Seni dan Etika Mempertontonkan: Analisis Mendalam Mengenai Industri Tontonan dan Diri yang Terpapar

Panggung dan Mata Pengamat PERFORMA Ilustrasi panggung di bawah sorotan lampu, dengan simbol mata besar yang merepresentasikan pengamatan publik dan tuntutan performa.

Tindakan mempertontonkan adalah inti dari interaksi sosial, budaya, dan komersial manusia. Secara harfiah, ia berarti membuat sesuatu menjadi tontonan; mengekspos, menampilkan, atau memamerkan agar khalayak dapat menyaksikannya. Namun, dalam konteks modern, kata ini mengandung bobot etis dan filosofis yang jauh melampaui sekadar pameran di museum atau pertunjukan teater. Ia menyentuh bagaimana kekuasaan dipertahankan, bagaimana identitas dibangun, dan bagaimana nilai diukur dalam masyarakat yang didominasi oleh citra dan visualisasi.

Dari ritual keagamaan kuno yang dipertontonkan untuk memperkuat keyakinan kolektif, hingga siaran langsung digital yang mempertontonkan setiap detail kehidupan pribadi, mekanisme tontonan telah berevolusi menjadi sebuah struktur sosial yang kompleks—sebuah "Masyarakat Tontonan," sebagaimana pernah didefinisikan oleh filsuf Guy Debord. Dalam analisis mendalam ini, kita akan menjelajahi spektrum penuh dari tindakan mempertontonkan: motivasinya, dampaknya terhadap individu dan kolektif, serta pergeseran etika yang menyertainya di era hiperkonektivitas.

1. Akar Historis dan Kultural Mempertontonkan

Dorongan untuk menampilkan, untuk disaksikan, bukanlah fenomena baru. Jauh sebelum layar televisi atau platform media sosial mendominasi, manusia telah menggunakan tontonan sebagai alat utama untuk berkomunikasi, melegitimasi, dan mengajar. Sejarah tontonan merupakan cerminan dari bagaimana komunitas mendefinisikan dirinya sendiri dan hubungannya dengan dunia supranatural atau kekuasaan politik.

1.1. Tontonan dalam Ritual dan Teater Kuno

Dalam peradaban kuno, tindakan mempertontonkan sering kali terkait erat dengan sakralitas. Ritual keagamaan, seperti festival Dionysian di Yunani atau upacara persembahan di Mesoamerika, adalah tontonan publik yang ketat. Mereka berfungsi sebagai mekanisme katarsis dan rekonsiliasi sosial. Para peserta dan penonton tidak hanya pasif; mereka adalah bagian integral dari pertunjukan yang menegaskan kembali hierarki kosmik dan nilai-nilai moral. Teater Yunani, yang berkembang dari ritual ini, secara eksplisit mempertontonkan konflik moral dan takdir tragis manusia, memberikan pelajaran etika melalui drama yang disaksikan bersama. Fungsi utamanya adalah edukasi kolektif, bukan semata-mata hiburan komersial.

Jauh di timur, pertunjukan wayang atau tari-tarian tradisional juga mempertontonkan narasi epik dan mitologi, memastikan bahwa kisah-kisah pendiri kebudayaan tetap hidup dan relevan. Pertunjukan semacam ini adalah manifestasi budaya yang dipertontonkan, di mana batas antara penampil dan penonton seringkali cair, menciptakan pengalaman komunal yang mendalam. Objek yang dipertontonkan—bisa berupa artefak suci, patung, atau bahkan jasad pahlawan—memiliki otoritas intrinsik yang tidak bisa diganggu gugat.

1.2. Pameran Kekuasaan dan Kemewahan

Mempertontonkan juga selalu menjadi strategi politik yang vital. Monarki dan kekaisaran menggunakan arsitektur megah, parade militer, dan upacara penobatan yang berlebihan untuk memproyeksikan kekuasaan yang tak tertandingi. Istana Versailles bukan sekadar tempat tinggal; ia adalah panggung raksasa yang dirancang untuk mempertontonkan kemewahan, otoritas absolut Raja Matahari, dan jarak yang tak terlampaui antara penguasa dan rakyat jelata. Tujuannya adalah untuk menanamkan rasa kagum dan kepatuhan melalui visualisasi kekuatan yang mencolok. Tontonan politik semacam ini bertujuan untuk membuat rakyat lupa akan realitas kekurangan atau ketidakadilan, digantikan oleh ilusi keagungan yang permanen.

Parade kemenangan di Roma kuno atau festival peluncuran kapal perang modern memiliki fungsi yang sama: mempertontonkan kekuatan militer dan ekonomi negara. Tontonan semacam ini bersifat intimidatif sekaligus meyakinkan, berfungsi sebagai propaganda visual yang kuat. Keberhasilan suatu rezim sering kali diukur bukan hanya dari capaian substantifnya, tetapi dari seberapa efektif mereka mempertontonkan keberhasilan tersebut kepada publik domestik maupun internasional.

2. Transformasi ke Industri Spektakel Modern

Abad ke-20 ditandai dengan perubahan fundamental dalam bagaimana tontonan diproduksi dan dikonsumsi. Munculnya teknologi komunikasi massa—film, radio, dan terutama televisi—menggeser tontonan dari acara lokal yang interaktif menjadi produk komersial yang diproduksi secara massal dan dikonsumsi secara pasif. Ini adalah era di mana segala sesuatu berpotensi untuk diubah menjadi komoditas visual.

2.1. Televisi dan Hegemoni Gambar

Televisi adalah mesin tontonan paling kuat di era modern. Ia membawa dunia ke ruang tamu, tetapi ia melakukannya dengan memfilter dan menyajikan realitas dalam bentuk yang disederhanakan dan dramatis. Berita, yang seharusnya merupakan representasi faktual, diubah menjadi narasi yang menarik (sebuah tontonan informasi). Bencana alam, konflik politik, atau proses pengadilan yang serius kini dipertontonkan dengan musik dramatis, sudut pandang kamera yang emosional, dan narasi yang hiperbolis.

Di sini, etika mulai terkikis. Ada godaan yang tak terhindarkan bagi produser untuk memilih gambar yang paling menggugah emosi, bahkan jika gambar tersebut bersifat invasif atau eksploitatif, demi mempertahankan perhatian pemirsa. Kecepatan dan volume gambar yang dipertontonkan oleh televisi juga menciptakan kelelahan visual, menyebabkan penonton menjadi mati rasa terhadap kengerian yang mereka saksikan. Tragedi yang dipertontonkan hari ini dengan intensitas penuh akan segera digantikan oleh tragedi baru esok hari, tanpa memberikan waktu bagi refleksi substantif.

2.2. Fenomena 'Reality Show' dan Vulgaritas Pribadi

Puncak dari industri spektakel adalah kemunculan genre *reality show*. Genre ini secara eksplisit didasarkan pada tindakan mempertontonkan kehidupan sehari-hari (atau versi yang dimodifikasi darinya) orang-orang biasa yang ditempatkan dalam situasi yang luar biasa. Premisnya adalah bahwa kehidupan yang tidak difilter itu menarik, padahal yang dipertontonkan adalah konstruksi yang sangat terencana.

Reality show mendorong batas antara privasi dan publik hingga hampir tidak ada. Konflik, kemarahan, tangisan, dan bahkan momen-momen intim dipertontonkan sebagai hiburan. Tujuannya bukan lagi untuk edukasi atau seni, melainkan untuk rating dan komersialisasi. Individu dalam *reality show* menjual diri mereka sebagai karakter, dan penonton membeli ilusi otentisitas ini. Hal ini menciptakan budaya pengawasan diri yang ekstrem, di mana nilai diri seseorang mulai diukur dari seberapa baik mereka mampu "memainkan" diri mereka di hadapan kamera. Ini adalah tontonan yang menghancurkan batas antara aktor dan individu, mengubah emosi menjadi modal.

Layar Gawai dan Realitas Virtual REALITAS DIGITAL Ilustrasi gawai modern yang menampilkan siaran langsung, melambangkan dunia yang selalu terhubung dan tindakan mempertontonkan yang berkelanjutan.

3. Performativitas Diri di Era Digital

Revolusi digital, khususnya melalui media sosial, telah memberikan kemampuan mempertontonkan kepada setiap individu. Jika di masa lalu tontonan dikontrol oleh media massa yang terpusat, kini setiap orang adalah produser, editor, dan objek tontonan. Tindakan mempertontonkan identitas di media sosial adalah arena utama di mana kita membentuk citra diri kita di mata publik.

3.1. Identitas sebagai Proyek yang Dipertontonkan

Sosiolog Erving Goffman berbicara tentang bagaimana individu melakukan manajemen kesan—mereka menyajikan "diri" tertentu di hadapan audiens sosial. Media sosial adalah panggung utama performa ini. Setiap unggahan, foto yang difilter, atau status adalah keputusan yang diperhitungkan tentang apa yang ingin kita pertontonkan tentang kehidupan kita: keberhasilan, kebahagiaan, perjalanan, atau keunikan. Kita tidak lagi hanya menjalani hidup; kita mengedit dan memproduksi hidup kita sebagai sebuah narasi yang menarik untuk dikonsumsi orang lain.

Proses ini memunculkan fenomena kecemasan performatif. Individu merasa tertekan untuk terus-menerus menampilkan citra yang sempurna atau 'aspiratif'. Kegagalan, kesedihan, atau momen-momen biasa cenderung disembunyikan karena dianggap tidak layak menjadi tontonan. Tontonan yang dihasilkan adalah simulasi dari realitas, di mana pengalaman yang dipertontonkan jauh lebih penting daripada pengalaman yang dijalani secara otentik. Kita mulai hidup untuk kamera, memprioritaskan sudut pandang yang bagus di media sosial daripada menikmati momen tersebut secara internal.

3.2. Komodifikasi Perhatian dan Monetisasi Tontonan

Dalam ekonomi perhatian digital, tindakan mempertontonkan menjadi komersial. Ketika seseorang menjadi 'influencer' atau 'content creator', diri mereka sendiri (kehidupan, penampilan, opini) menjadi produk utama. Semakin menarik dan kontroversial tontonan yang mereka sajikan, semakin besar perhatian yang mereka tarik, yang pada akhirnya dapat dimonetisasi melalui iklan atau endorsemen.

Ini menciptakan siklus umpan balik di mana para penampil didorong untuk mempertontonkan hal-hal yang semakin ekstrem, personal, atau terpolarisasi. Batasan etika antara apa yang pantas dibagi dan apa yang seharusnya tetap privat terus digeser demi mengejar metrik (jumlah *like*, *share*, *view*). Ironisnya, untuk mencapai otentisitas yang diidamkan oleh audiens, seseorang harus secara terus-menerus memproduksi dan mempertontonkan versi yang lebih baik dari "diri yang otentik" tersebut.

3.3. Tontonan Komunitas dan ‘Fandom’

Tontonan digital juga melahirkan komunitas intensif. *Fandom* modern di media sosial tidak hanya mengonsumsi tontonan yang disediakan oleh idola mereka; mereka juga mempertontonkan loyalitas, pengetahuan, dan dedikasi mereka kepada idola tersebut. Ini bisa berupa analisis mendalam terhadap karya, pembelaan terhadap figur publik di tengah kontroversi, atau bahkan pameran koleksi merchandise. Performa yang dipertontonkan oleh para penggemar ini menjadi bagian dari narasi yang lebih besar, menegaskan keberadaan dan kekuatan komunitas tersebut di ruang digital.

Namun, sisi gelapnya adalah tontonan penghinaan publik. Ketika seseorang melakukan kesalahan di dunia maya, mereka seringkali menjadi objek tontonan yang ganas, di mana jutaan orang berpartisipasi dalam "perburuan penyihir" digital. Penghakiman publik ini dipertontonkan secara real-time, dan hukuman sosial yang dikenakan bersifat permanen. Ini adalah tontonan moralitas yang seringkali brutal dan tidak proporsional, di mana kompleksitas individu disederhanakan menjadi narasi kejahatan yang memuaskan hasrat kolektif untuk menghukum.

4. Mempertontonkan Penderitaan dan Etika Visual

Salah satu area paling sensitif dari tindakan mempertontonkan adalah ketika fokus dialihkan pada penderitaan, kesengsaraan, dan trauma manusia. Fotografi jurnalistik, dokumenter, dan aktivisme sering kali bergantung pada eksposisi penderitaan untuk membangkitkan empati dan memicu perubahan, tetapi garis antara empati dan eksploitasi sangat tipis.

4.1. Dilema Jurnalisme dan Tontonan Trauma

Jurnalisme konflik dan bencana memiliki kewajiban untuk mempertontonkan realitas yang keras agar dunia tidak berpaling. Tanpa tontonan ini, kekejaman dan ketidakadilan mungkin luput dari perhatian global. Namun, etika mengharuskan para jurnalis untuk bertanya: apakah gambar ini mendidik atau hanya memenuhi hasrat voyeuristik penonton? Ketika wajah anak-anak yang menderita atau jenazah korban dipertontonkan secara rinci, ada risiko dehumanisasi. Korban diubah dari manusia yang mengalami trauma menjadi simbol visual yang dapat dikonsumsi dan dilupakan setelah berita berikutnya muncul.

Penyajian penderitaan sebagai tontonan menimbulkan apa yang disebut "porno kemiskinan" atau "porno trauma." Ini adalah representasi penderitaan yang sensasional, yang meskipun mungkin dimaksudkan untuk amal atau kesadaran, pada akhirnya lebih melayani kepentingan pembuat konten atau donatur daripada martabat korban. Keberhasilan kampanye amal sering kali bergantung pada seberapa efektif mereka mempertontonkan kesusahan—sebuah transaksi etis yang bermasalah.

4.2. Tontonan Medis dan Privasi

Dalam domain medis, tindakan mempertontonkan juga memiliki implikasi serius. Studi kasus, prosedur operasi, atau kondisi kesehatan yang jarang sering kali dipertontonkan kepada mahasiswa dan profesional untuk tujuan pendidikan. Ini adalah tontonan yang esensial untuk kemajuan ilmiah.

Namun, di era digital, pasien seringkali menjadi objek tontonan yang tidak disengaja. Unggahan media sosial oleh dokter atau perawat, meski anonim, dapat melanggar privasi dan martabat. Lebih jauh lagi, bagi pasien penyakit langka atau disabilitas, hidup mereka seringkali dipertontonkan tanpa persetujuan penuh, diubah menjadi narasi inspiratif yang menuntut mereka untuk selalu tampil heroik—sebuah performa yang membebani, yang dipertontonkan demi kenyamanan penonton yang ‘sehat’.

4.3. Ketika Kriminalitas Menjadi Tontonan Populer

Ketertarikan masyarakat terhadap kejahatan telah melahirkan genre baru yang disebut *true crime*. Kasus kriminal, mulai dari pembunuhan hingga penipuan, diolah menjadi podcast, serial dokumenter, dan film. Tindakan mempertontonkan detail-detail mengerikan dari kejahatan ini menghasilkan keuntungan besar. Meskipun dapat meningkatkan kesadaran tentang sistem peradilan, fokus seringkali bergeser dari keadilan bagi korban menjadi hiburan bagi penonton.

Korban dan keluarga mereka, dalam konteks ini, harus rela trauma mereka dipertontonkan dan dianalisis berulang kali. Kriminalitas diubah menjadi fiksi yang mendebarkan, di mana batas antara rasa hormat terhadap yang meninggal dan hasrat untuk tontonan yang mendebarkan menjadi kabur. Ini adalah manifestasi dari voyeurisme kolektif, di mana kita secara aman mengonsumsi kengerian orang lain dari jarak yang nyaman.

5. Mempertontonkan Kekuasaan, Politik, dan Konsumsi

Tontonan adalah elemen fundamental dalam operasi kekuasaan dan ekonomi pasar. Dalam politik, citra jauh lebih penting daripada substansi. Dalam ekonomi, keinginan untuk membeli didorong oleh tontonan gaya hidup dan status.

5.1. Politik sebagai Panggung Permanen

Politik modern adalah panggung. Pemimpin tidak hanya memerintah; mereka melakukan pertunjukan kepemimpinan. Pidato, debat, kunjungan ke daerah bencana, dan bahkan gestur non-verbal dipertontonkan dan dianalisis secara mikroskopis. Tujuan utamanya adalah membangun persona politik yang menarik dan meyakinkan. Kebijakan yang kompleks seringkali disederhanakan menjadi slogan yang menarik dan gambar yang mudah dicerna, karena tontonan emosional lebih efektif daripada argumen rasional dalam memobilisasi massa.

Kampanye pemilihan adalah puncak dari tontonan politik. Ini adalah serangkaian acara yang diatur dengan cermat, dirancang untuk mempertontonkan kekuatan, popularitas, dan koneksi otentik dengan rakyat, meskipun interaksi tersebut seringkali difasilitasi dan difilter oleh tim humas. Tontonan ini menciptakan ilusi partisipasi. Masyarakat merasa terlibat karena mereka menyaksikan drama politik tersebut, padahal keputusan substantif seringkali dibuat di balik layar, jauh dari sorotan kamera.

Di bawah rezim otoriter, tontonan politik menjadi lebih eksplisit. Parade militer besar-besaran, patung-patung raksasa, dan perayaan nasional yang wajib hadir berfungsi untuk mempertontonkan kontrol total negara. Tontonan ini bertujuan untuk meniadakan realitas ketidakpuasan atau kritik, menggantinya dengan citra kesatuan dan kekuatan yang tak terkalahkan. Kritik terhadap tontonan ini sama saja dengan menantang kekuasaan itu sendiri.

5.2. Konsumsi dan Tontonan Status

Ekonomi kapitalis modern beroperasi melalui tontonan. Produk dan merek tidak hanya menjual fungsi; mereka menjual janji dan identitas yang dipertontonkan. Iklan adalah bentuk seni yang didedikasikan untuk mempertontonkan kehidupan yang lebih baik, lebih bahagia, dan lebih lengkap yang akan datang jika konsumen membeli produk tertentu. Pembelian itu sendiri menjadi tindakan performatif.

Gaya hidup mewah yang dipertontonkan di media sosial berfungsi sebagai standar aspiratif. Jam tangan mahal, mobil mewah, dan liburan eksotis adalah alat untuk mempertontonkan status sosial. Tindakan membeli dan memamerkan barang-barang ini jauh lebih penting daripada nilai intrinsik barang tersebut. Konsumsi diubah menjadi sebuah kompetisi visual yang tidak pernah berakhir, di mana individu terus-menerus didorong untuk menampilkan diri mereka sebagai bagian dari kelompok elit atau kelompok yang 'berhasil'. Tontonan ini menciptakan siklus utang dan kecemasan, didorong oleh kebutuhan untuk mempertahankan citra yang dipertontonkan.

Bahkan ketika perusahaan mencoba mempertontonkan etika (misalnya, keberlanjutan atau keberagaman), ini seringkali menjadi bagian dari strategi pemasaran—*greenwashing* atau *woke-washing*. Moralitas diubah menjadi tontonan, dan konsumen didorong untuk membeli produk untuk merasa baik tentang diri mereka sendiri, bukan karena perubahan sistemik yang nyata telah terjadi. Dengan demikian, bahkan kritik terhadap kapitalisme dapat dikomodifikasi dan dipertontonkan kembali ke pasar.

6. Analisis Filosofis: Dari Realitas ke Simulakra

Untuk memahami kedalaman tindakan mempertontonkan di era kontemporer, kita harus merujuk pada kerangka filosofis yang menganalisis erosi antara realitas dan representasi. Tontonan tidak hanya mencerminkan dunia; ia mulai menggantikan dunia itu sendiri.

6.1. Masyarakat Tontonan (Guy Debord)

Guy Debord, filsuf Marxis, berpendapat bahwa masyarakat modern Barat telah berubah menjadi "Masyarakat Tontonan." Dalam tontonan, citra menjadi entitas utama yang menjembatani hubungan antarmanusia. Hubungan sosial tidak lagi terjadi secara langsung antara individu, tetapi dimediasi oleh citra yang mereka konsumsi bersama.

Tindakan mempertontonkan di sini bukan hanya tentang gambar yang salah atau manipulasi; ini adalah seluruh cara hidup yang telah menempatkan tampilan di atas pengalaman. Politik, pekerjaan, dan hiburan semuanya diserap ke dalam bentuk tontonan yang terpisah dari realitas. Tontonan menjadi kapitalisme yang terwujudkan secara visual. Kita mengagumi dan mendambakan apa yang dipertontonkan, dan kita menjadi terasing dari kemampuan kita untuk menciptakan kehidupan yang otentik dan bermakna.

Konsekuensi dari tontonan ini adalah pasivitas. Penonton hanya diizinkan untuk mengonsumsi gambar, bukan untuk berpartisipasi dalam perubahan substansial. Tontonan berjanji akan segalanya tetapi hanya memberikan ilusi. Ia terus-menerus mempertontonkan kesenangan yang dapat dibeli, tetapi pada saat yang sama menjauhkan kita dari kepuasan sejati.

6.2. Hiperrealitas dan Simulasi (Jean Baudrillard)

Jean Baudrillard membawa konsep ini lebih jauh dengan ide simulasi dan hiperrealitas. Dalam masyarakat yang didominasi oleh media dan tontonan, gambar yang dipertontonkan tidak lagi mewakili realitas; mereka menciptakan realitas mereka sendiri (simulakra).

Ketika suatu peristiwa (seperti perang atau pernikahan selebriti) dipertontonkan secara luas melalui media, representasinya menjadi lebih nyata daripada peristiwa itu sendiri. Realitas yang dipertontonkan menjadi hiperrealitas—suatu keadaan di mana model dan citra mendahului dan menentukan kenyataan. Ketika kita mempertontonkan kehidupan kita di media sosial, kita menciptakan simulakra diri kita sendiri. Simulakra ini menjadi diri kita yang lebih nyata dan lebih penting dalam diskursus publik daripada diri kita yang sejati, yang tidak dipertontonkan.

Bagi Baudrillard, tontonan modern adalah sebuah lingkaran tertutup. Kita mencoba untuk menemukan realitas, tetapi kita hanya menemukan citra dari realitas yang dipertontonkan. Kematian otentisitas adalah harga yang harus dibayar untuk kemampuan yang tak terbatas untuk mempertontonkan dan disaksikan.

Keseimbangan Etika dan Keseimbangan Publik ETIKA Tontonan KESEIMBANGAN YANG HILANG Ilustrasi timbangan yang tidak seimbang, dengan satu sisi bertuliskan 'Etika' dan sisi lainnya 'Tontonan', melambangkan konflik moral dalam memproduksi visual publik.

7. Strategi Melawan dan Mengkritisi Tontonan

Setelah mengidentifikasi betapa meresapnya tindakan mempertontonkan dalam kehidupan kontemporer, pertanyaan mendasar muncul: bagaimana kita dapat berinteraksi dengan tontonan tanpa sepenuhnya tunduk padanya? Bagaimana kita menuntut otentisitas dan etika di tengah lautan gambar yang terus membanjiri?

7.1. Kesadaran Kritis Sebagai Resistensi

Langkah pertama dalam melawan hegemoni tontonan adalah mengembangkan kesadaran kritis atau 'literasi visual'. Ini berarti tidak mengonsumsi gambar atau narasi yang dipertontonkan secara pasif, tetapi secara aktif mempertanyakan asal, motivasi, dan penyederhanaan yang terkandung di dalamnya. Ketika kita melihat seseorang mempertontonkan kesuksesan yang ekstrem di media sosial, kesadaran kritis menuntut kita untuk mengakui bahwa ini adalah performa, bukan realitas total.

Resistensi juga berarti memahami bahwa keheningan dan privasi dapat menjadi tindakan yang radikal di dunia yang menuntut eksposur permanen. Memilih untuk tidak mempertontonkan setiap aspek kehidupan, memilih untuk tidak berpartisipasi dalam drama publik yang sensasional, adalah cara untuk menegaskan kembali nilai dan otonomi individu yang tidak terikat pada metrik perhatian.

7.2. Tontonan yang Bertanggung Jawab dan Bertujuan

Tindakan mempertontonkan tidak harus selalu bersifat eksploitatif. Seni, pendidikan, dan aktivisme yang kuat seringkali memerlukan tontonan yang efektif. Tontonan yang bertanggung jawab adalah yang:

  1. Menghormati Martabat Subjek: Jika penderitaan harus dipertontonkan, tujuannya harus untuk membangkitkan aksi, bukan sekadar menggugah emosi sesaat. Subjek harus disajikan sebagai individu yang kompleks, bukan sebagai simbol penderitaan yang generik.
  2. Transparansi Motivasi: Tontonan edukatif atau artistik harus transparan mengenai manipulasi atau pemilihan yang terlibat dalam proses penyajian. Penonton harus tahu bahwa apa yang mereka lihat adalah versi yang diedit, bukan realitas mentah.
  3. Mendorong Dialog, Bukan Pasivitas: Tontonan yang baik mendorong penonton untuk mempertanyakan struktur kekuasaan atau status quo, alih-alih hanya mengonsumsi dan melupakan.
Dengan kata lain, kita perlu menuntut agar tontonan yang kita konsumsi memiliki tujuan yang melampaui kepentingan komersial dan hiburan superfisial.

7.3. Mencari Ruang Non-Tontonan

Dalam mencari otentisitas dan makna, masyarakat semakin menghargai ruang-ruang yang tidak dipertontonkan atau tidak dikomersialkan. Ini bisa berupa komunitas kecil yang disengaja, pengalaman alam yang tanpa filter, atau interaksi tatap muka yang tidak didokumentasikan. Ruang-ruang ini menjadi tempat perlindungan dari tekanan untuk tampil dan menyediakan kesempatan untuk pengalaman eksistensial yang tidak perlu divalidasi oleh audiens publik.

Resistensi terhadap tontonan adalah pencarian kembali terhadap nilai intrinsik: nilai dari pengalaman itu sendiri, terlepas dari seberapa baik ia dapat diabadikan atau dipertontonkan kepada orang lain. Ini adalah pengakuan bahwa hidup yang dijalani dengan kaya lebih berharga daripada hidup yang dipertontonkan dengan sempurna.

8. Dampak Psikologis dan Sosiologis dari Budaya Mempertontonkan

Budaya yang terus-menerus menuntut eksposisi diri dan konsumsi tontonan memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan mental dan kohesi sosial. Tekanan untuk mempertontonkan citra diri yang ideal menciptakan ketidaksesuaian yang berbahaya antara dunia internal dan eksternal seseorang.

8.1. Erosi Kesehatan Mental dan Perbandingan Sosial

Ketika tontonan menjadi norma, perbandingan sosial adalah konsekuensi yang tak terhindarkan. Individu terus-menerus membandingkan realitas internal mereka yang kompleks (penuh dengan kecemasan, kebosanan, dan kegagalan) dengan tontonan eksternal yang disajikan oleh orang lain (yang semuanya adalah puncak kebahagiaan dan keberhasilan). Ketidaksesuaian ini memicu rasa tidak mampu, kecemasan, dan depresi. Semakin besar jarak antara "diri yang dipertontonkan" dan "diri yang sesungguhnya," semakin besar tekanan psikologis yang dialami.

Selain itu, tindakan mempertontonkan seringkali didorong oleh kebutuhan akan validasi eksternal. Jumlah *like* atau *view* diubah menjadi mata uang harga diri. Ketergantungan pada validasi ini membuat individu rentan terhadap siklus performa yang tidak pernah puas, di mana mereka harus terus menerus menciptakan tontonan baru untuk menjaga harga diri mereka tetap utuh.

8.2. Fragmentasi dan Komunalisasi yang Dangkal

Tontonan media massa dan digital berjanji untuk menghubungkan kita, tetapi seringkali menghasilkan komunitas yang dangkal dan terfragmentasi. Meskipun kita semua mengonsumsi tontonan yang sama (misalnya, berita viral atau tren hiburan), interaksi yang dihasilkan cenderung bersifat reaktif dan dangkal, bukan mendalam. Kita bersatu dalam mengonsumsi dan menilai tontonan, tetapi jarang dalam tindakan atau empati yang berkelanjutan.

Ketika tontonan politik mendominasi, polarisasi juga meningkat. Tontonan dirancang untuk memecah belah dan menciptakan kubu yang berlawanan (*us vs. them*). Politik identitas seringkali dipertontonkan melalui narasi yang disederhanakan dan emosional, membuat dialog nuansa menjadi hampir mustahil. Masyarakat menjadi terpecah berdasarkan tontonan yang mereka pilih untuk konsumsi dan tontonan yang mereka pilih untuk tolak.

9. Masa Depan Tontonan: Artificial Intelligence dan Deepfakes

Perkembangan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), menghadirkan tantangan baru dan radikal terhadap konsep mempertontonkan. Ketika alat digital mampu menciptakan tontonan yang sepenuhnya meyakinkan namun fiktif (seperti *deepfake*), apa yang terjadi pada kredibilitas visual?

9.1. Tontonan yang Tidak Membutuhkan Realitas

AI memungkinkan produksi gambar, video, dan suara yang sangat realistis tanpa adanya objek atau peristiwa nyata di baliknya. Ini adalah puncak dari simulasi Baudrillard: tontonan yang sepenuhnya mandiri, terlepas dari realitas. Dalam skenario ini, tindakan mempertontonkan menjadi hampir universal dan tak terhindarkan, tetapi juga sepenuhnya tidak dapat dipercaya.

Ketika setiap individu atau entitas dapat menciptakan tontonan yang sempurna dari diri mereka, krisis otentisitas mencapai titik didih. Kita harus berjuang tidak hanya dengan fakta bahwa realitas telah diedit untuk tontonan, tetapi juga bahwa realitas yang kita lihat mungkin tidak pernah ada. Ini menuntut tingkat skeptisisme visual yang belum pernah terjadi sebelumnya dari penonton.

9.2. Performa Diri Virtual dan Avatar

Di masa depan, tindakan mempertontonkan identitas mungkin tidak lagi terikat pada tubuh fisik. Di dunia *metaverse* dan lingkungan virtual, individu akan mempertontonkan avatar dan persona yang sepenuhnya dirancang dan dikendalikan. Ini memberikan kebebasan performatif yang luar biasa, tetapi juga memperburuk pemisahan antara diri virtual yang sempurna dan diri fisik yang rentan. Tontonan menjadi arena utama di mana kita berinteraksi, bekerja, dan berbelanja, mengaburkan batas antara interaksi yang nyata dan yang disimulasikan.

Pergeseran ini menggarisbawahi evolusi tindakan mempertontonkan: dari sekadar menampilkan apa yang ada (ritual kuno) menjadi memproduksi apa yang diinginkan (media massa) hingga akhirnya menciptakan apa yang mungkin (AI dan virtualitas). Di setiap fase, taruhan etis dan psikologis semakin tinggi.

10. Kesimpulan: Menjadi Penonton yang Sadar

Tindakan mempertontonkan adalah sebuah pedang bermata dua. Ia adalah mekanisme penting untuk transfer budaya, pembangunan komunitas, dan pendidikan, tetapi pada saat yang sama, ia adalah alat yang sangat ampuh untuk eksploitasi, propaganda, dan alienasi. Di tengah banjir informasi visual yang tak pernah berhenti, kemampuan untuk membedakan antara tontonan yang bermakna dan tontonan yang kosong menjadi keterampilan bertahan hidup yang fundamental.

Kita, sebagai penonton, memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada sekadar mengonsumsi. Setiap kali kita memilih untuk menonton, setiap kali kita memutuskan apa yang layak mendapat perhatian, dan setiap kali kita menolak untuk mengubah penderitaan menjadi hiburan, kita sedang menegosiasikan kembali syarat-syarat dari Masyarakat Tontonan. Tantangannya bukan untuk menghilangkan tontonan—sebuah tugas yang mustahil—tetapi untuk menuntut tontonan yang lebih etis, lebih autentik, dan pada akhirnya, lebih manusiawi. Dengan kesadaran kritis yang tajam, kita dapat bertransisi dari menjadi objek pasif dari tontonan menjadi agen aktif yang menentukan apa yang layak dan pantas untuk dipertontonkan di panggung kehidupan modern.

Perjalanan dari panggung teater kuno yang sakral, melalui bioskop gelap di abad ke-20, hingga layar gawai yang memancarkan *live stream* pribadi, menunjukkan bahwa hasrat manusia untuk disaksikan dan menyaksikan tidak pernah padam. Namun, jika kita ingin mempertahankan martabat dan realitas kolektif kita, kita harus belajar untuk mengelola dan membatasi dorongan untuk mempertontonkan diri kita dan orang lain, demi sebuah kehidupan yang otentik, di luar sorotan lampu panggung abadi.

🏠 Kembali ke Homepage