Konsep Menajin dalam Fikih: Batasan, Penularan, dan Prosedur Thaharah yang Mendalam
I. Pendahuluan: Definisi dan Urgensi Menghindari Najis
Dalam kerangka syariat Islam, konsep 'menajin' – yakni tindakan atau proses menjadikan sesuatu menjadi tidak suci atau terkontaminasi oleh najis – merupakan pilar fundamental yang terkait langsung dengan keabsahan ibadah dan kualitas kehidupan seorang Muslim. Kebersihan fisik dan spiritual, yang dikenal sebagai Thaharah (kesucian), adalah kunci pembuka bagi pelaksanaan ritual utama, khususnya salat. Tanpa thaharah yang sempurna, ibadah dapat menjadi sia-sia.
Istilah 'najis' merujuk pada segala sesuatu yang dianggap kotor atau menjijikkan oleh syariat dan menghalangi keabsahan ibadah jika mengenai badan, pakaian, atau tempat salat. Proses 'menajin' terjadi ketika salah satu dari tiga hal ini bersentuhan dengan zat najis dalam kondisi tertentu, yang secara rinci diatur oleh ilmu fikih. Kehati-hatian dalam menghindari perkara yang menajinkan tidak hanya bersifat ritualistik, tetapi juga mencerminkan perhatian Islam terhadap kesehatan dan kebersihan umum.
Urgensi pembahasan ini terletak pada kompleksitas hukum yang mengelilingi najis. Fikih membagi najis berdasarkan tingkat keparahannya, dan setiap tingkat menuntut metode pembersihan yang berbeda. Pemahaman yang keliru mengenai bagaimana sesuatu menjadi menajin atau bagaimana cara membersihkannya dapat menyebabkan kekeliruan fatal dalam menjalankan syariat. Oleh karena itu, kajian ini akan mengupas tuntas klasifikasi, sumber, mekanisme penularan, dan prosedur thaharah yang wajib dipahami oleh setiap individu.
Menajin bukan sekadar kotor secara fisik, melainkan kotor yang memiliki implikasi hukum syariat. Pemurnian dari menajin adalah syarat sah untuk berinteraksi dengan Allah dalam ibadah formal.
II. Klasifikasi Najis dan Tingkat Kemudahannya
Para ulama fikih sepakat membagi najis ke dalam tiga kategori utama berdasarkan tingkat kesulitannya dalam proses pembersihan (thaharah). Pembagian ini esensial karena menentukan jumlah bilasan, jenis material pembersih, dan prosedur spesifik yang harus dilakukan untuk menghilangkan efek menajin.
A. Najis Mughallazah (Najis Berat)
Najis Mughallazah, atau najis yang paling berat, hanya merujuk pada dua sumber utama: anjing dan babi, serta turunannya. Kontaminasi oleh najis ini memerlukan prosedur pembersihan yang paling ketat dan spesifik. Status 'menajin' yang ditimbulkan oleh najis mughallazah dianggap yang paling parah karena tuntutan tujuh kali pencucian, salah satunya menggunakan air yang dicampur dengan tanah (debu suci).
Perdebatan fikih mendalam terkait najis mughallazah meliputi: Apakah air liurnya, kotorannya, dagingnya, atau bahkan keringatnya memiliki status yang sama? Pendapat jumhur (mayoritas) ulama menegaskan bahwa seluruh bagian dari anjing dan babi, baik basah maupun kering, yang bersentuhan dengan benda suci, menyebabkan benda tersebut menjadi menajin secara mughallazah. Jika najis ini mengenai pakaian, proses pencucian harus dipastikan menghilangkan zat najis ('ain najis) terlebih dahulu sebelum dilanjutkan dengan tujuh bilasan ritual.
Prosedur membersihkan area yang terkena menajin mughallazah harus dilakukan dengan urutan yang cermat. Pertama, menghilangkan wujud benda najis. Kedua, mencuci dengan air bercampur tanah atau zat yang memiliki fungsi serupa (seperti sabun khusus, meskipun tanah lebih utama menurut madzhab Syafi'i). Ketiga, dilanjutkan dengan enam kali pencucian air murni. Kekeliruan dalam urutan ini, atau kekurangan jumlah bilasan, dapat menyebabkan status 'menajin' tetap melekat pada benda tersebut, yang berdampak pada ketidakabsahan ibadah yang dilakukan dengannya.
B. Najis Mutawassithah (Najis Sedang)
Ini adalah kategori najis yang paling umum ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Najis Mutawassithah mencakup semua najis yang tidak tergolong mughallazah atau mukhaffafah. Status 'menajin' yang ditimbulkan oleh najis ini dihilangkan hanya dengan menggunakan air suci mensucikan (air mutlak) hingga hilang wujud, rasa, warna, dan baunya.
Sumber-sumber utama yang menyebabkan sesuatu menjadi menajin mutawassithah meliputi:
- Kotoran Manusia dan Hewan: Feses dan urine dari manusia atau hewan yang dagingnya haram dimakan (kecuali yang dimaafkan, seperti kotoran ikan).
- Darah dan Nanah: Darah haid, nifas, atau darah yang keluar dalam jumlah banyak. Fikih membedakan antara darah yang mengalir (najis) dan darah yang sedikit (ma'fu/dimaafkan).
- Muntahan dan Air Liur yang Berubah: Muntahan manusia atau hewan, kecuali yang dikecualikan (misalnya, air liur yang tidak najis dari hewan peliharaan tertentu).
- Minuman Keras: Khamar dan semua jenis alkohol yang memabukkan, menurut pandangan jumhur ulama.
- Bangkai: Bangkai semua hewan darat, kecuali bangkai manusia, ikan, dan belalang. Sentuhan dengan bangkai akan segera menajin objek tersebut.
Proses menghilangkan status menajin mutawassithah sangat bergantung pada apakah najis tersebut tergolong hukmiyah (hukum, tidak berwujud) atau 'ainiyah (berwujud). Jika najis itu 'ainiyah (ada wujud, warna, atau bau), maka wajib dihilangkan terlebih dahulu zatnya. Air adalah alat utama. Jika hanya berupa hukum saja (misalnya, bekas kencing yang sudah kering, tetapi tempatnya diyakini najis), maka cukup dialiri air sekali bilasan yang merata.
C. Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)
Najis ini paling mudah dibersihkan dan hanya memiliki satu sumber utama: urine bayi laki-laki yang belum makan apa pun selain ASI, dan usianya belum mencapai dua tahun. Karakteristik utama najis mukhaffafah adalah ia menyebabkan status 'menajin', namun dapat dihilangkan hanya dengan memercikkan air ke atasnya tanpa perlu mengalirkan atau memerasnya.
Syarat mutlak najis mukhaffafah adalah bahwa bayi tersebut harus benar-benar hanya mengonsumsi ASI, bukan makanan pendamping atau minuman lainnya. Jika bayi tersebut telah mulai makan bubur atau makanan padat lainnya, maka air seninya berubah status menjadi najis mutawassithah, yang memerlukan pencucian secara normal (dibilas hingga air mengalir).
Konsep 'menajin' oleh mukhaffafah memberikan kemudahan (rukhshah) dalam syariat. Cukup memercikkan air hingga area yang terkena menajin menjadi basah secara merata, bahkan jika volume air yang digunakan lebih sedikit daripada volume air seni itu sendiri. Hal ini berbeda total dengan prosedur najis mutawassithah yang mengharuskan air mengalir dan menghilangkan zat najis.
III. Mekanisme dan Syarat Transfer Menajin (Penularan Najis)
Proses menajin terjadi melalui transfer fisik dari zat najis ke benda suci. Tidak semua kontak otomatis menyebabkan transfer najis, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi agar benda suci tersebut benar-benar berubah status menjadi najis dan memerlukan thaharah.
A. Syarat Utama Transfer Najis
Prinsip dasarnya adalah kelembapan (rutubah). Mayoritas ulama berpendapat bahwa transfer menajin terjadi jika salah satu atau kedua benda (najis dan yang disucikan) berada dalam keadaan basah atau lembap. Jika najis dan benda yang disentuhnya sama-sama kering total, maka transfer najis (menajin) tidak terjadi. Namun, ada perdebatan rinci:
- Basah vs. Basah: Kontak antara dua benda yang basah (misalnya tangan basah menyentuh kotoran basah) secara pasti menajin benda suci tersebut.
- Basah vs. Kering: Jika najisnya basah dan benda sucinya kering, transfer menajin terjadi. Air atau zat cair pada najis akan memindahkan kontaminasi ke benda kering.
- Kering vs. Basah: Jika najisnya kering dan benda sucinya basah, benda suci akan terkontaminasi najis kering yang terserap oleh kelembapan.
- Kering vs. Kering: Tidak ada proses menajin yang terjadi, kecuali jika najis tersebut berupa partikel sangat halus (seperti debu kotoran) yang diterbangkan angin dan menempel pada benda suci. Namun, ini seringkali termasuk dalam kategori Najis Ma'fu (dimaafkan) jika tidak disengaja dan sulit dihindari.
Kelembapan ini adalah tolok ukur penting. Contoh aplikasinya adalah ketika seseorang menginjak lantai yang terkena urine kering. Jika sepatu atau kaki orang tersebut benar-benar kering, ia tidak menjadi menajin. Namun, jika kaki berkeringat atau sepatu sedikit basah, transfer najis terjadi, dan thaharah diperlukan.
B. Transfer Menajin melalui Percikan dan Uap
Apakah percikan air yang sudah menyentuh najis dapat menajin benda lain? Ya, jika air tersebut belum mencapai dua qullah (volume air yang cukup banyak) dan berubah sifatnya (warna, bau, atau rasa) setelah bersentuhan dengan najis. Air yang telah terkena najis disebut Air Mutanajis.
Masalah uap atau asap dari najis yang dibakar juga menimbulkan diskusi. Jumhur ulama berpendapat bahwa uap atau asap dari zat najis yang terbakar tidak menajin, karena proses pembakaran telah mengubah substansi najis menjadi zat lain (Istihalah). Namun, jika najis tersebut basah dan uapnya membawa partikel najis yang kotor, maka kehati-hatian tetap diperlukan.
C. Hukum Benda yang Terkena Menajin Sekunder
Ketika benda A (suci) terkena najis primer (misalnya kotoran), maka benda A menjadi najis. Pertanyaannya, apakah benda B (suci) yang kemudian bersentuhan dengan benda A yang najis ini juga ikut menajin? Ya, transfer sekunder ini terjadi, asalkan syarat kelembapan terpenuhi. Sebagian madzhab (terutama Syafi'i) membatasi rantai penajisan ini, tetapi prinsip dasarnya adalah kontak dengan najis—baik primer maupun sekunder—dalam kondisi basah akan menyebabkan penajisan.
Fenomena menajin berantai ini sangat penting dalam memahami kebersihan pakaian dan alat makan. Jika seseorang mencuci baju yang najis bersamaan dengan baju yang suci, air cucian akan menjadi mutanajis dan dapat menajin seluruh pakaian jika volume airnya sedikit dan tidak mengalir.
IV. Prosedur Thaharah: Mengatasi Status Menajin
Thaharah adalah proses mengembalikan status kesucian benda yang telah terkena najis (menajin). Metode pembersihan bergantung pada jenis najis dan sifat benda yang terkontaminasi.
A. Thaharah dari Najis Mughallazah (Tujuh Kali Pencucian)
Seperti disebutkan, proses ini memerlukan tujuh kali pencucian. Madzhab Syafi'i dan Hanbali menegaskan bahwa salah satu dari tujuh pencucian tersebut wajib menggunakan campuran air dan tanah (debu suci).
A.1. Tahapan Pencucian
- Penghilangan 'Ain Najis: Pastikan wujud najis (misalnya, air liur anjing) telah hilang sepenuhnya dari permukaan benda.
- Pencucian Pertama dengan Tanah: Area yang terkena menajin dicuci dengan air yang dicampur dengan tanah suci (debu) hingga keruh. Tujuannya adalah menghilangkan efek najis yang sulit dijangkau.
- Enam Pencucian Air Murni: Area dibilas enam kali berturut-turut menggunakan air mutlak murni.
Diskusi fikih yang sangat panjang muncul mengenai pengganti tanah. Dalam konteks modern, apakah deterjen atau pembersih kimia dapat menggantikan fungsi tanah? Mayoritas ulama tetap mempertahankan tanah sebagai syarat ritual karena ini adalah perintah yang bersifat ta’abbudi (ibadah ritual yang harus diikuti sesuai contoh syariat). Namun, ada beberapa kelonggaran dari ulama kontemporer yang membolehkan penggunaan zat pembersih kuat (seperti sabun antiseptik) sebagai alternatif jika tanah sulit ditemukan, asalkan tujuannya adalah menghilangkan efek menajin secara total.
B. Thaharah dari Najis Mutawassithah (Pembersihan Tuntas)
Inti dari membersihkan najis mutawassithah adalah menghilangkan zat najis ('ain najis) hingga tidak tersisa lagi sifatnya (warna, bau, dan rasa). Ini dikenal sebagai Istihalah dalam konteks air mengalir.
B.1. Metode Pencucian 'Ainiyah (Berwujud)
Jika najis memiliki wujud, wajib dihilangkan wujudnya terlebih dahulu dengan cara digosok, dikerok, atau disiram air kuat-kuat. Setelah wujudnya hilang, tempat tersebut dibilas dengan air mutlak. Jika setelah pencucian, masih tersisa warna atau bau yang sulit dihilangkan (Najis Ma’fu dalam keadaan ini), maka dihukumi suci, asalkan rasa najisnya sudah hilang. Kesulitan menghilangkan warna dan bau ini sering terjadi pada darah atau kotoran yang menempel pada kain. Selama diyakini sudah dicuci sekuat tenaga, benda tersebut kembali suci.
B.2. Metode Pencucian Hukmiyah (Tidak Berwujud)
Jika najis tersebut sudah kering dan tidak meninggalkan bekas (hanya bekas hukum najisnya saja, seperti lantai yang terkena urine yang sudah menguap), maka cukup dialiri atau disiram air mutlak di atas area yang menajin tersebut hingga air merata. Tidak diperlukan proses menggosok atau memeras yang berlebihan.
C. Thaharah dari Najis Mukhaffafah (Percikan Air)
Prosedurnya sangat sederhana, yaitu memercikkan air ke area yang terkena menajin (urine bayi laki-laki). Percikan harus dipastikan mengenai seluruh area yang terkena najis, meskipun air tersebut tidak perlu mengalir atau membersihkan zat secara mendalam, karena wujud najisnya (urine) sudah tidak ada setelah kontak. Jika bayi tersebut muntah, muntahan itu tetap dikategorikan mutawassithah, bukan mukhaffafah.
Diskusi Fikih: Mengapa dibedakan dengan urine bayi perempuan? Sebagian ulama menyebutkan karena frekuensi bayi laki-laki buang air kecil lebih sering dan kesulitan membersihkannya, sehingga diberikan keringanan. Sebagian lain merujuk pada hadis yang secara eksplisit membedakan keduanya, menjadikannya hukum ta’abbudi.
D. Thaharah Benda Khusus (Tanah, Logam, dan Kulit)
Setiap material memiliki mekanisme thaharahnya sendiri karena sifatnya dalam menyerap najis (menajin):
- Tanah/Lantai: Jika tanah yang menajin disiram air dalam jumlah besar dan dibiarkan mengalir, atau jika najis tersebut hilang karena terkena sinar matahari atau hujan, sebagian madzhab menghukuminya suci (Istihalah).
- Logam dan Kaca: Benda non-poros (tidak menyerap) ini sangat mudah dibersihkan. Cukup dengan menyiramnya dengan air hingga najis hilang, karena permukaannya tidak menyimpan najis.
- Kulit: Kulit bangkai dapat disucikan total melalui proses penyamakan (Dhabgh). Setelah disamak, kulit tersebut menjadi suci dan tidak lagi membawa status 'menajin' dari bangkai, kecuali kulit anjing dan babi yang tetap najis meskipun telah disamak.
- Minyak dan Cairan Lain: Cairan yang terkena najis (kecuali air dalam volume besar) seluruhnya menjadi menajin (mutanajis). Tidak ada cara untuk menyucikannya kembali. Cairan tersebut harus dibuang. Pengecualian adalah jika najis tersebut jatuh ke dalam wadah minyak beku (padat). Maka hanya bagian di sekitar najis yang diambil dan dibuang.
V. Najis Ma’fu (Yang Dimaafkan): Batasan Kelonggaran dalam Menajin
Meskipun Islam menekankan kebersihan total, syariat juga mengakui adanya kesulitan yang tidak dapat dihindari (Masyaqqah). Beberapa jenis kontaminasi yang menyebabkan status 'menajin' dimaafkan (Ma’fu), yang artinya tidak membatalkan keabsahan salat, meskipun secara teknis zat tersebut adalah najis.
A. Batasan Jumlah dan Ukuran
Najis yang dimaafkan seringkali terkait dengan jumlahnya yang sangat sedikit (Qalil). Ini berlaku untuk:
- Darah Sedikit: Darah dari luka diri sendiri atau darah nyamuk yang menempel pada pakaian dalam jumlah sedikit. Darah ini dianggap sulit dihindari dan tidak menyebabkan status menajin yang membatalkan.
- Percikan Lumpur Jalanan: Jika seseorang berjalan di jalan basah yang bercampur kotoran (tanah, air hujan, dan mungkin sedikit najis), percikan yang mengenai pakaian dimaafkan, asalkan tidak diketahui secara pasti bahwa itu adalah najis murni. Ini berdasarkan prinsip umumul balwa (kesulitan yang menimpa banyak orang).
- Sisa Kotoran Binatang yang Sulit Dihindari: Misalnya, kotoran lalat atau kutu yang menempel di tubuh atau pakaian.
Perlu dicatat bahwa kelonggaran ini hanya berlaku jika jumlahnya benar-benar sedikit (biasanya diukur dengan batas yang tidak dianggap 'mengalir' atau lebih kecil dari mata uang logam tertentu, meskipun batasannya bervariasi antar madzhab). Jika darah banyak, maka ia kembali ke hukum najis mutawassithah.
B. Najis yang Berasal dari Hewan yang Dihalalkan Dagingnya
Dalam hal ini terdapat perbedaan besar antar madzhab, yang sangat mempengaruhi konsep 'menajin' dalam kehidupan sehari-hari.
- Madzhab Hanafi & Hanbali: Kotoran dan urine dari hewan yang dagingnya halal dimakan (seperti sapi, kambing, unta) dianggap suci, atau setidaknya dimaafkan jika terkena dalam jumlah sedikit. Oleh karena itu, kontak dengan kotoran hewan ternak ini tidak menyebabkan status 'menajin'.
- Madzhab Syafi'i & Maliki: Kotoran dan urine semua hewan yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) adalah najis, meskipun hewannya halal dimakan. Namun, mereka memberikan pengecualian (ma'fu) untuk kotoran yang sulit dihindari, seperti kotoran burung pada tanaman, atau kotoran kuda yang tercampur dalam pakan.
Perbedaan pandangan ini menunjukkan pentingnya memahami madzhab mana yang diikuti, terutama bagi mereka yang hidup di lingkungan pedesaan atau dekat peternakan, karena menentukan apakah perlu thaharah total setelah kontak dengan kotoran hewan halal.
C. Hukum Menajin dalam Konteks Ritual
Ada beberapa najis yang dimaafkan hanya dalam konteks tertentu:
- Air Liur Kucing: Air liur kucing dianggap suci (atau dimaafkan) karena sifatnya yang sering berinteraksi dengan manusia (berdasarkan hadis). Oleh karena itu, jika kucing menjilat pakaian atau tangan, status 'menajin' tidak berlaku.
- Bangkai yang Tidak Berdarah Mengalir: Bangkai serangga (seperti lalat, semut, tawon) yang tidak memiliki darah mengalir (Ma Laisa Lahu Damun Sailun) dihukumi suci jika mati di dalam cairan. Kematian serangga ini tidak menyebabkan cairan tersebut menjadi menajin (mutanajis).
VI. Dampak Menajin terhadap Ibadah dan Kehidupan Sosial
Status 'menajin' pada diri seseorang atau benda memiliki konsekuensi hukum yang luas, melampaui sekadar masalah kebersihan fisik. Dampak utamanya adalah pada keabsahan ibadah formal.
A. Syarat Sah Salat
Salah satu syarat utama sahnya salat adalah sucinya badan, pakaian, dan tempat dari najis. Jika seseorang melakukan salat sementara ia mengetahui adanya najis pada salah satu dari ketiganya, salatnya batal dan wajib diulang. Jika najis ditemukan setelah salat (dan dia yakin najis itu ada sebelum salat), maka salatnya juga harus diulang. Pemahaman yang akurat tentang bagaimana sesuatu menjadi menajin sangat krusial di sini.
Terkait pakaian, fikih menjelaskan secara rinci tentang lapisan pakaian. Jika najis mengenai pakaian luar, pakaian dalam tetap suci. Namun, jika najisnya basah dan tembus, kedua lapisan menjadi menajin. Bahkan jika seseorang salat di atas karpet yang najis, salatnya tetap batal kecuali ada pembatas suci yang tebal (seperti alas sajadah yang tebal) antara kaki/tubuh dan karpet najis tersebut.
B. Thawaf dan Menyentuh Mushaf
Selain salat, Thawaf (mengelilingi Ka’bah) disamakan hukumnya dengan salat, sehingga mensyaratkan sucinya badan dan pakaian dari najis. Demikian pula, menyentuh Mushaf Al-Qur'an (yang ditulis dalam bentuk kitab) mensyaratkan kesucian dari hadats (hadas besar dan hadas kecil) dan dari najis (kontaminasi fisik).
C. Menajin dan Hukum Jual Beli
Benda yang najis secara hukum (misalnya babi, minuman keras) tidak sah untuk diperjualbelikan menurut madzhab Syafi'i, karena benda tersebut tidak dianggap sebagai mal mutaqawwim (harta yang bernilai) bagi seorang Muslim. Namun, benda suci yang menjadi menajin (misalnya pakaian yang terkena kotoran) masih boleh dijual, asalkan najisnya dapat dihilangkan (disucikan) dan pembeli diberitahu mengenai kontaminasi tersebut.
D. Implementasi Syubhat (Keraguan)
Syariat mengajarkan bahwa jika terjadi keraguan apakah sesuatu terkena najis atau tidak (syubhat menajin), maka hukum asalnya adalah suci, kecuali ada keyakinan kuat bahwa najis telah terjadi. Prinsip ini (Al-Yaqin La Yuzalu Bish-Syakk – Keyakinan tidak dihilangkan oleh keraguan) penting untuk mencegah obsesi berlebihan terhadap najis (Waswas) yang dapat mengganggu ibadah dan kehidupan sehari-hari.
VII. Istihalah dan Istihlak: Proses Perubahan Status Menajin
Dua konsep penting dalam fikih yang dapat mengubah status 'menajin' tanpa melalui prosedur pencucian air yang ketat adalah Istihalah dan Istihlak. Kedua konsep ini mengakui bahwa perubahan mendasar pada zat dapat mengubah hukumnya.
A. Istihalah (Transformasi Subtansi)
Istihalah adalah perubahan total sifat dan esensi zat najis menjadi zat lain yang suci. Contoh klasik Istihalah meliputi:
- Khamar Menjadi Cuka: Minuman keras (khamar) yang najis, jika berubah secara alami menjadi cuka, maka cuka tersebut dihukumi suci (menurut madzhab Syafi'i, asalkan perubahan terjadi tanpa intervensi manusia).
- Kotoran Menjadi Tanah: Kotoran hewan yang telah mengendap lama di dalam tanah, bercampur, dan menjadi humus (tanah gembur) dianggap telah mengalami Istihalah dan status najisnya hilang.
- Darah Menjadi Sperma: Sebagian ulama menganggap proses biologis ini sebagai Istihalah yang menghasilkan zat suci (sperma) dari zat najis (darah).
Status 'menajin' akan hilang sepenuhnya melalui Istihalah. Fikih Madzhab Hanafi cenderung lebih luas dalam menerapkan konsep Istihalah dibandingkan madzhab lainnya, bahkan memasukkan pembakaran menjadi abu sebagai bentuk Istihalah.
B. Istihlak (Peleburan ke dalam Zat Lain)
Istihlak adalah proses di mana zat najis melebur dan larut sepenuhnya ke dalam zat suci dalam jumlah yang sangat besar, sehingga zat najis tersebut tidak lagi memiliki sifat yang dominan (warna, bau, atau rasa) dan dianggap hilang secara hukum.
Contoh Istihlak yang paling umum adalah pada air dengan volume dua qullah (sekitar 270 liter). Jika najis sedikit jatuh ke dalam air dua qullah atau lebih, dan najis tersebut tidak mengubah salah satu dari tiga sifat air, maka air tersebut tetap suci dan mensucikan. Najis tersebut dianggap lebur (mustahlik) di dalam volume air yang besar dan tidak menyebabkan status menajin pada air tersebut.
Konsep Istihlak juga berlaku pada makanan. Jika setetes darah najis jatuh ke dalam satu panci besar makanan, dan darah tersebut larut total dan tidak dapat dibedakan lagi sifatnya, maka sebagian ulama menganggap makanan tersebut tetap halal dan suci secara keseluruhan (terutama madzhab Hanafi), meskipun ulama Syafi'i lebih berhati-hati.
VIII. Rincian Teknis Fikih Air Mutlak dan Kaitannya dengan Menajin
Air adalah alat utama thaharah, namun tidak semua air dapat menghilangkan status 'menajin'. Dalam fikih, air dibagi menjadi beberapa kategori, yang sangat mempengaruhi prosedur penyucian.
A. Air Mutlak (Air Suci Mensucikan)
Ini adalah air yang masih dalam sifat asalnya (air hujan, embun, sungai, sumur, laut) dan merupakan satu-satunya air yang dapat menghilangkan hadats dan najis. Jika najis mengenai air mutlak, status air tersebut dapat berubah.
B. Air Mutanajis (Air yang Terkena Najis)
Air yang telah menjadi menajin dibagi berdasarkan volumenya:
- Kurang dari Dua Qullah: Jika volume air kurang dari dua qullah (sekitar 270 liter) dan terkena najis, secara otomatis seluruh air tersebut menjadi mutanajis, meskipun tidak terjadi perubahan pada warna, bau, atau rasa. Air ini tidak dapat digunakan untuk bersuci, dan jika mengenai benda suci, ia akan menajin benda tersebut.
- Dua Qullah atau Lebih: Air dalam jumlah besar hanya menjadi mutanajis jika terjadi perubahan nyata pada salah satu dari tiga sifatnya akibat najis yang masuk. Jika tidak ada perubahan, air tetap suci mensucikan (Istihlak).
Perbedaan ini menjadi sangat penting dalam menentukan keabsahan proses thaharah. Jika seseorang menggunakan Air Mutanajis untuk membersihkan najis, ia tidak hanya gagal menghilangkan status 'menajin' pada benda tersebut, tetapi air itu sendiri dapat menambah kontaminasi.
C. Hukum Air Bekas Menajin
Air yang telah digunakan untuk menghilangkan najis disebut Ma Musta’mal (air mustakmal) jika digunakan untuk menghilangkan hadats, atau air Ghusalah Najis (air bekas pencucian najis). Air bekas pencucian najis dihukumi najis, kecuali jika air tersebut keluar dari benda yang disucikan dalam kondisi:
- Zat najis ('ain najis) sudah hilang sepenuhnya.
- Air yang keluar tidak berubah sifatnya (tidak berbau najis, dll.).
- Air yang keluar tidak menambah berat benda yang dicuci.
Dalam kondisi ini, air bekas bilasan (ghusalah) tersebut bisa dihukumi suci dan tidak menajin. Namun, karena kerumitan penentuan ini, sebagian besar ulama menyarankan untuk menganggap air sisa pencucian najis sebagai air kotor yang harus dibuang.
IX. Menajin dalam Konteks Kontemporer dan Kekhawatiran Waswas
Dalam kehidupan modern, muncul isu-isu baru terkait menajin yang memerlukan ijtihad dan kehati-hatian, terutama yang berkaitan dengan produk kimia, limbah, dan kesehatan.
A. Alkohol Medis dan Parfum
Apakah alkohol yang digunakan sebagai antiseptik atau sebagai bahan parfum menyebabkan status 'menajin'? Dalam pandangan jumhur, alkohol yang memabukkan (khamar) adalah najis. Namun, terdapat perbedaan pandangan ulama kontemporer mengenai alkohol non-khamar (seperti etanol medis atau alkohol yang berasal dari zat sintetis, bukan fermentasi anggur). Banyak ulama modern yang membolehkan penggunaan parfum beralkohol dan cairan antiseptik, berargumen bahwa alkohol ini tidak najis secara hakiki, atau minimal dimaafkan (ma’fu) karena sifatnya yang sulit dihindari dan digunakan untuk kepentingan kesehatan.
Mereka yang menganut pandangan bahwa semua alkohol adalah najis tetap harus melakukan thaharah jika bersentuhan dengan alkohol tersebut. Namun, jika ini adalah perkara Masyaqqah (kesulitan), maka mengambil pendapat yang meringankan sangat dianjurkan untuk menghindari waswas.
B. Limbah dan Sanitasi
Sistem sanitasi modern sering kali melibatkan pembuangan limbah melalui pipa. Apakah pipa atau peralatan yang membawa najis menjadi menajin secara permanen? Tidak. Setelah air bersih mengalir melaluinya dan menghilangkan sisa-sisa najis, pipa tersebut kembali suci secara hukum. Ini sejalan dengan prinsip membersihkan saluran air.
C. Mengatasi Waswas (Obsesi Najis)
Pemahaman yang berlebihan dan tidak proporsional terhadap menajin dapat menyebabkan waswas, yakni keraguan dan obsesi yang parah dalam bersuci. Waswas adalah pintu masuk syaitan yang dapat merusak kualitas ibadah seseorang. Fikih menekankan bahwa jika seseorang ragu apakah benda A terkena najis, ia harus berpegang pada hukum asal (suci). Seorang Muslim tidak dituntut untuk mencari-cari najis secara detail. Kecukupan hati bahwa ia telah berusaha membersihkan adalah yang terpenting.
Jika timbul keraguan apakah pakaian atau badan menjadi menajin, wajib berpegang teguh pada keyakinan asal, yaitu suci. Keraguan tidak dapat mengalahkan keyakinan, dan menghindari waswas adalah bagian dari tuntutan syariat.
X. Penutup: Konsistensi dalam Thaharah
Kajian mendalam tentang menajin dan proses thaharah ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kebersihan dan keteraturan. Konsep menajin berfungsi sebagai batasan hukum yang harus diperhatikan agar interaksi ritual dengan Sang Pencipta dapat terlaksana dengan sah.
Dari najis mughallazah yang menuntut pencucian ritual menggunakan tanah, hingga mukhaffafah yang cukup dengan percikan air, setiap detail mencerminkan kebijaksanaan syariat dalam memberikan kemudahan dan ketegasan. Konsistensi dalam menjaga kesucian bukan hanya kewajiban fisik, melainkan juga cerminan kesucian batin. Dengan menghindari sumber yang menajinkan dan melaksanakan thaharah sesuai tuntunan, seorang Muslim memastikan bahwa ia selalu siap untuk melaksanakan ibadah dalam kondisi yang paling sempurna.
Penting untuk selalu merujuk pada ulama yang terpercaya dan memahami perbedaan madzhab dalam implementasi hukum fikih, agar tidak terjebak dalam kesulitan yang tidak perlu, dan pada saat yang sama, tidak meremehkan perkara najis yang dapat membatalkan ibadah.
Kesucian adalah separuh iman, dan pemahaman yang benar mengenai perkara yang menajinkan dan cara membersihkannya adalah fondasi bagi kehidupan ritual yang benar-benar bermakna.