Aktivitas finansial, baik dalam skala individu maupun korporasi, seringkali memerlukan modal eksternal untuk mencapai tujuan tertentu. Kebutuhan akan dana segar ini, yang biasanya diwujudkan melalui pinjaman atau kredit, membawa serta keharusan untuk menyediakan keamanan atau jaminan. Proses penyediaan jaminan inilah yang dikenal secara umum sebagai mengagunkan aset. Mengagunkan bukan sekadar menyerahkan barang, tetapi merupakan sebuah mekanisme legal dan ekonomi yang fundamental dalam menjaga stabilitas sistem perbankan dan pembiayaan secara keseluruhan.
Konsep mengagunkan merujuk pada tindakan hukum di mana seorang debitur (peminjam) menjaminkan hak kepemilikan atas aset tertentu kepada kreditur (pemberi pinjaman) sebagai pengamanan atas pelunasan utangnya. Apabila debitur gagal memenuhi kewajiban pembayaran (wanprestasi), kreditur memiliki hak legal untuk mengeksekusi aset yang diagunkan tersebut guna melunasi sisa kewajiban yang tertunggak. Praktik ini memastikan adanya perlindungan finansial bagi pemberi pinjaman, sehingga memungkinkan alokasi dana yang lebih besar dan risiko yang terkelola.
Ilustrasi Jaminan Keuangan: Kunci (keamanan) dan Dokumen (legalitas).
Di Indonesia, kerangka hukum yang mengatur tindakan mengagunkan sangat spesifik dan terbagi berdasarkan jenis aset yang dijadikan jaminan. Pemahaman yang mendalam mengenai terminologi hukum adalah krusial untuk memastikan keabsahan dan kekuatan eksekutorial dari perjanjian agunan tersebut.
Secara umum, istilah agunan sering digunakan secara bergantian dengan jaminan. Jaminan adalah segala bentuk aset yang dapat diikat secara hukum untuk menjamin kewajiban. Dalam konteks perbankan, aset yang diagunkan harus memenuhi kriteria 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition). Aspek Collateral inilah yang merujuk pada agunan yang diserahkan. Fungsi utama agunan adalah sebagai sumber pelunasan sekunder jika sumber pelunasan primer (kemampuan bayar debitur) gagal.
Hukum jaminan di Indonesia mengenal dua bentuk utama ikatan jaminan, yang dibedakan berdasarkan sifat aset (bergerak atau tidak bergerak) dan mekanisme pengikatannya:
Hak Tanggungan (HT) diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996. Mekanisme ini khusus digunakan untuk mengagunkan tanah dan bangunan, termasuk hak milik, HGB (Hak Guna Bangunan), dan HGU (Hak Guna Usaha). Hak Tanggungan memberikan hak preferensi (mendahului kreditur lain) kepada kreditur untuk mengambil pelunasan dari hasil penjualan aset tersebut melalui lelang umum jika terjadi wanprestasi. Ciri khas Hak Tanggungan adalah:
Jaminan Fidusia diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999. Konsep fidusia sangat penting karena memungkinkan aset bergerak (seperti kendaraan bermotor, mesin, persediaan barang dagangan, hingga piutang dagang) untuk diagunkan tanpa harus diserahkan secara fisik kepada kreditur. Istilah fidusia sendiri berarti "kepercayaan".
Dalam fidusia, kepemilikan yuridis (legal) aset beralih kepada kreditur (Penerima Fidusia), namun penguasaan fisik aset (bezit) tetap berada pada debitur (Pemberi Fidusia). Hal ini memungkinkan debitur tetap menggunakan aset produktifnya (misalnya, truk atau mesin produksi) sementara aset tersebut diikat sebagai jaminan.
Meskipun saat ini Hak Tanggungan dan Fidusia lebih dominan, gadai dan hipotek (untuk kapal) masih relevan. Gadai (Panding) digunakan untuk aset bergerak yang penyerahan fisiknya (penguasaan) dilakukan kepada kreditur. Contoh paling umum adalah Pegadaian. Sementara Hipotek Kapal digunakan khusus untuk mengagunkan kapal besar yang telah didaftarkan secara resmi, diatur oleh KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
Detail dan nuansa hukum ini menekankan bahwa proses mengagunkan adalah proses yang sangat formal dan tidak dapat dilakukan sembarangan. Kegagalan dalam memenuhi persyaratan pendaftaran (khususnya untuk Hak Tanggungan dan Fidusia) dapat menghilangkan hak preferensi kreditur, sehingga berisiko gagalnya upaya pelunasan jika debitur jatuh pailit atau memiliki banyak kreditur lain.
Proses mengagunkan juga sangat bergantung pada lembaga penunjang. Misalnya, dalam Hak Tanggungan, peran Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) sangat vital untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang sah. Dalam Fidusia, peran Kantor Pendaftaran Fidusia memastikan kekuatan eksekutorial jaminan. Keterlibatan lembaga ini memastikan bahwa ikatan jaminan sah dan memenuhi asas publisitas, sehingga pihak ketiga dapat mengetahui bahwa aset tersebut sedang dijaminkan.
Proses mengagunkan adalah bagian integral dari prosedur pemberian kredit yang komprehensif. Tahapan ini melibatkan penilaian risiko, penentuan nilai agunan, dokumentasi legal, hingga pengikatan resmi.
Sebelum menerima aset sebagai jaminan, kreditur harus melakukan penilaian menyeluruh terhadap dua hal: debitur (kapasitas dan karakter) dan aset (legalitas dan nilai). Dalam konteks aset yang diagunkan, kreditur wajib memastikan:
Salah satu langkah terpenting dalam mengagunkan adalah menentukan nilai wajar (Fair Market Value) dari aset. Nilai ini biasanya ditentukan oleh penilai independen (appraiser) yang bersertifikat, terutama untuk aset bernilai tinggi seperti properti komersial atau pabrik. Kreditur menggunakan nilai ini untuk menentukan LTV (Loan-to-Value Ratio), yaitu perbandingan antara jumlah pinjaman yang disetujui dengan nilai agunan.
Valuasi properti biasanya menggunakan tiga pendekatan utama yang saling melengkapi:
Hasil valuasi ini akan menjadi dasar perhitungan Nilai Likuidasi. Nilai Likuidasi adalah perkiraan nilai yang dapat diperoleh kreditur jika aset harus dijual cepat (dilelang) dalam kondisi pasar yang kurang ideal. Jumlah pinjaman yang diberikan hampir selalu didasarkan pada Nilai Likuidasi, bukan Nilai Pasar Wajar penuh, sebagai margin pengamanan (Haircut).
Ilustrasi Aset Tidak Bergerak (Properti) yang diagunkan.
Setelah nilai disepakati, proses mengagunkan dilanjutkan dengan pembuatan perjanjian legal yang mengikat. Tahapan ini memerlukan kehati-hatian maksimal karena dokumen inilah yang menjadi dasar eksekusi di masa depan.
Proses mengagunkan tidak berhenti setelah pinjaman cair. Kreditur wajib melakukan pengawasan berkala terhadap aset yang dijadikan jaminan, khususnya untuk aset bergerak atau aset yang nilainya fluktuatif (seperti inventaris atau saham). Pengawasan ini bertujuan untuk:
Hampir semua aset yang memiliki nilai ekonomi dan dapat diukur kepemilikannya dapat diagunkan. Namun, tingkat risiko dan likuiditas (kemudahan untuk diuangkan kembali) sangat bervariasi tergantung jenis asetnya.
Properti (tanah dan bangunan) adalah bentuk agunan paling populer karena stabilitas nilainya, umur ekonomis yang panjang, dan prosedur hukumnya yang sangat terstruktur (Hak Tanggungan). Risiko utama dari agunan properti adalah risiko pasar (penurunan harga properti) dan risiko lingkungan (misalnya, lokasi yang menjadi rawan bencana setelah pemberian kredit). Selain itu, legalitas sertifikat (apakah asli, tumpang tindih, atau sengketa) selalu menjadi fokus utama dalam due diligence properti.
Kreditur seringkali lebih menyukai properti yang sudah matang (established area) dibandingkan properti di lokasi baru, karena nilai likuiditas properti matang lebih teruji.
Aset produktif seperti mesin pabrik atau alat berat sering diagunkan melalui mekanisme Fidusia, terutama dalam skema Kredit Investasi. Tantangan utama dalam mengagunkan jenis aset ini adalah depresiasi yang cepat. Nilai mesin cenderung turun drastis seiring waktu dan penggunaan. Selain itu, nilai jual kembali mesin sangat bergantung pada teknologi dan pasar sekunder industri terkait.
Risiko lainnya adalah risiko operasional; jika mesin tidak dirawat dengan baik atau digunakan secara berlebihan, nilai agunan dapat tergerus dengan cepat. Oleh karena itu, monitoring fisik dan asuransi teknis (machinery breakdown insurance) menjadi wajib.
Kendaraan (mobil, truk, motor) adalah aset bergerak yang paling sering diagunkan untuk KPR (Kredit Kepemilikan Kendaraan) dan pinjaman multiguna, diikat melalui Fidusia. Kendaraan memiliki risiko depresiasi yang tinggi dan risiko penyalahgunaan (debitur menyembunyikan atau menjual kendaraan tanpa sepengetahuan kreditur). Oleh karena itu, kreditur seringkali meminta LTV yang lebih rendah dan jangka waktu pinjaman yang lebih pendek untuk memitigasi risiko penurunan nilai kendaraan.
Dalam pembiayaan korporasi atau Kredit Modal Kerja (KMK), perusahaan sering mengagunkan piutang (hak tagih kepada pihak ketiga) atau persediaan barang dagangan. Kedua aset ini disebut aset lancar karena sifatnya yang cepat berputar dan tidak permanen.
Risiko Piutang: Risiko utama adalah kegagalan pembayaran dari pihak ketiga (counterparty risk). Kreditur harus menilai kualitas piutang (apakah piutang tersebut terikat kontrak yang kuat dan dari klien yang bonafide). Mekanisme pengikatan seringkali kompleks, melibatkan penyerahan pemberitahuan kepada klien (cesie) atau pengikatan fidusia atas hak tagih.
Risiko Persediaan: Nilai persediaan sangat fluktuatif, tergantung kondisi pasar dan tanggal kedaluwarsa (untuk barang konsumsi). Kreditur harus memiliki prosedur verifikasi stok yang ketat dan memastikan persediaan diasuransikan terhadap kebakaran, pencurian, atau kerusakan.
Saham dan obligasi (efek) yang diperdagangkan di bursa juga dapat diagunkan (disebut *margin lending* atau *repo*). Aset ini sangat likuid, namun memiliki risiko pasar ekstrem. Nilainya dapat berubah drastis dalam hitungan hari. Untuk mengelola risiko ini, kreditur menerapkan margin call; jika nilai agunan turun di bawah ambang batas yang ditentukan, debitur harus segera menambah jaminan atau melunasi sebagian utang.
Tindakan mengagunkan aset memiliki konsekuensi hukum dan ekonomi yang signifikan, baik bagi debitur, kreditur, maupun stabilitas ekonomi makro.
Bagi kreditur, agunan adalah benteng pertahanan terakhir. Adanya agunan yang terikat sempurna (Hak Tanggungan atau Fidusia yang terdaftar) memberikan mereka status sebagai kreditur preferen atau separatis. Ini berarti, jika debitur dinyatakan pailit, kreditur separatis berhak mengeksekusi aset jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan, mendahului kreditur konkuren (yang tidak memiliki jaminan) dan bahkan biaya kepailitan tertentu.
Perlindungan ini memungkinkan bank atau lembaga pembiayaan untuk:
Bagi debitur, mengagunkan aset adalah pintu gerbang menuju modal yang diperlukan untuk investasi, ekspansi bisnis, atau konsumsi. Tanpa agunan, sangat sulit bagi individu atau UKM yang tidak memiliki sejarah kredit panjang untuk mendapatkan pinjaman besar.
Namun, konsekuensinya adalah hilangnya fleksibilitas. Selama aset terikat jaminan, debitur tidak dapat menjual, memindahtangankan, atau menjaminkan aset tersebut kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari kreditur (kecuali dalam kasus tertentu seperti Fidusia atas inventaris yang dijual dalam kegiatan usaha normal). Pelanggaran terhadap larangan ini dapat dianggap sebagai tindakan kriminal atau wanprestasi serius.
Wanprestasi terjadi ketika debitur gagal memenuhi salah satu kewajiban yang tercantum dalam perjanjian kredit (paling umum, gagal bayar). Ketika ini terjadi, hak eksekusi kreditur terpicu. Proses eksekusi agunan terbagi menjadi beberapa opsi, yang harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan:
a. Eksekusi Hak Tanggungan/Fidusia:
Karena Sertifikat Hak Tanggungan dan Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial, kreditur dapat langsung meminta bantuan Kantor Lelang Negara (KPKNL) untuk melakukan lelang publik. Proses ini lebih cepat dibandingkan harus melalui gugatan perdata di pengadilan. Proses lelang memastikan transparansi dan harga yang wajar (meskipun seringkali di bawah Nilai Pasar Wajar).
b. Penjualan di Bawah Tangan:
Dimungkinkan untuk Fidusia dan Hak Tanggungan, tetapi harus memenuhi syarat tertentu, seperti adanya kesepakatan tertulis antara kreditur dan debitur setelah wanprestasi, dan harus diumumkan kepada publik melalui media massa. Tujuannya adalah untuk mendapatkan harga yang lebih baik daripada lelang, tetapi tetap harus diawasi agar tidak merugikan debitur.
c. Eksekusi Melalui Pengadilan:
Opsi ini digunakan jika terdapat sengketa mengenai wanprestasi, atau jika jaminan yang digunakan adalah gadai atau jaminan lain yang tidak memiliki kekuatan eksekutorial langsung.
Perlu ditekankan, bahwa seluruh hasil penjualan agunan (setelah dikurangi biaya lelang dan administrasi) digunakan untuk melunasi utang. Jika ada sisa (surplus), sisa tersebut wajib dikembalikan kepada debitur. Jika hasil penjualan tidak mencukupi (defisit), debitur tetap wajib melunasi sisa utang tersebut, kecuali jika perjanjian kredit menetapkan sebaliknya (kredit non-recourse, yang sangat jarang di Indonesia).
Manajemen risiko dalam konteks mengagunkan adalah proses berkelanjutan yang melibatkan baik debitur maupun kreditur. Keberhasilan suatu pinjaman sangat bergantung pada kemampuan kedua belah pihak untuk mengidentifikasi dan memitigasi risiko yang melekat pada agunan.
Meskipun memiliki agunan, kreditur tetap menghadapi sejumlah risiko substansial:
Untuk memitigasi risiko tersebut, kreditur menerapkan strategi berlapis:
Debitur juga harus menyadari risiko yang dihadapi saat mengagunkan aset, terutama risiko kehilangan aset produktifnya:
Dalam konteks bisnis modern, khususnya pembiayaan UKM, muncul tren baru yang dikenal sebagai Secured Transaction Reform. Tujuan reformasi ini adalah mempermudah UKM mengagunkan aset bergerak mereka (piutang, inventaris) dengan sistem pendaftaran yang lebih sederhana dan terpusat, sehingga meningkatkan akses UKM ke pembiayaan formal.
Meskipun teknologi finansial (Fintech) seringkali menekankan pinjaman tanpa agunan (unsecured loan), konsep mengagunkan tetap relevan, bahkan beradaptasi dengan aset digital dan mekanisme modern.
Beberapa platform pembiayaan digital mulai menerima data sebagai bentuk "agunan". Meskipun bukan agunan dalam arti tradisional (yang dapat dieksekusi secara fisik), kualitas data (transaksi, performa penjualan, rating e-commerce) digunakan untuk memitigasi risiko. Kreditur menggunakan Artificial Intelligence (AI) untuk menganalisis data ini secara real-time, memungkinkan mereka memberikan pinjaman modal kerja yang dijamin oleh arus kas debitur di masa depan, bukan aset fisik tradisional.
Konsep tokenisasi aset (mengubah aset nyata menjadi token digital di blockchain) membuka peluang baru dalam mengagunkan. Properti atau saham dapat ditokenisasi. Token ini kemudian dapat dijadikan jaminan di platform DeFi (Decentralized Finance). Meskipun ini masih dalam tahap awal di Indonesia, secara fundamental, tokenisasi menjanjikan proses pengikatan jaminan yang lebih transparan dan likuiditas yang lebih tinggi karena aset dapat diperdagangkan 24/7.
Ilustrasi Keseimbangan antara Risiko dan Keuntungan (Skala Jaminan).
Untuk memahami kompleksitas proses mengagunkan, mari kita telaah studi kasus fiktif mengenai pengajuan Kredit Investasi oleh sebuah perusahaan untuk membeli gudang komersial senilai Rp 50 miliar, dengan menggunakan gudang tersebut sebagai agunan utama.
Perusahaan mengajukan pinjaman Rp 40 miliar (LTV 80%). Bank awalnya melakukan penilaian internal berbasis data zona properti dan laporan keuangan perusahaan. Bank memutuskan untuk melanjutkan proses dengan syarat agunan harus diikat Hak Tanggungan sempurna.
Bank menunjuk Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) independen. KJPP menggunakan Pendekatan Biaya (mengingat gudang adalah bangunan industri) dan Pendekatan Perbandingan Penjualan. KJPP menghasilkan data:
Bank kemudian menyetujui pinjaman sebesar 75% dari Nilai Likuidasi, yaitu Rp 30 Miliar, atau 60% dari NPW, karena gudang memiliki risiko likuidasi yang lebih tinggi dibandingkan properti residensial standar. Keputusan ini menunjukkan bahwa proses mengagunkan adalah proses yang sangat konservatif dan berbasis risiko.
Bank meminta Notaris/PPAT melakukan pengecekan mendalam ke BPN. Tujuannya adalah memastikan sertifikat gudang (HGB) tidak sedang sengketa, tidak dalam status blokir, dan batas-batasnya jelas. Selain itu, dipastikan bahwa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sesuai dengan peruntukan gudang, karena ketidaksesuaian IMB dapat mengurangi nilai agunan secara drastis.
Perjanjian ditandatangani. Perusahaan (debitur) memberikan kuasa kepada PPAT untuk membuat APHT atas nama Bank (kreditur) untuk nilai HT sebesar 125% dari pinjaman (Rp 37.5 Miliar), sebagai perlindungan atas potensi biaya eksekusi dan bunga yang tertunggak di masa depan. APHT ini didaftarkan ke BPN, dan Bank menerima Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) yang mencantumkan irah-irah "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA," memberikan kekuatan eksekutorial penuh.
Gudang tersebut diwajibkan diasuransikan terhadap risiko kebakaran, bencana alam, dan kerusuhan, dengan klausul bahwa Bank adalah pihak pertama yang menerima pembayaran klaim asuransi jika terjadi kerugian (Loss Payee Clause). Bank juga akan melakukan inspeksi gudang setiap tahun untuk memastikan pemeliharaan berjalan baik, melindungi nilai agunan. Kegagalan untuk memperpanjang asuransi akan dianggap sebagai wanprestasi berdasarkan perjanjian.
Kasus ini menggambarkan bahwa mengagunkan properti komersial adalah prosedur multi-langkah yang intensif secara legal dan finansial, yang dirancang untuk melindungi modal kreditur sambil memberikan akses modal kepada debitur untuk pengembangan usahanya.
Meskipun keduanya melibatkan aset sebagai sumber dana, mengagunkan aset sangat berbeda dengan skema jual dan sewa kembali (Sale and Leaseback).
Dalam Mengagunkan:
Dalam Jual dan Sewa Kembali (Sale and Leaseback):
Pilihan antara mengagunkan dan skema lain tergantung pada kebutuhan likuiditas, toleransi risiko, dan keinginan debitur untuk mempertahankan atau melepaskan kepemilikan yuridis atas aset tersebut.
Proses mengagunkan, meskipun vital untuk ekonomi, tidak lepas dari tantangan etika dan dampak sosial. Kritisisme sering muncul terutama terkait kredit yang diberikan kepada masyarakat berpenghasilan rendah atau usaha mikro.
Risiko terbesar adalah praktik pinjaman predatori, di mana kreditur sengaja menawarkan pinjaman yang tidak realistis dengan harapan debitur akan gagal bayar, sehingga aset agunan dapat dieksekusi. Praktik ini seringkali menyasar aset yang Nilai Pasarnya jauh lebih tinggi daripada pinjaman yang diberikan. Regulasi yang ketat dan transparansi LTV harus ditegakkan untuk melawan praktik ini.
Meskipun kreditur separatis memiliki hak kuat, perlindungan terhadap debitur (terutama individu) saat eksekusi harus diutamakan. Hukum mengatur bahwa eksekusi harus dilakukan secara transparan dan adil, dan debitur berhak mengetahui nilai lelang dan perhitungan pelunasan sisa utang.
Dalam konteks pengembangan UKM, salah satu masalah adalah banyak UKM yang tidak memiliki agunan formal yang mudah diterima bank (misalnya, hanya memiliki aset berupa inventaris atau piutang yang rumit diikat). Upaya untuk mempermudah mengagunkan aset bergerak melalui reformasi hukum jaminan sangat penting untuk memastikan kesetaraan akses ke modal bagi sektor usaha kecil.
Pemahaman menyeluruh tentang bagaimana mengagunkan bekerja, mulai dari ikatan legal yang mendasarinya (Hak Tanggungan dan Fidusia), proses penilaian yang ketat (valuasi dan LTV), hingga risiko dan konsekuensi wanprestasi, adalah esensial bagi siapa pun yang terlibat dalam transaksi pembiayaan, baik sebagai peminjam yang mencari modal maupun sebagai lembaga yang mengelola risiko kredit.
Untuk mencapai pemahaman maksimal mengenai kompleksitas proses mengagunkan, kita perlu merinci komponen-komponen yang tercantum dalam dokumen hukum pengikatan jaminan, yang seringkali menentukan keberhasilan eksekusi di masa depan.
Setiap akta jaminan (baik APHT maupun Akta Fidusia) memuat klausula-klausula baku yang sangat penting. Salah satu yang paling utama adalah Klausul Wanprestasi. Klausul ini secara eksplisit mendefinisikan apa saja yang dianggap sebagai gagal bayar. Gagal bayar tidak hanya terbatas pada tidak membayar angsuran, tetapi juga dapat mencakup:
Definisi wanprestasi yang luas memberikan dasar hukum bagi kreditur untuk memulai proses eksekusi bahkan sebelum tunggakan pembayaran menjadi signifikan, asalkan pelanggaran tersebut mengancam integritas nilai agunan.
Seperti yang telah disinggung, nilai yang diagunkan (Nilai Ikatan Jaminan) hampir selalu lebih tinggi daripada nilai pokok pinjaman. Tujuan dari Supremasi Ikatan Jaminan ini adalah untuk melindungi kreditur dari potensi biaya-biaya yang timbul saat eksekusi dan bunga yang terus berjalan selama periode wanprestasi hingga lelang dilakukan. Pembebanan yang lebih tinggi (misalnya 120% hingga 150% dari pokok utang) memastikan bahwa kreditur dapat menutupi seluruh kerugian finansialnya.
Ikatan agunan memiliki asas inseparabilitas, artinya jaminan tersebut tidak dapat dipindahtangankan atau dihilangkan tanpa pelunasan seluruh utang. Jika debitur ingin menjual aset yang diagunkan sebelum jatuh tempo, debitur wajib mengajukan permohonan pelunasan dipercepat. Proses ini biasanya memerlukan penyelesaian utang pokok, bunga, dan denda terkait. Kreditur kemudian akan menerbitkan surat Roya (penghapusan ikatan jaminan) setelah utang lunas. Asas inseparabilitas adalah inti dari kekuatan agunan.
Dalam proyek berskala besar, seperti infrastruktur atau pembiayaan korporasi, proses mengagunkan menjadi jauh lebih kompleks. Agunan tidak hanya berupa aset fisik, tetapi juga dapat mencakup aset tak berwujud dan hak-hak kontrak.
Pada proyek infrastruktur, bank seringkali meminta agunan berupa hak atas aliran pendapatan di masa depan (misalnya, hak atas pembayaran dari pemerintah atau hak atas penerimaan tol). Piutang diikat melalui Fidusia. Bank akan memiliki kendali atas rekening escrow atau rekening penampungan (collection account) di mana semua pendapatan proyek harus disalurkan, sehingga bank memiliki jaminan langsung atas arus kas proyek.
Dalam skema Project Finance, kreditur seringkali meminta agar saham perusahaan pengembang proyek (Special Purpose Vehicle/SPV) diagunkan melalui Fidusia. Jika terjadi wanprestasi, bank dapat mengeksekusi saham tersebut, mengambil alih kendali perusahaan, dan melanjutkan atau melikuidasi proyek tersebut. Jenis agunan ini memberikan kendali operasional tambahan kepada kreditur.
Walaupun bukan agunan fisik, Surat Sanggup Bayar seringkali digunakan sebagai instrumen tambahan untuk memperkuat jaminan. Surat ini merupakan janji tanpa syarat dari debitur atau pihak ketiga (penjamin) untuk membayar sejumlah uang pada waktu tertentu, yang dapat dieksekusi lebih cepat dibandingkan gugatan perdata biasa, sehingga memperkuat posisi kreditur secara umum dalam sistem jaminan.
Peristiwa makroekonomi memiliki dampak langsung terhadap nilai aset yang diagunkan, yang pada gilirannya memengaruhi risiko kredit di seluruh sistem keuangan. Ketika terjadi krisis (misalnya, krisis moneter atau krisis properti), terjadi fenomena yang disebut Deleveraging Spiral.
Dalam Deleveraging Spiral, penurunan tajam harga aset (misalnya, properti atau saham) secara otomatis mengurangi Nilai Likuidasi agunan. Karena LTV tiba-tiba melonjak melewati batas aman, kreditur dipaksa untuk:
Jika debitur tidak mampu melakukan keduanya, kreditur terpaksa mengeksekusi agunan. Peningkatan masif eksekusi agunan ini kemudian membanjiri pasar dengan aset yang dijual murah, yang selanjutnya menekan harga pasar, menciptakan lingkaran umpan balik negatif. Fenomena inilah yang menjadi alasan utama mengapa bank harus sangat konservatif dalam menentukan LTV, terutama di masa-masa ketidakpastian ekonomi.
Mengagunkan aset adalah pilar fundamental yang menopang hampir seluruh sistem kredit formal. Praktik ini bukan hanya sekadar formalitas, tetapi sebuah mekanisme kompleks yang menggabungkan aspek hukum perdata, regulasi perbankan, dan analisis risiko ekonomi. Kekuatan jaminan, yang diwujudkan melalui Hak Tanggungan untuk properti dan Fidusia untuk aset bergerak, memberikan kepastian kepada kreditur untuk memulihkan modal mereka jika terjadi kegagalan.
Pada akhirnya, proses mengagunkan adalah tentang menciptakan kepercayaan. Kepercayaan bahwa risiko telah diukur, diikat, dan dipublikasikan. Kepercayaan ini memungkinkan aliran modal yang efisien dari mereka yang memiliki likuiditas berlebih (bank) kepada mereka yang membutuhkan modal untuk pertumbuhan (debitur), sehingga memicu roda perekonomian. Selama aset memiliki nilai yang dapat diukur dan dipertahankan, proses mengagunkan akan terus menjadi landasan utama transaksi keuangan yang aman dan berkelanjutan.
Kepatuhan terhadap prosedur formal, mulai dari penilaian oleh penilai bersertifikat, pengikatan oleh notaris/PPAT, hingga pendaftaran yang tepat waktu, adalah jaminan terbaik bagi kedua belah pihak bahwa aset yang diagunkan benar-benar berfungsi sebagai pengamanan yang efektif terhadap risiko wanprestasi. Pemahaman terhadap seluruh tahapan ini menjauhkan pelaku pasar dari jerat risiko yang tidak perlu dan memastikan bahwa hak-hak eksekutorial dapat ditegakkan ketika diperlukan.
Dengan perkembangan zaman, jenis aset yang dapat diagunkan mungkin berevolusi, mencakup aset digital dan data. Namun, prinsip dasar dari mengagunkan—yaitu mengikat hak preferensi atas aset bernilai guna mengamankan utang—akan tetap menjadi inti dari setiap perjanjian pembiayaan yang melibatkan jaminan.