Fenomena menganaktirikan adalah sebuah konsep universal yang melintasi batas budaya dan sosial, namun dampaknya selalu terasa pahit dan merusak. Secara etimologis, istilah ini merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menyerupai cara orang tua memperlakukan anak tiri—sering kali dengan kasih sayang, perhatian, dan sumber daya yang jauh lebih sedikit dibandingkan anak kandung. Namun, dalam konteks yang lebih luas, menganaktirikan telah menjadi metafora yang kuat untuk segala bentuk favoritisme, bias, atau pengabaian yang terjadi dalam sistem apa pun, baik itu keluarga, organisasi, maupun negara.
Menganaktirikan bukan hanya sekadar kurangnya perhatian; ia adalah pengalihan sumber daya, pengakuan, dan cinta kepada satu pihak sambil secara sistematis menahan atau membatasi hal yang sama dari pihak lain. Ini menciptakan ketidakseimbangan struktural dan emosional yang mendalam. Dalam domain psikologi, hal ini seringkali dikaitkan dengan trauma emosional, sindrom pengabaian, dan perkembangan identitas diri yang terdistorsi. Sementara dalam domain sosiologi dan politik, menganaktirikan mencerminkan kegagalan prinsip kesetaraan dan keadilan distributif.
Artikel ini akan mengupas tuntas dimensi-dimensi kompleks dari menganaktirikan. Kami akan menelusuri akar-akar psikologis di balik bias ini, menganalisis manifestasinya di berbagai tingkatan—dari dinamika keluarga yang paling intim hingga kebijakan struktural negara—dan mengeksplorasi konsekuensi jangka panjangnya, serta jalan menuju pemulihan dan pencegahan yang berkeadilan. Pemahaman yang komprehensif atas istilah ini adalah langkah awal untuk membongkar dan mengatasi praktik diskriminatif yang seringkali tersembunyi di balik selubung kebiasaan atau "hak prerogatif."
Menganaktirikan dapat beroperasi dalam spektrum luas, mulai dari bentuk yang sangat halus (mikro-agresi emosional) hingga bentuk yang eksplisit dan terang-terangan (diskriminasi kebijakan). Secara operasional, tindakan menganaktirikan melibatkan: Pertama, alokasi sumber daya yang tidak proporsional (finansial, pendidikan, waktu). Kedua, perbedaan dalam pengakuan atau validasi emosional. Ketiga, penerapan standar dan batasan yang berbeda secara tidak adil terhadap pihak yang ‘dianaktirikan.’ Bentuk diskriminasi ini seringkali sulit diidentifikasi karena pelakunya (misalnya, orang tua atau manajemen) mungkin meyakini bahwa tindakan mereka adalah wajar atau dibenarkan oleh perbedaan "kualitas" atau "kebutuhan" pihak-pihak yang terlibat, padahal yang terjadi adalah bias subjektif yang merusak.
Sifat menganaktirikan yang tersembunyi inilah yang menjadikannya racun perlahan bagi jiwa. Korban seringkali meragukan realitas pengalaman mereka sendiri, terlibat dalam apa yang disebut *gaslighting* internal, di mana mereka bertanya-tanya apakah merekalah yang terlalu sensitif atau menuntut. Kesulitan untuk menamai dan memvalidasi penderitaan ini memperparah isolasi dan rasa tidak berharga yang mereka alami. Pemahaman akan spektrum ini memungkinkan kita untuk tidak hanya fokus pada kasus ekstrim perlakuan buruk, tetapi juga pada pengabaian kecil yang terakumulasi menjadi jurang pemisah emosional yang besar.
Ketika seseorang merasa dianaktirikan, dampaknya jauh melampaui rasa cemburu atau sakit hati sesaat. Ini menyentuh fondasi psikologis diri, merusak rasa aman dasar, dan menghancurkan keyakinan bahwa dunia (atau setidaknya orang-orang terdekat) adalah tempat yang adil dan dapat diprediksi. Bagi anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan favoritisme, ini adalah bentuk trauma perkembangan yang dapat mengubah arsitektur emosional mereka.
Dalam psikologi keluarga, anak yang dianaktirikan seringkali berperan sebagai ‘kambing hitam’ (scapegoat), tempat keluarga (atau sistem) memproyeksikan masalah dan disfungsi internal mereka. Anak ini mungkin secara tidak sadar dipandang sebagai penyebab ketegangan, atau sebagai individu yang ‘bermasalah’ sehingga membenarkan perlakuan buruk. Peran ini mengunci individu dalam siklus negativitas yang merusak: mereka diperlakukan buruk, perilaku mereka mungkin memburuk sebagai respons, yang kemudian membenarkan pandangan awal bahwa mereka memang pantas diperlakukan buruk.
Dampak jangka panjang dari sindrom trauma ini termasuk:
Inti dari menganaktirikan dalam keluarga seringkali adalah favoritisme orang tua. Meskipun banyak orang tua menyangkal adanya anak favorit, penelitian menunjukkan bahwa mayoritas anak (hingga 70% dalam beberapa studi) percaya bahwa saudara mereka lebih difavoritkan. Favoritisme ini jarang didasarkan pada cinta sejati, melainkan pada kecocokan (alignment) antara kepribadian anak dan kebutuhan emosional orang tua. Misalnya, orang tua narsistik mungkin memfavoritkan anak yang paling patuh dan yang paling merefleksikan citra sempurna yang ingin mereka proyeksikan ke dunia luar, sementara anak yang kritis atau berbeda (the black sheep) justru dianaktirikan.
Implikasi psikologisnya adalah bahwa individu yang difavoritkan pun tidak luput dari dampak buruk. Mereka mungkin menderita sindrom tekanan untuk selalu sempurna, kesulitan berempati dengan orang lain, dan rasa bersalah yang tersembunyi terhadap saudara mereka. Namun, luka yang paling dalam tetap ditanggung oleh yang dianaktirikan, yang harus menavigasi dunia tanpa jangkar kasih sayang orang tua yang stabil dan tanpa syarat.
Penting untuk dicatat bahwa perlakuan yang tidak setara ini tidak selalu berupa penganiayaan fisik. Seringkali, perlakuan ini hanya berupa kehadiran yang parsial: orang tua hadir secara fisik tetapi absen secara emosional atau hanya memberikan validasi yang terukur, sementara validasi yang melimpah dicurahkan kepada saudara kandung. Kesenjangan ini menciptakan kerinduan kronis dan rasa kekosongan yang sulit diisi oleh hubungan dewasa lainnya.
Konsep menganaktirikan meluas jauh melampaui ruang keluarga. Ketika diterapkan pada sistem yang lebih besar, ia berubah menjadi favoritisme organisasi, bias struktural, dan diskriminasi sistemik. Di sini, yang ‘dianaktirikan’ adalah karyawan, departemen, komunitas minoritas, atau bahkan wilayah geografis tertentu.
Di dunia korporat, menganaktirikan sering disebut sebagai favoritisme atau nepotisme. Seorang manajer mungkin tanpa sadar memprioritaskan proyek, promosi, atau alokasi anggaran untuk tim atau individu yang memiliki hubungan pribadi yang lebih dekat dengannya. Dampak yang terjadi pada karyawan yang dianaktirikan adalah demotivasi, penurunan produktivitas, dan peningkatan pergantian staf. Mereka menyadari bahwa kerja keras dan meritokrasi tidak cukup; yang dibutuhkan adalah kesamaan pribadi dengan pemegang kekuasaan.
Fenomena ini secara drastis menurunkan moral keseluruhan organisasi. Karyawan yang menyaksikan ketidakadilan ini akan kehilangan kepercayaan pada integritas sistem manajemen. Mereka mungkin mulai melakukan quiet quitting—melakukan hanya pekerjaan minimal yang diperlukan—karena menyadari bahwa usaha ekstra mereka tidak akan diakui atau dihargai. Sistem insentif yang rusak akibat menganaktirikan secara efektif menghukum keunggulan dan mempromosikan konformitas yang disukai oleh atasan.
Ketika sebuah departemen atau proyek dianaktirikan dalam hal sumber daya atau perhatian, inovasi akan terhenti. Ide-ide brilian yang datang dari ‘tim yang tidak disukai’ seringkali diabaikan atau ditolak tanpa pertimbangan serius, sementara ide yang sama jika diajukan oleh ‘tim favorit’ akan didukung penuh. Ini bukan hanya kerugian bagi individu, tetapi juga kerugian kompetitif bagi organisasi secara keseluruhan, yang secara efektif menyensor potensi kreatif hanya karena berasal dari sumber yang tidak disukai.
Menganaktirikan di tempat kerja juga menciptakan lingkungan yang toksik di mana politik kantor menjadi lebih penting daripada kinerja substantif. Karyawan menghabiskan energi untuk menavigasi bias dan mencoba menarik perhatian yang tidak mungkin didapatkan, alih-alih fokus pada tujuan bisnis utama. Dalam jangka panjang, hal ini mengarah pada stagnasi organisasi yang hanya menguntungkan segelintir orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan, sementara mayoritas mengalami demoralisasi kronis.
Pada skala yang lebih besar, negara atau masyarakat dapat menganaktirikan kelompok tertentu. Ini adalah inti dari diskriminasi struktural, di mana hak, kesempatan, atau perlindungan sosial secara sistematis ditahan dari kelompok minoritas, suku, agama, atau wilayah geografis tertentu.
Contoh paling jelas adalah ketidakmerataan pembangunan regional. Pemerintah mungkin memprioritaskan infrastruktur, investasi, dan fasilitas publik di wilayah tertentu (biasanya pusat kekuasaan atau wilayah yang menghasilkan keuntungan politik terbesar), sementara wilayah pinggiran atau kelompok masyarakat adat dibiarkan tertinggal. Jalan yang rusak, akses pendidikan yang buruk, dan kurangnya fasilitas kesehatan di wilayah yang dianaktirikan bukan sekadar hasil dari ketidakefisienan, tetapi seringkali merupakan hasil kebijakan yang secara implisit atau eksplisit memprioritaskan satu ‘anak’ (wilayah) di atas yang lain.
Diskriminasi rasial atau etnis juga merupakan bentuk menganaktirikan. Ketika sebuah kelompok sosial secara konsisten menghadapi hambatan untuk mendapatkan pekerjaan, pinjaman, atau keadilan hukum, mereka sedang ‘dianaktirikan’ oleh sistem sosial yang seharusnya netral. Mereka dipaksa untuk berjuang lebih keras hanya untuk mencapai titik awal yang sama dengan kelompok yang difavoritkan. Hal ini menimbulkan ketegangan sosial, frustrasi kolektif, dan pada akhirnya, dapat memicu konflik dan perpecahan nasional.
Menganaktirikan dalam konteks sosial ini beroperasi melalui mekanisme kebijakan: alokasi anggaran yang bias, kurangnya representasi politik, dan penegakan hukum yang tidak setara. Ini adalah diskriminasi yang dilembagakan, di mana sistem itu sendiri yang bertindak sebagai orang tua yang memihak, mengukuhkan kesenjangan antar generasi.
Untuk mengatasi menganaktirikan, kita harus memahami akar penyebabnya. Fenomena ini jarang sekali murni hasil dari kebencian, melainkan lebih sering merupakan hasil dari ketidaksadaran, kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi, atau mekanisme koping yang salah dari pihak yang melakukan diskriminasi.
Dalam konteks keluarga, orang tua sering menganaktirikan karena anak yang difavoritkan merupakan ekstensi atau proyeksi dari diri mereka yang ideal. Anak tersebut mungkin mencapai hal-hal yang tidak bisa dicapai orang tua, atau menunjukkan sifat-sifat yang paling dihargai oleh orang tua. Anak yang dianaktirikan, sebaliknya, mungkin mengingatkan orang tua pada kegagalan atau aspek diri yang tidak mereka sukai. Ini adalah mekanisme pertahanan psikologis di mana orang tua mencoba meningkatkan harga diri mereka sendiri melalui anak yang ‘sukses’ dan menolak bagian diri mereka yang ‘gagal’ yang mereka lihat pada anak yang lain.
Di lingkungan organisasi, mekanisme ini berulang. Manajer memfavoritkan karyawan yang memiliki gaya komunikasi, latar belakang, atau keyakinan yang sama. Fenomena ini disebut bias kesamaan (affinity bias). Manajer merasa lebih nyaman dan lebih mudah memercayai orang yang mirip dengannya, sehingga tanpa sadar memberikan peluang, informasi penting, dan perlindungan kepada kelompok kecil ini, sementara yang lain ditinggalkan.
Banyak sistem gagal dalam menerapkan keadilan distributif (alokasi sumber daya berdasarkan kebutuhan atau kontribusi). Dalam keluarga besar atau negara, keterbatasan sumber daya (waktu, uang, perhatian) memaksa pembuat keputusan untuk memilih. Ketika pilihan ini dibuat berdasarkan emosi, kepentingan pribadi, atau afiliasi politik (daripada prinsip meritokrasi atau kesetaraan kebutuhan), hasil akhirnya adalah menganaktirikan. Kegagalan untuk menetapkan kriteria objektif yang transparan dalam alokasi memastikan bahwa subjektivitas dan favoritisme akan mengisi kekosongan tersebut.
Selain itu, konsep "hak prerogatif" sering digunakan untuk membenarkan tindakan menganaktirikan. Orang tua mengklaim hak untuk mencintai anak mereka secara berbeda; manajer mengklaim hak untuk memilih tim terbaik; dan pemerintah mengklaim hak untuk menetapkan prioritas. Penggunaan klaim hak absolut ini menutup pintu bagi akuntabilitas dan kritik terhadap perlakuan yang tidak adil.
Salah satu aspek paling destruktif dari menganaktirikan adalah sifatnya yang menular dan berulang secara intergenerasi. Trauma ini jarang berakhir pada korban pertama; sebaliknya, ia sering diturunkan kepada generasi berikutnya melalui pola pengasuhan dan interaksi sosial yang terinternalisasi.
Individu yang dianaktirikan semasa kecil seringkali kesulitan membebaskan diri dari pola ini saat mereka menjadi orang tua. Ada dua jalur utama reproduksi:
Siklus ini hanya dapat diputus melalui kesadaran diri yang mendalam dan kerja terapeutik yang signifikan. Tanpa refleksi, luka lama menjadi cetak biru bagi disfungsi baru. Korban harus secara aktif ‘mengasuh kembali’ diri mereka sendiri untuk memvalidasi rasa sakit yang ditolak oleh orang tua mereka, sebelum mereka dapat menawarkan pengasuhan yang utuh kepada anak-anak mereka sendiri.
Seseorang yang dibesarkan dalam bayang-bayang menganaktirikan sering membawa kerentanan ini ke dalam hubungan romantis dan pertemanan mereka. Mereka mungkin secara otomatis berasumsi bahwa mereka akan menjadi pihak yang kurang penting, yang kurang dicintai, atau yang harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan pengakuan. Ini dapat termanifestasi sebagai:
Pemahaman akan pola-pola hubungan yang berulang ini penting. Menganaktirikan membentuk skema diri yang bertahan lama—sebuah peta mental yang mengajarkan kita bahwa cinta datang dengan syarat, dan bahwa kita harus selalu menjadi pihak yang kalah dalam hal kasih sayang dan pengakuan.
Di luar rasa sakit pribadi, menganaktirikan, terutama pada tingkat organisasi dan sosial, adalah masalah etika dan hukum yang serius. Prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan non-diskriminasi menjadi inti dari sistem hukum modern.
Secara etika, menganaktirikan melanggar prinsip keadilan distributif. Keadilan menuntut bahwa sumber daya, hukuman, dan penghargaan harus didistribusikan berdasarkan kriteria yang relevan (seperti kebutuhan, kontribusi, atau kemampuan), bukan berdasarkan kriteria arbitrer seperti kekerabatan, ras, atau kecocokan pribadi. Ketika keputusan dibuat karena favoritisme buta, hal itu merusak integritas sistem dan kepercayaan publik.
Dalam konteks publik, ketika dana negara dialokasikan secara bias ke daerah tertentu, hal ini bukan hanya inefisiensi, tetapi juga pengkhianatan terhadap kontrak sosial yang menjamin bahwa setiap warga negara, terlepas dari lokasi geografis atau afiliasi politik, berhak mendapatkan pelayanan dasar yang layak. Menganaktirikan di sini adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dilembagakan.
Meskipun undang-undang anti-diskriminasi sangat efektif dalam menangani bias berdasarkan ras, gender, atau agama, hukum sering kali kesulitan mengatasi menganaktirikan dalam bentuknya yang paling halus—yaitu, favoritisme subjektif. Misalnya, sulit bagi karyawan untuk mengajukan gugatan hukum hanya karena atasan mereka lebih menyukai rekan kerja yang lain, asalkan perlakuan tersebut tidak melanggar kategori diskriminasi yang dilindungi secara hukum.
Dalam konteks keluarga, intervensi hukum terhadap menganaktirikan (misalnya, pembedaan perlakuan antar anak kandung) hampir mustahil. Hukum mengakui hak otonomi orang tua. Meskipun kasus pengabaian atau kekerasan fisik jelas dapat ditindak, perlakuan buruk yang sifatnya emosional dan subtil berada di luar jangkauan yurisdiksi hukum. Ini menegaskan bahwa solusi untuk menganaktirikan dalam hubungan interpersonal sangat bergantung pada perubahan kesadaran, bukan hanya penegakan hukum.
Bagi korban menganaktirikan, pemulihan adalah proses yang panjang yang melibatkan pengakuan atas rasa sakit yang dialami, validasi pengalaman, dan pembangunan kembali identitas diri yang tidak bergantung pada penerimaan dari pihak yang melakukan diskriminasi.
Langkah pertama dalam pemulihan adalah berhenti meragukan realitas pengalaman. Korban harus secara sadar mengakui, "Ya, saya dianaktirikan. Ini bukan salah saya. Rasa sakit saya valid." Pengakuan ini seringkali membutuhkan pemutusan hubungan dengan narasi keluarga yang menuntut bahwa segala sesuatu ‘baik-baik saja’ atau bahwa perlakuan tidak adil itu ‘pantas.’
Terapi, terutama terapi kognitif-perilaku (CBT) dan terapi berbasis trauma (seperti EMDR atau Internal Family Systems/IFS), dapat sangat membantu. Terapis bertindak sebagai validator eksternal yang netral, membantu korban memproses emosi kemarahan dan kesedihan yang telah lama ditekan. Mengidentifikasi dan menetapkan batasan (boundaries) yang sehat dengan pihak yang melakukan diskriminasi juga krusial, bahkan jika itu berarti mengurangi atau memutus kontak.
Tugas utama pemulihan adalah membangun sistem nilai diri internal yang otonom. Nilai diri korban menganaktirikan selama ini didasarkan pada seberapa keras mereka mencoba untuk mendapatkan pengakuan. Pemulihan mengharuskan pergeseran: nilai diri harus didasarkan pada keberadaan intrinsik mereka, terlepas dari apakah mereka diakui atau dicintai oleh ‘orang tua’ (atau sistem) yang gagal.
Hal ini melibatkan penemuan kembali passion, kekuatan, dan hubungan yang memvalidasi. Dengan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung di mana mereka dihargai secara adil, korban dapat secara bertahap menimpa memori emosional trauma dengan pengalaman positif penerimaan tanpa syarat. Ini adalah proses "menganaktirikan diri sendiri dengan benar"—memberikan kepada diri sendiri cinta, perhatian, dan sumber daya yang ditahan oleh sistem yang diskriminatif.
Pencegahan menganaktirikan, baik di tingkat mikro maupun makro, membutuhkan kesadaran kolektif dan komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas.
Dalam konteks keluarga, pencegahan dimulai dengan pendidikan orang tua tentang bias dan dampaknya. Orang tua perlu menyadari bahwa cinta yang setara tidak berarti perlakuan yang identik. Perlakuan yang adil adalah perlakuan yang memenuhi kebutuhan unik setiap anak. Misalnya, satu anak mungkin membutuhkan dukungan finansial, sementara yang lain membutuhkan dukungan emosional yang lebih intensif. Kegagalan untuk membedakan antara kebutuhan versus keinginan dan kegagalan untuk berkomunikasi secara terbuka tentang perbedaan perlakuan inilah yang memicu rasa dianaktirikan.
Program-program pengasuhan yang berfokus pada kecerdasan emosional dan komunikasi non-kekerasan dapat membantu orang tua mengidentifikasi bias tersembunyi mereka sebelum bias tersebut menjadi trauma yang permanen bagi anak. Membangun budaya keluarga di mana konflik dan perasaan negatif dapat diekspresikan dengan aman adalah benteng pertahanan terbaik melawan fenomena kambing hitam.
Di lingkungan kerja, menganaktirikan harus dilawan dengan struktur yang kuat:
Pencegahan di tingkat struktural berarti menciptakan sistem yang dirancang untuk memperlakukan semua pihak sebagai ‘anak kandung’ yang setara, di mana validitas dan potensi tidak didasarkan pada preferensi subjektif, melainkan pada prinsip keadilan yang universal.
Menganaktirikan, sebagai metafora untuk diskriminasi dan pengabaian, adalah salah satu bentuk penderitaan manusia yang paling kuno dan paling merusak. Dari kamar tidur masa kecil yang dipenuhi kecemburuan hingga koridor kekuasaan yang dipenuhi favoritisme politik, inti masalahnya tetap sama: penolakan validasi dan penahanan sumber daya karena alasan yang tidak adil.
Dampak kumulatif dari menganaktirikan adalah erosi kepercayaan—kepercayaan pada orang tua, pada atasan, pada institusi, dan yang paling menyedihkan, kepercayaan pada diri sendiri. Luka yang ditimbulkan tidak hanya merusak individu yang menderita, tetapi juga merusak ikatan sosial yang seharusnya menyatukan kita.
Mengatasi fenomena menganaktirikan memerlukan upaya ganda. Secara internal, kita harus melakukan perjalanan pemulihan untuk menyembuhkan skema diri yang rusak dan belajar untuk mencintai diri sendiri tanpa izin dari pihak luar. Secara eksternal, kita harus menuntut dan membangun sistem sosial, ekonomi, dan politik yang menerapkan prinsip keadilan distributif yang ketat, di mana semua pihak diperlakukan dengan martabat dan kesempatan yang setara, menolak godaan untuk menciptakan anak emas dan mengorbankan kambing hitam.
Kesetaraan sejati bukanlah tentang mencintai semua orang secara identik, tetapi tentang menghormati martabat setiap orang secara absolut. Hanya dengan komitmen ini, kita dapat mulai membongkar racun menganaktirikan yang telah lama merusak fondasi keluarga, komunitas, dan bangsa kita.
***
Fenomena menganaktirikan seringkali muncul dari ketidaknyamanan orang tua dalam menghadapi perbedaan kepribadian anak-anak mereka. Orang tua mungkin tidak memiliki alat emosional untuk mengelola anak yang memiliki temperamen yang berbeda dari yang mereka harapkan, atau yang menantang otoritas mereka dengan cara yang lebih terang-terangan. Anak yang lebih mudah dikelola, yang ‘sesuai cetakan,’ secara otomatis menerima perlakuan yang lebih baik. Ini adalah masalah kontrol: anak yang difavoritkan adalah anak yang memberikan ilusi kontrol dan kesuksesan bagi orang tua, sementara anak yang dianaktirikan adalah pengingat akan ketidakmampuan orang tua untuk mengontrol hasil. Oleh karena itu, menganaktirikan adalah manifestasi dari kepengecutan emosional orang tua, yang menolak untuk menerima realitas anak mereka apa adanya.
Transmisi antar-generasi dari trauma menganaktirikan seringkali sangat halus. Seseorang mungkin bersumpah untuk tidak pernah memfavoritkan anak-anaknya, tetapi tanpa terapi mendalam, mereka mungkin mengulangi dinamika dengan cara yang berbeda—misalnya, dengan menjadi terlalu permisif (sebagai kompensasi atas kekakuan yang mereka alami) yang justru menciptakan anak-anak yang kesulitan menghadapi batasan dunia nyata. Atau, mereka mungkin memfavoritkan anak yang secara fisik lebih lemah atau membutuhkan perhatian lebih besar, tanpa menyadari bahwa kebutuhan emosional anak yang lebih mandiri sama pentingnya, tetapi diabaikan karena mereka dianggap ‘kuat’ atau ‘mampu mengatasinya.’ Pola pengabaian halus ini adalah bentuk menganaktirikan yang sulit diidentifikasi tetapi sama merusaknya.
Dalam konteks sosiologi ekonomi, menganaktirikan dapat dilihat dalam kebijakan pajak dan subsidi. Ketika pemerintah memberikan insentif besar kepada korporasi raksasa (anak emas) sambil membebankan pajak yang tidak proporsional kepada usaha kecil (anak tiri), hal ini menciptakan ketidakadilan sistemik. Usaha kecil harus berjuang melawan birokrasi dan keterbatasan modal, sementara konglomerat menikmati jalur cepat dan perlindungan kebijakan. Fenomena ini menciptakan oligopoli dan monopoli, di mana pasar tidak lagi beroperasi berdasarkan meritokrasi, tetapi berdasarkan koneksi dan favoritisme politik. Masyarakat secara keseluruhan menanggung kerugian dari pasar yang kurang kompetitif dan inovatif.
Di bidang pendidikan, menganaktirikan dapat terlihat dalam alokasi dana antar sekolah. Sekolah di daerah kaya mungkin memiliki fasilitas canggih, rasio guru-murid yang rendah, dan sumber daya digital yang melimpah, sementara sekolah di daerah miskin berjuang dengan bangunan tua, buku teks yang usang, dan guru yang kelelahan. Perbedaan ini, meskipun seringkali dibenarkan dengan alasan pendanaan pajak lokal, secara etika adalah bentuk menganaktirikan generasi muda yang lahir di lingkungan yang kurang beruntung. Mereka ‘dianaktirikan’ oleh sistem yang seharusnya menawarkan kesetaraan kesempatan. Kegagalan sistemik ini mengukuhkan siklus kemiskinan dan membatasi mobilitas sosial secara drastis, menjamin bahwa status sosial orang tua cenderung menentukan nasib anak-anak mereka, bukan potensi atau usaha mereka sendiri.
Mekanisme koping yang dikembangkan oleh individu yang dianaktirikan sangat beragam. Salah satu respons umum adalah menjadi ‘penghibur’ (pleaser) yang kompulsif, selalu berusaha menyenangkan orang lain dan memenangkan persetujuan, bahkan dengan mengorbankan kebutuhan mereka sendiri. Mereka percaya bahwa jika mereka ‘cukup baik’ atau ‘cukup membantu,’ akhirnya mereka akan diterima. Tragisnya, perilaku ini seringkali hanya menghasilkan lebih banyak pengabaian, karena orang lain merasa nyaman mengambil keuntungan dari kerelaan mereka. Bentuk koping lainnya adalah hiper-independensi—menolak bantuan atau kedekatan emosional karena mereka telah belajar bahwa bergantung pada orang lain hanya akan menghasilkan kekecewaan. Mereka membangun tembok emosional yang tinggi, memastikan bahwa meskipun mereka tidak akan pernah lagi dilukai oleh penolakan, mereka juga akan hidup dalam isolasi emosional yang permanen.
Untuk memutus rantai ini, korban harus belajar melawan internalisasi kritik. Seringkali, suara hati mereka adalah suara orang tua atau sistem yang menganaktirikan mereka. Pemulihan melibatkan membedakan antara kritik yang membangun dan suara internal yang merusak yang berulang kali mengatakan, “Kamu tidak pantas mendapatkan ini.” Ini membutuhkan latihan kesadaran (mindfulness) yang intensif untuk mengamati pikiran-pikiran ini tanpa mengidentifikasi diri dengannya, dan secara aktif menggantinya dengan pernyataan yang validatif dan penuh kasih sayang. Ini adalah proses menciptakan ‘orang tua batin’ yang baik dan adil.
Dalam lingkup politik internasional, menganaktirikan dapat terlihat dalam hubungan antara negara-negara kaya dan negara-negara berkembang. Bantuan internasional seringkali datang dengan ikatan yang menguntungkan donor (anak emas), sementara negara penerima (anak tiri) dipaksa untuk mengadopsi kebijakan yang mungkin tidak optimal untuk kepentingan jangka panjang mereka sendiri. Ini adalah bentuk neokolonialisme yang beroperasi melalui mekanisme favoritisme ekonomi, di mana beberapa negara dianggap lebih penting dan karenanya diberikan perlakuan istimewa dan akses ke pasar global, sementara yang lain diabaikan atau dibebani utang yang berkelanjutan.
Diskusi mengenai menganaktirikan harus selalu kembali pada konsep keberadaan yang terlihat (visibility of existence). Ketika seseorang atau kelompok dianaktirikan, mereka menjadi tidak terlihat oleh pihak yang berkuasa. Kebutuhan mereka diabaikan, pencapaian mereka tidak dicatat, dan penderitaan mereka dibungkam. Perjuangan untuk mengatasi menganaktirikan adalah perjuangan untuk visibilitas, untuk diakui secara penuh sebagai manusia yang setara dengan hak-hak yang tak terbantahkan. Baik itu di meja makan keluarga, ruang rapat dewan direksi, atau di tingkat PBB, pengakuan bahwa setiap individu memiliki nilai intrinsik yang tak ternilai adalah satu-satunya penawar abadi terhadap praktik diskriminatif yang merusak jiwa ini. Menganaktirikan adalah luka pada kemanusiaan itu sendiri, dan penyembuhannya adalah tanggung jawab kolektif.
***
Terkait dengan dinamika hubungan saudara kandung (sibling rivalry) di tengah menganaktirikan, situasi menjadi sangat rumit. Anak yang difavoritkan seringkali merasa terbebani oleh harapan yang tidak realistis dan pada saat yang sama, mereka harus berjuang dengan rasa bersalah yang tersembunyi terhadap saudara mereka yang dianaktirikan. Rasa bersalah ini dapat termanifestasi sebagai upaya untuk menjaga jarak, atau justru menjadi pahlawan yang kompulsif, mencoba ‘memperbaiki’ situasi, yang seringkali malah memperburuk hubungan. Sebaliknya, anak yang dianaktirikan mungkin menargetkan kemarahan mereka pada saudara yang difavoritkan, alih-alih pada orang tua yang merupakan sumber diskriminasi yang sebenarnya. Ini adalah mekanisme pengalihan yang umum dalam sistem yang disfungsional: korban berkelahi satu sama lain sementara pihak yang melakukan diskriminasi tetap tidak tertantang.
Pentingnya narasi pribadi yang direvisi dalam proses pemulihan tidak bisa diremehkan. Korban menganaktirikan sering kali membawa narasi bahwa mereka adalah ‘orang yang salah’ atau ‘tidak pantas.’ Pemulihan mengharuskan mereka untuk menulis ulang kisah hidup mereka, mengubah peran dari korban yang pasif menjadi penyintas yang kuat. Ini termasuk mengenali bahwa kegagalan orang tua atau sistem untuk mencintai dan mengakui mereka adalah cerminan dari disfungsi orang tua/sistem itu sendiri, bukan cerminan nilai diri mereka. Proses ini membutuhkan ketahanan mental yang luar biasa, seringkali berlangsung bertahun-tahun, tetapi hasilnya adalah kebebasan emosional yang sejati.
Dari sudut pandang hukum dan etika bisnis, konsep menganaktirikan juga relevan dalam praktik pemutusan hubungan kerja (PHK) massal atau restrukturisasi. Seringkali, ketika perusahaan harus memangkas anggaran, departemen yang dianggap ‘esensial’ atau ‘pusat laba’ (anak emas) dilindungi, sementara departemen pendukung atau unit yang baru dibentuk (anak tiri) menjadi target PHK pertama. Meskipun keputusan ini mungkin dibenarkan secara finansial, jika dilakukan tanpa transparansi dan tanpa mempertimbangkan kontribusi jangka panjang, hal itu dapat dianggap sebagai menganaktirikan sumber daya manusia, yang merusak moral dan loyalitas karyawan yang tersisa.
Menganaktirikan juga muncul dalam konteks budaya. Dalam beberapa masyarakat, anak laki-laki secara tradisional difavoritkan di atas anak perempuan (atau sebaliknya). Diskriminasi gender ini adalah bentuk pelembagaan menganaktirikan, di mana anak perempuan mungkin ditolak akses ke pendidikan tinggi atau warisan, sementara semua sumber daya dicurahkan kepada anak laki-laki. Meskipun praktik ini mungkin berakar pada tradisi, dampaknya adalah membatasi potensi setengah dari populasi, yang pada akhirnya merugikan perkembangan ekonomi dan sosial negara secara keseluruhan. Perjuangan untuk kesetaraan gender adalah perjuangan untuk mengakhiri menganaktirikan yang diwariskan secara budaya.
Solusi pencegahan kolektif harus fokus pada penyediaan ruang aman untuk konflik. Di tempat kerja, ini berarti menyediakan saluran anonim bagi karyawan untuk melaporkan favoritisme tanpa takut akan pembalasan. Dalam keluarga, ini berarti mengajarkan anggota keluarga untuk menyampaikan kekecewaan secara asertif, bukan pasif-agresif atau melalui mekanisme kambing hitam. Konflik adalah keniscayaan, tetapi bagaimana kita mengelola konflik dan ketidaksetaraan adalah penentu apakah suatu sistem bersifat adil atau menganaktirikan.
Ketika kita melihat fenomena menganaktirikan di semua tingkatan—dari interpersonal hingga struktural—kita menyadari bahwa ini adalah cerminan dari kecenderungan manusia untuk mengelompokkan dan membedakan. Dorongan untuk menciptakan ‘kita’ yang disukai dan ‘mereka’ yang kurang disukai adalah bawaan, tetapi tugas peradaban dan etika adalah untuk melawan dorongan tersebut. Kita harus berjuang untuk sebuah dunia di mana kasih sayang, pengakuan, dan sumber daya didistribusikan berdasarkan prinsip kemanusiaan yang mendasar, dan bukan berdasarkan bias subyektif atau afiliasi yang dangkal. Hanya dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa tidak ada lagi individu atau kelompok yang dipaksa hidup di bawah bayang-bayang status ‘anak tiri.’
***
Dalam konteks komunikasi, menganaktirikan sering termanifestasi sebagai penolakan komunikasi (stonewalling) atau pengabaian selektif. Orang tua mungkin secara aktif mendengarkan dan merespons setiap permintaan atau cerita dari anak yang difavoritkan, sementara cerita yang sama dari anak yang dianaktirikan disambut dengan keheningan, pengalihan topik, atau tanggapan minimal. Bentuk pengabaian verbal ini menyampaikan pesan yang jelas: "Suara Anda tidak penting di sini." Akumulasi dari pesan-pesan ini menciptakan luka komunikasi yang mendalam, membuat korban merasa bahwa upaya mereka untuk terhubung atau menyampaikan diri selalu ditolak. Mereka belajar untuk diam, menarik diri, atau hanya berbicara ketika benar-benar diperlukan, yang selanjutnya memperkuat narasi pengabaian.
Di tempat kerja, pengabaian komunikasi ini terlihat ketika seorang karyawan secara konsisten dikeluarkan dari rapat penting, tidak di-cc dalam email kunci, atau tidak pernah dimintai pendapat dalam proses pengambilan keputusan strategis. Meskipun karyawan tersebut mungkin masih dipekerjakan, mereka secara efektif dianaktirikan dari ‘arus informasi’ dan ‘modal sosial’ perusahaan. Ini adalah bentuk hukuman pasif yang menghambat kemajuan karier mereka tanpa perlu adanya pemecatan resmi. Ini sangat sulit untuk dilawan karena tidak ada bukti fisik diskriminasi, hanya serangkaian pengecualian kecil yang terakumulasi. Strategi koping di sini harus melibatkan dokumentasi ketat atas setiap contoh pengecualian dan membangun jaringan di luar lingkaran favoritisme manajemen.
Analisis filosofis menunjukkan bahwa menganaktirikan menantang konsep hak untuk memiliki kehadiran ontologis. Setiap manusia berhak untuk ada dan diakui secara penuh. Ketika perlakuan diskriminatif menahan pengakuan ini, itu merampas sebagian dari keberadaan seseorang. Ini bukan hanya tentang kurangnya cinta, tetapi tentang penolakan untuk mengakui nilai intrinsik seseorang. Oleh karena itu, perjuangan melawan menganaktirikan adalah perjuangan untuk memulihkan martabat fundamental, untuk menegaskan, "Saya ada, dan keberadaan saya sama pentingnya dengan keberadaan orang lain."
Bagi mereka yang berada di posisi kekuasaan (orang tua, manajer, pemimpin negara), tugas etika adalah praktik refleksi konstan. Pemimpin harus secara rutin bertanya pada diri sendiri: Siapa yang paling sering saya ajak bicara? Siapa yang paling sering saya promosikan? Siapa yang paling sering saya bela? Jika jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini secara konsisten mengarah pada kelompok yang sama atau individu yang sama, maka ada bias yang beroperasi, dan tindakan korektif harus diambil. Refleksi ini memerlukan kerendahan hati untuk mengakui bahwa niat baik tidak selalu sejalan dengan hasil yang adil. Keadilan menuntut tindakan yang disengaja untuk mengangkat mereka yang telah ditinggalkan, untuk memberikan perhatian kepada mereka yang secara tradisional telah diabaikan.
Menganaktirikan adalah isu yang menuntut kita untuk melihat lebih dalam ke dalam bayangan masyarakat dan diri kita sendiri. Ia menantang klaim kita tentang cinta tanpa syarat dan keadilan universal. Selama kita mengizinkan adanya ‘anak tiri’ dalam sistem kita, baik di rumah maupun di panggung global, kita mengakui kegagalan kita untuk mencapai kemanusiaan sejati. Upaya pemulihan adalah perjalanan dari kegelapan menuju cahaya, dari rasa sakit yang tak terlihat menjadi validasi yang diakui secara publik. Ini adalah janji untuk menciptakan lingkungan di mana setiap orang dapat berkembang, bebas dari beban perbandingan yang tidak adil dan pengabaian yang merusak.
***
Salah satu nuansa paling penting dalam memahami menganaktirikan adalah membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Orang tua atau sistem yang adil harus mampu melihat kebutuhan yang berbeda, namun seringkali mereka bingung. Mereka berasumsi bahwa anak yang paling vokal atau paling menuntut (seringkali yang difavoritkan karena telah belajar bahwa rengekan bekerja) memiliki kebutuhan yang lebih besar, sementara anak yang pendiam dan mandiri (seringkali yang dianaktirikan) dianggap tidak membutuhkan apa-apa. Kenyataannya, anak yang mandiri mungkin telah mengembangkan kemandiriannya sebagai mekanisme koping untuk menutupi rasa sakit pengabaian. Oleh karena itu, anak tersebut memiliki kebutuhan emosional yang tersembunyi, yang justru semakin terabaikan karena perilaku mandiri mereka menipu pengamat yang tidak cermat.
Dalam konteks pengembangan profesional, menganaktirikan dapat terlihat dalam penugasan proyek-proyek pelatihan dan pengembangan. Karyawan yang dipandang sebagai ‘bintang masa depan’ (anak emas) diberikan akses ke mentor terbaik, kursus kepemimpinan mahal, dan proyek-proyek berisiko tinggi namun memiliki visibilitas tinggi. Sementara itu, karyawan lain (anak tiri) hanya diberikan tugas rutin atau pelatihan yang murah dan generik. Perbedaan dalam investasi ini secara efektif menciptakan ketidaksetaraan dalam keterampilan dan jaringan, yang menjamin bahwa yang difavoritkan akan terus unggul, bukan karena mereka secara inheren lebih baik, tetapi karena sistem telah berinvestasi secara eksklusif pada mereka.
Untuk mengatasi bias alokasi sumber daya ini, perusahaan perlu menerapkan sistem ‘undian’ atau rotasi paksa untuk program pengembangan kunci, memastikan bahwa kesempatan tidak hanya didistribusikan melalui jaringan pertemanan manajer. Selain itu, harus ada mekanisme umpan balik 360 derajat yang anonim yang memungkinkan karyawan menilai kepemimpinan mereka berdasarkan praktik keadilan dan kesetaraan dalam alokasi kesempatan.
Aspek penting lain dari menganaktirikan adalah penolakan warisan emosional yang adil. Dalam keluarga, warisan tidak hanya berupa aset finansial, tetapi juga cerita, kenangan positif, dan citra diri. Anak yang dianaktirikan mungkin ditinggalkan dengan cerita keluarga yang negatif (mereka ‘sulit,’ ‘selalu bermasalah’), sementara anak yang difavoritkan mewarisi narasi kebanggaan dan keberhasilan. Ini adalah warisan yang lebih merusak daripada kerugian finansial, karena ia membentuk cara mereka dilihat oleh dunia dan cara mereka melihat diri mereka sendiri. Pemulihan memerlukan penulisan ulang memori kolektif keluarga, atau setidaknya, penolakan secara sadar terhadap narasi negatif yang dipaksakan tersebut.
Menganaktirikan juga memiliki relevansi dalam diskursus kesehatan masyarakat. Ketika pandemi melanda, kelompok masyarakat tertentu (misalnya, yang tinggal di lingkungan padat atau yang bekerja di sektor esensial bergaji rendah) secara tidak proporsional menanggung risiko infeksi, sementara akses ke vaksin atau pengobatan terbaik pertama-tama diberikan kepada kelompok yang difavoritkan secara ekonomi atau politik. Perlakuan yang tidak setara dalam krisis kesehatan ini adalah bentuk ekstrem dari menganaktirikan sosial, yang mengungkapkan secara brutal siapa yang benar-benar dihargai oleh sistem dan siapa yang dianggap ‘dapat dikorbankan.’ Keadilan dalam kesehatan masyarakat menuntut alokasi sumber daya berdasarkan kebutuhan dan kerentanan, bukan kekuasaan atau status sosial.
Pada akhirnya, solusi abadi terhadap menganaktirikan harus berakar pada empati radikal. Empati radikal bukan hanya merasakan apa yang dirasakan orang lain, tetapi juga mengambil tindakan untuk menghilangkan hambatan yang menyebabkan penderitaan mereka. Baik sebagai individu dalam keluarga, pemimpin dalam organisasi, atau warga negara dalam masyarakat, kita memiliki tanggung jawab moral untuk bersuara ketika kita menyaksikan perlakuan yang tidak adil. Keheningan dalam menghadapi menganaktirikan adalah bentuk persetujuan pasif. Hanya melalui keberanian untuk menamai diskriminasi ini dan bekerja secara konsisten menuju kesetaraan sejati, kita dapat mulai menyembuhkan luka yang telah menimpa begitu banyak orang di bawah label 'anak tiri'.
***
Sebagai penutup dari analisis mendalam ini, kita harus menegaskan bahwa menganaktirikan adalah sebuah penyakit sistemik yang membutuhkan intervensi sistemik. Tidak cukup hanya menyembuhkan individu yang terluka; kita harus merombak struktur yang menghasilkan luka tersebut. Dalam setiap konteks—pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik—praktik menganaktirikan beroperasi sebagai hambatan terhadap potensi penuh manusia. Membangun dunia yang adil berarti menjamin bahwa setiap individu memiliki kursi di meja, suara yang didengar, dan sumber daya yang cukup untuk mencapai potensi mereka. Ini adalah tugas tanpa akhir, tetapi penting untuk kemajuan moralitas dan kemanusiaan kita.
Akhir kata, pemahaman yang kritis dan jujur tentang menganaktirikan—di semua bentuknya yang terselubung maupun terbuka—adalah kunci untuk bergerak melampaui bias warisan dan membangun masyarakat yang benar-benar inklusif dan berkeadilan bagi semua.