Menggambarkan upaya mencari peluang di tengah ketidakpastian.
Pepatah lama "Menangguk di air keruh" menggambarkan sebuah tindakan yang sangat spesifik dan kontroversial dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Secara harfiah, menangguk merujuk pada aktivitas menangkap ikan atau hasil air lainnya menggunakan alat seperti jaring atau serok. Ketika air jernih, aktivitas ini dilakukan secara transparan dan terukur. Namun, ketika air menjadi keruh—disebabkan oleh badai, banjir, atau kekacauan—ikan menjadi bingung dan mudah ditangkap, atau bahkan terbawa arus menuju alat tangkapan.
Dalam konteks metaforis, 'air keruh' melambangkan situasi kekacauan, krisis, ketidakpastian, atau ketidakstabilan sosial yang parah. Situasi ini bisa berupa konflik politik, bencana alam, pandemi, atau transisi kekuasaan yang kacau. 'Menangguk' adalah tindakan mencari dan mendapatkan keuntungan, peluang, atau kekayaan dari kondisi yang tidak menguntungkan bagi mayoritas orang. Esensi dari pepatah ini terletak pada memanfaatkan kekalahan, penderitaan, atau kelemahan orang lain demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Bagi sebagian besar masyarakat, kekacauan adalah musuh utama yang menghasilkan kerugian, kesedihan, dan kerentanan. Namun, bagi para oportunis yang terampil "menangguk," kekacauan adalah aset paling berharga. Kekacauan menciptakan celah regulasi, mengalihkan perhatian publik dan penegak hukum, serta mendistorsi harga pasar dan nilai moral. Ketika sistem dan norma sosial terurai, pengawasan menjadi lemah, memungkinkan praktik-praktik yang tidak etis atau ilegal dilakukan dengan risiko penangkapan yang minimal.
Motivasi utama dari tindakan ini sangat bervariasi, mulai dari sekadar ambisi ekonomi, hasrat kekuasaan, hingga upaya memastikan kelangsungan hidup di tengah ketidakpastian. Meskipun hasil dari tindakan menangguk ini sering kali berupa keuntungan material, kerugian etika dan sosial yang ditimbulkannya jauh lebih besar, karena ia menghancurkan kepercayaan publik dan memperparah ketidakadilan yang sudah ada.
Penting untuk membedakan antara oportunisme yang sehat (melihat peluang pasar yang sah dalam kondisi normal) dan tindakan eksploitatif yang merujuk pada "menangguk di air keruh." Oportunisme yang sehat mendorong inovasi dan adaptasi. Sebaliknya, tindakan menangguk melibatkan eksploitasi penderitaan. Misalnya, perusahaan yang cepat beralih memproduksi masker saat pandemi adalah oportunisme adaptif, tetapi individu yang menimbun dan menjual masker dengan harga sepuluh kali lipat saat terjadi kelangkaan adalah manifestasi langsung dari 'menangguk di air keruh'. Perbedaan utamanya terletak pada kerugian pihak ketiga dan niat moral.
Fenomena ini tidak terbatas pada satu sektor saja, melainkan merasuk ke berbagai aspek kehidupan ketika kekacauan hadir. Tiga ranah utama menjadi lahan subur bagi para penangguk.
Krisis ekonomi, inflasi mendadak, atau perubahan kebijakan moneter drastis sering kali menciptakan turbulensi yang dimanfaatkan. Pasar yang panik adalah lingkungan sempurna untuk manipulasi. Di sini, 'air keruh' diartikan sebagai volatilitas tinggi dan asimetri informasi yang parah.
Ketika pasokan suatu komoditas vital (misalnya pangan, BBM, atau obat-obatan) terganggu oleh bencana atau konflik, penimbunan adalah taktik paling klasik. Para penimbun menciptakan kelangkaan buatan, memaksa masyarakat yang rentan membayar harga premium. Spekulasi berlebihan di pasar finansial, memanfaatkan desas-desus atau berita palsu di tengah ketidakpastian politik, juga termasuk dalam kategori ini, di mana keuntungan diperoleh bukan dari penciptaan nilai, melainkan dari penderitaan dan kepanikan investor kecil.
Dalam krisis finansial, banyak perusahaan sehat terpaksa menjual aset mereka dengan harga jauh di bawah nilai wajarnya (fire sale) hanya untuk bertahan hidup. Pemodal besar yang memiliki likuiditas tinggi dapat membeli aset-aset strategis ini, memperoleh kontrol pasar dengan modal yang relatif kecil. Ini adalah bentuk kapitalisme bencana yang paling sering terlihat, di mana aset negara atau swasta yang bernilai strategis berpindah tangan secara cepat saat sistem sedang lumpuh.
Dalam politik, air keruh tercipta saat terjadi transisi kekuasaan, konflik internal partai, atau ketika fokus publik teralihkan oleh isu-isu besar. Ini adalah momen krusial untuk meloloskan kebijakan kontroversial atau melakukan korupsi terselubung.
Saat negara sedang sibuk menangani krisis besar (seperti perang, bencana nasional, atau pandemi), perhatian terhadap proses legislasi dan pengawasan anggaran melemah. Inilah saatnya lobi-lobi kuat meloloskan undang-undang yang menguntungkan kelompok mereka, seringkali dengan mengorbankan kepentingan publik jangka panjang. Dokumen-dokumen penting disahkan di tengah malam, memanfaatkan kelelahan dan kebingungan lembaga pengawas.
Salah satu bentuk 'menangguk di air keruh' yang paling keji adalah korupsi dana bantuan bencana atau darurat. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk memulihkan kehidupan korban dialihkan ke kantong pejabat atau kontraktor nakal melalui mark-up harga, proyek fiktif, atau pengadaan barang yang tidak sesuai standar. Kekacauan logistik pascabencana menyediakan alasan sempurna untuk kurangnya akuntabilitas dan jejak audit yang buram.
Kekacauan sosial juga mencakup krisis informasi, yang kini diperkuat oleh media digital. Dalam kondisi ketakutan dan ketidakpercayaan, informasi yang tidak jelas atau bias menjadi alat eksploitasi.
Para penangguk sering menggunakan disinformasi (berita bohong) atau misinformasi untuk memperkeruh keadaan. Tujuan mereka adalah memanipulasi sentimen pasar, menargetkan lawan politik, atau mengalihkan perhatian dari kejahatan yang mereka lakukan. Ketika masyarakat tidak dapat membedakan fakta dan fiksi, kekuasaan informasi ada pada tangan mereka yang mengendalikan narasi ketakutan.
Di tingkat paling dasar, eksploitasi terjadi ketika kebutuhan fundamental masyarakat (kesehatan, keamanan, tempat tinggal) menjadi alat tawar-menawar. Contohnya adalah pungutan liar (pungli) dalam proses distribusi bantuan, atau bahkan praktik perdagangan manusia yang meningkat pesat di wilayah konflik atau bencana, di mana harapan dan keputusasaan diperjualbelikan.
Memahami fenomena 'menangguk di air keruh' memerlukan tinjauan terhadap kondisi psikologis para pelakunya, serta kerangka etika yang mereka abaikan.
Orang yang berhasil menangguk di tengah kekacauan bukanlah sekadar serakah; mereka memiliki kemampuan unik untuk melihat kekacauan bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang tanpa batas. Ada beberapa ciri psikologis umum:
Konsep ini, yang dipopulerkan oleh Naomi Klein, menjelaskan bagaimana kekuatan-kekuatan pasar yang agresif menggunakan krisis besar—baik alam, politik, maupun ekonomi—sebagai momen untuk menerapkan reformasi radikal yang tidak akan diterima publik dalam keadaan normal. Ini adalah 'menangguk di air keruh' pada skala makro, di mana kekacauan digunakan untuk:
Pada dasarnya, tindakan menangguk di air keruh melanggar prinsip dasar etika, yaitu prinsip non-maleficence (tidak menyebabkan bahaya) dan prinsip keadilan distributif (alokasi sumber daya yang adil). Pelaku tidak hanya gagal membantu yang membutuhkan, tetapi secara aktif memperburuk kondisi mereka demi keuntungan pribadi. Mereka mengubah kebutuhan menjadi komoditas langka, menjamin bahwa hanya yang kuat yang bertahan dan yang lemah semakin terpuruk.
Sepanjang sejarah manusia, kekacauan selalu menjadi kesempatan bagi para oportunis. Sejumlah contoh berikut menunjukkan universalitas praktik 'menangguk di air keruh'.
Perang menciptakan 'air keruh' paling pekat, di mana moralitas dikesampingkan dan kebutuhan militer mendominasi. Kontraktor perang yang menjual peralatan usang atau berharga mahal, pedagang gelap yang memperdagangkan barang-barang vital melintasi garis konflik, hingga individu yang memanfaatkan kekosongan hukum untuk merampas properti, semuanya adalah manifestasi historis dari fenomena ini.
Dalam konflik skala besar, misalnya, terdapat kasus-kasus perusahaan swasta yang mendapatkan kontrak rekonstruksi dengan harga fantastis, meskipun negara-negara tersebut hancur secara finansial. Seringkali, dana rekonstruksi yang seharusnya mendorong pemulihan justru masuk ke saku kontraktor yang memiliki koneksi politik, menciptakan lingkaran korupsi yang memperlambat pemulihan sosial selama bertahun-tahun.
Krisis ekonomi menawarkan bentuk 'menangguk' yang lebih terselubung. Pada Krisis Asia 1997/1998, kekacauan nilai tukar dan kebangkrutan massal menciptakan peluang bagi investor asing dan domestik yang memiliki modal besar untuk membeli aset-aset strategis Indonesia dengan harga diskon besar-besaran. Ketika mata uang jatuh, utang-utang dalam mata uang lokal yang dibeli murah menghasilkan keuntungan gila-gilaan ketika ekonomi pulih, sebuah skema transfer kekayaan melalui kegagalan sistemik.
Demikian pula pada krisis 2008, bank-bank besar yang dianggap "terlalu besar untuk gagal" (too big to fail) diselamatkan menggunakan dana publik, sementara eksekutif yang bertanggung jawab atas krisis tersebut tetap menerima bonus besar. Mereka menangguk keuntungan dari sistem yang mereka hancurkan, membiarkan risiko (air keruh) ditanggung oleh pembayar pajak.
Bencana alam lokal dan pandemi global menjadi lahan subur bagi spekulan. Ketika terjadi gempa bumi besar, penimbun bahan bangunan atau bahan bakar segera muncul. Pada masa pandemi, terjadi lonjakan dramatis dalam korupsi pengadaan alat kesehatan. Kontrak-kontrak pengadaan ventilator atau alat pelindung diri (APD) seringkali diberikan tanpa tender yang transparan, melibatkan perusahaan cangkang, dan harga yang di-mark up hingga ratusan persen, menggunakan alasan darurat sebagai pembenaran untuk mengabaikan prosedur normal.
Kekacauan logistik, kebingungan otoritas, dan kepanikan publik adalah tiga pilar utama yang memungkinkan praktik eksploitatif pasca-bencana. Di tengah kebutuhan yang mendesak, pengawasan adalah barang mewah yang hampir mustahil dipertahankan.
Di era kontemporer, air keruh tidak hanya fisik. Kekacauan informasi (infodemik) menciptakan peluang baru. Pelaku menangguk keuntungan melalui:
Agar operasi menangguk berhasil, para pelaku tidak hanya menunggu kekacauan datang; mereka seringkali aktif berupaya memastikan bahwa 'air' tetap keruh. Ini melibatkan serangkaian strategi manipulasi sistemik.
Sebuah sistem yang terlalu rumit, memiliki regulasi yang tumpang tindih, atau sering berubah, secara efektif menciptakan air keruh permanen. Dalam lingkungan seperti ini, hanya mereka yang memiliki akses informasi dan koneksi ke pembuat kebijakan yang dapat menavigasi kompleksitas tersebut, sementara pesaing yang jujur tenggelam dalam birokrasi. Ketidakjelasan ini menjadi tameng hukum yang sempurna bagi praktik korup.
Penting bagi para penangguk untuk mengendalikan bagaimana publik memandang kekacauan. Jika kekacauan dilihat sebagai produk alamiah yang tak terhindarkan, bukan sebagai kegagalan tata kelola, maka permintaan akuntabilitas akan melemah. Mereka menggunakan media yang mereka kendalikan untuk menyanjung tindakan heroik palsu atau mengkambinghitamkan pihak minoritas, demi mengalihkan perhatian dari transfer kekayaan yang sedang berlangsung.
Misalnya, saat terjadi krisis, perhatian difokuskan pada upaya penyelamatan yang bersifat visual dan emosional, sementara pembahasan anggaran pemulihan yang sesungguhnya terjadi di ruang tertutup tanpa pengawasan media atau masyarakat sipil. Ini adalah taktik mengelola ilusi transparansi sambil mempertahankan ketidakjelasan substantif.
Para penangguk seringkali membangun jaringan patronase yang kuat. Kekacauan memberikan mereka kekuasaan untuk mendistribusikan manfaat (meskipun itu adalah sisa dari keuntungan eksploitatif mereka) kepada pengikut atau mitra bisnis yang setia. Jaringan ini memastikan bahwa ketika air keruh, mereka memiliki perlindungan politik dan birokrasi, sehingga tindakan mereka sulit dituntut atau dipertanyakan oleh lembaga penegak hukum yang lemah atau terkooptasi.
Meskipun keuntungan yang diperoleh dari 'menangguk di air keruh' bersifat material, dampak kerusakannya bersifat struktural dan sosial, merusak fondasi negara dan masyarakat.
Prinsip fundamental dari 'menangguk di air keruh' adalah memperkaya yang sudah kaya dan menghukum yang sudah miskin atau rentan. Kekacauan berfungsi sebagai mekanisme percepatan ketidaksetaraan. Masyarakat yang paling terdampak oleh krisis (seperti keluarga berpenghasilan rendah, pedagang kecil, atau korban bencana) adalah pihak yang kehilangan aset, pekerjaan, dan masa depan. Sementara itu, pelaku penangguk menggunakan krisis tersebut sebagai tangga untuk mencapai level kekayaan yang baru.
Akibatnya, pemulihan pascakrisis tidak pernah adil. Kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang yang kebal terhadap guncangan berikutnya, sementara mayoritas masyarakat dibiarkan bergulat dengan biaya pemulihan jangka panjang.
Ketika masyarakat menyaksikan bahwa di tengah penderitaan kolektif, segelintir orang justru merayakan keuntungan, kepercayaan terhadap institusi—pemerintah, pasar, dan bahkan sesama warga negara—hancur. Kerusakan ini melahirkan sinisme publik yang mendalam. Masyarakat mulai percaya bahwa sistem pada dasarnya curang dan bahwa etika adalah penghalang menuju kesuksesan.
Erosi kohesi sosial ini membuat masyarakat lebih rentan terhadap krisis di masa depan. Ketika kepercayaan hilang, inisiatif kolektif (seperti gotong royong, kepatuhan terhadap kebijakan kesehatan publik) menjadi sulit diimplementasikan, karena setiap tindakan pemerintah atau swasta akan dicurigai sebagai operasi 'menangguk' terselubung.
Di ranah politik, fenomena ini menghasilkan pelemahan tata kelola yang efektif. Ketika dana publik dan bantuan dimanipulasi, kapasitas negara untuk melayani masyarakat menurun drastis. Lembaga-lembaga yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas (parlemen, pengadilan, media independen) secara bertahap dilemahkan atau dibeli, demi memastikan bahwa 'air keruh' dapat dipertahankan tanpa gangguan investigasi.
Negara yang terlalu sering membiarkan praktik menangguk di air keruh pada akhirnya menjadi negara klientelistik, di mana layanan publik dan hak-hak warga negara digantikan oleh transaksi dan perizinan yang hanya bisa diperoleh melalui koneksi atau suap, bukan melalui jalur hukum yang benar.
Menghentikan praktik menangguk di air keruh memerlukan strategi multi-dimensi yang tidak hanya fokus pada penindakan, tetapi juga pada pencegahan sistemik dan penguatan norma-norma etika.
Paradoksnya, justru pada saat krisis (bencana, pandemi), transparansi harus ditingkatkan, bukan dikurangi. Pemerintah harus memiliki mekanisme akuntabilitas real-time untuk pengeluaran darurat. Ini mencakup:
Pemerintah yang siap adalah pemerintah yang memiliki prosedur baku yang sangat jelas untuk kondisi darurat. Semakin sedikit ruang untuk diskresi (kekuatan untuk memutuskan secara sepihak), semakin kecil peluang bagi pejabat untuk menciptakan kekacauan buatan. Prosedur harus mengatur alokasi sumber daya, harga maksimum yang wajar untuk barang vital, dan sanksi yang sangat berat bagi penimbun atau manipulator harga.
Di sektor politik, diperlukan regulasi ketat mengenai lobi dan donasi politik selama masa-masa transisi atau krisis. Memastikan bahwa proses legislatif tidak dapat dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan bahwa setiap pembahasan RUU kontroversial memerlukan jeda waktu yang memadai untuk dikaji publik.
Masyarakat sipil memiliki peran fundamental dalam membersihkan air keruh. Ketika lembaga formal dilemahkan, organisasi non-pemerintah, akademisi, dan media independen harus bertindak sebagai mata dan telinga publik.
Literasi media yang kuat juga esensial. Masyarakat harus dilatih untuk mengidentifikasi dan menolak disinformasi yang dirancang untuk menciptakan ketakutan dan kepanikan. Ketika publik tenang dan teredukasi, upaya manipulasi sentimen untuk tujuan ekonomi atau politik akan menjadi jauh lebih sulit.
Tindakan menangguk di air keruh harus diperlakukan sebagai kejahatan berat, terutama jika melibatkan eksploitasi kemanusiaan atau dana publik di masa krisis. Hukuman yang dijatuhkan harus mencakup tidak hanya denda, tetapi juga penyitaan seluruh aset hasil eksploitasi, serta hukuman penjara yang menimbulkan efek jera. Jika pelaku melihat bahwa risiko yang mereka hadapi jauh lebih besar daripada potensi keuntungan, motivasi mereka untuk bertindak akan hilang.
Sistem peradilan harus mampu beroperasi secara cepat dan efektif selama atau segera setelah krisis, untuk mengirimkan pesan yang jelas bahwa kekacauan bukanlah zona bebas hukuman.
Fenomena menangguk di air keruh adalah barometer moral sebuah peradaban. Ia mengungkap batas antara naluri bertahan hidup yang sah dan keserakahan eksploitatif. Selama ada kekacauan, akan selalu ada orang yang berusaha mengambil keuntungan. Oleh karena itu, tantangan abadi bagi masyarakat adalah bagaimana membangun sistem yang begitu tangguh, transparan, dan beretika sehingga air menjadi terlalu jernih untuk ditangguk.
Keberhasilan sebuah bangsa dalam menghadapi krisis tidak hanya diukur dari kecepatan pemulihan fisik, tetapi juga dari kemampuannya melindungi warganya yang paling rentan dari eksploitasi. Ketika kekacauan datang, respons yang paling mulia adalah solidaritas, bukan oportunisme. Tugas kolektif kita adalah memastikan bahwa setiap krisis menjadi pelajaran, bukan sekadar kesempatan untuk transfer kekayaan yang tidak bermoral.
Membangun ketahanan kolektif berarti membangun fondasi yang kuat, di mana transparansi adalah norma, akuntabilitas adalah keharusan, dan sanksi terhadap kejahatan krisis adalah keniscayaan. Hanya dengan demikian, kita dapat mengubah kekacauan menjadi katalisator bagi keadilan, bukan bagi ketidaksetaraan abadi.
***
Analisis mendalam ini telah menelusuri setiap aspek dari konsep menangguk di air keruh, mulai dari akar psikologis para pelakunya hingga dampak sistemik yang ditimbulkan pada ekonomi dan tatanan sosial. Dari penimbunan kebutuhan dasar, korupsi dana bencana, hingga manipulasi pasar keuangan di tengah ketidakpastian politik, pola yang sama selalu muncul: eksploitasi kelemahan sistem dan penderitaan manusia untuk keuntungan pribadi yang cepat. Untuk membersihkan air keruh tersebut, diperlukan tidak hanya penegakan hukum yang kuat, tetapi juga masyarakat yang kritis, institusi yang transparan, dan komitmen moral untuk menjadikan keadilan sebagai prioritas, bahkan (atau terutama) di saat-saat paling sulit.
Tantangan yang dihadapi selalu sama: bagaimana menjamin bahwa ketika situasi menjadi kacau, hukum, etika, dan keadilan tetap menjadi kompas, dan bukan malah menjadi korban pertama dari oportunisme. Hanya dengan menumbuhkan budaya akuntabilitas yang ketat, barulah potensi eksploitasi dapat dimitigasi. Kegagalan untuk melakukannya berarti membiarkan benih ketidakpercayaan terus tumbuh subur, mempersiapkan lahan bagi krisis moral dan ekonomi berikutnya yang jauh lebih parah.
Fenomena ini bukan sekadar masalah individual, tetapi merupakan masalah struktural yang mencerminkan kerentanan tata kelola. Ketika krisis mereda, dan air mulai jernih kembali, tugas berat untuk menuntut pertanggungjawaban dan memperbaiki sistem yang terfragmentasi harus segera dimulai, memastikan bahwa keuntungan haram yang ditangguk di tengah penderitaan dikembalikan kepada publik yang berhak. Refleksi kritis terhadap praktik ini menjadi prasyarat untuk pembangunan masyarakat yang lebih adil dan beradab.
Pola pikir 'menangguk' seringkali tersamarkan dalam bahasa bisnis yang agresif atau urgensi politik yang mendesak. Namun, inti dari tindakan tersebut tetaplah eksploitasi. Masyarakat harus secara kolektif menolak narasi yang membenarkan perolehan kekayaan melalui penderitaan, dan sebaliknya, merayakan mereka yang berkorban dan berjuang demi kepentingan bersama di masa-masa sulit. Membangun fondasi sosial yang menolak oportunisme ekstrem adalah investasi terbaik untuk stabilitas jangka panjang.
Dalam konteks modern yang penuh dengan krisis global—perubahan iklim, migrasi massal, dan ketegangan geopolitik—peluang untuk 'menangguk di air keruh' terus meningkat dan mengambil bentuk yang semakin canggih. Oleh karena itu, mekanisme pengawasan internasional dan kolaborasi lintas batas diperlukan untuk mencegah para oportunis menggunakan kekacauan global sebagai tirai asap untuk tindakan mereka. Solidaritas global, yang didukung oleh regulasi yang ketat dan etika yang tak tergoyahkan, adalah benteng pertahanan terakhir melawan kapitalisme bencana yang merusak.