Pertanyaan mengenai kapan tepatnya maghrib pukul berapa dimulai adalah sebuah pertanyaan yang menggabungkan kajian astronomi murni, perhitungan ilmu falak yang presisi, dan penetapan syariat Islam yang mendalam. Waktu Maghrib memiliki posisi unik di antara waktu-waktu salat lainnya, sebab ia menjadi penanda transisi dramatis antara terbenamnya matahari secara sempurna dan permulaan malam yang sesungguhnya. Penetapan waktu Maghrib tidak hanya sekadar formalitas jadwal salat, tetapi merupakan penanda spiritual dan kultural yang sangat penting bagi umat Islam di seluruh dunia.
Secara bahasa, Maghrib (المغرب) secara harfiah berarti 'tempat terbenam' atau 'barat'. Dalam konteks syariat, waktu Maghrib dimulai tepat ketika seluruh piringan matahari telah hilang di bawah cakrawala (horizon). Meskipun definisi ini terdengar sederhana, implementasinya di lapangan—terutama dalam kondisi geografis dan atmosfer yang berbeda—membutuhkan perhitungan yang kompleks dan ketelitian yang luar biasa. Oleh karena itu, diskusi mengenai maghrib pukul berapa akan selalu melibatkan dua dimensi utama: sains fisis (astronomi) dan penetapan hukum (fiqih).
Dalam sejarah Islam, penentuan waktu Maghrib awalnya dilakukan secara visual, mengandalkan pengamatan mata telanjang terhadap menghilangnya cahaya matahari. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan akan keseragaman jadwal di seluruh dunia, metode hisab (perhitungan matematis) menjadi standar baku. Penentuan yang akurat mengenai maghrib pukul berapa sangat krusial, tidak hanya untuk pelaksanaan salat wajib, tetapi juga untuk penanda berbuka puasa di bulan Ramadan.
Visualisasi posisi matahari saat tepat memasuki waktu Maghrib.
Penentuan maghrib pukul berapa adalah murni perhitungan astronomis terhadap sudut deklinasi matahari. Secara teknis, Maghrib dimulai ketika pusat geometris piringan matahari mencapai ketinggian 0 derajat di bawah cakrawala (horizon sejati). Namun, terdapat beberapa faktor koreksi yang harus diperhitungkan untuk mendapatkan waktu yang sangat akurat, yang semuanya mempengaruhi persepsi kita tentang kapan persisnya matahari itu 'terbenam'.
Ketika kita membahas perhitungan astronomis, kita harus memasukkan dua variabel koreksi utama. Pertama adalah koreksi diameter matahari. Matahari bukanlah titik, melainkan piringan dengan diameter sudut rata-rata sekitar 32 menit busur (sekitar 0.53 derajat). Oleh karena itu, untuk memastikan seluruh piringan telah terbenam, perhitungan harus menggunakan posisi sudut sekitar -0° 50' di bawah cakrawala, bukan 0°. Angka -0° 50' ini biasanya terdiri dari 16 menit busur untuk refraksi atmosfer (pembiasan cahaya) dan 34 menit busur untuk setengah diameter piringan matahari.
Refraksi atmosfer adalah fenomena kunci yang membuat kita melihat matahari bahkan setelah ia secara geometris telah berada di bawah horizon. Udara berfungsi sebagai prisma, membengkokkan sinar cahaya. Artinya, ketika kita melihat matahari seolah-olah menyentuh horizon (0°), posisi matahari yang sebenarnya sudah berada sekitar 34 menit busur di bawah horizon. Keakuratan dalam memperhitungkan refraksi ini sangat menentukan ketepatan maghrib pukul berapa akan ditetapkan. Di beberapa wilayah yang sangat dingin, refraksi bisa sedikit berbeda, namun standar internasional telah ditetapkan untuk keseragaman.
Faktor lain yang sangat memengaruhi maghrib pukul adalah lokasi geografis pengamat. Lintang (latitude) dan bujur (longitude) menentukan kapan dan di mana matahari terbit dan terbenam. Sebuah kota yang terletak di bujur timur akan mengalami Maghrib lebih dulu dibandingkan kota di bujur barat, terlepas dari zona waktu yang sama. Selain itu, ketinggian tempat (altitude) juga berperan. Semakin tinggi tempat pengamatan, semakin jauh cakrawala terlihat (dip of the horizon). Pengamat di puncak gunung akan melihat matahari terbenam lebih lambat dibandingkan pengamat di permukaan laut. Meskipun dampaknya kecil, bagi perhitungan waktu salat yang presisi, ini adalah variabel yang tidak boleh diabaikan, terutama dalam penentuan jadwal baku.
Kompleksitas perhitungan ini memastikan bahwa waktu Maghrib yang dicantumkan dalam jadwal salat adalah hasil dari model matematis canggih yang memperhitungkan setiap variabel fisis. Ini jauh lebih akurat daripada pengamatan visual yang rentan terhadap kondisi cuaca, kabut, atau polusi udara yang dapat menyembunyikan piringan matahari sebelum waktunya yang sebenarnya.
Meskipun metode hisab telah distandarisasi, seringkali terjadi perbedaan tipis antara jadwal Maghrib dari satu organisasi Islam dengan organisasi lainnya, atau antara satu negara dengan negara tetangga. Perbedaan ini umumnya tidak disebabkan oleh perbedaan sudut matahari terbenam itu sendiri (yang secara universal disepakati 0 derajat), melainkan pada bagaimana koreksi refraksi dihitung, atau apakah mereka menyertakan faktor pengamanan (Ihtiyat). Beberapa jadwal menambah beberapa menit ekstra (biasanya 1 hingga 3 menit) setelah perhitungan astronomi murni, sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyat), untuk memastikan bahwa Maghrib telah benar-benar tiba. Variasi kecil dalam penentuan maghrib pukul ini sering menjadi bahan diskusi di kalangan ahli falak, namun umumnya, perbedaan tersebut dianggap dapat diabaikan dalam praktik sehari-hari.
Oleh karena itu, ketika mencari tahu maghrib pukul berapa di lokasi spesifik, penting untuk merujuk pada otoritas keagamaan atau lembaga hisab resmi di wilayah tersebut, yang telah menetapkan standar perhitungan yang disepakati bersama. Kepastian waktu ini menjamin sahnya pelaksanaan salat yang merupakan rukun Islam kedua.
Dari sudut pandang fiqih (yurisprudensi Islam), penentuan waktu Maghrib adalah masalah yang memiliki konsensus yang relatif kuat, meskipun terdapat perbedaan signifikan mengenai batas akhir waktunya. Konsensus umum di antara empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) menetapkan bahwa awal waktu Maghrib adalah ketika matahari terbenam secara sempurna. Namun, perbedaan muncul dalam interpretasi berapa lama waktu tersebut berlangsung.
Awal waktu Maghrib, yang menjadi penentu maghrib pukul berapa, disepakati oleh semua ulama berdasarkan hadis-hadis yang sahih. Hadis Jibril, misalnya, dengan jelas menunjukkan bahwa waktu Maghrib dimulai saat matahari terbenam. Secara visual, indikator fiqih ini adalah hilangnya piringan matahari di bawah cakrawala. Dalam era modern, seperti dijelaskan di bagian astronomi, hilangnya piringan ini diartikan sebagai posisi sudut matahari minus (sekitar) 50 menit busur.
Pentingnya akurasi di awal waktu Maghrib ditekankan karena ini adalah waktu yang menjadi penentu bagi mereka yang berpuasa untuk segera berbuka. Keterlambatan beberapa detik tidak membatalkan puasa, namun mendahulukan berbuka (ta'jil) segera setelah maghrib pukul tiba adalah sunnah yang ditekankan.
Perdebatan fiqih yang paling signifikan terkait Maghrib adalah mengenai batas akhir waktunya, yaitu kapan waktu salat Isya’ dimulai. Batas ini ditentukan oleh hilangnya 'Syafaq' (mega merah) di langit barat setelah matahari terbenam. Maghrib pukul berapa selesai, sangat bergantung pada interpretasi Syafaq ini.
Dalam Mazhab Syafi'i dan Hanbali, waktu Maghrib dianggap sebagai waktu yang sempit. Waktu Maghrib berakhir ketika Syafaq (mega merah) menghilang. Mereka berpendapat bahwa waktu Maghrib hanya cukup untuk berwudu, menutup aurat, dan melaksanakan salat Maghrib tiga rakaat. Dalam hitungan modern, hilangnya Syafaq umumnya terjadi ketika matahari berada sekitar 18 derajat di bawah horizon (sudut ini bervariasi antara 12 hingga 18 derajat, tergantung metode perhitungan). Jika waktu Maghrib dimulai pukul 18:00, waktu ini biasanya hanya berlangsung sekitar 70 hingga 90 menit.
Mazhab Maliki memiliki pandangan yang berbeda. Mereka berpendapat bahwa waktu Maghrib, sama seperti waktu salat lainnya, memiliki rentang waktu yang luas. Meskipun ada waktu yang ideal (waktu ikhtiyar) yang sempit setelah matahari terbenam, waktu darurat (waktu dharurah) Maghrib membentang hingga terbitnya fajar shadiq (subuh). Namun, pendapat yang lebih populer di kalangan Maliki adalah bahwa waktu Maghrib berlangsung hingga hilangnya Syafaq, mirip dengan Syafi'i, tetapi dengan toleransi yang lebih luas.
Mazhab Hanafi berbeda dalam definisi Syafaq. Mereka berpendapat bahwa waktu Maghrib berakhir ketika Syafaq Abyadh (mega putih) menghilang, bukan hanya mega merah (Syafaq Ahmar). Mega putih ini menghilang jauh lebih lambat daripada mega merah. Ini berarti, menurut Mazhab Hanafi, waktu Maghrib berlangsung lebih lama dibandingkan pandangan Syafi'i/Hanbali. Dalam prakteknya, ini menjadikan waktu Maghrib Hanafi berakhir hampir bersamaan dengan waktu Isya’ Syafi’i, sehingga memperpanjang periode waktu Maghrib secara signifikan. Perbedaan interpretasi Syafaq inilah yang menjadi alasan utama mengapa jadwal Isya' bisa berbeda-beda antar komunitas, yang secara otomatis menentukan batas akhir maghrib pukul berapa.
Kesimpulannya, sementara awal maghrib pukul ditentukan secara universal oleh terbenamnya matahari, batas akhirnya adalah subjek perbedaan yang mendalam, meskipun kebanyakan otoritas kontemporer cenderung mengikuti batas waktu yang lebih sempit (hilangnya mega merah) untuk alasan kehati-hatian.
Perbandingan batas waktu Maghrib menurut perbedaan Mazhab Fiqih terkait hilangnya Syafaq.
Di masa kini, penentuan maghrib pukul berapa hampir seluruhnya bergantung pada perhitungan hisab. Perhitungan ini memerlukan data geografis yang tepat (lintang, bujur, dan ketinggian) serta data astronomis (deklinasi dan Equation of Time) yang berubah setiap hari. Algoritma modern telah menghilangkan kebutuhan untuk observasi visual harian, menghasilkan jadwal yang dapat dihitung untuk seratus tahun ke depan.
Perhitungan waktu Maghrib melibatkan penggunaan rumus trigonometri bola untuk menentukan jam berapa matahari mencapai ketinggian yang ditentukan. Formula dasar yang digunakan untuk mencari waktu salat, termasuk Maghrib, adalah berdasarkan persamaan waktu (Equation of Time) dan sudut waktu (Hour Angle).
Semua langkah ini harus dilakukan dengan presisi tinggi. Sedikit kesalahan dalam menentukan deklinasi atau EoT dapat menggeser maghrib pukul beberapa menit, yang sangat signifikan dalam konteks ibadah.
Meskipun rumus trigonometri bola universal, parameter ketinggian akhir Maghrib (saat matahari terbenam) telah disepakati oleh mayoritas lembaga hisab internasional sebagai faktor -0.833° (atau -0° 50’). Angka ini mencakup diameter piringan matahari (32’) dan refraksi atmosfer (18’). Beberapa metode terkenal yang menggunakan kriteria ini dalam penentuan maghrib pukul antara lain:
Konsistensi dalam penggunaan kriteria terbenamnya matahari inilah yang memastikan bahwa meskipun ada perbedaan metode untuk waktu Subuh dan Isya’ (karena perbedaan interpretasi Syafaq dan Fajar), waktu Maghrib cenderung sangat seragam di seluruh dunia Islam, terlepas dari mazhab atau lembaga yang menghitungnya.
Akurasi modern ini memungkinkan umat Islam di tempat-tempat terpencil, bahkan di pesawat terbang, untuk mengetahui maghrib pukul berapa dengan memanfaatkan sistem GPS dan perangkat lunak perhitungan waktu salat.
Waktu Maghrib, meskipun didefinisikan secara universal, mengalami variasi ekstrem berdasarkan musim dan lokasi lintang. Perbedaan ini merupakan konsekuensi langsung dari kemiringan sumbu bumi (obliquity) dan pergerakan revolusi bumi mengelilingi matahari. Memahami variasi ini sangat penting untuk penentuan jadwal salat yang sah, terutama di wilayah lintang tinggi.
Di daerah yang dekat dengan Khatulistiwa (lintang rendah, seperti Indonesia), panjang siang dan malam relatif stabil sepanjang tahun. Perbedaan antara waktu Zuhur dan Maghrib tidak terlalu bervariasi. Misalnya, jika maghrib pukul 18:00 pada bulan Januari, ia mungkin hanya bergeser sekitar 15-30 menit pada bulan Juni.
Namun, di wilayah lintang tinggi (seperti Eropa Utara, Kanada, atau Skandinavia), situasinya menjadi jauh lebih kompleks. Di musim panas, matahari terbenam sangat larut (misalnya, pukul 22:00 atau 23:00) dan terbit sangat pagi. Akibatnya, selisih waktu antara Maghrib dan Subuh menjadi sangat singkat, bahkan kadang-kadang, Syafaq (mega merah) tidak sempat menghilang sepenuhnya sebelum Fajar (Subuh) dimulai. Situasi ini dikenal sebagai *Ash-Shafaq al-Ghair Mustatir* (Syafaq yang tidak menghilang).
Di musim dingin, kebalikannya terjadi. Maghrib bisa datang sangat awal (misalnya, pukul 15:30), dan waktu Maghrib hingga Isya’ menjadi sangat panjang. Penentuan maghrib pukul di wilayah ini memerlukan metode fiqih khusus untuk mengatasi kesulitan ibadah, seperti menggunakan waktu Maghrib dari lintang yang lebih moderat atau mengikuti waktu Maghrib Makkah/Madinah sebagai pedoman.
Ada titik-titik di bumi, di atas Lingkar Arktik atau di bawah Lingkar Antartika, di mana matahari tidak terbenam sama sekali selama beberapa hari (Midnight Sun di musim panas) atau tidak terbit sama sekali (Polar Night di musim dingin). Dalam kasus ini, secara astronomis, maghrib pukul berapa tidak dapat ditentukan karena piringan matahari tidak pernah mencapai ketinggian -0.833 derajat.
Ulama telah menetapkan solusi fiqih untuk kasus ini, yaitu penentuan waktu salat harus didasarkan pada salah satu dari tiga metode utama:
Meskipun metode ini jarang digunakan oleh mayoritas umat Islam, keberadaannya menunjukkan bagaimana fiqih Islam beradaptasi untuk memastikan ibadah dapat dilaksanakan di setiap titik geografis, terlepas dari kesulitan alamiah dalam menentukan maghrib pukul berapa secara fisis.
Secara teknis, waktu Maghrib terjadi berdasarkan waktu matahari sejati. Namun, dalam kehidupan modern, kita menggunakan waktu sipil (zona waktu). Sebuah zona waktu mencakup wilayah bujur yang luas (sekitar 15 derajat). Ini berarti, kota yang berada di batas timur zona waktu akan melihat Maghrib lebih cepat daripada kota di batas barat zona waktu yang sama, meskipun jam menunjukkan angka yang sama. Perbedaan waktu Maghrib antara dua kota dalam satu zona waktu bisa mencapai hampir satu jam. Inilah sebabnya mengapa jadwal Maghrib di setiap kota harus dihitung secara individual dan bukan hanya berdasarkan zona waktu umum.
Oleh karena itu, ketika seseorang bertanya maghrib pukul berapa, jawaban yang akurat harus selalu spesifik pada lokasi, tidak hanya pada zona waktu (WIB, WITA, WIT, dll.).
Terlepas dari semua perhitungan rumit mengenai maghrib pukul berapa, waktu ini memegang makna spiritual dan kultural yang mendalam dalam kehidupan seorang Muslim. Maghrib menandai akhir dari aktivitas siang dan permulaan periode malam, membawa serta suasana ketenangan dan refleksi.
Para ulama banyak menyebutkan bahwa waktu di antara Asar dan Maghrib, dan khususnya momen tepat ketika Maghrib tiba, adalah waktu di mana doa memiliki kemungkinan besar untuk dikabulkan (Mustajabah). Transisi dari terang ke gelap, dan khususnya hilangnya matahari, dianggap sebagai momen pergantian besar dalam energi kosmik yang dianjurkan untuk diisi dengan zikir, istighfar, dan doa.
Ketika maghrib pukul tiba, Muslim di seluruh dunia dianjurkan untuk menghentikan sementara urusan duniawi mereka. Ini adalah isyarat universal untuk bergegas melaksanakan salat. Salat Maghrib, dengan hanya tiga rakaat, adalah salat wajib terpendek dalam hal jumlah rakaat, namun signifikansinya besar karena ia membuka lembaran ibadah malam.
Di banyak kebudayaan Islam, maghrib pukul juga identik dengan waktu keluarga dan komunitas.
Kekuatan kultural dari waktu Maghrib ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang maghrib pukul berapa bukan hanya tentang ritual, tetapi tentang struktur harian dan kehidupan sosial masyarakat Islam.
Ikonografi Maghrib: Panggilan Salat di waktu senja.
Untuk mencapai akurasi tertinggi dalam menentukan maghrib pukul berapa, ilmu falak modern harus mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh atmosfer bumi. Penetapan sudut ketinggian Maghrib pada -0.833° (atau -0° 50’) adalah titik krusial yang memerlukan analisis terperinci. Angka ini bukanlah angka arbitrer, melainkan kompilasi dari beberapa faktor fisis.
Matahari, seperti yang diamati dari Bumi, memiliki diameter sudut yang bervariasi karena orbit Bumi yang berbentuk elips. Rata-rata diameter sudutnya adalah sekitar 32 menit busur. Namun, karena yang dihitung adalah kapan piringan atas matahari menghilang, kita harus mengambil setengah dari diameter ini, yaitu semidiameter. Mengapa angka yang digunakan rata-rata 34 menit busur? Karena perhitungan yang lebih cermat seringkali sedikit membulatkan ke atas untuk memberikan margin keamanan (ihtiyat), atau memasukkan variasi diameter yang terjadi sepanjang tahun.
Ketika pusat geometris matahari mencapai -34' di bawah horizon, piringan atasnya (yaitu bagian yang kita lihat terakhir) berada tepat pada 0 derajat, siap untuk menghilang. Kehati-hatian ini memastikan bahwa pengumuman maghrib pukul tidak mendahului terbenamnya matahari yang sebenarnya.
Refraksi atmosfer adalah faktor paling variabel dan paling sulit diprediksi dalam perhitungan waktu Maghrib. Refraksi disebabkan oleh pembiasan cahaya matahari ketika melewati lapisan atmosfer bumi yang berbeda densitasnya. Di horizon (0°), efek refraksi adalah yang paling besar. Rata-rata, efek refraksi mengangkat citra matahari sebesar 34 menit busur. Namun, dalam konteks perhitungan maghrib pukul, refraksi yang diakui secara luas sebagai nilai koreksi adalah sekitar 16 hingga 18 menit busur, tergantung pada suhu, tekanan, dan kelembaban lokal, meskipun nilai standar global adalah -0.833° yang telah memasukkan refraksi rata-rata.
Jika refraksi tidak dipertimbangkan, kita akan melihat matahari terbenam lebih lambat dari waktu yang sebenarnya, menyebabkan waktu Maghrib dihitung terlalu cepat. Karena refraksi bervariasi dengan kondisi cuaca (lebih besar di cuaca dingin, lebih kecil di cuaca panas), penetapan waktu Maghrib yang sangat presisi di daerah kutub atau gurun seringkali memerlukan model refraksi yang lebih canggih daripada sekadar nilai rata-rata.
Bagi pengamat yang berada di lokasi tinggi, cakrawala visual yang terlihat mata akan lebih rendah daripada cakrawala sejati. Ini berarti matahari akan terlihat terbenam lebih lambat bagi pengamat di menara tinggi atau gunung. Koreksi ini disebut ‘depresi horizon’ atau ‘dip of the horizon’. Formula untuk menghitung depresi horizon adalah $0.0347 * \sqrt{H}$, di mana H adalah ketinggian dalam meter. Walaupun sering diabaikan dalam perhitungan standar jadwal salat umum, koreksi ini sangat vital untuk pengamat di lokasi yang sangat tinggi atau untuk perhitungan militer dan penerbangan.
Jika sebuah jadwal salat dihitung untuk sebuah kota besar yang berlokasi di dataran rendah, lalu jadwal itu digunakan di desa pegunungan yang berada 1000 meter di atas permukaan laut, maka waktu Maghrib akan terlihat tiba beberapa menit lebih awal daripada yang seharusnya diamati di lokasi pegunungan tersebut. Inilah mengapa akurasi lokasi sangat menentukan maghrib pukul berapa.
Inti dari perhitungan Maghrib terletak pada penerapan Hukum Cosinus Sferis. Formula utamanya adalah:
$$ \cos(H) = \frac{\sin(h) - \sin(\phi) \sin(\delta)}{\cos(\phi) \cos(\delta)} $$Di mana:
Setelah mendapatkan $H$ (dalam derajat), ia dikonversi menjadi unit jam. Waktu Maghrib (TM) kemudian diperoleh dengan menjumlahkan Waktu Tengah Hari (TZ) dengan $H$ (dikoreksi untuk bujur dan EoT). Proses matematis yang panjang dan detail inilah yang menjamin bahwa ketika jadwal mengumumkan maghrib pukul tertentu, waktu tersebut didasarkan pada perhitungan yang kokoh dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan syariat.
Diskusi mengenai maghrib pukul berapa tidak lengkap tanpa membahas hubungannya dengan waktu Isya’ dan ketentuan Jamak (menggabungkan dua salat) dalam Islam, khususnya Jamak Ta’khir dan Jamak Taqdim.
Jamak Taqdim adalah penggabungan salat Maghrib dan Isya’ yang dilaksanakan pada waktu Maghrib. Syarat sahnya adalah bahwa salat Maghrib harus dilaksanakan setelah waktu maghrib pukul tiba. Setelah Maghrib selesai, salat Isya’ langsung dilaksanakan tanpa jeda yang signifikan. Meskipun waktu Maghrib dianggap singkat (terutama menurut Mazhab Syafi'i), Jamak Taqdim memungkinkan seorang musafir atau orang yang memiliki uzur syar'i tertentu (seperti sakit, atau hujan lebat yang menyulitkan) untuk menyelesaikan kedua salat tersebut sebelum waktu Isya’ masuk.
Penting ditekankan bahwa niat Jamak harus sudah ada sejak awal pelaksanaan salat Maghrib, atau setidaknya sebelum Maghrib selesai. Jika Maghrib telah selesai dilaksanakan dan baru kemudian berniat Jamak untuk Isya’, maka Jamak Taqdim tidak sah.
Jamak Ta’khir adalah penggabungan salat Maghrib dan Isya’ yang dilaksanakan sepenuhnya di waktu Isya’. Ini berarti, ketika maghrib pukul tiba, seorang Muslim yang berencana melakukan Jamak Ta'khir tidak melaksanakan salat Maghrib. Ia menunda pelaksanaan salat Maghrib hingga waktu Isya’ tiba (ketika mega merah/putih telah hilang).
Kondisi ini sah asalkan niat untuk menunda (Jamak Ta’khir) telah ditetapkan sebelum waktu Maghrib berakhir, yaitu sebelum hilangnya Syafaq. Jika niat menunda baru dilakukan setelah Maghrib usai, maka salat Maghribnya dianggap terlewat (qadha). Oleh karena itu, bagi yang ingin Jamak Ta’khir, pengetahuan tentang kapan tepatnya waktu Maghrib berakhir (yang, seperti dibahas sebelumnya, adalah subjek perbedaan mazhab) menjadi sangat kritis.
Ketentuan Jamak menunjukkan fleksibilitas syariat, namun tetap berpegang teguh pada batasan waktu yang telah ditetapkan. Semuanya bermula dari ketepatan kapan maghrib pukul itu dimulai, sebagai titik awal dari semua perhitungan dan niat ibadah yang terkait.
Jika seseorang melewatkan salat Maghrib tanpa alasan syar'i (seperti tertidur atau lupa), ia wajib meng-qadha’ salat tersebut. Waktu terbaik untuk meng-qadha’ adalah segera setelah ia teringat atau terbangun. Jika waktu Maghrib dilewatkan hingga Isya’ tiba, qadha’ Maghrib tetap harus dilakukan sebelum melaksanakan salat Isya’ (menurut mayoritas ulama, demi menjaga tertib waktu salat). Pengetahuan tentang maghrib pukul berapa berakhir sangat penting untuk mengetahui kapan kewajiban Maghrib itu telah beralih menjadi qadha’.
Berbeda dengan waktu Subuh dan Isya’ yang memiliki perbedaan sudut ekstrim (misalnya, Subuh bisa antara 12 derajat hingga 18 derajat di bawah horizon), waktu Maghrib memiliki konsensus yang hampir universal, yaitu terbenamnya matahari fisis pada sudut sekitar -0.833°.
Maghrib adalah waktu yang paling dekat dengan fenomena astronomi yang dapat dilihat dan dipahami secara langsung: hilangnya piringan matahari. Tidak ada interpretasi fiqih yang signifikan mengenai 'terbitnya cahaya' (seperti pada Subuh) atau 'hilangnya kegelapan tertentu' (seperti pada Isya'). Maghrib hanya memerlukan satu kondisi: matahari harus hilang sepenuhnya.
Karena itulah, organisasi-organisasi global yang berbeda, seperti Muslim World League (MWL), ISNA, dan otoritas lokal di Asia Tenggara, semua menggunakan parameter yang hampir identik untuk menentukan maghrib pukul berapa. Perbedaan yang terjadi biasanya hanya akibat pembulatan waktu (menit penuh atau setengah menit) atau penambahan menit ihtiyat (kehati-hatian) lokal, bukan perbedaan fundamental dalam sudut astronomisnya.
Meskipun Maghrib hampir seragam, kriteria senja lainnya sangat bervariasi. Perbedaan ini, meskipun tidak langsung mengubah waktu Maghrib, sangat menentukan durasi waktu Maghrib itu sendiri (karena menentukan kapan Isya' dimulai).
| Waktu Salat | Definisi Fiqih | Sudut Ketinggian (Umum) |
|---|---|---|
| Subuh | Terbitnya Fajar Shadiq (Cahaya Putih Sejati) | -18° (MWL, ISNA) hingga -12° (beberapa metode lokal) |
| Zuhur | Matahari bergeser dari titik tertinggi (Zawal) | Tidak menggunakan sudut, berbasis waktu sejati |
| Asar | Panjang bayangan satu/dua kali panjang benda | Berasal dari perbandingan panjang bayangan, bukan sudut |
| **Maghrib** | **Matahari Terbenam Sempurna** | **-0.833° (Universal)** |
| Isya' | Hilangnya Syafaq (Mega Merah/Putih) | -17° (Umm Al-Qura) hingga -12° (Syafi'i standar) |
Konsensus pada baris Maghrib menunjukkan mengapa perhitungan maghrib pukul menjadi yang paling stabil dalam jadwal salat harian.
Di Indonesia, penentuan awal bulan Qamariyah (seperti Ramadan dan Syawal) sangat bergantung pada observasi Hilal (bulan sabit). Observasi Hilal Maghrib ini dilakukan tepat setelah matahari terbenam, yaitu ketika maghrib pukul tiba. Waktu Maghrib menjadi jendela waktu kritis di mana para ahli falak dan pemerintah berkumpul untuk menentukan apakah Hilal telah terlihat, yang akan menentukan awal puasa atau Idul Fitri. Keakuratan dalam menentukan kapan Maghrib tiba sangat penting untuk memberikan waktu yang memadai bagi para pengamat untuk mencari hilal sebelum langit menjadi terlalu gelap.
Dalam mencari tahu maghrib pukul berapa, kita tidak hanya mencari angka pada jam, tetapi mencari titik waktu di mana perhitungan astronomis mencapai akurasi maksimal dan bertepatan dengan perintah syariat. Meskipun teknologi telah maju, esensi dari Maghrib sebagai permulaan malam dan seruan untuk salat tetap abadi. Keakuratan dalam penetapan waktu Maghrib memastikan keabsahan ibadah harian bagi miliaran umat Islam di seluruh penjuru dunia.