Filosofi, Sejarah, dan Manifestasi Tata Kelola Bangsa
Konsep menegara melampaui sekadar administrasi pemerintahan rutin atau penegakan hukum sehari-hari. Ia adalah sebuah proses holistik yang mencakup pembangunan identitas kolektif, perumusan visi masa depan, dan implementasi sistem tata kelola yang mampu menyalurkan aspirasi sekaligus memelihara keutuhan sebuah entitas bernama bangsa. Menegara adalah seni dan ilmu membangun—bukan hanya membangun fisik, tetapi juga membangun karakter, moral, dan sistem yang berkesinambungan. Dalam konteks Indonesia, sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan keberagaman etnis, agama, dan budaya yang tak tertandingi, proses menegara adalah tugas abadi yang menuntut refleksi mendalam dan adaptasi tanpa henti.
Sejak Proklamasi, Indonesia dihadapkan pada tantangan monumental: bagaimana menyatukan ratusan suku bangsa dengan sejarah otonomi lokal yang kuat ke dalam satu wadah negara kesatuan yang efektif dan adil? Jawabannya terletak pada kapasitas kita untuk menegara, yaitu kemampuan kolektif untuk menetapkan batas-batas kedaulatan, mendefinisikan kepentingan nasional, serta merancang institusi yang kuat namun responsif terhadap dinamika rakyatnya. Proses ini melibatkan kompromi filosofis yang berat, pengorbanan politik yang besar, dan dedikasi birokrasi yang tak kenal lelah.
Menegara bukanlah status statis; ia adalah sebuah kata kerja yang terus bergerak, beradaptasi, dan berevolusi seiring perubahan zaman. Di era globalisasi, di mana batas-batas fisik menjadi kabur oleh arus informasi dan modal, kemampuan negara untuk menegara diuji dalam arena digital dan geopolitik. Kegagalan dalam menegara akan berakibat pada disintegrasi sosial, ketidakstabilan politik, dan pada akhirnya, keruntuhan kedaulatan ekonomi dan budaya.
Oleh karena itu, studi tentang menegara harus mencakup tiga dimensi utama: dimensi filosofis (landasan ideologi dan konstitusi), dimensi historis (perjalanan waktu dalam membangun institusi), dan dimensi pragmatis (implementasi kebijakan publik dan respons terhadap tantangan kontemporer). Ketiga dimensi ini saling terkait erat, membentuk kerangka kerja yang kompleks dalam upaya menciptakan negara yang berdaulat, adil, dan makmur.
Inti dari proses menegara di Indonesia berakar kuat pada Pancasila. Pancasila bukan sekadar lima sila yang dihafal, melainkan Philosophische Grondslag (dasar filosofis) yang menentukan arah, etika, dan tujuan seluruh aktivitas pemerintahan dan kenegaraan. Penerimaan Pancasila pada awal kemerdekaan merupakan keberhasilan luar biasa dalam menegara, karena ia berhasil menjembatani jurang perbedaan ideologi, agama, dan pandangan dunia yang berpotensi memecah belah.
Menegara dalam konteks Indonesia didefinisikan oleh Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Ini menetapkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Namun, kedaulatan ini tidak dijalankan secara anarkis, melainkan melalui institusi perwakilan yang dibimbing oleh "hikmat kebijaksanaan". Ini adalah ciri khas demokrasi Indonesia yang menolak individualisme liberal Barat secara mentah-mentah dan menolak sentralisasi kekuasaan otoriter.
Manifestasi menegara di sini terlihat dari bagaimana institusi legislatif (DPR/DPD) dan eksekutif (Presiden) beroperasi di bawah batasan UUD 1945. Pembentukan lembaga-lembaga independen, seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komisi Yudisial, adalah upaya berkelanjutan untuk memperkuat mekanisme checks and balances, memastikan bahwa kekuasaan untuk menegara tidak disalahgunakan. Tanpa institusi yang efektif dalam mengawasi kekuasaan, proses menegara akan berubah menjadi otokrasi, yang bertentangan dengan semangat Sila Keempat.
Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, memberikan arah etis bagi semua kebijakan publik. Menegara berarti memastikan bahwa hasil pembangunan dan kekayaan negara didistribusikan secara adil dan merata, bukan hanya terpusat pada segelintir elite atau wilayah tertentu. Konsep ini menuntut intervensi aktif negara dalam ekonomi (sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945), untuk mengelola sumber daya alam demi kemakmuran rakyat.
Implementasi keadilan sosial dalam menegara mencakup pembangunan infrastruktur yang merata (seperti pembangunan jalan tol, pelabuhan, dan fasilitas kesehatan di luar Jawa), subsidi energi yang tepat sasaran, dan sistem jaminan sosial nasional. Tantangan terbesar dalam menegara aspek keadilan sosial adalah mengatasi disparitas wilayah dan mengikis akar-akar kemiskinan struktural. Keadilan bukan hanya soal kesamaan di mata hukum, tetapi juga kesamaan kesempatan untuk mencapai kesejahteraan.
Sila Ketiga, Persatuan Indonesia, adalah fondasi eksistensi negara. Menegara adalah upaya untuk terus menerus merekatkan keberagaman di bawah panji Bhinneka Tunggal Ika. Ini memerlukan manajemen konflik yang bijaksana dan pengakuan yang tulus terhadap hak-hak komunitas adat serta minoritas.
Kebijakan pendidikan nasional, bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, dan simbol-simbol negara (Bendera, Lagu Kebangsaan) adalah instrumen krusial dalam proses menegara yang bertujuan membangun identitas tunggal di tengah keragaman. Ketika elemen-elemen ini dilemahkan, risiko polarisasi berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) akan meningkat tajam, mengancam capaian menegara yang telah dibangun dengan susah payah selama berpuluh-puluh tahun.
Perjalanan menegara di Nusantara bukanlah cerita baru yang dimulai pada tahun 1945. Akar-akar kenegaraan telah tertanam jauh sejak era kerajaan-kerajaan besar yang mendefinisikan batas pengaruh dan sistem tata kelola di kepulauan ini. Memahami sejarah menegara adalah kunci untuk menghargai kompleksitas dan kesinambungan upaya bangsa ini.
Jauh sebelum negara modern didirikan, kerajaan-kerajaan seperti Sriwijaya dan Majapahit telah menunjukkan kapasitas menegara yang luar biasa. Konsep mandala (lingkaran kekuasaan) Majapahit, yang diuraikan dalam Nagarakretagama, menunjukkan adanya hierarki pemerintahan, sistem administrasi wilayah, dan mekanisme diplomasi. Ini membuktikan bahwa kapasitas untuk mengelola wilayah yang luas dan beragam sudah ada dalam tradisi politik lokal.
Tradisi menegara kuno ini memberikan warisan penting: pengakuan bahwa kekuasaan memerlukan legitimasi, dan bahwa persatuan wilayah adalah prasyarat kemakmuran. Walaupun sistemnya monarki, fondasi hukum dan administrasi yang mereka bangun memberikan cetak biru awal tentang bagaimana mengelola interaksi antar-pulau.
Selama era kolonial Belanda, kapasitas menegara rakyat pribumi dibatasi secara brutal. Pemerintahan dijalankan secara sentralistik untuk kepentingan metropolitan, mengabaikan kepentingan lokal. Namun, justru di masa inilah benih-benih menegara modern disemai melalui gerakan kebangkitan nasional. Organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, hingga Partai Nasional Indonesia (PNI) bukan sekadar kelompok protes; mereka adalah embrio institusi politik yang sedang belajar bagaimana mengorganisasi, memobilisasi, dan merumuskan ideologi negara merdeka.
Puncak dari proses ini adalah perumusan Sumpah Pemuda, sebuah deklarasi tegas tentang satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa—sebuah pernyataan niat kolektif untuk menegara dalam kerangka kesatuan yang telah disepakati.
Periode 1945 hingga 1965 adalah masa paling volatil dalam sejarah menegara Indonesia. Tantangannya bukan hanya mempertahankan kemerdekaan dari agresi asing, tetapi juga menentukan model pemerintahan apa yang paling cocok. Pergolakan ideologi antara demokrasi parlementer, sosialisme, dan sistem otoriter, disertai pemberontakan regional (DI/TII, PRRI/Permesta), menguji batas-batas kapasitas negara muda ini.
Keberhasilan terbesar di era ini adalah penegasan kembali bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan penempatan Angkatan Bersenjata sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan yang profesional. Kegagalan-kegagalan politik, seperti seringnya pergantian kabinet di era Demokrasi Liberal, mengajarkan pelajaran berharga tentang perlunya stabilitas institusional sebagai prasyarat utama untuk menjalankan fungsi menegara secara efektif.
Langkah menuju Demokrasi Terpimpin, meskipun kontroversial dari sisi demokrasi, adalah respons politik terhadap ketidakmampuan sistem parlementer saat itu untuk menyatukan visi pembangunan dan mengatasi krisis ekonomi. Ini menunjukkan bahwa proses menegara seringkali menuntut solusi non-konvensional dalam menghadapi ancaman disintegrasi nyata.
Era Reformasi membuka babak baru dalam menegara, di mana fokus dialihkan dari sentralisasi kekuasaan ke desentralisasi dan demokratisasi. Otonomi Daerah (Otda) adalah kebijakan menegara yang paling ambisius sejak kemerdekaan, memindahkan kekuasaan fiskal dan administrasi dari pusat ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tujuannya adalah mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat dan merespons heterogenitas lokal secara lebih baik.
Meskipun Otda membawa tantangan baru, seperti munculnya 'raja-raja kecil' di daerah dan isu korupsi lokal, secara fundamental ia memperkuat partisipasi politik di tingkat akar rumput. Ini adalah contoh bahwa menegara memerlukan penyesuaian struktural yang besar untuk menjaga relevansi dan legitimasi negara di mata rakyatnya.
Fungsi utama negara modern adalah menyediakan kemakmuran bagi warganya, dan ini hanya bisa dicapai melalui tata kelola ekonomi yang efektif. Menegara di bidang ekonomi berarti menyeimbangkan peran pasar bebas dengan intervensi negara yang strategis untuk memastikan pertumbuhan inklusif, ketahanan pangan, dan stabilitas makroekonomi.
Pasal 33 UUD 1945 menempatkan negara sebagai pengelola sektor-sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam menegara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berfungsi sebagai agen pembangunan (agent of development), bukan semata-mata entitas pencari laba. Perusahaan-perusahaan ini memastikan akses energi, telekomunikasi, dan infrastruktur transportasi tersedia, bahkan di wilayah terpencil yang mungkin tidak menarik bagi sektor swasta murni.
Namun, menegara di sektor ini menghadapi masalah kronis: birokrasi yang lamban, inefisiensi, dan kerentanan terhadap intervensi politik. Reformasi BUMN yang bertujuan meningkatkan profesionalisme dan mengurangi korupsi adalah elemen penting dari upaya menegara yang berkelanjutan.
Konektivitas adalah prasyarat untuk menegara secara efektif di negara kepulauan. Tanpa jembatan fisik dan digital yang menghubungkan Sabang sampai Merauke, disparitas ekonomi akan terus melebar, mengancam persatuan. Pembangunan infrastruktur, dari pelabuhan laut dalam, bandar udara, hingga jaringan serat optik, adalah manifestasi konkret dari upaya menegara untuk menyatukan pasar dan memastikan mobilitas orang serta barang.
Proyek-proyek infrastruktur besar juga berfungsi sebagai motor penggerak ekonomi. Namun, tantangannya adalah bagaimana memastikan pendanaan proyek ini berkelanjutan dan tidak meninggalkan beban utang yang memberatkan generasi mendatang. Pengelolaan risiko dan transparansi dalam proses pengadaan adalah inti dari tata kelola infrastruktur yang baik.
Menegara masa depan sangat bergantung pada kapasitas negara untuk menjaga kelestarian lingkungan dan memastikan ketahanan pangan. Perubahan iklim dan degradasi lingkungan secara langsung mengancam kedaulatan negara melalui bencana alam, krisis air, dan gagal panen. Oleh karena itu, menegara berarti mengintegrasikan kebijakan lingkungan ke dalam setiap aspek pembangunan, dari tata ruang kota hingga kebijakan industri.
Pengelolaan sumber daya air, moratorium pembukaan lahan gambut, dan transisi menuju energi terbarukan adalah contoh bagaimana negara harus bersikap proaktif. Kegagalan menegara di sektor lingkungan akan menghasilkan biaya sosial dan ekonomi yang jauh lebih besar di masa depan. Diperlukan kolaborasi erat antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat adat untuk mencapai tata kelola sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan.
Setiap era membawa tantangan unik yang menguji ketahanan dan adaptabilitas sistem negara. Di abad ke-21, upaya menegara dihadapkan pada gelombang digitalisasi, krisis integritas, dan tekanan geopolitik global.
Revolusi digital menawarkan peluang besar untuk meningkatkan efisiensi pelayanan publik dan transparansi, namun juga menghadirkan risiko baru. Menegara di era digital berarti membangun sistem e-government yang terintegrasi, aman, dan mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Ini termasuk digitalisasi perizinan, administrasi kependudukan, dan sistem perpajakan.
Tantangan yang melekat adalah kesenjangan digital (digital divide), di mana akses internet dan literasi teknologi belum merata. Selain itu, keamanan siber menjadi isu kedaulatan baru. Negara harus memiliki kapasitas untuk melindungi data warga negaranya dan infrastruktur kritikal dari serangan siber asing maupun domestik. Kegagalan dalam mengamankan ruang siber dapat meruntuhkan kepercayaan publik dan melumpuhkan fungsi-fungsi pemerintahan esensial.
Korupsi adalah musuh terbesar dalam proses menegara. Ia merampas sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat, mendistorsi pasar, dan merusak moralitas publik. Korupsi yang bersifat sistemik menunjukkan adanya kegagalan institusional dalam menegakkan hukum dan menjaga akuntabilitas.
Upaya menegara harus fokus pada reformasi birokrasi yang komprehensif, mulai dari peningkatan gaji yang layak bagi pegawai negeri hingga penerapan sistem pengawasan internal yang ketat. Penguatan lembaga seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian, serta penjaminan independensi peradilan, adalah kunci. Namun, integritas menegara juga harus dimulai dari kepemimpinan politik yang memberikan contoh dan tidak mentolerir perilaku koruptif di lingkungannya.
Menegara bukan hanya soal memiliki undang-undang yang sempurna, tetapi soal implementasi, penegakan tanpa pandang bulu, dan budaya kepatuhan dari tingkat teratas hingga akar rumput birokrasi.
Globalisasi telah membawa masuk ideologi transnasional yang terkadang bertentangan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Di media sosial, narasi-narasi ekstremis dan intoleran dapat menyebar dengan cepat, mengancam kohesi sosial yang telah susah payah dibangun. Tugas menegara adalah memastikan kebebasan beragama dan berpendapat tetap terjamin, sambil secara tegas menindak segala bentuk ujaran kebencian dan diskriminasi yang merusak persatuan.
Edukasi multikultural dan dialog antar-iman harus menjadi agenda prioritas pemerintah daerah dan pusat. Negara harus hadir sebagai mediator dan pelindung bagi semua kelompok, memastikan bahwa hak minoritas dihormati dan bahwa mayoritas tidak menyalahgunakan dominasi demografis mereka. Menegara berarti menolak ideologi yang ingin mengganti Pancasila dengan dasar negara lain.
Sebagai negara maritim, menegara mencakup pengelolaan dan perlindungan wilayah laut yang sangat luas. Isu kedaulatan di Laut Cina Selatan, penangkapan ikan ilegal (illegal fishing), dan keamanan jalur pelayaran internasional menuntut modernisasi alat utama sistem persenjataan (Alutsista) dan penguatan diplomasi maritim.
Kapitalitas untuk menegara di lautan memerlukan koordinasi antar-lembaga (TNI Angkatan Laut, Bakamla, KKP) yang kuat, serta kepastian hukum yang jelas dalam mengelola sumber daya laut. Pengakuan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia adalah visi menegara yang menempatkan laut sebagai masa depan ekonomi dan geopolitik bangsa.
Dalam sistem demokrasi, menegara adalah tanggung jawab bersama, bukan eksklusif milik pemerintah atau elite politik. Rakyat berperan sebagai pemilik kedaulatan, pengawas pemerintahan, dan aktor aktif dalam pembangunan.
Partisipasi rakyat melampaui sekadar pemilihan umum. Menegara yang sehat membutuhkan ruang bagi kritik konstruktif dan pengawasan yang efektif. Lembaga swadaya masyarakat (LSM), media massa yang independen, dan akademisi memiliki peran vital dalam menyoroti penyimpangan kebijakan dan kinerja birokrasi. Ini adalah mekanisme check and balance non-formal yang melengkapi struktur formal di parlemen dan peradilan.
Pemerintah harus menciptakan mekanisme yang mempermudah partisipasi publik dalam perumusan kebijakan, mulai dari perencanaan anggaran daerah hingga penyusunan undang-undang. Keterbukaan informasi publik (KIP) adalah hak fundamental yang memastikan bahwa proses menegara dilakukan di bawah terang cahaya, bukan di ruang gelap.
Tanggung jawab sipil dalam menegara mencakup kepatuhan terhadap hukum, pembayaran pajak, dan kesediaan untuk berpartisipasi dalam pertahanan negara jika diperlukan. Lebih dari itu, kewarganegaraan aktif berarti memiliki kesadaran kritis terhadap isu-isu publik dan bersedia membela nilai-nilai dasar Pancasila serta Bhinneka Tunggal Ika.
Edukasi politik di sekolah dan komunitas harus ditekankan untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki etika publik dan rasa memiliki terhadap negaranya. Ketika rakyat merasa memiliki negara, mereka akan lebih termotivasi untuk menjaga dan memperbaiki proses menegara itu sendiri.
Di bawah kerangka otonomi daerah, masyarakat lokal memiliki kuasa besar untuk menentukan arah pembangunan mereka sendiri. Inovasi kebijakan di tingkat desa dan kabupaten, seperti program peningkatan gizi, manajemen sampah berbasis komunitas, atau pengembangan ekonomi kreatif lokal, adalah bentuk-bentuk menegara dari bawah ke atas.
Keberhasilan menegara tidak hanya diukur dari pertumbuhan PDB nasional, tetapi dari sejauh mana pemerintah daerah mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya secara langsung. Pemerintah pusat harus memberikan dukungan dan insentif kepada daerah yang menunjukkan tata kelola yang inovatif dan transparan.
Salah satu tantangan terbesar bagi partisipasi sipil saat ini adalah penyebaran disinformasi atau hoaks. Fenomena ini meracuni ruang publik, merusak kemampuan warga untuk membuat keputusan yang rasional, dan sering dimanfaatkan untuk memecah belah bangsa. Menegara di era informasi memerlukan kebijakan literasi digital yang masif dan mekanisme penegakan hukum yang cerdas terhadap penyebar kebencian, tanpa melanggar kebebasan berekspresi.
Menegara adalah janji yang diperbarui setiap hari. Ia adalah perjalanan tanpa akhir untuk mencapai cita-cita kemerdekaan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Setiap era menghadirkan musuh baru bagi proses menegara: di masa lalu adalah kolonialisme dan disintegrasi; hari ini adalah korupsi, perubahan iklim, polarisasi, dan ancaman siber. Namun, sejarah panjang bangsa ini, dari kerajaan maritim hingga republik modern, membuktikan bahwa kita memiliki kapasitas inheren untuk bertahan dan beradaptasi. Kekuatan terbesar dalam menegara adalah ideologi pemersatu Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, yang menjadi kompas moral dan politik.
Membangun negara yang stabil, adil, dan sejahtera memerlukan sinergi antara kepemimpinan yang berintegritas, birokrasi yang profesional dan responsif, institusi hukum yang independen, dan rakyat yang terlibat aktif. Kegagalan di salah satu pilar ini dapat menggagalkan seluruh upaya menegara.
Pada akhirnya, menegara adalah refleksi kolektif tentang apa artinya menjadi Indonesia. Itu adalah komitmen untuk terus bekerja demi masa depan yang lebih baik, menghadapi setiap tantangan dengan kebijaksanaan yang didapat dari sejarah, dan keberanian yang berakar pada idealisme para pendiri bangsa. Proses ini menuntut ketekunan, kejujuran, dan yang terpenting, cinta yang mendalam terhadap tanah air.