Aksi Kritis Tak Berkesudahan: Mendekonstruksi Tirani Makna

Sebuah eksplorasi filosofis atas metodologi pembalikan, pembongkaran, dan penemuan jejak yang tersembunyi dalam wacana Barat.

I. Pintu Masuk Menuju Ketidakpastian: Mengapa Kita Harus Mendekonstruksi?

Tindakan mendekonstruksi bukanlah sekadar membongkar atau menganalisis; ia adalah sebuah gerakan filosofis radikal yang menolak ide bahwa makna dapat sepenuhnya diamankan, dikunci, atau dipusatkan. Proses ini, yang paling sering dikaitkan dengan pemikir Prancis Jacques Derrida, adalah respons terhadap apa yang ia sebut sebagai *logosentrisme*, yakni keyakinan mendalam dan historis bahwa ada pusat makna tunggal, suara, atau kehadiran metafisik yang mendominasi seluruh wacana.

Ketika kita memulai proses mendekonstruksi, kita mengambil pisau bedah kritis ke dalam teks—baik teks itu berupa buku, institusi sosial, sistem hukum, atau bahkan arsitektur—untuk mengungkap bagaimana teks tersebut secara internal bertentangan dengan dirinya sendiri. Ini adalah pengakuan bahwa setiap struktur yang mengklaim kejelasan, kepastian, atau fondasi, selalu dibangun di atas pasir, selalu bergantung pada elemen-elemen yang dikecualikan atau dibungkam.

Tujuan utama dari mendekonstruksi bukanlah kehancuran nihilistik, melainkan pembebasan dari tirani oposisi biner yang telah lama mendikte cara berpikir Barat: baik/buruk, kehadiran/ketidakhadiran, kebenaran/kesalahan, ucapan/tulisan. Dalam setiap pasangan biner ini, salah satu istilah selalu diposisikan sebagai superior, asli, atau prioritas, sementara yang lain direndahkan sebagai turunan, berbahaya, atau sekadar tambahan. Mendekonstruksi adalah upaya untuk menunjukkan bahwa hierarki ini bersifat artifisial, tidak alami, dan sangat bergantung pada kontradiksi internalnya sendiri.

II. Melampaui Fondasi: Logika yang Mendominasi dan Derrida

Untuk memahami kekuatan tindakan mendekonstruksi, kita harus terlebih dahulu memahami target utamanya: *logosentrisme* dan *metafisika kehadiran*. Sejak Plato, tradisi filosofis Barat cenderung mencari Fondasi Utama (Logos, Ide, Tuhan, Akal, Kehadiran Penuh) yang dapat menjamin kebenaran dan asal-usul. Logosentrisme adalah kepercayaan bahwa kata yang diucapkan (suara yang terdengar) lebih murni, lebih dekat pada pikiran dan kebenaran, daripada tulisan (yang dianggap sebagai representasi yang dingin dan mati).

Dekonstruksi membalikkan anggapan ini. Ia berargumen bahwa tulisan, dalam arti luasnya sebagai jejak, keterlambatan, dan perbedaan, bukanlah sekadar tambahan yang buruk bagi ucapan, melainkan kondisi dasar yang memungkinkan ucapan itu sendiri. Tidak ada kehadiran murni; yang ada hanyalah jejak, sisa-sisa dari apa yang telah berlalu dan antisipasi dari apa yang akan datang.

2.1. Oposisi Biner dan Tindakan Pembalikan

Langkah pertama dalam mendekonstruksi teks atau konsep adalah mengidentifikasi oposisi biner yang beroperasi di dalamnya. Misalnya, dalam teks yang memuji "Akal Budi" di atas "Emosi," proses dekonstruksi akan berjalan melalui dua fase:

  1. Fase Pembalikan (Reversal): Mengambil istilah yang diremehkan ("Emosi") dan menempatkannya di atas istilah yang dominan ("Akal Budi"). Ini menunjukkan bahwa hierarki tersebut bersifat kontingen, bukan absolut.
  2. Fase Pelepasan (Displacement): Setelah pembalikan berhasil, dekonstruksi tidak berhenti di sana. Ia tidak hanya menciptakan hierarki baru (Emosi > Akal), tetapi ia menunjukkan bahwa keseluruhan pasangan biner tersebut bersifat tidak stabil dan gagal untuk menahan batasnya.

Tahap kedua, Pelepasan, menghasilkan apa yang disebut *undecidables* (ketidakputusan)—istilah-istilah baru yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam kategori biner asli, seperti *pharmakon* (racun sekaligus obat), *parergon* (dekorasi yang esensial), atau *différance* itu sendiri. Istilah-istilah ini menunjukkan bahwa batas-batas kategorisasi kita adalah hasil dari kekerasan konseptual, bukan penemuan alamiah.

Duality and Undecidability Representasi dua garis yang awalnya paralel dan berlawanan (oposisi biner) yang kemudian bertemu dan saling menembus, menciptakan zona abu-abu yang tidak dapat diputuskan.
Gambar 1: Mendekonstruksi Oposisi Biner. Zona di mana batas-batas kategori (atas dan bawah) saling menembus adalah wilayah 'ketidakputusan', tempat makna konvensional kehilangan kekuatannya.

III. Anatomi Gerakan Kritis: Alat untuk Mendekonstruksi

Proses mendekonstruksi memerlukan pemahaman yang cermat terhadap beberapa istilah kunci yang berfungsi sebagai alat metodologis. Istilah-istilah ini sering disalahpahami, tetapi mereka adalah inti dari bagaimana dekonstruksi menantang struktur makna tradisional.

3.1. Différance: Penundaan dan Perbedaan

*Différance* adalah konsep paling sentral dalam dekonstruksi. Kata ini menggabungkan dua arti dalam bahasa Prancis: 'membedakan' (*différer* dalam arti spasial) dan 'menunda' (*différer* dalam arti temporal). *Différance* bukanlah sebuah konsep, juga bukan sekadar kata. Ia adalah strategi penulisan yang menunjukkan bahwa makna tidak pernah hadir sepenuhnya pada saat ini, tetapi selalu ditunda, selalu bergantung pada perbedaan yang tidak dapat ditutup.

Ketika kita mendekonstruksi sebuah teks melalui lensa *différance*, kita melihat bahwa setiap kata hanya mendapatkan maknanya karena ia berbeda dari kata-kata lain (perbedaan spasial) dan karena maknanya selalu merujuk ke masa depan (penundaan temporal). Makna bergerak maju dan mundur, tidak pernah menetap. Ini menghancurkan gagasan tradisional tentang 'Tanda' yang terdiri dari penanda dan petanda yang stabil.

Kita mendekonstruksi sistem linguistik dengan menunjukkan bahwa *différance* adalah asal mula non-asal, kondisi yang memungkinkan bahasa terjadi, namun tidak pernah dapat diwakili oleh bahasa itu sendiri. Ini adalah tindakan yang menggerogoti klaim setiap fondasi definitif. Konsekuensi dari penemuan *différance* adalah bahwa tidak ada teks yang dapat mengklaim orisinalitas atau otoritas tunggal, karena setiap teks adalah jaringan jejak dari teks-teks lain yang mendahuluinya.

3.2. Jejak (Trace) dan Generalisasi Penulisan

Jejak (*Trace*) adalah sisa-sisa, residu dari sesuatu yang tidak pernah sepenuhnya hadir. Ketika kita mendekonstruksi, kita mencari jejak. Jejak bukanlah bukti dari sesuatu yang hilang, melainkan struktur dari ketidakhadiran yang memungkinkan kehadiran. Sebuah jejak hanya menjadi jejak karena ia adalah jejak dari jejak lain, dalam rangkaian tanpa akhir. Ini membawa kita pada gagasan Derrida tentang "generalisasi penulisan" (*archi-écriture*).

Penulisan, dalam pengertian dekonstruktif, bukanlah sekadar tinta di atas kertas. Ia adalah kemampuan setiap sistem tanda untuk berfungsi meskipun "penulis" atau "pembuat" tidak ada. Mendekonstruksi menunjukkan bahwa setiap interaksi—hukum, komunikasi, politik—beroperasi sebagai sistem penulisan yang dapat dipisahkan dari niat penulis aslinya, dan oleh karena itu, selalu terbuka untuk interpretasi ulang dan penyalahgunaan (dalam arti Derridean, kemampuan untuk disalahgunakan adalah kondisi untuk digunakan).

Dalam mendekonstruksi sebuah dokumen sejarah, misalnya, kita tidak mencari "apa yang benar-benar dimaksudkan" oleh pendiri. Sebaliknya, kita melihat bagaimana bahasa dokumen itu mengandung jejak dari oposisi dan penundaan—jejak yang memungkinkan kita untuk menggunakannya sekarang dengan cara yang bertentangan dengan niat awal, atau bahkan jejak yang menunjukkan ketegangan internal yang harus dibungkam agar dokumen tersebut tampak koheren pada saat ditulis. Tindakan mendekonstruksi adalah tindakan etis dalam arti bahwa ia mengungkap jejak kekerasan konseptual yang terjadi untuk mencapai kejelasan.

IV. Mendekonstruksi Sastra: Menggali Kontradiksi Internal Teks

Aplikasi dekonstruksi yang paling segera dan dikenal adalah dalam kritik sastra. Namun, mendekonstruksi teks sastra jauh lebih kompleks daripada sekadar menunjukkan ambiguitas. Ini adalah proses yang menargetkan ide bahwa teks memiliki makna "utama" atau "definitif" yang dapat dipulihkan melalui interpretasi yang cermat.

4.1. Membaca dengan Dua Tangan

Kritikus yang mendekonstruksi biasanya melakukan apa yang disebut "membaca dengan dua tangan." Di satu sisi (tangan pertama), ia membaca teks tersebut sesuai dengan argumen, niat, atau makna permukaan yang disajikan oleh penulis (atau oleh tradisi kritis yang dominan). Teks tersebut mungkin mengklaim mendukung keadilan, ketertiban, atau moralitas tertentu.

Di sisi lain (tangan kedua), ia membaca melawan klaim tersebut. Ia mencari detail-detail marginal—metafora yang janggal, detail retoris yang berlebihan, catatan kaki yang kontradiktif, atau momen di mana bahasa teks tersebut gagal untuk mengikuti logikanya sendiri. Dekonstruksi menunjukkan bahwa elemen-elemen periferal ini adalah tempat di mana teks tersebut secara internal mendekonstruksi klaim utamanya.

Contoh klasik adalah mendekonstruksi dikotomi dalam teks metafisik. Teks tersebut mungkin berargumen bahwa realitas bersifat spiritual dan menolak materialitas (hierarki: Spiritual > Material). Kritikus dekonstruktif akan menemukan bahwa agar teks tersebut dapat menyampaikan argumennya, ia harus menggunakan bahasa (sebuah media yang material dan spasial) dan harus berulang kali merujuk pada Material untuk mendefinisikan apa yang Spiritual. Dengan kata lain, oposisi tersebut adalah ketergantungan. Yang ditolak (Material) adalah prasyarat untuk yang diterima (Spiritual).

Proses ini tidak menghasilkan kesimpulan baru, melainkan menunjukkan *ketidakputusan* teks. Teks tersebut tidak bisa sepenuhnya menjadi klaim utamanya, tetapi juga tidak sepenuhnya menjadi kebalikannya. Ia hidup dalam ketegangan abadi antara dua bacaan yang sama-sama valid dan yang saling menghancurkan.

4.2. Mendekonstruksi Hubungan Ucapan dan Tulisan dalam Fiksi

Dalam genre fiksi, mendekonstruksi sering berfokus pada otoritas narator. Jika sebuah novel mengklaim memiliki narator yang mahatahu dan otoritatif (suara, kehadiran), dekonstruksi akan mencari momen di mana narator itu gagal, di mana kata-kata yang ia gunakan melampaui pengetahuan yang ia klaim miliki, atau di mana struktur naratif bergantung pada kerangka kebohongan atau fiksi yang justru ditolak oleh narator. Ini adalah contoh bagaimana struktur penulisan (yang abadi, yang dapat diulang) selalu mengkhianati klaim tentang kehadiran penuh (suara narator yang hidup dan tahu segalanya).

Dalam analisis ini, tindakan mendekonstruksi memungkinkan pembaca untuk melihat teks sebagai ruang yang terbuka, bukan kotak tertutup yang menyimpan makna tunggal. Ini adalah seruan untuk tanggung jawab interpretatif: karena makna tidak pernah sepenuhnya disajikan, kita bertanggung jawab atas apa yang kita tarik darinya.

Kritik dekonstruktif menegaskan bahwa niat penulis (kehadiran psikologis) tidak pernah dapat sepenuhnya mengamankan teks. Teks selalu lepas dari cengkeraman penulis sejak tinta mengering. Ia menjadi serangkaian jejak yang dapat diulangi (*iterabilitas*) dalam konteks yang berbeda. Konsekuensinya, mendekonstruksi adalah tindakan yang membebaskan teks dari penjara makna asli dan membawanya ke ranah permainan dan kemungkinan tak terbatas.

V. Mendekonstruksi Sistem dan Institusi: Implikasi di Luar Teks

Mendekonstruksi tidak terbatas pada kritik sastra. Ketika kita melihat struktur kekuatan, hukum, etika, dan bahkan ruang fisik, kita dapat menerapkan metodologi yang sama untuk mengungkap fondasi metafisiknya yang rapuh.

5.1. Mendekonstruksi Hukum dan Politik

Sistem hukum sering kali mengklaim didasarkan pada prinsip-prinsip universal, rasionalitas, atau niat dasar (seperti Konstitusi atau Undang-Undang Dasar). Ketika kita mendekonstruksi hukum, kita menunjukkan bahwa keputusan hukum (yang harus tampak logis dan aplikatif) pada momen-momen krisis tertentu selalu bergantung pada sesuatu yang non-hukum, di luar nalar, atau yang tidak dapat diputuskan.

Derrida berpendapat bahwa keadilan (*Justice*) selalu berbeda dari Hukum (*Law*). Hukum adalah struktur, sistem, dan seperangkat aturan. Keadilan, di sisi lain, adalah tuntutan yang tidak dapat dikodifikasi—ia selalu menuntut keputusan yang harus dibuat tanpa dasar yang memadai, dalam momen "kegilaan" keputusan. Hukum mencoba menutup *différance*, sementara Keadilan berada dalam ruang *différance* itu sendiri.

Mendekonstruksi hukum berarti menunjukkan momen-momen di mana sistem harus bergantung pada pengecualian (*trace*) atau momen di mana hierarki internalnya (misalnya, hak individu vs. keamanan negara) secara internal saling kontradiksi, sehingga menunjukkan bahwa keputusan tidak pernah murni rasional tetapi selalu melibatkan suatu 'kekerasan' awal untuk menetapkan aturan.

Dalam politik, mendekonstruksi berfokus pada ideologi. Ideologi selalu mencoba untuk memusatkan makna dan menciptakan narasi "kita" versus "mereka" (oposisi biner). Tindakan mendekonstruksi mengungkapkan bagaimana oposisi ini diciptakan dan bagaimana kelompok yang dikecualikan (yang "mereka") sebenarnya adalah fondasi yang memungkinkan kelompok yang dominan (yang "kita") mendefinisikan identitasnya.

5.2. Mendekonstruksi Etika dan Tanggung Jawab

Banyak sistem etika didasarkan pada aturan yang jelas atau prinsip universal. Namun, dekonstruksi berpendapat bahwa tanggung jawab etis sejati hanya muncul pada momen-momen di mana aturan universal gagal. Jika kita hanya mengikuti aturan, itu adalah kepatuhan, bukan tanggung jawab sejati.

Tindakan mendekonstruksi menyoroti bahwa tanggung jawab sejati harus bersifat singular, respons yang unik terhadap Yang Lain yang tidak dapat diprediksi atau diklasifikasikan oleh aturan. Ini adalah tanggung jawab yang menempatkan kita dalam posisi yang tidak dapat diputuskan: kita harus memilih, tetapi tidak ada dasar rasional yang dapat menjamin pilihan kita. Inilah yang membuat tindakan mendekonstruksi menjadi sangat etis—ia memaksa kita untuk mengakui batas pengetahuan kita dan menanggung beban keputusan dalam ketidakpastian.

Pendekatan ini menjauhkan etika dari logosentrisme yang mencari resep universal, dan membawanya ke dalam ranah kerentanan dan respons tanpa kepastian. Kita mendekonstruksi klaim kepastian moral untuk membuka ruang bagi respons yang lebih radikal terhadap Yang Lain.

The Trace and Infinite Writing Sebuah labirin terbuka yang menunjukkan jejak dan pengulangan tak terbatas (iterabilitas) tanpa pusat atau akhir yang definitif, merepresentasikan différance. ... ...
Gambar 2: Jejak dan Iterabilitas. Makna tidak pernah diam di titik pusat, tetapi selalu merupakan jejak dari yang lain, dalam rangkaian pengulangan yang tak terhingga.

VI. Mendekonstruksi Ruang: Arsitektur sebagai Kehadiran yang Dipertanyakan

Dekonstruksi menemukan aplikasi yang menarik dalam arsitektur, sebuah disiplin yang secara historis didasarkan pada fondasi, stabilitas, dan fungsi yang jelas. Arsitektur dekonstruktif (sering disebut Deconstructivism) secara harfiah mencoba mendekonstruksi gagasan tentang pusat, keseimbangan, dan integritas bentuk.

Ketika seorang arsitek mendekonstruksi, ia menantang oposisi biner tradisional seperti: struktur/dekorasi, dalam/luar, fungsi/bentuk. Bangunan dekonstruktif sering tampak tidak stabil, terfragmentasi, atau seolah-olah baru saja mengalami trauma. Mereka menolak klaim arsitektur klasik atas kebenaran geometris atau representasi yang stabil.

Misalnya, ide bahwa 'fungsi menentukan bentuk' adalah proposisi logosentris. Mendekonstruksi proposisi ini berarti menunjukkan bagaimana bentuk (atau gaya) selalu merupakan *parergon*—tambahan yang pada akhirnya esensial—yang membatasi atau mengkhianati fungsi yang diklaimnya. Proyek-proyek seperti karya Frank Gehry atau Peter Eisenman secara fisik memanifestasikan konsep *différance* dengan menciptakan ruang-ruang yang ambigu, yang batas-batasnya kabur, dan yang menolak untuk memberikan pusat orientasi tunggal kepada penghuninya. Mereka adalah bangunan yang secara fisik menunjukkan bahwa 'hadir' dalam sebuah ruang tidak pernah berarti 'hadir sepenuhnya' atau 'aman'.

Mendekonstruksi arsitektur bukanlah tentang membuat bangunan yang buruk atau tidak berfungsi. Sebaliknya, ini adalah upaya untuk membuka mata kita terhadap bagaimana setiap ruang adalah teks yang dapat dibaca, yang mengandung jejak politik, ideologi, dan kekerasan yang harus dilakukan untuk membangunnya di atas tanah tertentu dengan klaim fungsi tertentu.

VII. Kritik, Kesalahpahaman, dan Relevansi Kontemporer

Tindakan mendekonstruksi sering kali disalahpahami. Kritikus sering menuduh dekonstruksi sebagai bentuk nihilisme—klaim bahwa karena tidak ada makna tunggal yang stabil, maka tidak ada yang penting. Namun, ini adalah kesalahpahaman mendasar tentang apa yang berusaha dicapai oleh dekonstruksi.

7.1. Mendekonstruksi Bukanlah Nihilisme

Dekonstruksi tidak mengatakan bahwa tidak ada makna; ia mengatakan bahwa makna tidak pernah hadir sepenuhnya dan selalu berada dalam proses penangguhan dan perbedaan. Jauh dari mempromosikan nihilisme, dekonstruksi justru membebankan tanggung jawab yang lebih besar kepada kita. Jika makna sepenuhnya stabil, kita bisa bersandar pada otoritas. Karena makna tidak stabil, kita harus bertanggung jawab atas bagaimana kita menggunakannya dan menafsirkannya.

Tindakan mendekonstruksi adalah konfirmasi bahwa ada sesuatu yang penting yang dipertaruhkan, yaitu keadilan, etika, dan politik. Namun, untuk memperjuangkan keadilan, kita harus terus-menerus mendekonstruksi struktur kekuasaan yang mengklaim sebagai perwujudan keadilan itu sendiri. Proses ini adalah pengakuan yang menyakitkan bahwa keadilan tidak pernah dapat dipastikan, dan justru karena itu, perjuangan untuk itu harus terus-menerus dilakukan.

7.2. Relevansi dalam Era Digital dan Pasca-Kebenaran

Dalam era digital di mana informasi bersifat hiper-terhubung, terfragmentasi, dan cepat diulang tanpa konteks asli (*hyper-iterability*), tindakan mendekonstruksi menjadi lebih penting. Ketika kita menghadapi fenomena "pasca-kebenaran," di mana fakta dipertanyakan dan otoritas mudah dibongkar (seringkali secara sinis), dekonstruksi menawarkan alat untuk analisis yang serius.

Mendekonstruksi sebuah klaim berita palsu, misalnya, bukan hanya tentang membuktikan fakta yang salah. Ini adalah tentang menunjukkan bagaimana klaim tersebut bergantung pada oposisi biner yang kuat (misalnya, "Elite Cerdas" vs. "Masyarakat Sederhana"), bagaimana klaim tersebut beroperasi melalui jejak dan pengulangan yang telah dipersiapkan, dan bagaimana klaim tersebut memanfaatkan ketidakputusan dalam bahasa untuk menyamarkan agenda kekuasaan yang logosentris.

Di dunia maya, di mana identitas dibentuk dan dihancurkan melalui tulisan dan jejak digital, dekonstruksi mengajarkan kita untuk melihat bahwa identitas tidak pernah stabil. Identitas adalah serangkaian jejak yang selalu merujuk pada ketidakhadiran, selalu merupakan proyek yang tertunda. Mendekonstruksi gagasan tentang identitas digital tunggal memungkinkan kita untuk melihat kerentanan dan potensi kekerasan yang melekat dalam upaya untuk memusatkan diri kita dalam ruang virtual.

7.3. Mendekonstruksi Logika Ekonomi

Dalam ekonomi dan politik global, mendekonstruksi berarti menantang asumsi dasar tentang nilai, modal, dan surplus. Jika kita mendekonstruksi konsep 'nilai', kita harus menunjukkan bahwa nilai tidak pernah hadir dalam objek itu sendiri (sebagai kualitas intrinsik), tetapi selalu merupakan jejak dari tenaga kerja, kekurangan, dan mekanisme perbedaan yang diciptakan oleh sistem ekonomi. Kapitalisme modern adalah sistem yang terus-menerus mencoba untuk menutup *différance*—mengamankan nilai, mengamankan identitas produk—namun keberhasilannya justru bergantung pada penundaan dan ketidakputusan pasar global.

VIII. Proses yang Tak Terhentikan: Mendekonstruksi sebagai Kondisi Eksistensi

Mendekonstruksi, pada dasarnya, adalah sebuah proses yang tak terhindarkan dan tak berkesudahan. Ini bukanlah sebuah metode yang dapat diterapkan, menghasilkan hasil, dan kemudian disingkirkan. Sebaliknya, dekonstruksi adalah sebuah kondisi di mana bahasa, makna, dan realitas kita beroperasi. Kita tidak memutuskan untuk mendekonstruksi; kita hanya mengakui bahwa proses mendekonstruksi sudah terjadi secara internal dalam setiap teks dan sistem.

Mengapa kita terus-menerus harus mendekonstruksi? Karena struktur-struktur logosentris yang menghasilkan hierarki (dan kekerasan) akan terus-menerus mencoba memulihkan diri, mengklaim fondasi baru, atau menyamarkan oposisi biner mereka di balik klaim rasionalitas baru. Tindakan mendekonstruksi adalah sebuah pengawasan kritis yang abadi.

Ini adalah pengakuan bahwa setiap usaha untuk membangun kebenaran, setiap usaha untuk menciptakan pusat yang stabil (politik, sosial, filosofis), akan menghasilkan jejak-jejak ketidakputusan yang akan meruntuhkan klaimnya sendiri. Tugas kita adalah membaca jejak-jejak itu, mengikuti logika internal yang mengarah pada kehancurannya sendiri, dan membuka ruang bagi kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya dibungkam oleh hierarki yang dominan.

Mendekonstruksi memaksa kita untuk hidup dalam ketegangan. Kita harus mengambil tindakan dan membuat keputusan (etika dan politik), meskipun kita tahu bahwa tidak ada fondasi metafisik yang dapat menjamin kebenaran keputusan kita. Inilah paradoks tanggung jawab dekonstruktif: bertindak secara radikal dalam ketiadaan kepastian.

Oleh karena itu, tindakan mendekonstruksi bukanlah akhir dari filsafat atau kritik, melainkan pengakuan jujur atas kondisi linguistik dan metafisik kita yang sebenarnya: bahwa kita hidup dalam jaringan perbedaan dan penundaan yang tak terbatas. Keindahan dan ancaman dari dekonstruksi terletak pada kenyataan bahwa ia tidak pernah selesai, bahwa setiap pemahaman baru hanyalah jejak yang mengarah pada jejak pemahaman berikutnya, dalam permainan makna yang terus bergerak, terbuka, dan bertanggung jawab.

🏠 Kembali ke Homepage