Visualisasi Proses Logis Menuju Penegasan Dalil
Tindakan mendalilkan bukan sekadar mengemukakan pendapat. Ia adalah proses fundamental dalam peradaban manusia yang menyentuh inti dari epistemologi, etika, dan struktur sosial. Mendalilkan melibatkan upaya sistematis untuk menetapkan suatu premis, prinsip, atau kebenaran dasar (dalil) yang berfungsi sebagai pondasi tak tergoyahkan bagi bangunan pengetahuan, hukum, atau sistem kepercayaan. Proses ini memerlukan validasi logis, dukungan empiris, atau otoritas normatif yang diakui secara luas, memisahkannya dari sekadar hipotesis atau opini tanpa dasar yang kuat.
Dalam konteks bahasa Indonesia, 'dalil' seringkali dikaitkan dengan dasar hukum, landasan keagamaan, atau postulat matematika yang diterima kebenarannya tanpa perlu dibuktikan lebih lanjut dalam kerangka kerjanya sendiri. Oleh karena itu, mendalilkan adalah tindakan membangun struktur, menentukan batas-batas kebenaran yang dapat diyakini, dan menyediakan titik awal yang stabil bagi penyelidikan atau tindakan selanjutnya. Eksplorasi mendalam terhadap praktik mendalilkan membawa kita melintasi spektrum pemikiran manusia, dari silogisme Aristoteles hingga perdebatan modern mengenai relativitas kebenaran dan post-strukturalisme.
Untuk memahami sepenuhnya dampak dari mendalilkan, kita harus terlebih dahulu menguraikan asal-usul konseptualnya. Dalil, sebagai kata dasar, berasal dari bahasa Arab (دليل, *dalīl*), yang secara harfiah berarti 'bukti', 'petunjuk', atau 'penunjuk jalan'. Dalam filsafat dan teologi Islam klasik, dalil adalah bukti tekstual atau rasional yang digunakan untuk membenarkan suatu klaim teologis atau hukum. Konsep ini merujuk pada kebenaran yang diturunkan, yang memiliki bobot otoritas yang inheren atau yang dapat diverifikasi melalui serangkaian deduksi logis yang tak terbantahkan.
Secara filosofis, tindakan mendalilkan bersinggungan erat dengan konsep Eropa tentang *postulate* atau *axiom*. Axioma adalah premis yang diasumsikan benar sebagai titik awal untuk penalaran dan deduksi, terutama dalam matematika dan logika formal. Perbedaan tipis terletak pada bobot normatifnya: mendalilkan seringkali mengandung dimensi penegasan yang lebih kuat, membawa muatan kepastian yang melebihi sekadar asumsi kerja.
Inti dari mendalilkan terletak pada kemampuannya untuk berfungsi sebagai premis mayor yang kokoh dalam logika deduktif. Tanpa dalil yang diterima—baik melalui konsensus, wahyu, maupun bukti empiris yang berulang—rantai penalaran akan kehilangan jangkar. Dalam silogisme klasik, mendalilkan berarti menetapkan kebenaran universal atau umum yang digunakan untuk menyimpulkan kebenaran partikular.
Contoh Dalil Logis: Jika kita mendalilkan bahwa "Semua manusia pada akhirnya fana" (Dalil A), maka premis ini menjadi dasar yang tak perlu diuji ulang dalam setiap argumen yang mengikutinya. Segala bentuk penalaran yang bertentangan dengan Dalil A harus menghadapi otoritas dalil tersebut, menjadikannya titik tolak yang efisien dalam diskursus.
Namun, kekuatan ini juga mengandung risiko. Keabsahan seluruh struktur pemikiran yang dibangun di atas dalil bergantung sepenuhnya pada keabsahan dalil itu sendiri. Jika dalil yang didalilkan ternyata cacat, maka seluruh rangkaian kesimpulan yang diturunkan darinya akan runtuh. Inilah mengapa disiplin untuk mendalilkan menuntut kejernihan dan verifikasi yang ekstrem, terutama ketika dalil tersebut diperluas ke ranah yang memiliki konsekuensi praktis, seperti hukum atau kebijakan publik.
Penting untuk dicatat bahwa dalam tradisi keilmuan modern, terutama pasca-pencerahan, tindakan mendalilkan telah bergeser. Alih-alih mencari dalil universal yang bersifat apriori (sebelum pengalaman), ilmuwan lebih cenderung mendalilkan hubungan sebab-akibat atau keberadaan fenomena berdasarkan observasi empiris yang terakumulasi. Dalil ilmiah, oleh karena itu, bersifat sementara dan selalu terbuka untuk falsifikasi, sebuah konsep yang berakar kuat pada metodologi Karl Popper. Kontras antara dalil dogmatis (tidak bisa dibantah) dan dalil ilmiah (bisa dibantah) ini menjadi kunci dalam memahami evolusi peran dalil dalam masyarakat kontemporer.
Epistemologi, studi tentang pengetahuan, berpusat pada pertanyaan: Bagaimana kita tahu bahwa kita tahu? Tindakan mendalilkan memainkan peran sentral di sini, karena setiap sistem pengetahuan harus memiliki titik awal yang diasumsikan sebagai benar. Dalil-dalil ini membentuk kerangka kerja (framework) di mana pengetahuan baru dapat diintegrasikan dan divalidasi.
Perdebatan epistemologis klasik antara rasionalis dan empiris menggambarkan perbedaan cara mendalilkan. Rasionalis, seperti Descartes, mendalilkan kebenaran melalui akal murni (*a priori*). Dalil terkenal Descartes, "Cogito ergo sum" (Aku berpikir, maka aku ada), adalah dalil fundamental yang didirikan melalui introspeksi logis, berfungsi sebagai titik nol untuk membangun kembali seluruh pengetahuan setelah keraguan radikal. Dalil ini tidak didasarkan pada observasi luar, melainkan pada kepastian internal yang tidak mungkin dibantah.
Sebaliknya, empiris, seperti Locke dan Hume, mendalilkan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi (*a posteriori*). Bagi mereka, dalil tentang hukum alam (misalnya, hukum gravitasi) harus didalilkan berdasarkan akumulasi observasi yang konsisten. Dalil empiris ini pada dasarnya adalah induktif; mereka mendalilkan bahwa karena suatu fenomena selalu terjadi di masa lalu, ia akan terus terjadi di masa depan. Meskipun ini memberikan dasar yang kuat dalam sains, Hume menunjukkan masalah mendasar: kita tidak dapat secara logis mendalilkan bahwa masa depan akan menyerupai masa lalu; itu hanyalah kebiasaan psikologis.
Dalam ilmu pengetahuan modern, proses mendalilkan telah distandarisasi melalui metodologi ilmiah. Ilmuwan memulai dengan hipotesis (klaim tentatif), mengumpulkannya dengan data, dan jika data tersebut secara konsisten mendukung klaim tersebut hingga melampaui keraguan statistik yang wajar, hipotesis tersebut dapat didalilkan sebagai teori atau prinsip yang berlaku. Namun, prinsip ini masih tunduk pada revisi. Mendalilkan dalam sains bukanlah penutupan kebenaran, melainkan pembukaan jalur untuk penyelidikan lebih lanjut.
Sebagai contoh, Dalil Relativitas Khusus Einstein mendalilkan dua prinsip dasar: bahwa hukum fisika adalah sama bagi semua pengamat inersia, dan bahwa kecepatan cahaya dalam ruang hampa adalah sama terlepas dari gerak sumber cahaya atau pengamat. Dalil-dalil ini tidak dibuktikan; mereka didalilkan sebagai premis untuk membangun kerangka kerja teoritis yang, ketika diterapkan, menghasilkan prediksi yang akurat dan terverifikasi secara empiris. Kekuatan dalil ini bukan pada pembuktiannya, melainkan pada daya penjelasannya yang luar biasa terhadap realitas fisik.
Karl Popper memberikan pandangan kritis terhadap cara ilmu pengetahuan mendalilkan. Menurut Popper, klaim ilmiah sejati harus dapat difalsifikasi. Artinya, ia harus mungkin secara teoretis untuk dibuktikan salah. Jika suatu klaim (dalil) tidak dapat dibantah dalam kondisi apa pun, itu bukanlah ilmu, melainkan dogma atau metafisika.
Oleh karena itu, tindakan mendalilkan dalam sains kontemporer mengandung paradoks: ia harus kuat dan berfungsi sebagai dasar, namun pada saat yang sama, ia harus cukup fleksibel untuk dirobohkan oleh bukti baru. Ketika ilmuwan mendalilkan sebuah teori, mereka juga secara implisit mendalilkan kondisi-kondisi yang dapat membatalkan teori tersebut. Kedewasaan ilmiah terletak pada kesediaan untuk melepaskan dalil fundamental ketika bukti-bukti yang bertentangan menjadi terlalu kuat untuk diabaikan.
Pergeseran ini sangat penting: Mendalilkan kini lebih dilihat sebagai konsensus sementara yang paling masuk akal, bukan sebagai kebenaran mutlak yang diturunkan. Ini memungkinkan ilmu pengetahuan untuk terus beradaptasi dan berkembang, menghindari stagnasi yang terjadi ketika dalil-dalil dianggap sakral dan tak tersentuh.
Di ranah hukum, tindakan mendalilkan mengambil makna yang sangat formal dan terstruktur. Hukum pada dasarnya adalah sistem yang dibangun di atas dalil-dalil fundamental, yang dikenal sebagai asas hukum, undang-undang, atau doktrin konstitusional. Dalil-dalil ini tidak diperdebatkan dalam setiap kasus; mereka diterima sebagai dasar normatif yang darinya keputusan spesifik diderivasikan.
Pada tingkat tertinggi, setiap sistem hukum mendalilkan prinsip-prinsip konstitusional. Misalnya, dalil bahwa setiap warga negara memiliki hak atas perlakuan yang sama di mata hukum adalah dalil fundamental yang mendasari ribuan undang-undang dan keputusan pengadilan. Dalil ini didirikan melalui konsensus politik, sejarah, dan filosofi moral, dan berfungsi sebagai "supremasi hukum" yang mengatur segala hal yang lebih rendah.
Dalam sistem *common law*, konsep *stare decisis* (mempertahankan apa yang telah diputuskan) adalah dalil operasional yang kritikal. Ia mendalilkan bahwa putusan pengadilan sebelumnya (preseden) harus diikuti dalam kasus-kasus serupa. Dalil ini memberikan stabilitas dan prediktabilitas pada sistem hukum. Ketika hakim mendalilkan suatu penafsiran undang-undang, penafsiran itu menjadi dalil yang harus diikuti oleh pengadilan yang lebih rendah, kecuali dan hingga pengadilan yang lebih tinggi membatalkannya.
Mendalilkan juga terjadi pada tingkat kasus per kasus, terutama dalam hal beban pembuktian (*burden of proof*). Dalam hukum pidana, jaksa mendalilkan bahwa terdakwa bersalah atas suatu kejahatan. Dalil ini bukanlah kebenaran yang didirikan, melainkan sebuah klaim yang harus mereka dukung dengan bukti yang melampaui keraguan yang wajar. Di sisi lain, dalam kasus perdata, penggugat mendalilkan bahwa mereka telah dirugikan oleh tergugat.
Proses hukum adalah arena di mana dalil-dalil (klaim) diuji secara ketat. Bukti (dalil empiris) dikumpulkan, dan argumen logis (dalil rasional) disajikan untuk meyakinkan pihak yang memutuskan (hakim atau juri) bahwa dalil awal yang diajukan oleh salah satu pihak adalah yang paling benar. Kegagalan untuk mendukung dalil dengan bukti yang memadai akan mengakibatkan penolakan klaim tersebut, bahkan jika secara faktual klaim tersebut benar.
Konsep *prima facie* (pada pandangan pertama) juga relevan. Ketika jaksa mendalilkan kasus *prima facie*, mereka telah menyajikan bukti yang cukup untuk membenarkan keyakinan bahwa dalil mereka mungkin benar, sehingga memerlukan pihak lawan untuk menyajikan pembelaan. Ini adalah manifestasi nyata dari bagaimana dalil berfungsi sebagai alat untuk menggerakkan proses dan mengalihkan kewajiban pembuktian.
Mendalilkan dalam hukum adalah tindakan yang penuh risiko dan konsekuensi. Kesalahan dalam mendalilkan dapat menyebabkan ketidakadilan besar. Oleh karena itu, para praktisi hukum menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari seni mendalilkan dengan presisi, memastikan bahwa setiap klaim didukung oleh landasan hukum yang kuat dan fakta yang terverifikasi.
Di luar sains dan hukum, mendalilkan menjadi kekuatan pendorong dalam pembentukan identitas kultural, narasi sejarah, dan ideologi politik. Dalam konteks ini, dalil seringkali kurang didasarkan pada bukti empiris dan lebih pada keyakinan kolektif, warisan, atau otoritas tradisi.
Dalam teologi, tindakan mendalilkan paling sering merujuk pada penetapan ajaran atau prinsip ilahi yang dianggap mutlak. Dalil keagamaan didirikan di atas otoritas wahyu atau naskah suci. Di sini, dalil berfungsi sebagai kebenaran abadi dan tidak dapat diubah oleh penemuan ilmiah atau perubahan sosial. Otoritas untuk mendalilkan (misalnya, melalui konsili, ulama, atau nabi) adalah sumber dari kohesi sosial dan panduan moral bagi komunitas yang bersangkutan.
Perbedaan antara mendalilkan secara ilmiah dan teologis terletak pada penerimaan kritik. Dalil teologis, sekali ditetapkan, mengharuskan penerimaan penuh (*iman*), sementara dalil ilmiah menuntut keraguan yang sehat (*skeptisisme*). Meskipun keduanya menyediakan kerangka kerja untuk pemahaman realitas, metodologi penetapan kebenarannya sangat kontras, seringkali menyebabkan ketegangan dalam masyarakat modern yang pluralis.
Dalam politik, pemimpin dan ideolog secara konstan mendalilkan prinsip-prinsip yang mereka harap akan diterima oleh massa sebagai kebenaran fundamental tentang tatanan sosial. Contohnya adalah dalil tentang 'keunggulan pasar bebas' dalam liberalisme ekonomi, atau dalil 'kesetaraan hasil' dalam beberapa bentuk sosialisme.
Dalil-dalil ideologis ini jarang bersifat netral; mereka dirancang untuk memobilisasi, mempersatukan, dan melegitimasi kekuasaan. Ketika sebuah dalil politik (misalnya, 'negara adalah representasi mutlak dari kehendak rakyat') diterima secara luas, ia berubah dari klaim partisan menjadi asumsi dasar yang menginformasikan kebijakan publik. Tantangan terbesar dalam masyarakat demokratis adalah memastikan bahwa proses mendalilkan ideologi ini transparan, dan bahwa dalil-dalil tersebut tidak menutup ruang bagi kritik yang diperlukan.
Retorika dan propaganda sering digunakan untuk memperkuat dalil-dalil politik ini, mengubahnya dari argumen yang bisa diperdebatkan menjadi kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Ketika ini terjadi, masyarakat berisiko jatuh ke dalam dogmatisme politik, di mana oposisi terhadap dalil yang didirikan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap sistem itu sendiri.
Meskipun mendalilkan sangat penting untuk membangun tatanan (baik pengetahuan, hukum, maupun sosial), ia membawa bahaya yang melekat, terutama ketika penegasan berubah menjadi dogmatisme yang kaku. Dogmatisme adalah keadaan di mana dalil fundamental diangkat ke status yang tidak dapat diganggu gugat, terlepas dari bukti atau alasan yang bertentangan.
Dalam sejarah pemikiran, periode-periode stagnasi seringkali ditandai oleh dominasi dalil-dalil yang kaku. Misalnya, dominasi pandangan geosentris di Abad Pertengahan Eropa adalah dalil yang dipegang teguh secara teologis dan filosofis, yang menghambat kemajuan astronomi selama berabad-abad. Butuh keberanian intelektual dan bukti empiris yang luar biasa (oleh Copernicus dan Galileo) untuk menantang dan menggantikan dalil kuno tersebut dengan dalil heliosentris.
Ketika sebuah dalil menjadi terlalu mapan dan dipertahankan oleh institusi yang kuat—baik itu universitas, gereja, atau negara—kemampuan untuk berpikir kritis dan mencari alternatif akan tereduksi. Mendalilkan harus selalu diimbangi dengan kesediaan untuk menyanggah (falsifikasi), jika tidak, pengetahuan akan membeku.
Filsafat pasca-struktural, khususnya melalui karya Derrida dan Foucault, telah memberikan kritik tajam terhadap ide mendalilkan kebenaran universal. Mereka berpendapat bahwa dalil-dalil fundamental—terutama dalam filsafat Barat (seperti Dalil Akal, Dalil Subjek, atau Dalil Kebenaran Absolut)—seringkali merupakan produk dari kekuasaan dan bahasa, bukan refleksi realitas yang objektif.
Dekonstruksi bertujuan untuk menunjukkan bahwa setiap dalil, sekuat apa pun ia disajikan, selalu bergantung pada oposisi biner yang arbitrer dan selalu memiliki jejak penindasan historis di dalamnya. Jika kita mendalilkan adanya "Kebenaran," kita secara implisit menihilkan "Kesalahan" atau "Relativitas." Bagi para kritikus ini, tugas intelektual bukanlah mencari dalil baru, melainkan terus-menerus menginterogasi dan membongkar dalil-dalil yang sudah ada, terutama yang digunakan untuk melegitimasi hierarki sosial.
Penerimaan atas kritik ini membawa implikasi besar: ia mengubah mendalilkan dari tindakan penegasan menjadi tindakan provisional. Artinya, kita dapat menggunakan dalil sebagai alat kerja, namun kita tidak boleh lupa bahwa alat itu sendiri adalah konstruksi yang dapat dibongkar dan diganti.
Dalam kehidupan profesional, akademik, dan sipil, kemampuan untuk mendalilkan dengan efektif adalah keterampilan yang tak ternilai. Mendalilkan yang efektif memerlukan lebih dari sekadar keberanian untuk membuat klaim; ia menuntut ketelitian, kejelasan, dan kesadaran akan tanggung jawab etis.
Sebuah dalil yang kuat harus disajikan dengan kejelasan yang tak tergoyahkan. Ini melibatkan keterampilan retorika yang mumpuni, memastikan bahwa audiens memahami premis dasar yang sedang didirikan. Namun, retorika harus didukung oleh presisi logis. Mendalilkan yang efektif harus mampu menunjukkan rantai deduksi yang jelas dari dalil utama ke kesimpulan yang diderivasikan darinya.
Seringkali, dalil yang gagal adalah dalil yang tidak didefinisikan dengan baik. Ketika istilah-istilah kunci ambigu atau asumsi dasarnya tersembunyi, dalil tersebut mudah diserang dan tidak dapat berfungsi sebagai pondasi yang kokoh. Dalam bidang teknis, seperti pemrograman atau matematika, ketidakmampuan untuk mendalilkan prinsip dasar dengan presisi absolut dapat mengakibatkan kegagalan sistemik yang masif.
Tindakan mendalilkan juga memiliki dimensi etis. Ketika seseorang mendalilkan sesuatu sebagai kebenaran, terutama dalam kapasitas profesional (sebagai dokter, hakim, atau ilmuwan), mereka menanggung tanggung jawab yang besar atas konsekuensi penerimaan dalil tersebut oleh orang lain. Etika mendalilkan menuntut kejujuran intelektual:
Penyalahgunaan mendalilkan terjadi ketika klaim yang lemah disajikan sebagai dalil yang kokoh, seringkali untuk tujuan manipulasi atau keuntungan pribadi. Ini adalah inti dari disinformasi dan klaim palsu yang beredar di ruang publik, di mana otoritas penegasan (dalil) disalahgunakan tanpa didukung oleh validitas yang substansial.
Untuk mengapresiasi kompleksitas mendalilkan, kita perlu melihat beberapa contoh sejarah di mana penetapan atau penggantian dalil benar-benar mengubah arah peradaban.
Adam Smith, melalui karyanya *The Wealth of Nations*, secara efektif mendalilkan bahwa jika individu dibiarkan mengejar kepentingan pribadi mereka dalam pasar bebas, hasilnya akan secara kolektif menguntungkan masyarakat—seolah-olah dipimpin oleh 'tangan tak terlihat.' Dalil ini bukanlah deskripsi empiris tentang bagaimana pasar bekerja secara mutlak, melainkan sebuah prinsip normatif yang didalilkan sebagai dasar untuk sistem ekonomi liberal. Dalil ini mendasari kebijakan deregulasi, privatisasi, dan globalisasi selama dua abad terakhir.
Tantangan terhadap dalil Smith datang dari John Maynard Keynes, yang mendalilkan prinsip tandingan: bahwa pasar bebas tidak selalu optimal dan bahwa intervensi pemerintah (terutama dalam masa krisis) adalah dalil yang diperlukan untuk menstabilkan ekonomi. Perdebatan antara Smith dan Keynes adalah perdebatan tentang dalil mana yang harus menjadi pondasi tatanan ekonomi.
Para filsuf politik seperti Hobbes, Locke, dan Rousseau masing-masing mendalilkan versi yang berbeda dari 'kontrak sosial' sebagai dasar legitimasi negara. Meskipun mereka setuju bahwa pemerintah yang sah didasarkan pada kesepakatan masyarakat, detail dalil mereka berbeda secara radikal, yang mengarah pada bentuk-bentuk pemerintahan yang berbeda.
Hobbes mendalilkan bahwa individu harus menyerahkan hampir semua kebebasan kepada otoritas absolut (Leviathan) untuk menghindari keadaan alami yang brutal. Locke mendalilkan bahwa individu hanya menyerahkan sebagian kecil hak mereka untuk tujuan melindungi hak-hak alami mereka yang lain (hidup, kebebasan, properti). Dalil-dalil ini membentuk dasar pemikiran konstitusional Amerika dan Eropa, menunjukkan betapa dalil abstrak tentang asal-usul negara dapat menentukan struktur kekuasaan nyata.
Di era informasi modern, proses mendalilkan telah menjadi sangat terfragmentasi dan dipercepat. Media sosial dan platform digital memungkinkan setiap orang untuk mendalilkan kebenaran mereka sendiri, seringkali tanpa mekanisme verifikasi yang ketat yang ada dalam sistem ilmiah atau hukum tradisional.
Salah satu bentuk mendalilkan yang paling kuat saat ini adalah dalil algoritmik. Ketika sebuah perusahaan teknologi mendalilkan bahwa "pengalaman pengguna akan meningkat jika kami memprioritaskan konten yang menarik secara emosional," dalil ini dienkapsulasi dalam kode. Algoritma kemudian mendalilkan realitas sosial bagi miliaran pengguna, membentuk opini publik dan bahkan hasil pemilihan umum. Dalil algoritmik ini bersifat non-transparan, sulit untuk ditantang, dan memiliki dampak yang meluas, menjadikannya salah satu bentuk penegasan paling penting dan paling berbahaya di abad ini.
Meningkatnya skeptisisme terhadap institusi tradisional (pemerintah, media, sains) telah melemahkan kemampuan otoritas untuk mendalilkan kebenaran yang diterima secara universal. Ketika masyarakat tidak lagi berbagi dalil dasar tentang fakta (misalnya, mengenai perubahan iklim atau efikasi vaksin), ruang diskursus rasional menjadi terdistorsi. Ini adalah krisis epistemologis: bukan hanya kita tidak setuju pada kesimpulan, tetapi kita tidak lagi sepakat pada premis dasar (dalil) yang digunakan untuk mencapai kesimpulan tersebut.
Untuk memulihkan kohesi sosial dan intelektual, diperlukan upaya kolektif untuk mendirikan kembali dalil-dalil bersama yang didasarkan pada metodologi yang transparan dan dapat diverifikasi. Proses ini menuntut pendidikan yang menekankan pada literasi kritis—kemampuan untuk mengidentifikasi dalil yang mendasari suatu klaim, mengevaluasi bukti yang ditawarkan, dan menolak dalil yang didirikan tanpa dasar yang kuat.
Mendalilkan, dalam arti luas, adalah inti dari proyek peradaban manusia. Tanpa kemampuan untuk menetapkan dan menegaskan dalil-dalil yang berfungsi sebagai titik tolak yang stabil—baik itu hukum alam, hak asasi manusia, atau postulat matematika—kita akan terjebak dalam kekacauan dan relativisme total. Tindakan ini memungkinkan akumulasi pengetahuan, pembangunan sistem keadilan, dan pembentukan identitas kolektif.
Namun, kekuatan mendalilkan harus diimbangi dengan kerendahan hati epistemologis. Dalil-dalil harus diperlakukan sebagai instrumen yang kuat, bukan sebagai idola yang disembah. Sebagaimana sejarah telah menunjukkan, dalil yang paling diyakini sekalipun mungkin keliru atau tidak memadai dalam menghadapi kompleksitas baru. Tugas generasi sekarang adalah bukan untuk berhenti mendalilkan, melainkan untuk mendalilkan dengan kesadaran penuh akan konteks, tanggung jawab etis, dan kesiapan untuk menerima falsifikasi.
Dalil adalah jangkar yang menahan kapal pemikiran kita di tengah lautan ketidakpastian. Kita harus memastikan bahwa jangkar tersebut terbuat dari bahan yang kuat—logika yang ketat, bukti yang memadai, dan konsensus yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam—sehingga ketika badai tantangan datang, fondasi yang telah kita dalilkan dapat menahan gempuran tersebut dan membimbing kita menuju pemahaman yang lebih baik tentang dunia.
Oleh karena itu, setiap kali kita membuat klaim, setiap kali kita menegaskan suatu prinsip, kita mengambil bagian dalam tradisi panjang mendalilkan. Ini adalah praktik yang menuntut kehati-hatian tertinggi dan merupakan cerminan paling mendalam dari keinginan manusia untuk memahami, menata, dan memberikan makna pada eksistensinya.