam debat publik, seringkali tujuan kita adalah 'menang' dan mempermalukan lawan. Budaya mengasihani menuntut kita untuk mengubah pendekatan ini. Ketika kita mengkritik, kita harus melakukannya dengan niat baik—niat untuk membantu orang lain tumbuh atau memperbaiki sistem, bukan niat untuk menghancurkan mereka.
Kritik yang didorong oleh mengasihani akan fokus pada perilaku dan dampak, bukan pada karakter individu. Ini memungkinkan dialog konstruktif dan mengurangi sikap defensif, karena penerima kritik merasa dilihat dan dihargai, bahkan di tengah ketidaksepakatan yang paling tajam. Tanpa landasan belas kasihan, kritik hanyalah agresi terselubung.
Dunia digital, dengan anonimitas dan kecepatan informasinya, telah menjadi lingkungan yang keras. Cyberbullying, penyebaran kebencian (hate speech), dan budaya penghakiman (cancel culture) merajalela. Belas kasihan di era ini menuntut tindakan yang disebut sebagai 'empati digital' dan 'kehadiran yang disengaja'.
Mengasihani dalam konteks digital adalah benteng pertahanan terakhir terhadap dehumanisasi yang diciptakan oleh layar. Ia menuntut kita untuk selalu mengingat bahwa di balik setiap akun, terdapat individu yang kompleks, rentan, dan layak mendapatkan perlakuan yang bermartabat.
Mengasihani bukanlah emosi sesaat atau tindakan sesekali yang kita lakukan saat merasa dermawan. Ini adalah cara hidup, sebuah orientasi fundamental terhadap dunia yang mengakui saling ketergantungan dan kerapuhan universal. Ketika kita memilih untuk mengasihani, kita memilih untuk berpartisipasi penuh dalam kondisi manusia; kita memilih untuk menjadi agen penyembuhan, bukan penyebab perpecahan. Ini adalah tugas yang menantang, membutuhkan introspeksi terus-menerus dan keberanian moral, tetapi imbalannya adalah kehidupan yang kaya akan makna, koneksi yang mendalam, dan kontribusi nyata terhadap dunia yang lebih baik.
Kesadaran bahwa semua manusia adalah pelancong yang membawa beban penderitaan yang tak terlihat adalah kunci untuk membuka pintu belas kasihan sejati. Marilah kita terus mengasah kemampuan ini, tidak hanya sebagai kebajikan personal, tetapi sebagai imperatif sosial untuk membangun masa depan di mana kebaikan, kepedulian, dan tindakan nyata untuk meringankan beban adalah norma, bukan pengecualian. Dengan mengasihani, kita menegaskan kembali apa artinya menjadi manusia yang utuh.
***
Kapasitas kita untuk mengasihani orang lain berbanding lurus dengan kemampuan kita untuk mengasihani diri sendiri. Mengasihani diri tidak boleh disalahartikan sebagai egoisme, pemanjaan diri, atau pengabaian tanggung jawab. Sebaliknya, ini adalah praktik mental yang memungkinkan kita menghadapi kegagalan dan kekurangan pribadi tanpa penghakiman yang merusak, namun dengan kebaikan yang memotivasi perbaikan. Praktik ini memiliki tiga pilar esensial yang harus terus-menerus ditegakkan:
Penting untuk dipahami bahwa mengasihani diri bukanlah tentang menghindari rasa sakit, melainkan tentang menahan rasa sakit itu dengan kehangatan. Ia memberi kita sumber daya emosional untuk kembali ke dunia dan mengasihani orang lain tanpa merasa terkuras. Seseorang yang kejam terhadap dirinya sendiri akan sulit mempertahankan belas kasihan yang tulus dan berkelanjutan terhadap dunia luar, karena ia beroperasi dari posisi kekurangan dan ketidakberhargaan internal.
Di arena politik, mengasihani sering kali dianggap sebagai kelemahan, berlawanan dengan kekuatan dan pragmatisme. Namun, kepemimpinan yang paling efektif dan paling berkelanjutan adalah kepemimpinan yang berakar pada belas kasihan. Keputusan politik yang didasarkan pada mengasihani adalah keputusan yang menanyakan: "Siapa yang paling rentan dalam situasi ini?" dan "Bagaimana keputusan ini akan memengaruhi mereka yang memiliki suara paling kecil?"
Misalnya, perdebatan tentang imigrasi tidak dapat diselesaikan hanya dengan peraturan perbatasan. Mengasihani menuntut kita untuk melihat di balik statistik dan melihat wajah-wajah orang yang melarikan diri dari perang, kemiskinan, atau kekerasan. Kebijakan yang mengasihani berusaha menyeimbangkan keamanan nasional dengan kewajiban etis kita terhadap kemanusiaan universal. Kegagalan untuk mengasihani dalam politik menghasilkan kebijakan yang hanya melayani kelompok elit, menciptakan ketidaksetaraan yang ekstrem, dan pada akhirnya, menggoyahkan stabilitas masyarakat itu sendiri. Mengasihani, dalam politik, adalah sinonim dengan keadilan distributif.
Kita perlu terus-menerus mempertanyakan dimensi praktik mengasihani kita dalam setiap interaksi dan setiap keputusan kolektif yang kita buat:
Jawabannya terletak pada kesediaan kita untuk mengakui bahwa, pada dasarnya, kita semua adalah 'orang yang sulit' bagi seseorang di suatu tempat, dan pada gilirannya, kita semua layak mendapatkan kebaikan dan pengertian. Siklus penderitaan hanya dapat dihentikan ketika kita, sebagai individu dan masyarakat, secara tegas memilih jalan mengasihani, bahkan ketika jalan itu terasa berat dan menuntut pengorbanan yang besar dari ego dan prasangka kita.
Mengasihani, oleh karena itu, harus dilihat sebagai praktik etika yang paling radikal, paling menantang, dan paling transformatif yang dapat dilakukan oleh manusia. Ini adalah kekuatan yang mempersatukan dunia dan menegaskan kembali nilai tak terbatas dari setiap kehidupan. Melalui ketekunan dalam mempraktikkan mengasihani, kita tidak hanya mengubah nasib orang lain, tetapi juga menyempurnakan hakikat kemanusiaan di dalam diri kita sendiri, menjadi versi terbaik dari apa yang dapat kita capai sebagai makhluk yang terikat oleh benang merah kerentanan dan harapan.
Mengasihani menjadi kompleks ketika penderitaan tidak berasal dari insiden tunggal, tetapi dari sistem dan struktur yang tidak adil. Kemiskinan, rasisme, seksisme, dan diskriminasi sistemik lainnya adalah bentuk penderitaan yang dihasilkan oleh desain sosial. Mengasihani dalam konteks ini menuntut lebih dari sekadar sumbangan pribadi; ia menuntut advokasi dan intervensi sistemik.
Misalnya, melihat seseorang tunawisma di jalanan memicu iba atau empati. Respon mengasihani pasif mungkin adalah memberikan uang receh. Namun, respons mengasihani yang aktif dan struktural menuntut kita untuk bertanya: Mengapa sistem ini gagal menyediakan perumahan yang layak dan perawatan kesehatan mental yang diperlukan? Tindakan mengasihani yang sejati adalah berpartisipasi dalam perubahan kebijakan perumahan atau kesehatan publik. Ini adalah pergeseran dari 'membantu orang yang jatuh' menjadi 'memperbaiki tangga agar tidak ada lagi yang jatuh'.
Kapasitas untuk mengasihani penderitaan struktural membutuhkan ketahanan mental. Kita harus menghadapi fakta bahwa kita mungkin secara tidak sengaja mendapatkan keuntungan dari ketidakadilan yang menyebabkan penderitaan orang lain. Mengakui peran kita dalam sistem, baik sebagai korban atau penerima manfaat, adalah langkah awal yang menyakitkan namun esensial menuju belas kasihan yang otentik dan berdampak. Tanpa analisis kritis terhadap sistem, mengasihani seringkali hanya menjadi plester sementara pada luka yang dalam dan kronis. Praktik ini menuntut keberanian untuk menghadapi realitas yang tidak nyaman.