Ikatan yang Terputus: Memahami Hakekat Talak
Menalak, atau perceraian, merupakan salah satu isu paling sensitif dan kompleks dalam studi hukum keluarga Islam (Fiqh Munakahat). Meskipun pernikahan (akad nikah) dipandang sebagai perjanjian suci (mitsaqan ghalizha) yang sangat ditekankan kesakralannya, Islam, dengan kebijaksanaannya yang menyeluruh, menyadari bahwa dalam kondisi tertentu, mempertahankan rumah tangga dapat mendatangkan bahaya yang lebih besar daripada mengakhirinya. Oleh karena itu, talak diizinkan, namun disebut sebagai perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah SWT.
Pemahaman yang tepat mengenai menalak tidak hanya sebatas pada lafaz atau ucapan cerai semata, tetapi mencakup rangkaian hukum, prosedur, hak, dan kewajiban yang mengikat kedua belah pihak, suami dan istri, serta keluarga dan masyarakat. Kesalahpahaman dalam implementasi talak seringkali berujung pada kerumitan hukum, terutama terkait status rujuk, hak anak, dan harta bersama.
Talak bukanlah keputusan yang ringan, melainkan jalan terakhir yang diambil setelah semua upaya islah (perdamaian) dan mediasi (tahkim) gagal total. Al-Qur'an dan Sunnah telah memberikan panduan yang sangat rinci mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh sebelum palu talak benar-benar dijatuhkan. Panduan ini bertujuan membatasi penggunaan talak secara sembarangan dan emosional, memastikan bahwa keputusan tersebut diambil dengan akal sehat dan pertimbangan matang mengenai masa depan.
Dalam konteks kontemporer, kajian tentang menalak menjadi semakin penting mengingat modernisasi, perubahan peran gender, dan interaksi antara hukum agama (fiqh) dengan hukum positif (perundang-undangan negara). Bagaimana sebuah lafaz talak yang diucapkan di hadapan saksi atau secara siri (tidak tercatat) diakui secara hukum positif, dan bagaimana mekanisme pengadilan agama mengatur pembagian hak, adalah aspek krusial yang perlu dipelajari secara mendalam.
Mengapa Islam memperbolehkan talak? Jawabannya terletak pada prinsip menghilangkan kemudaratan (darurat) dan menjaga kemaslahatan (kebaikan). Ketika cinta, kasih sayang, dan ketenangan (sakinah) yang merupakan tujuan utama pernikahan telah hilang sepenuhnya, dan yang tersisa hanyalah pertengkaran, kebencian, atau bahaya fisik maupun psikologis, maka mempertahankan ikatan tersebut justru melanggar tujuan syariat. Talak berfungsi sebagai 'katup pelepas' untuk mengakhiri penderitaan yang berkelanjutan bagi kedua pasangan atau salah satunya.
Keizinan menalak juga mencerminkan pengakuan Islam terhadap realitas fitrah manusia. Tidak semua pernikahan berjalan sesuai harapan, dan memaksa dua individu yang telah saling membenci atau tidak lagi mampu hidup bersama untuk tetap terikat dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar dan merusak kesehatan mental mereka. Namun, kebebasan ini disertai dengan tanggung jawab yang besar dan batasan hukum yang ketat. Ini bukan kebebasan tanpa batas; ini adalah prosedur hukum yang terstruktur yang memerlukan penghormatan terhadap hak-hak mantan pasangan dan anak-anak.
Sebuah perceraian dianggap sah secara syariat jika memenuhi rukun-rukun tertentu. Keabsahan talak sangat tergantung pada pemenuhan tiga elemen utama ini. Apabila salah satu rukun tidak terpenuhi, maka pernyataan talak bisa dianggap tidak sah atau tidak jatuh hukumnya.
Pada dasarnya, hak menalak (hak talak) diberikan kepada pihak suami. Suami harus memenuhi beberapa persyaratan agar talaknya sah. Syarat-syarat tersebut meliputi:
Objek talak haruslah seorang wanita yang masih sah menjadi istrinya saat talak diucapkan. Jika talak diucapkan kepada wanita yang telah dicerai dengan talak ba’in (talak putus) dan masa iddahnya telah habis, atau kepada wanita yang bukan istrinya sama sekali, maka talak itu tidak sah. Talak hanya jatuh jika ikatan pernikahan secara syariat masih berlaku, walaupun mungkin belum didaftarkan di pengadilan negara.
Lafaz (ucapan) yang digunakan untuk menalak adalah komponen terpenting. Lafaz talak terbagi menjadi dua kategori utama:
a. Lafaz Sarih (Jelas): Ucapan yang secara eksplisit dan tanpa keraguan menunjukkan maksud talak, seperti "Saya ceraikan kamu," atau "Kamu tertalak." Jika lafaz sarih diucapkan, talak jatuh tanpa perlu mempertanyakan niat suami, karena lafaz tersebut sudah sangat spesifik.
b. Lafaz Kinayah (Sindiran/Tidak Jelas): Ucapan yang memiliki dua makna atau lebih, salah satunya adalah talak, seperti "Pulanglah ke rumah orang tuamu," atau "Aku tidak memiliki hak atasmu lagi." Dalam kasus lafaz kinayah, talak hanya jatuh jika suami berniat untuk menalak melalui ucapan tersebut. Jika suami berniat lain (misalnya, hanya mengusir sementara), talak tidak jatuh. Pembuktian niat ini seringkali menjadi titik sengketa dalam proses hukum di pengadilan agama.
Penting untuk dipahami bahwa dalam hukum Islam, talak dapat dijatuhkan secara lisan, tertulis (surat), atau bahkan melalui isyarat bagi yang bisu, asalkan isyarat tersebut jelas maknanya. Namun, di Indonesia, talak baru memiliki kekuatan hukum penuh setelah diucapkan di hadapan sidang Pengadilan Agama (PA) atau setelah PA mengeluarkan penetapan cerai. Talak yang diucapkan di luar PA (Talak Siri) tetap sah secara agama namun menimbulkan masalah besar terkait hak waris, hak asuh anak, dan administrasi kependudukan.
Keadilan dan Regulasi Fiqh
Fiqh Islam membagi talak menjadi berbagai jenis berdasarkan hak rujuk (kembali) dan pihak yang mengajukan. Pemahaman mengenai klasifikasi ini sangat fundamental karena menentukan apakah pasangan tersebut bisa kembali bersatu atau tidak, dan jika bisa, bagaimana prosedurnya.
Talak Raj'i adalah talak yang dijatuhkan untuk kali pertama (Talak Satu) atau kali kedua (Talak Dua). Selama istri masih dalam masa Iddah (masa tunggu), suami memiliki hak penuh untuk merujuk istrinya kembali tanpa perlu akad nikah baru dan tanpa persetujuan istri, meskipun disunnahkan untuk ada saksi.
Konsep Talak Raj'i ini menekankan peluang bagi pasangan untuk memperbaiki hubungan. Islam memberikan jeda Iddah sebagai periode refleksi dan pendinginan emosi. Jika selama Iddah timbul penyesalan dan keinginan untuk bersatu kembali, pintu rujuk sangat terbuka lebar. Ini adalah mekanisme pencegahan agar talak yang didasarkan pada emosi sesaat tidak menjadi permanen.
Talak Ba'in adalah talak yang mengakibatkan putusnya ikatan pernikahan secara final. Talak Ba'in dibagi menjadi dua jenis, berdasarkan tingkat keputusannya.
1. Talak Ba'in Sughra (Putus Ringan)
Talak ini terjadi dalam tiga kondisi:
Konsekuensi: Pasangan tidak boleh rujuk kecuali dengan akad nikah baru, mahar baru, dan persetujuan dari kedua belah pihak. Status talak ini tidak mengurangi jumlah Talak (jika terjadi karena Khulu' atau belum dukhul), tetapi jika terjadi karena habisnya Iddah Talak Raj'i, maka tetap dihitung sebagai Talak Satu atau Talak Dua.
2. Talak Ba'in Kubra (Putus Berat/Permanen)
Ini adalah talak yang paling serius dan final. Talak Ba'in Kubra terjadi ketika suami telah menjatuhkan Talak Tiga (melalui tiga kali ucapan talak yang terpisah, atau tiga kali talak yang diucapkan sekaligus menurut madzhab tertentu yang mengakibatkannya jatuh tiga).
Konsekuensi: Pasangan dilarang menikah kembali (rujuk) sampai istri memenuhi syarat yang sangat ketat, yaitu:
Syarat adanya muhallil (suami kedua) bertujuan memberikan hukuman dan pencegahan keras agar suami tidak mudah mempermainkan lafaz talak. Ini menekankan bahwa talak adalah urusan serius yang memiliki batas akhir dan konsekuensi yang permanen. Jika syarat muhallil tidak terpenuhi, maka pernikahan kembali dengan mantan suami pertama adalah haram.
Pemahaman mengenai Talak Tiga ini seringkali menjadi titik kesalahpahaman. Sebagian masyarakat mengira bahwa Talak Tiga hanya bisa jatuh jika suami mengucapkan "Saya ceraikan kamu, kamu, kamu," atau "Saya talak tiga kamu hari ini." Meskipun sebagian ulama (misalnya Mazhab Hanafi) menganggap talak yang diucapkan tiga kali dalam satu majelis jatuh sebagai Talak Tiga, mayoritas ulama kontemporer dan sistem hukum di banyak negara Muslim, termasuk Indonesia, cenderung mengadopsi pandangan bahwa talak yang diucapkan sekaligus (talaq bid'ah) hanya dihitung sebagai Talak Satu (Talak Raj'i), sebagai upaya untuk membatasi dampak destruktif dari Talak Ba'in Kubra dan memberikan kesempatan rujuk.
Khulu' adalah perceraian yang terjadi atas permintaan atau inisiatif istri, dengan kompensasi (iwadh) yang diberikan istri kepada suami. Kompensasi ini biasanya berupa pengembalian seluruh atau sebagian mahar yang pernah diberikan suami, atau imbalan lain yang disepakati.
Dasar hukum Khulu' adalah firman Allah dalam Al-Qur'an dan kisah istri Tsabit bin Qays yang meminta cerai karena tidak menyukai suaminya meskipun tidak ada kesalahan pada pihak suami.
Faskh adalah pembatalan ikatan pernikahan yang dilakukan oleh hakim (Pengadilan Agama) karena alasan-alasan tertentu yang diakui syariat, seperti cacat yang tidak diketahui sebelum nikah (aib), suami tidak mampu memberikan nafkah, atau suami menghilang dalam waktu lama (mafqud).
Faskh berbeda dari talak karena Faskh adalah pembatalan oleh otoritas hukum, bukan pernyataan talak dari suami. Faskh juga mengakibatkan Talak Ba'in Sughra.
Tafwidh adalah penyerahan hak talak dari suami kepada istri, yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian sebelum atau saat akad nikah (Ta'lik Talak). Jika syarat-syarat dalam perjanjian tersebut dilanggar oleh suami, istri berhak menjatuhkan talak atas dirinya sendiri. Di Indonesia, bentuk Talak Tafwidh yang paling umum adalah "Ta'lik Talak" yang dibacakan setelah akad nikah.
Jika istri menggunakan hak Tafwidh ini, maka talak yang jatuh biasanya adalah Talak Satu Raj'i atau Talak Ba'in Sughra, tergantung pada rumusan yang disepakati dan pandangan hukum yang dianut Pengadilan Agama.
Setelah talak dijatuhkan, terutama Talak Raj'i, istri wajib menjalani masa tunggu yang disebut Iddah. Iddah bukan hanya sekadar periode menunggu, tetapi memiliki makna teologis, biologis, dan sosial yang mendalam.
Iddah adalah masa di mana wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya dilarang menikah lagi. Tujuannya adalah untuk memastikan rahim bersih dari benih suami sebelumnya (istirba’ al-rahim) dan untuk memberikan kesempatan bagi suami-istri untuk merenung dan rujuk.
Durasi Iddah bervariasi tergantung kondisi wanita:
Selama Iddah Talak Raj'i, meskipun secara formal talak telah diucapkan, hukum masih mengakui ikatan yang samar-samar. Oleh karena itu, istri memiliki hak-hak yang wajib dipenuhi oleh suami:
Kondisi ini berbeda dengan Talak Ba'in (Sughra atau Kubra). Setelah Talak Ba'in, istri tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, kecuali jika ia sedang hamil. Jika istri hamil, suami tetap wajib menafkahi karena nafkah tersebut sejatinya untuk janin yang dikandungnya. Ini menunjukkan betapa terperincinya hukum Islam dalam menjamin hak-hak individu, bahkan dalam situasi perpisahan yang paling sulit.
Ketika perceraian menjadi Talak Ba'in (final), ada beberapa kewajiban finansial yang harus dipenuhi suami, yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama, terutama di Indonesia:
Detail mengenai pembagian harta dan kewajiban finansial ini membutuhkan proses litigasi yang panjang dan cermat. Fiqh Islam memberikan panduan dasarnya, sementara hukum positif negara (UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia) memberikan mekanisme implementasi dan penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama.
Selain klasifikasi berdasarkan hak rujuk, talak juga diklasifikasikan berdasarkan waktu dan cara pengucapannya, yang membedakan antara Talak Sunni (sesuai tuntunan Nabi) dan Talak Bid'ah (menyalahi tuntunan).
Talak Sunni adalah talak yang dijatuhkan sesuai dengan adab dan tata cara yang disunnahkan. Syarat Talak Sunni adalah:
Tujuan dari Talak Sunni adalah untuk memastikan bahwa masa Iddah dapat dihitung secara akurat dan untuk menghindari penyesalan, karena Talak Sunni memberikan kesempatan rujuk (Talak Raj'i) dalam masa Iddah yang jelas.
Talak Bid'ah adalah talak yang dijatuhkan dengan cara menyalahi tuntunan. Contoh Talak Bid'ah adalah:
Walaupun Talak Bid'ah dihukumi makruh atau haram karena menyalahi adab, mayoritas ulama sepakat bahwa talak tersebut tetap jatuh dan memiliki konsekuensi hukum, walaupun pelakunya berdosa. Dalam konteks modern, Pengadilan Agama cenderung memandang talak tiga sekaligus sebagai Talak Satu, untuk kemaslahatan umat, mengurangi dampak yang terlalu drastis dari Talak Ba'in Kubra.
Isu mengenai talak yang diucapkan tiga kali dalam satu waktu ("Saya ceraikan kamu dengan talak tiga") adalah salah satu perdebatan fiqhiyyah terbesar. Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali cenderung menyatakan bahwa talak tiga kali sekaligus jatuh sebagai Talak Ba'in Kubra. Sementara itu, Madzhab Syafi'i (pandangan lama) dan banyak ulama kontemporer, termasuk reformis hukum Islam modern, berpendapat bahwa talak tiga sekaligus tetap dihitung sebagai Talak Satu. Pendekatan reformis ini didasarkan pada Hadits dan fatwa sebagian sahabat, serta prinsip kemaslahatan umum, karena menganggap suami yang melakukannya tidak mengerti prosedur syariat yang benar, dan hukuman Talak Ba'in Kubra terlalu berat.
Di Indonesia, KHI (Kompilasi Hukum Islam) melalui Pengadilan Agama cenderung mengikuti pandangan yang membatasi jatuhnya Talak Tiga, kecuali jika talak tersebut memang telah mencapai akumulasi Talak Dua sebelumnya. Hal ini bertujuan untuk melindungi keluarga dari keputusan cerai yang tergesa-gesa dan emosional, dan mendorong kesempatan islah atau rujuk yang lebih luas.
Pengadilan Agama sangat berperan dalam menafsirkan dan memverifikasi ucapan talak. Jika seorang suami datang ke PA dan menyatakan ia telah menalak istrinya tiga kali, PA akan menyelidiki apakah talak tersebut adalah akumulasi dari talak sebelumnya atau hanya ucapan emosional sesaat. Prinsip yang dipegang adalah memprioritaskan konservasi pernikahan selama masih ada peluang.
Perlindungan Hukum Setelah Perpisahan
Menalak tidak hanya berdampak pada status hukum pasangan, tetapi juga menimbulkan gelombang konsekuensi psikologis dan sosial yang mendalam, terutama bagi anak-anak dan stabilitas ekonomi istri.
Anak-anak adalah korban utama dalam perceraian yang tidak ditangani dengan baik. Fiqh Islam dan hukum positif memberikan perhatian khusus pada hak pengasuhan (Hadhanah) dan hak nafkah anak.
Perceraian, meskipun dilegalkan, adalah trauma psikologis. Bagi wanita, perceraian seringkali membawa stigma sosial, terutama jika ia harus kembali ke keluarga asalnya. Ada perasaan gagal, takut akan masa depan ekonomi, dan kehilangan identitas sebagai istri. Bagi pria, meskipun mereka memiliki hak talak, perceraian seringkali membawa beban emosional, terutama terkait jauhnya hubungan dengan anak-anak dan penyesalan terhadap keputusan yang diambil.
Pentingnya konseling pra-talak dan pasca-talak menjadi sangat krusial. Sistem Pengadilan Agama modern di Indonesia menekankan proses mediasi (perdamaian) yang wajib sebelum sidang dimulai, sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan pernikahan atau setidaknya memastikan perpisahan dilakukan secara damai (ma'ruf).
Dalam banyak kasus, istri menghadapi kerentanan ekonomi yang besar setelah dicerai, terutama jika mereka adalah ibu rumah tangga penuh. Hukum Islam, melalui kewajiban Mut’ah dan pembagian Harta Gono-Gini, bertujuan untuk menciptakan keadilan ekonomi. Mut'ah diberikan sebagai kompensasi atas waktu dan pengorbanan yang telah diberikan istri selama pernikahan. Pembagian harta bersama mengakui bahwa meskipun istri tidak bekerja di luar rumah, kontribusinya dalam mengelola rumah tangga adalah bagian esensial dari akumulasi kekayaan keluarga.
Namun, dalam praktik, seringkali proses pembagian harta ini rumit dan memakan waktu. Kasus-kasus talak yang tidak dicatatkan (siri) semakin mempersulit pembuktian hak-hak ekonomi, memaksa wanita untuk berjuang lebih keras demi haknya di pengadilan, bahkan jika ia harus mengajukan Isbat Nikah terlebih dahulu.
Di Indonesia, praktik menalak diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (direvisi oleh UU No. 16 Tahun 2019) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Walaupun bersumber dari Fiqh Islam, hukum negara mengatur prosedur, batasan, dan sanksi administratif.
Hukum Indonesia secara tegas melarang perceraian terjadi di luar pengadilan. Suami yang ingin menalak istrinya harus mengajukan Permohonan Talak ke Pengadilan Agama (PA) di tempat tinggal istri. Prosesnya meliputi:
Jika istri yang mengajukan cerai, prosesnya disebut Gugatan Cerai. Hasilnya adalah putusan cerai dari hakim, bukan ikrar talak oleh suami. Perbedaan istilah ini mencerminkan pihak yang menjadi inisiator dan bagaimana putusan cerai tersebut diformalkan.
Talak yang tidak dicatatkan (Talak Siri) menimbulkan masalah besar. Meskipun sah secara agama jika memenuhi rukun, negara tidak mengakui status cerai tersebut, yang berakibat pada:
Selain itu, hukum positif juga memberikan perlindungan terhadap wanita yang ditelantarkan secara ekonomi oleh suami pasca-talak. Penelantaran istri atau anak adalah tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi hukum berat, meskipun tantangan pembuktian di lapangan seringkali menghambat penegakan hukum ini.
Sistem hukum Indonesia berusaha keras untuk menggabungkan tuntunan syariat dengan tuntutan administrasi negara, memastikan bahwa setiap proses perceraian didasarkan pada keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan terhadap pihak yang lebih lemah, terutama wanita dan anak-anak.
Mengingat bahwa talak adalah solusi terakhir dan dibenci, etika Islam sangat menekankan upaya pencegahan dan perpisahan yang dilakukan secara ma'ruf (baik).
Al-Qur'an mengajarkan langkah-langkah yang harus ditempuh suami ketika terjadi perselisihan yang dikhawatirkan mengarah pada perceraian (QS. An-Nisa: 34-35):
Penekanan pada Tahkim menunjukkan bahwa perceraian bukanlah urusan pribadi semata, tetapi melibatkan keluarga besar. Keterlibatan pihak ketiga yang netral sangat penting untuk melihat masalah dari perspektif yang lebih objektif.
Jika talak harus terjadi, syariat memerintahkan agar perpisahan dilakukan dengan cara yang baik (ma'ruf). Artinya, tidak ada penghinaan, tidak ada pengambilalihan hak istri secara zalim, dan tidak ada penahanan istri untuk tujuan balas dendam.
Termasuk dalam perpisahan ma'ruf adalah menunaikan seluruh kewajiban finansial (nafkah iddah, mut'ah, pembagian harta), menjaga rahasia rumah tangga yang telah berlalu, dan memastikan stabilitas psikologis anak-anak terjaga. Etika ini jauh lebih penting daripada sekadar legalitas ucapan talak. Talak yang dilakukan secara zalim atau menyakitkan akan mendatangkan dosa besar, meskipun talaknya jatuh secara syariat.
Dalam beberapa dekade terakhir, terjadi peningkatan signifikan dalam kasus gugat cerai (cerai yang diajukan istri) dibandingkan talak yang diajukan suami. Hal ini seringkali disebabkan oleh:
Dalam kasus-kasus ini, istri memiliki alasan kuat untuk menuntut cerai (Faskh atau Khulu'). Pengadilan agama memainkan peran penting dalam memverifikasi alasan-alasan ini untuk memastikan bahwa perceraian terjadi demi menghilangkan kemudaratan yang lebih besar. Perlindungan terhadap wanita korban KDRT menjadi prioritas, di mana Pengadilan Agama dapat memberikan putusan cerai meskipun suami tidak mengucapkan ikrar talak.
Isu menalak adalah isu yang kompleks, mencakup domain teologi, hukum positif, sosiologi, dan psikologi. Pemahaman yang mendalam mengenai rukun dan jenis-jenis talak, khususnya perbedaan antara Raj'i, Ba'in Sughra, dan Ba'in Kubra, adalah kunci untuk menghindari kekeliruan hukum yang bisa merusak status pernikahan seumur hidup, terutama dalam urusan rujuk dan muhallil. Setiap individu yang memasuki pernikahan harus memahami bahwa hak talak adalah pedang bermata dua yang diberikan sebagai izin terakhir untuk mengakhiri penderitaan, bukan sebagai alat mainan untuk ancaman atau kontrol emosional.
Proses menalak harus selalu dilihat sebagai keputusan yang paling serius, yang membutuhkan refleksi mendalam, melibatkan pihak yang bijaksana, dan tunduk sepenuhnya pada prosedur hukum yang ditetapkan, baik syariat maupun negara, untuk menjamin keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Memahami hukum talak adalah bagian integral dari upaya melestarikan keharmonisan rumah tangga, karena dengan mengetahui batas-batas hukum yang ketat, pasangan akan termotivasi untuk bekerja lebih keras dalam mempertahankan ikatan suci pernikahan.
Peranan hakim, mediator, dan penasihat hukum keluarga menjadi sangat vital dalam menafsirkan niat di balik ucapan talak, menentukan status iddah, dan menegakkan hak-hak finansial dan hadhanah. Prinsip keadilan distributif harus ditegakkan dalam setiap putusan talak, memastikan bahwa wanita tidak ditinggalkan dalam kesulitan ekonomi dan anak-anak tetap mendapatkan kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan secara maksimal dari kedua orang tua.
Dalam konteks modern yang serba cepat dan emosional, kecenderungan untuk menggunakan media sosial atau pesan instan untuk menyatakan talak menjadi tantangan baru. Fiqh kontemporer cenderung mengarahkan bahwa talak yang diucapkan melalui sarana tertulis (seperti SMS atau pesan chat) dianggap sebagai lafaz kinayah (tidak jelas) dan memerlukan konfirmasi niat suami di hadapan hakim, lagi-lagi sebagai upaya untuk mengurangi dampak dari keputusan emosional yang terburu-buru. Hanya talak yang diucapkan dengan kesadaran penuh dan melalui prosedur pengadilanlah yang menjamin kepastian hukum bagi kedua belah pihak.
Konsepsi menalak yang diizinkan dalam Islam sejatinya merupakan rahmat, jika dipahami dan dilaksanakan sesuai koridornya. Ini bukan kemudahan untuk berpisah, melainkan pintu keluar yang dipagari dengan kehati-hatian, Iddah, dan hak-hak yang terperinci. Harapan syariat adalah, jika harus berpisah, maka berpisahlah dengan cara yang paling terhormat dan adil, menjauhi kezaliman dan kebencian yang berkepanjangan. Kesadaran ini harus menjadi pijakan bagi setiap pasangan Muslim dalam mengarungi bahtera rumah tangga dan menghadapi cobaan perpisahan.