Tradisi Menanggap: Jantung Pementasan Seni Budaya Nusantara

Simbol Wayang Gunungan Visualisasi Gunungan atau Kayon yang melambangkan kosmos, sering digunakan dalam pementasan Wayang Kulit.

Gunungan (Kayon), simbol kosmos yang menjadi penanda dimulainya dan berakhirnya pementasan dalam tradisi menanggap Wayang Kulit.

Tradisi menanggap pementasan seni, khususnya di wilayah kebudayaan Jawa, Sunda, dan Bali, merupakan sebuah praktik budaya yang jauh melampaui sekadar hiburan. Istilah menanggap, yang secara harfiah berarti 'mengundang' atau 'menyewa' suatu kelompok seni pertunjukan, adalah puncak dari serangkaian prosesi spiritual, sosial, dan ekonomi yang kompleks. Ini adalah manifestasi nyata dari hubungan erat antara manusia, alam, dan dimensi spiritual, yang diwujudkan melalui ritual seni yang sakral dan sekaligus profan.

Menanggap bukan hanya tentang membayar seorang dalang atau kelompok gamelan untuk tampil; ia adalah ritual pemenuhan janji (nazar), penolak bala (ruwatan), atau bagian integral dari hajatan besar seperti pernikahan, khitanan, atau upacara panen. Kekuatan tradisi ini terletak pada kemampuannya untuk mengukuhkan kembali tatanan sosial, mempererat tali persaudaraan, dan menyeimbangkan energi spiritual di dalam suatu komunitas atau keluarga.

I. Etimologi, Konteks, dan Definisi Menanggap

Untuk memahami kedalaman praktik ini, kita harus terlebih dahulu mengurai akar katanya. Dalam bahasa Jawa, kata tanggap memiliki beberapa makna dasar: menerima, menyambut, atau menanggapi. Ketika dilekatkan imbuhan 'me-' menjadi menanggap, maknanya mengerucut pada aktivitas formal pemanggilan atau pengadaan pertunjukan seni. Konteks seni yang paling sering ditanggap adalah Wayang Kulit, Wayang Orang, Kethoprak, Ludruk, atau Tayuban, tergantung pada wilayah dan tujuan upacara.

A. Menanggap Sebagai Kontrak Kultural

Berbeda dengan pertunjukan komersial modern, menanggap melibatkan 'kontrak' yang tidak hanya bersifat finansial tetapi juga kultural dan spiritual. Ketika seseorang atau keluarga memutuskan untuk menanggap Wayang, misalnya, mereka tidak hanya membeli jasa, tetapi juga membeli legitimasi spiritual yang dibawa oleh dalang—sosok yang dianggap memiliki kekuatan supranatural dan pemahaman mendalam tentang lakon (cerita) serta kosmos. Pemilihan dalang dan rombongan bukan didasarkan pada popularitas semata, melainkan pada kecocokan spiritual dan tradisi yang dipegang teguh oleh keluarga penanggap.

Dalam konteks pementasan tradisi, tanggapan berfungsi sebagai:

  1. Syukuran (Hajatan): Merayakan peristiwa penting kehidupan, seperti kelahiran, pernikahan, atau selamatan rumah baru.
  2. Nazar (Pemenuhan Janji): Dilaksanakan setelah permintaan atau doa yang diajukan kepada Tuhan atau leluhur dikabulkan.
  3. Ruwatan (Pembersihan Diri): Upacara sakral untuk membebaskan seseorang atau suatu tempat dari nasib buruk atau energi negatif.
  4. Sedekah Bumi: Ritual kesuburan dan terima kasih kepada alam setelah masa panen.

B. Pergeseran Makna dalam Era Modern

Meskipun inti spiritualnya tetap kuat, praktik menanggap telah mengalami adaptasi di era kontemporer. Di daerah urban, tanggapan sering kali berfungsi sebagai bentuk hiburan massa atau sebagai cara untuk menunjukkan status sosial dan pelestarian identitas. Namun, para sesepuh dan pelaku seni tradisional selalu menekankan bahwa tanpa memenuhi unsur-unsur ritual (ubarampe, tata krama, dan niat yang murni), makna filosofis dari pementasan tersebut akan hilang, dan yang tersisa hanyalah pertunjukan biasa.

II. Prosesi Pra-Menanggap: Ritual Penyelarasan

Keputusan untuk menanggap adalah awal dari serangkaian persiapan yang memakan waktu, energi, dan biaya yang signifikan. Tahap pra-pementasan ini seringkali lebih penting daripada pementasan itu sendiri, karena ia melibatkan negosiasi antara dimensi manusia (masyarakat) dan dimensi gaib (roh leluhur dan dewa).

A. Penentuan Dalang dan Lakon (Musyawarah)

Langkah pertama adalah memilih dalang atau pemimpin grup kesenian. Pemilihan ini melibatkan konsultasi mendalam dengan sesepuh keluarga atau tokoh adat. Kriteria yang dipertimbangkan meliputi garis keturunan dalang (seringkali dalang turun-temurun), reputasi moral, dan kemampuan spiritualnya.

B. Ubarampe dan Sesajen (Persembahan)

Persiapan ubarampe (perlengkapan ritual) adalah bagian krusial. Ubarampe ini berfungsi sebagai jembatan komunikasi dengan alam lain dan sebagai jamuan bagi roh-roh penjaga lokasi pementasan. Kelengkapan sesajen sangat bervariasi tergantung tradisi lokal dan jenis pertunjukan yang ditanggap, tetapi umumnya mencakup:

Daftar Ubarampe Esensial:

  1. Tumpeng Agung: Nasi kerucut besar sebagai simbolisasi gunung dan kesuburan, diapit oleh lauk-pauk lengkap.
  2. Jenang Sengkala: Bubur merah putih yang melambangkan asal usul kehidupan dan penolak bala.
  3. Kembang Tujuh Rupa: Bunga-bunga wangi yang digunakan untuk ritual pembersihan dan penyambutan.
  4. Rokok dan Kopi Pahit/Manis: Dipersembahkan untuk berbagai entitas gaib, masing-masing memiliki preferensi tersendiri.
  5. Ingkung Ayam: Ayam jago utuh yang dimasak dan diletakkan di tengah sesajen sebagai simbol persembahan jiwa.
  6. Cikal Bakal: Kelapa muda utuh sebagai simbol permulaan dan sumber kehidupan.

Semua sesajen ini harus disiapkan dengan hati-hati dan diletakkan di tempat khusus, seringkali di depan kelir (layar wayang) atau di pintu masuk rumah, sebelum dalang mulai menancapkan kayon (gunungan).

C. Pemasangan Gamelan dan Layar

Pemasangan perangkat gamelan (pepadangan) juga memerlukan ritual. Gamelan dianggap memiliki roh, sehingga tidak boleh dipindahkan atau diperlakukan sembarangan. Sebelum gamelan dibunyikan, biasanya dilakukan pembakaran dupa dan pemercikan air suci. Penataan gamelan dan kelir (layar) harus menghadap ke arah yang tepat, seringkali ke selatan, sesuai dengan kosmologi Jawa.

III. Anatomi Pementasan Tradisional yang Ditanggap

Pementasan yang ditanggap, terutama Wayang Kulit, adalah pertunjukan semalam suntuk (sekitar 9 jam). Struktur pementasan ini adalah cerminan dari siklus kehidupan manusia dan perputaran kosmos, dibagi menjadi tiga atau empat pathet (fase musikal) utama, masing-masing mencerminkan suasana dan waktu yang berbeda.

A. Pathet dan Filosofi Waktu

Struktur pementasan adalah bagian integral dari makna menanggap. Dalang harus memastikan bahwa alur cerita selaras dengan Pathet yang dimainkan oleh Wiyaga (penabuh gamelan).

1. Pathet Nem (Malam Hari, Pembukaan - Jam 21.00 s.d. 00.00)

Ini adalah awal pertunjukan, ditandai dengan suasana yang tenang dan lembut. Pathet Nem melambangkan masa kanak-kanak hingga remaja, masa pencarian identitas. Dalam Pathet Nem, dalang biasanya memperkenalkan tokoh-tokoh utama dan konflik awal. Lakon dibuka dengan tancapan Kayon, disusul dengan adegan Jejer Kedhaton (pertemuan di istana) yang menggambarkan keadaan negara yang ideal.

2. Pathet Sanga (Tengah Malam - Jam 00.00 s.d. 03.00)

Pathet ini merupakan puncak ketegangan cerita (konflik utama). Musiknya lebih dinamis, melambangkan masa dewasa dan pertarungan hidup yang sesungguhnya. Dalam filosofi Jawa, ini adalah waktu ketika kekuatan spiritual paling mudah diakses. Adegan-adegan penting seperti Perang Kembang (perang tanding) dan Gara-Gara (kemunculan Punakawan) terjadi pada fase ini. Bagian Gara-Gara adalah jeda spiritual di mana Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) memberikan nasihat filosofis dan humor, berfungsi sebagai katarsis sosial.

3. Pathet Manyura (Menjelang Fajar - Jam 03.00 s.d. 06.00)

Pathet Manyura membawa suasana yang lebih gagah dan optimis, melambangkan masa tua dan penyelesaian konflik. Di fase ini, dalang biasanya menyelesaikan masalah cerita, mencapai kemenangan moral, dan memberikan penutup yang damai. Ini adalah fase pencerahan, di mana audiens diajak merenungkan hasil dari pertarungan batin yang telah mereka saksikan. Pertunjukan diakhiri dengan tancapan Kayon di tengah layar, menandakan keseimbangan kosmos telah pulih.

B. Peran Sentral Dalang dan Sinden dalam Tanggapan

Dalam tradisi menanggap, Dalang adalah poros alam semesta mini yang diciptakan di atas panggung. Dalang adalah medium, pendidik, sekaligus pemandu spiritual.

Gong Gamelan Representasi Gong, instrumen utama dalam Gamelan yang menandai akhir dari satu gatra musikal. Gong Agung - Penanda Kosmik

Gong, instrumen yang menentukan struktur musik dalam tradisi menanggap. Bunyinya adalah penutup siklus dan penanda waktu.

IV. Menanggap Ruwatan: Puncak Kesakralan

Di antara berbagai jenis tanggapan, Ruwatan (pembersihan) memiliki tingkat kesakralan tertinggi dan memerlukan persiapan paling rumit. Tujuan utama menanggap Ruwatan adalah membebaskan individu dari status sukerta, yaitu orang-orang yang secara mitologis dikutuk atau rentan terhadap nasib buruk, terutama menjadi mangsa Betara Kala.

A. Klasifikasi Orang Sukerta

Ritual Ruwatan harus ditanggap secara spesifik untuk membebaskan berbagai kategori sukerta. Pemahaman mendalam tentang jenis-jenis sukerta menunjukkan betapa vitalnya peran Dalang sebagai penyembuh sosial.

  1. Ontang-Anting: Anak tunggal tanpa saudara.
  2. Kedhana-Kedhini: Dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan (urutan tidak masalah).
  3. Pancagati: Lima anak laki-laki semua.
  4. Sinting: Orang yang lahir dengan kondisi fisik atau mental yang dianggap tidak sempurna.
  5. Wunggal: Anak yang lahir setelah semua kakaknya meninggal.
  6. Jempina: Anak yang menyebabkan kematian salah satu orang tuanya saat lahir.

Keluarga yang menanggap Ruwatan harus memastikan bahwa semua persyaratan spiritual terpenuhi, karena kegagalan dalam ritual dipercaya akan membawa bencana yang lebih besar. Dalang yang melaksanakan Ruwatan harus memiliki sertifikasi spiritual dan dianggap suci.

B. Lakon Murwakala dan Transformasi

Lakon wajib dalam Ruwatan adalah Murwakala (Asal Usul Betara Kala). Cerita ini mengisahkan bagaimana Batara Kala dilahirkan dari air mani Dewa Siwa yang tercecer ke laut, menjadikannya makhluk buas pemakan manusia. Dalang, melalui pementasan ini, berperan sebagai penerus Dewa Brahma yang berhasil menjinakkan Kala dan memberinya daftar orang-orang yang tidak boleh dimakan (yaitu, mereka yang sudah di-ruwat).

Ritual inti melibatkan:

Biaya untuk menanggap Ruwatan jauh lebih tinggi daripada tanggapan biasa, mencerminkan tanggung jawab spiritual dan risiko yang diemban oleh Dalang. Hal ini membuktikan bahwa tradisi menanggap bukanlah aktivitas murah, melainkan investasi sosial dan spiritual yang sangat berharga.

V. Dimensi Ekonomi dan Sosial dalam Menanggap

Praktik menanggap merupakan salah satu motor penggerak ekonomi kultural mikro di pedesaan dan sub-urban. Rantai ekonomi yang terbentuk dari satu kali pementasan sangat panjang, melibatkan banyak pihak.

A. Rantai Ekonomi Seni Pertunjukan

Ketika sebuah keluarga memutuskan untuk menanggap Wayang Kulit, dana yang dikeluarkan berputar ke berbagai sektor:

  1. Kelompok Seni (Dalang dan Crew): Biaya sewa dalang, wiyaga (penabuh gamelan), sinden, dan asisten (berjumlah 20-40 orang).
  2. Penyedia Panggung dan Peralatan: Sewa tenda, kursi, generator listrik (untuk penerangan layar), dan sistem suara.
  3. Penyedia Ubarampe: Pembelian bahan-bahan sesaji, bunga, hewan kurban (ayam, kambing), dan persiapan makanan untuk ribuan tamu.
  4. Artis Pendukung: Kadang kala ditambahkan hiburan sampingan seperti Campursari atau Dangdut sebelum pementasan utama dimulai.

Keluarga yang menanggap biasanya menghabiskan dana yang setara dengan membeli satu hingga dua unit sepeda motor baru, menunjukkan betapa besarnya nilai yang dilekatkan pada pelaksanaan tradisi ini. Pengeluaran ini dipandang bukan sebagai pemborosan, tetapi sebagai investasi sosial; semakin meriah tanggapan, semakin tinggi prestise keluarga di mata masyarakat.

B. Kohesi Sosial dan Semangat Gotong Royong

Aspek sosial dari menanggap adalah penguat utama kohesi komunitas. Prosesi persiapan (seperti mendirikan panggung, memasak, dan mengatur tempat duduk) selalu dilakukan secara gotong royong (sambatan atau rewang) oleh tetangga dan kerabat.

Menanggap berfungsi sebagai:

Dengan demikian, keputusan untuk menanggap sebuah pertunjukan adalah pernyataan publik mengenai komitmen keluarga terhadap nilai-nilai tradisional dan solidaritas komunal.

VI. Evolusi dan Tantangan Tradisi Menanggap Kontemporer

Meskipun memiliki akar yang kuat, tradisi menanggap kini menghadapi persaingan ketat dari bentuk hiburan modern, media digital, dan perubahan gaya hidup masyarakat.

A. Adaptasi Bentuk dan Durasi

Tantangan utama adalah durasi semalam suntuk. Di kota besar, banyak penanggap (terutama perusahaan atau instansi) memilih format yang lebih singkat (3-4 jam) atau menggunakan media lain seperti Wayang Listrik atau Dalang Remaja untuk menarik audiens baru. Dalang-dalang modern juga mulai memasukkan isu-isu kontemporer, politik, atau humor yang lebih kontekstual ke dalam lakon mereka.

Namun, dalam tanggapan yang bertujuan spiritual murni (Nazar atau Ruwatan), tradisi durasi penuh (9 jam) tetap dipertahankan dengan ketat. Inilah garis pemisah antara tanggapan yang bersifat murni hiburan dan yang bersifat ritual.

B. Komersialisasi dan Digitalisasi

Komersialisasi seni tradisional telah membuat proses menanggap lebih terstruktur melalui agensi. Dalang-dalang besar kini memiliki jadwal padat dan harga yang fantastis. Di sisi lain, digitalisasi telah membantu pelestarian. Banyak pementasan diunggah ke platform daring, memungkinkan tradisi ini diakses secara global, meskipun esensi kehadiran fisik dan ritual kolektif tetap tak tergantikan.

Tantangan terbesar adalah menjaga agar aspek sakral tidak hilang ditelan aspek komersial. Para budayawan menekankan bahwa Dalang harus tetap memegang teguh etika dan filosofi pakeliran, bahkan ketika mereka harus tampil di hadapan audiens yang lebih sekuler atau modern.

VII. Analisis Filosofis Mendalam: Menanggap sebagai Cermin Kosmos

Filosofi di balik kegiatan menanggap merupakan ringkasan dari pandangan hidup masyarakat Jawa dan Sunda. Pementasan bukanlah tiruan realitas, melainkan representasi dari alam semesta dan pergulatan batin manusia.

A. Kelir (Layar) dan Blencong (Lampu)

Layarnya (kelir) yang putih melambangkan kesucian dan juga alam semesta (jagad cilik atau mikrokosmos). Blencong (lampu minyak atau lampu listrik yang menggantikannya) adalah simbol matahari, sumber kehidupan, dan juga simbol Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Tunggal). Bayangan yang diproyeksikan ke layar adalah cerminan dari kehidupan manusia, yang pada hakikatnya adalah bayangan atau ilusi (maya).

Melalui bayangan yang bergerak, penanggap dan penonton diingatkan bahwa setiap tindakan manusia di dunia ini pada akhirnya adalah sebuah permainan bayangan di bawah terang Illahi.

B. Ajaran Keseimbangan (Harmoni)

Konsep harmoni (laras) adalah inti dari pementasan yang ditanggap. Harmoni dicapai melalui kerjasama antara Dalang (spiritualitas/narasi), Gamelan (kosmos/musik), dan Sinden (emosi/keindahan).

Ketika sebuah keluarga menanggap, tujuan mereka seringkali adalah mencapai keseimbangan kembali—baik keseimbangan dalam rumah tangga (setelah pernikahan), keseimbangan nasib (setelah Ruwatan), maupun keseimbangan dengan alam (setelah panen). Kegagalan menanggap dengan benar dianggap dapat merusak keseimbangan ini.

Prosesi pementasan, dari Pathet Nem hingga Pathet Manyura, mengajarkan tentang siklus: kelahiran, konflik, kebijaksanaan, dan kembali ke kedamaian. Ajaran ini tidak disampaikan secara dogmatis, tetapi diserap secara subliminal oleh audiens yang duduk semalam suntuk.

VIII. Detail Praktis dan Terminologi Menanggap

Untuk benar-benar menghargai kompleksitas ritual menanggap, perlu dipahami beberapa istilah kunci yang menjadi landasan operasional dan filosofisnya.

A. Unsur-Unsur Musikal dalam Tanggapan

Gamelan, yang menjadi tulang punggung pertunjukan, bukanlah sekadar iringan. Setiap instrumen memiliki fungsi filosofis dan musikal yang spesifik. Pemilihan laras (pelog atau slendro) harus disepakati di awal tanggapan.

Instrumen Kunci dalam Gamelan:

Seorang penanggap harus memastikan bahwa Gamelan yang digunakan adalah set lengkap (laras utuh) dan berasal dari kelompok yang memiliki reputasi spiritual yang baik, terutama jika pementasan tersebut bersifat sakral.

B. Tata Letak Panggung (Kesenian)

Tata letak panggung dalam tanggapan Wayang Kulit sangat simbolis:

  1. Sisi Kanan Dalang (Tangan Baik): Tempat wayang-wayang kesatria dan protagonis (Pandawa, Rama) disimpan.
  2. Sisi Kiri Dalang (Tangan Jahat): Tempat wayang-wayang raksasa, kurawa, dan antagonis.
  3. Kotak Wayang: Wadah tempat wayang disimpan. Kotak ini seringkali dijadikan sebagai tempat memukul isyarat oleh Dalang. Kotak ini melambangkan wadah kehidupan atau tubuh wadag manusia.
  4. Cempala: Palu kecil yang dipegang Dalang, digunakan untuk memberikan isyarat musikal pada gamelan. Ini melambangkan otoritas dan kekuasaan spiritual Dalang.

Setiap detail dalam pementasan yang ditanggap adalah simbol yang kaya makna. Memahami tata letak ini membantu penonton menafsirkan konflik dan moralitas yang disajikan.

IX. Perbedaan Menanggap di Berbagai Wilayah Budaya

Meskipun inti dari menanggap adalah ritual mengundang pertunjukan, manifestasinya berbeda antara Jawa, Sunda, dan Bali.

A. Menanggap di Jawa Tengah dan Timur

Di Jawa Tengah, tradisi yang paling sering ditanggap adalah Wayang Kulit Purwa (Mahabharata dan Ramayana). Fokus utamanya adalah etika keraton (unggah-ungguh) dan filsafat tasawuf Jawa. Di Jawa Timur, khususnya daerah Mataraman, Kethoprak dan Ludruk lebih populer ditanggap untuk hajatan, dengan fokus pada cerita rakyat lokal dan drama yang lebih realistis dan humoris, meskipun unsur spiritualnya (pemanggilan roh penunggu panggung) tetap ada.

B. Menanggap di Jawa Barat (Sunda)

Di Jawa Barat, praktik menanggap difokuskan pada Wayang Golek (boneka kayu) atau pementasan Calung/Degung. Dalang Wayang Golek Sunda seringkali lebih interaktif dan memasukkan unsur humor dan sindiran sosial yang sangat kental. Dalam tradisi Sunda, ritual sebelum menanggap sering melibatkan persembahan kepada Dewi Sri (Dewi Padi) dan juga kepada karuhun (leluhur) penjaga wilayah.

Pementasan yang ditanggap sering melibatkan pemanggilan *jatukarma* (roh pendamping) untuk memastikan keselamatan dan kelancaran acara.

X. Masa Depan Menanggap: Kontinuitas dan Perubahan

Tradisi menanggap merupakan salah satu pilar kebudayaan yang paling tangguh, namun ia memerlukan adaptasi yang cerdas agar tetap relevan. Tantangan terbesar adalah mempertahankan kedalaman filosofisnya di tengah laju modernitas.

Pemerintah daerah dan komunitas budaya memainkan peran kunci dalam melestarikan praktik ini, tidak hanya sebagai produk wisata, tetapi sebagai kebutuhan spiritual dan sosial bagi masyarakatnya. Upaya revitalisasi sering melibatkan pelatihan Dalang muda yang tidak hanya mahir dalam teknik, tetapi juga memahami secara mendalam makna dari setiap Pathet, setiap ubarampe, dan setiap lakon yang mereka pertunjukkan.

Selama masyarakat masih memegang teguh keyakinan pada pentingnya memelihara hubungan dengan leluhur, menyeimbangkan nasib buruk melalui Ruwatan, atau merayakan kehidupan dengan penuh rasa syukur (Hajatan), maka tradisi menanggap akan terus hidup. Ia adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu yang sakral dengan masa kini yang pragmatis, memastikan bahwa detak jantung kebudayaan Nusantara tetap berdenyut kuat melalui bunyi Gamelan yang menggema semalam suntuk.

Kesinambungan tradisi ini terletak pada pengakuan bahwa setiap kali sebuah keluarga memutuskan untuk menanggap, mereka bukan hanya mengeluarkan biaya, melainkan sedang melakukan investasi abadi pada warisan budaya dan keharmonisan spiritual komunitas mereka.

Kedalaman filosofi, kompleksitas ritual, dan peran sentralnya dalam menjaga tatanan sosial menjadikan menanggap sebagai salah satu praktik budaya paling kaya dan bermakna di Indonesia.

***

Lebih jauh mengenai detil persiapan ritual, khususnya dalam konteks Ruwatan yang ditanggap, para ahli antropologi budaya mencatat bahwa negosiasi dengan Dalang sering kali melibatkan diskusi panjang mengenai aspek non-materi. Dalang harus merasa yakin bahwa keluarga penanggap memiliki niat yang murni dan telah mempersiapkan tempat pementasan sesuai dengan ketentuan adat. Jika salah satu elemen ritual terabaikan—misalnya, kurangnya persembahan di empat penjuru mata angin atau penempatan sesaji yang salah—Dalang berhak menolak atau menunda pementasan hingga semua persyaratan spiritual terpenuhi. Ini menegaskan bahwa dalam tradisi menanggap, uang bukanlah faktor penentu utama, melainkan kepatuhan terhadap kaidah kosmik.

Penjelasan mengenai Pathet harus diperdalam lagi, mengingat fungsinya sebagai penanda waktu dan psikologi. Pathet Nem yang tenang, misalnya, menggunakan nada-nada yang rendah dan lembut, sangat cocok untuk adegan di istana di mana terjadi dialog diplomasi atau pengenalan masalah. Peralihan ke Pathet Sanga ditandai dengan perubahan dramatis dalam melodi dan irama, yang meniru kekacauan dan konflik batin yang dihadapi para kesatria. Puncak dari Pathet Sanga, yang melibatkan adegan Gara-Gara dan munculnya Punakawan, adalah momen kritik sosial. Di sinilah Dalang benar-benar menjadi "lidah rakyat," menggunakan humor dan metafora untuk menyampaikan pesan-pesan yang kritis terhadap penguasa atau fenomena sosial, sebuah fungsi yang diizinkan dan bahkan diharapkan dalam konteks menanggap.

Pathet Manyura, dengan nuansa yang lebih cepat dan nada yang lebih tinggi, tidak hanya menyelesaikan cerita, tetapi juga menawarkan resolusi filosofis. Kecepatan musik melambangkan berlalunya malam dan datangnya pencerahan. Wayang-wayang dipentaskan dengan gerakan yang lebih mantap dan gagah, menunjukkan kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma (kejahatan). Akhir dari pementasan yang ditanggap, saat Kayon ditancapkan di tengah layar, bukan hanya menandakan istirahat, tetapi pemulihan total terhadap keseimbangan kosmik yang sempat terganggu oleh konflik lakon. Bagi keluarga penanggap, ini adalah kepastian bahwa hajat atau nazar mereka telah terpenuhi dan direstui oleh kekuatan alam dan spiritual.

XI. Peran Sentral Wiyaga (Penabuh Gamelan)

Meskipun Dalang adalah bintang utama, kesuksesan tradisi menanggap sangat bergantung pada Wiyaga. Wiyaga harus memiliki kepekaan yang luar biasa (greget) untuk mengikuti improvisasi Dalang. Wiyaga tidak hanya membaca notasi; mereka merespons emosi Dalang melalui perubahan irama dan dinamika.

Ketika sebuah keluarga memutuskan untuk menanggap kelompok tertentu, mereka sering kali memperhatikan reputasi kelompok Wiyaga, bukan hanya nama besar Dalang. Kualitas musik dan kemampuan Gamelan untuk 'berbicara' melalui instrumen adalah penentu utama keberhasilan ritual dan estetika.

XII. Pementasan Kethoprak dan Ludruk sebagai Bentuk Tanggapan

Di luar Wayang Kulit yang sangat filosofis, tradisi menanggap juga mencakup bentuk seni rakyat seperti Kethoprak (Jawa Tengah/Timur) dan Ludruk (Jawa Timur), terutama untuk hajatan yang lebih bersifat sosial dan hiburan.

Dalam Kethoprak, yang menampilkan drama sejarah atau legenda, proses menanggap memiliki persyaratan ritual yang lebih ringan dibandingkan Wayang Kulit, namun tetap melibatkan doa selamatan dan persembahan untuk keselamatan para pemain. Fokusnya beralih dari spiritualitas murni ke narasi historis dan moralitas sosial.

Ludruk, yang dikenal karena drama komedi dan kritik sosialnya, sering ditanggap oleh masyarakat kelas pekerja. Ritual tanggap Ludruk juga mencakup sesajen di panggung untuk roh penunggu (sering disebut *Mbah Jowo*), dan biasanya dibuka dengan penampilan *Besutan* atau *Tari Remo* sebagai pemanggil keberuntungan.

Walaupun berbeda dalam medium, semua bentuk menanggap ini memiliki kesamaan: mengukuhkan identitas komunal, merayakan kehidupan, dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk memproses sejarah dan masalah sosial mereka melalui lensa seni pertunjukan.

XIII. Tantangan Logistik Menanggap di Masa Kini

Di era modern, logistik untuk menanggap pementasan tradisional menjadi semakin rumit. Permasalahan terkait perizinan keramaian, keamanan panggung, dan dampak suara (karena pementasan berlangsung hingga pagi) memerlukan koordinasi intensif dengan pihak berwenang setempat. Keluarga penanggap tidak hanya berurusan dengan Dalang, tetapi juga dengan kepolisian dan RT/RW setempat. Hal ini menambah lapisan kompleksitas non-ritual pada praktik budaya yang sudah sarat makna ini.

Selain itu, memastikan kelengkapan dan keaslian Gamelan juga menjadi tantangan. Gamelan yang berkualitas tinggi dan berusia tua semakin sulit ditemukan, dan biaya transportasi serta perawatannya sangat mahal. Oleh karena itu, ketika seseorang berani menanggap pementasan yang autentik, hal itu seringkali dilihat sebagai bentuk pengorbanan finansial yang besar demi pelestarian budaya.

***

Penting untuk menggarisbawahi fungsi edukatif dalam setiap kegiatan menanggap. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang sering mengadakan tanggapan Wayang atau Kethoprak akan memiliki pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai luhur seperti kejujuran (diwakili Pandawa), kesetiaan, dan pentingnya introspeksi diri. Pesan-pesan moral ini, yang disajikan dalam bentuk hiburan, jauh lebih efektif daripada pendidikan formal. Oleh karena itu, keluarga yang menanggap juga berfungsi sebagai pendidik informal bagi generasi berikutnya mengenai etika Jawa dan prinsip-prinsip hidup yang bersumber dari tradisi.

Filosofi Bima Bungkus, salah satu lakon populer yang sering ditanggap saat pernikahan atau kelahiran, memberikan pelajaran penting mengenai potensi tersembunyi. Bima, lahir terbungkus tanpa rupa, melambangkan manusia yang belum menemukan jati dirinya. Hanya melalui bantuan spiritual dan proses alam yang panjang, bungkus itu pecah dan Bima muncul sebagai kesatria. Bagi keluarga yang menanggap lakon ini, pesannya adalah: setiap kesulitan yang dihadapi dalam hidup (atau pernikahan) hanyalah "bungkus" yang akan pecah seiring waktu, mengungkapkan kekuatan dan potensi sejati di dalamnya.

Aspek mistis yang tak terpisahkan dari menanggap adalah fenomena *niti laku*. Beberapa Dalang yang sangat senior dipercaya memiliki kemampuan untuk 'memindahkan' ruh tokoh pewayangan ke dalam boneka wayang yang mereka gerakkan. Ketika ini terjadi, pementasan bukan lagi sekadar drama, tetapi sebuah pengalaman spiritual kolektif. Penonton sering melaporkan merasa kedinginan atau melihat kilatan cahaya tertentu saat adegan krusial berlangsung, yang mereka yakini sebagai tanda kehadiran entitas spiritual. Keluarga penanggap yang mengharapkan pengalaman ini akan membayar mahal dan memastikan semua ritual prasyarat terpenuhi dengan sempurna.

Kesimpulannya, tradisi menanggap adalah praktik kebudayaan yang berlapis-lapis. Ia adalah ekonomi, ritual, seni, dan filosofi yang menyatu dalam satu pertunjukan semalam suntuk. Melalui proses yang rumit, dari pemilihan Dalang, penyiapan ubarampe, hingga selesainya Pathet Manyura, masyarakat tidak hanya menikmati hiburan, tetapi juga memulihkan keseimbangan spiritual dan memperkuat ikatan sosial mereka di hadapan kosmos yang agung.

Setiap penancapan Kayon, setiap pukulan Gong, dan setiap lantunan Suluk adalah penegasan kembali identitas budaya dan pengakuan terhadap warisan leluhur yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu, menanggap akan terus menjadi salah satu tradisi terpenting yang menentukan denyut nadi kebudayaan di Nusantara.

***

Pengkajian mendalam lebih lanjut terhadap fenomena menanggap juga harus menyinggung tentang peranan 'panjak' atau kru panggung. Dalam sebuah rombongan tanggapan Wayang Kulit, panjak tidak hanya bertugas menata layar dan mengurus properti, tetapi mereka juga sering kali menjadi pelayan utama bagi Dalang. Keharmonisan panjak dengan Dalang sangat krusial, karena Dalang seringkali harus berinteraksi langsung dengan mereka, bahkan memberikan instruksi tanpa kata-kata saat pementasan berlangsung. Panjak seringkali juga bertanggung jawab memastikan bahwa tempat minum dan sesaji Dalang selalu tersedia, terutama mengingat durasi pementasan yang ekstrem.

Dalam konteks Jawa Timur, terutama untuk menanggap seni Tayub, ritual pra-pementasan melibatkan persembahan kepada 'lelembut' atau roh penjaga panggung, yang sering dipercaya sebagai sumber kesuksesan pementasan dan keselamatan penari (Waranggono). Tayub yang ditanggap untuk upacara tertentu (seperti bersih desa) mengandung unsur spiritual yang kuat, di mana penari utama dianggap sebagai medium untuk menenangkan roh-roh lokal agar panen berhasil atau desa terhindar dari penyakit. Dalam hal ini, proses menanggap berfungsi sebagai mediasi antara dunia manusia dan dimensi gaib, menggunakan keindahan gerakan dan musik sebagai bahasa komunikasi.

Aspek hukum adat juga berlaku dalam proses menanggap. Jika Dalang membatalkan perjanjian sepihak tanpa alasan yang kuat (kecuali bencana alam atau kematian), ia dapat dikenakan sanksi sosial atau denda adat yang berat. Sebaliknya, jika keluarga penanggap gagal memenuhi kewajiban finansial atau ritualnya, mereka dianggap melanggar janji spiritual, yang dipercaya akan membawa kesialan. Kontrak lisan yang didasari kepercayaan ini membuktikan betapa kuatnya sistem etika tradisional dalam mengatur praktik seni budaya.

Di era globalisasi, munculnya Dalang wanita (Dalang Estri) juga telah memengaruhi tradisi menanggap. Meskipun pada awalnya terdapat resistensi, Dalang wanita kini semakin diterima, terutama dalam konteks pementasan yang ditanggap untuk tujuan-tujuan edukatif atau modern. Dalang wanita sering membawa perspektif baru dalam penafsiran lakon, terutama yang berkaitan dengan peran dan kekuatan wanita dalam epos Mahabarata. Pilihan untuk menanggap Dalang wanita menunjukkan adaptasi sosial yang progresif tanpa kehilangan inti ritualisme.

Dalam kesatuan yang lebih luas, menanggap harus dilihat sebagai sebuah 'kerja kolektif' yang mengikat seluruh desa. Dana yang digunakan oleh penanggap seringkali dikumpulkan dari sumbangan keluarga besar dan tetangga, yang dikenal sebagai 'urunan' atau 'patungan'. Kontribusi ini tidak hanya meringankan beban finansial, tetapi juga memberikan rasa kepemilikan komunal terhadap pementasan tersebut. Ketika Wayang ditanggap, seluruh komunitas merasa memiliki hajat tersebut, dan keberhasilan pementasan adalah keberhasilan bersama, sementara kegagalan adalah aib yang ditanggung bersama.

Dengan segala kompleksitasnya, mulai dari perhitungan Primbon untuk tanggal baik, negosiasi harga (yang sering kali melibatkan barang non-uang seperti hasil bumi atau hewan ternak), hingga interpretasi filosofis setiap detail panggung, tradisi menanggap tetap menjadi salah satu ritual budaya paling kaya dan lestari di Indonesia, sebuah perayaan hidup yang diresapi oleh kearifan lokal yang mendalam dan tak lekang oleh waktu.

🏠 Kembali ke Homepage