Sebuah Kajian Mendalam dalam Filsafat Ilmu Modern
M. Fil. I, yang dapat diinterpretasikan sebagai inisial untuk Magister Filosofi Ilmu atau konteks yang lebih luas mengenai Manajemen, Filosofi, dan Integrasi Ilmu, merupakan pintu gerbang fundamental untuk memahami bagaimana pengetahuan terbentuk, diverifikasi, dan dikembangkan dalam peradaban manusia. Eksplorasi ini bukan sekadar tinjauan akademis, melainkan perjalanan epistemologis yang menuntut refleksi mendalam terhadap asumsi-asumsi dasar yang selama ini diterima begitu saja dalam disiplin ilmiah. Filsafat ilmu, pada dasarnya, mempertanyakan validitas metode ilmiah, struktur logis teori, dan hubungan antara observasi empiris dengan kesimpulan teoretis yang dihasilkan.
Pengkajian mendalam ini berfokus pada tiga pilar utama yang membentuk kerangka berpikir ilmiah: Epistemologi (teori pengetahuan), Ontologi (teori keberadaan), dan Metodologi (teori cara). Ketiga pilar ini saling terkait erat, menciptakan matriks kompleks yang mendefinisikan apa yang kita anggap sebagai 'kebenaran' dalam berbagai bidang disiplin ilmu. Tanpa memahami akar filosofisnya, ilmu pengetahuan hanya akan menjadi kumpulan teknik dan formula tanpa arah dan tanpa pemahaman yang utuh mengenai implikasi etis maupun sosialnya. Oleh karena itu, penting untuk menggali jauh ke dalam perdebatan klasik dan kontemporer yang membentuk lanskap intelektual saat ini.
Alt: Diagram tiga pilar (Epistemologi, Ontologi, Metodologi) yang berdiri di atas basis filosofi.
Epistemologi, atau teori pengetahuan, adalah jantung dari M. Fil. I. Pertanyaan utamanya adalah: Apa yang dapat kita ketahui? Dan bagaimana kita membenarkan keyakinan kita? Perdebatan klasik antara Rasionalisme dan Empirisme membentuk lanskap awal, namun filsafat kontemporer telah membawa nuansa baru yang lebih kompleks, terutama dalam konteks ilmu-ilmu sosial dan alam.
Rasionalisme, yang diwakili oleh pemikir seperti Descartes dan Spinoza, menegaskan bahwa pengetahuan sejati berasal dari akal dan deduksi logis. Kebenaran, menurut pandangan ini, bersifat apriori—independen dari pengalaman sensorik. Matematika dan logika dianggap sebagai model utama pengetahuan yang dapat dicapai dengan metode ini. Namun, keterbatasan rasionalisme muncul ketika ia berhadapan dengan fenomena dunia nyata yang tidak sepenuhnya dapat direduksi menjadi prinsip-prinsip logis murni. Dunia fisik seringkali menunjukkan inkonsistensi yang menantang struktur deduktif yang sempurna.
Sebaliknya, Empirisme, yang berkembang pesat melalui karya John Locke, George Berkeley, dan David Hume, berpendapat bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Pikiran manusia pada awalnya adalah tabula rasa—lembar kosong yang diisi oleh sensasi dan refleksi. Locke membedakan antara kualitas primer (yang melekat pada objek, seperti bentuk dan ukuran) dan kualitas sekunder (yang dihasilkan dari interaksi kita dengan objek, seperti warna dan rasa). Namun, Empirisme radikal Hume menimbulkan masalah filosofis yang paling mengguncang dalam sejarah ilmu pengetahuan: Masalah Induksi.
Hume menunjukkan bahwa tidak ada dasar rasional untuk membenarkan keyakinan kita bahwa masa depan akan menyerupai masa lalu. Jika kita melihat matahari terbit setiap hari, kita berasumsi bahwa ia akan terbit besok (induksi). Namun, keyakinan ini hanya didasarkan pada kebiasaan, bukan pada prinsip logis yang pasti. Masalah ini, yang hingga kini belum terselesaikan sepenuhnya, memaksa para filsuf M. Fil. I untuk mencari model justifikasi pengetahuan yang lebih kokoh, melampaui sekadar akumulasi observasi.
Immanuel Kant merespons kebuntuan yang ditinggalkan oleh Hume dengan menawarkan sintesis kritis yang revolusioner. Kant setuju bahwa pengetahuan dimulai dengan pengalaman (Empirisme), tetapi ia berpendapat bahwa pengalaman itu sendiri harus diformat oleh struktur bawaan pikiran (Rasionalisme). Inilah yang disebutnya pengetahuan sintetik a priori—pengetahuan yang bersifat universal dan mutlak, namun memberikan informasi baru tentang dunia.
Kant berargumen bahwa ruang, waktu, dan kausalitas bukanlah sifat objektif dari dunia luar (Dunia Noumena), melainkan kerangka kerja (kategori pemahaman) yang digunakan oleh pikiran kita untuk menata data sensorik, membentuk Dunia Fenomena. Konsekuensi dari revolusi Kantian sangat mendalam bagi M. Fil. I: kita tidak pernah dapat mengetahui realitas 'seperti adanya' (Noumena), melainkan hanya realitas 'seperti yang tampak bagi kita' (Fenomena). Hal ini membatasi klaim kebenaran ilmiah, mengakui peran aktif subjek dalam konstruksi pengetahuan.
Ekstensi dari pemikiran Kant ini mendorong munculnya Positivisme Logis pada abad ke-20, sebuah gerakan yang sangat ambisius dalam upaya mereka untuk menyatukan semua ilmu pengetahuan di bawah payung metodologi tunggal yang didasarkan pada logika dan verifikasi empiris. Positivis Logis, seperti anggota Lingkaran Wina (Schlick, Carnap), berpendapat bahwa pernyataan hanya bermakna jika dapat diverifikasi secara empiris. Jika suatu pernyataan tidak dapat diverifikasi (seperti pernyataan metafisika), maka itu dianggap tidak bermakna secara kognitif. Namun, program Positivisme Logis ini runtuh, sebagian besar karena kritik internal dan, yang paling signifikan, kritik tajam dari Karl Popper.
Karl Popper, salah satu tokoh sentral dalam M. Fil. I abad ke-20, menolak tesis verifikasi. Ia berpendapat bahwa verifikasi tidak pernah dapat sepenuhnya membenarkan suatu teori ilmiah karena masalah induksi Hume. Seberapa banyak pun angsa putih yang kita amati, kita tidak bisa membuktikan bahwa semua angsa itu putih. Popper mengusulkan Falsifikasionisme sebagai kriteria demarkasi (pemisahan antara ilmu pengetahuan dan non-ilmu pengetahuan).
Menurut Popper, suatu teori ilmiah haruslah dapat diuji dan, yang paling penting, dapat dibuktikan salah (falsifiable). Jika suatu teori menjelaskan segala sesuatu yang mungkin terjadi, seperti yang ia klaim terjadi pada Marxisme atau Psikoanalisis Freud, maka teori itu tidak memberikan informasi apa pun tentang dunia dan karenanya bukan ilmiah sejati. Falsifikasionisme mengubah fokus epistemologi ilmiah dari 'membuktikan kebenaran' menjadi 'mengeliminasi kesalahan'. Ilmu pengetahuan bergerak maju bukan dengan mengumpulkan bukti pendukung, tetapi dengan menjatuhkan hipotesis yang cacat melalui pengujian keras.
Popperianisme menjadi landasan metodologis yang dominan selama beberapa dekade, memberikan kerangka kerja yang jelas tentang bagaimana ilmuwan harus bersikap kritis terhadap teori mereka sendiri. Namun, bahkan falsifikasionisme menghadapi kritik. Filsuf seperti Thomas Kuhn dan Imre Lakatos menunjukkan bahwa dalam praktiknya, ilmuwan jarang membuang teori hanya karena satu anomali data. Mereka cenderung melindungi "inti keras" teori mereka dengan menyesuaikan hipotesis bantu—sebuah praktik yang tidak sepenuhnya sesuai dengan idealisme Popperian yang ketat.
Perdebatan antara verifikasi dan falsifikasi ini menyoroti kompleksitas dalam mendefinisikan batas-batas pengetahuan yang kredibel, sebuah perdebatan yang terus bergema dalam konteks M. Fil. I saat ini, terutama ketika kita berhadapan dengan ilmu-ilmu kompleks seperti kosmologi atau biologi evolusioner di mana pengujian langsung seringkali mustahil.
Jika Epistemologi bertanya "Bagaimana kita tahu?", Ontologi bertanya "Apa yang ada?". Dalam M. Fil. I, ontologi membahas sifat dasar dari realitas yang diandaikan oleh teori-teori ilmiah. Apakah entitas tak teramati (seperti elektron, medan kuantum, atau bahkan struktur sosial) benar-benar ada, ataukah mereka hanya konstruksi yang berguna untuk memprediksi hasil observasi?
Realisme Ilmiah adalah pandangan bahwa teori ilmiah yang paling sukses memberikan deskripsi yang benar (atau setidaknya mendekati kebenaran) mengenai realitas yang independen dari pikiran. Ketika seorang fisikawan berbicara tentang kuark atau lubang hitam, seorang Realis percaya bahwa entitas tersebut benar-benar ada di alam semesta.
Argumen utama untuk realisme adalah Argumen Keajaiban (No-Miracles Argument). Realis berpendapat bahwa satu-satunya penjelasan yang masuk akal mengapa teori-teori ilmiah kita begitu berhasil dalam memprediksi dan memanipulasi dunia adalah karena teori-teori tersebut kurang lebih benar. Akan menjadi keajaiban jika teori yang salah secara fundamental dapat menghasilkan teknologi dan prediksi yang sangat akurat.
Di sisi lain, Anti-Realisme, sering diwujudkan sebagai Instrumentalisme, berpendapat bahwa entitas yang tidak teramati dalam teori ilmiah (seperti atom atau gen) hanyalah alat konseptual (instrumen) yang berguna untuk mengorganisir data yang teramati dan membuat prediksi. Instrumentalisme tidak mengklaim bahwa teori itu salah; ia hanya menolak untuk mengklaim bahwa teori itu benar dalam arti ontologis yang dalam. Intinya, mereka mengatakan: teori itu menyelamatkan fenomena, tetapi kita tidak perlu percaya bahwa entitas teoretisnya benar-benar ada.
Perdebatan ini sangat relevan dalam fisika kuantum, di mana interpretasi ontologis dari fungsi gelombang dan partikel sangat diperdebatkan. Apakah fungsi gelombang itu nyata (realisme) atau hanya representasi matematis probabilitas (instrumentalisme)? Jawaban terhadap pertanyaan ontologis ini memiliki dampak signifikan terhadap bagaimana ilmuwan merumuskan dan menguji hipotesis mereka, menunjukkan bahwa M. Fil. I tidak hanya akademis, tetapi juga praktis.
Perdebatan ontologi semakin diperumit oleh kritik post-positivis yang menekankan bahwa observasi tidak pernah murni netral. Konsep Theory-Ladenness of Observation, yang dipopulerkan oleh Norwood Russell Hanson dan Kuhn, menegaskan bahwa apa yang kita amati selalu dibentuk oleh kerangka teoritis, harapan, dan bahasa yang kita gunakan.
Jika observasi kita selalu 'diresapi' atau 'dijiwai' oleh teori, maka klaim ontologis bahwa kita dapat mengakses realitas independen menjadi sangat sulit dibela. Misalnya, seorang ilmuwan yang bekerja dalam paradigma Newtonian melihat dunia sebagai entitas yang bersifat deterministik, sementara ilmuwan yang bekerja dalam paradigma Einsteinian melihat ruang dan waktu sebagai entitas yang relatif dan elastis. Meskipun mereka melihat objek yang sama, mereka secara ontologis melihat 'realitas' yang berbeda.
Konsekuensi ontologis dari keterikatan teori ini adalah munculnya pandangan Konstruktivisme Sosial, yang menyatakan bahwa realitas ilmiah, termasuk entitas dan fakta, sebagian besar adalah hasil dari konsensus sosial, negosiasi, dan praktik komunitas ilmiah. Meskipun konstruktivisme radikal seringkali ditentang oleh Realis, ia memaksa M. Fil. I untuk mengakui bahwa realitas ilmiah adalah realitas yang dimediasi oleh interpretasi manusia.
Untuk memahami kedalaman pergeseran ontologis ini, pertimbangkan evolusi konsep massa: dari konsep massa absolut dalam Newton, menjadi massa relatif (berubah dengan kecepatan) dalam Einstein, hingga peran massa Higgs dalam Model Standar partikel. Setiap pergeseran ini tidak hanya mengubah teori, tetapi juga mengubah apa yang ilmuwan anggap sebagai entitas fundamental yang 'ada' di alam semesta.
Metodologi adalah jembatan antara epistemologi dan ontologi. Ini adalah studi tentang aturan, prinsip, dan prosedur yang digunakan ilmuwan untuk membangun teori dan mengumpulkan data. M. Fil. I tidak hanya mendeskripsikan metode, tetapi juga mengevaluasi secara kritis validitas logis dan efektivitas praktis dari metode tersebut.
Metode ilmiah tradisional seringkali disederhanakan menjadi siklus hipotesis-pengujian-kesimpulan, namun proses logis di baliknya jauh lebih rumit:
Kritik dalam M. Fil. I terhadap metodologi konvensional sering berpusat pada kegagalan metode sederhana (seperti Induksi Naif) untuk menangkap kompleksitas penyelidikan ilmiah. Penyelidikan sejati melibatkan permainan bolak-balik antara deduksi (menguji implikasi hipotesis), induksi (mengumpulkan data), dan abduksi (membuat lompatan konseptual baru).
Kontribusi Thomas S. Kuhn dalam bukunya, The Structure of Scientific Revolutions, mengguncang M. Fil. I dengan mengganti fokus dari logika formal ilmu pengetahuan menjadi sejarah dan sosiologi ilmuwan. Kuhn memperkenalkan konsep Paradigma.
Paradigma adalah matriks disipliner yang meliputi teori, metode, nilai, dan praktik yang diterima secara universal oleh suatu komunitas ilmiah pada periode tertentu. Kuhn membagi sejarah ilmiah menjadi:
Poin paling radikal Kuhn adalah konsep Inkomensurabilitas. Kuhn berpendapat bahwa paradigma yang berbeda tidak dapat dibandingkan secara rasional karena mereka tidak berbagi bahasa, standar, atau ontologi yang sama. Para ilmuwan yang bekerja di bawah paradigma yang berbeda 'hidup di dunia yang berbeda'. Jika ini benar, maka kemajuan ilmiah tidak bersifat kumulatif menuju Kebenaran, melainkan hanya suksesi perubahan pandangan dunia. Implikasi inkomensurabilitas sangat besar bagi M. Fil. I, menantang gagasan objektivitas absolut dan progres linier ilmu pengetahuan.
Sebagai respons terhadap relativisme Kuhn yang potensial dan idealisme kaku Popper, Imre Lakatos mengajukan konsep Program Penelitian Ilmiah (Scientific Research Programmes - SRP). Lakatos berusaha mensintesis Popper (dengan penekanan pada kritik) dan Kuhn (dengan penekanan pada struktur historis).
SRP terdiri dari dua bagian: Inti Keras (Hard Core), yaitu asumsi fundamental yang tidak dapat diubah dan dilindungi dari falsifikasi, dan Sabuk Pelindung (Protective Belt), yaitu hipotesis bantu yang dapat dimodifikasi, disesuaikan, atau dibuang untuk mengakomodasi anomali tanpa merusak Inti Keras.
Menurut Lakatos, yang perlu dievaluasi bukanlah teori individual, melainkan seluruh program penelitian. Program penelitian dianggap:
M. Fil. I pada era kontemporer tidak hanya berkutat pada fisika dan logika, tetapi juga meluas ke area baru yang menantang, termasuk peran nilai, etika, dan kompleksitas ilmu-ilmu sosial.
Selama periode Positivisme, ada anggapan kuat bahwa ilmu pengetahuan bersifat value-free atau nirkekuatan. Tujuannya adalah objektivitas murni, di mana nilai-nilai pribadi, etika, atau politik tidak boleh mempengaruhi praktik ilmiah atau hasil teoretis. Namun, M. Fil. I kontemporer menolak mitos ini.
Nilai dapat memasuki ilmu pengetahuan dalam beberapa cara:
Helen Longino, salah satu filsuf ilmu kontemporer terkemuka, berpendapat bahwa objektivitas tidak terletak pada ilmuwan individu, tetapi pada praktik komunitas ilmiah yang beragam dan kritis. Objektivitas tercapai melalui interaksi, kritik timbal balik, dan representasi perspektif yang berbeda. Pengakuan bahwa nilai kontekstual memainkan peran penting (misalnya, dalam menentukan proyek penelitian mana yang didanai, atau standar bukti apa yang diperlukan untuk mengesahkan obat baru) adalah kemajuan signifikan dalam M. Fil. I.
Filsafat ilmu sosial (FIS) menghadapi tantangan unik yang tidak ditemukan dalam ilmu alam. Objek kajian FIS—manusia, masyarakat, dan budaya—memiliki kesadaran, kehendak bebas, dan makna. Ini menimbulkan perdebatan mendasar: Haruskah ilmu sosial meniru metodologi ilmu alam (Pendekatan Naturalistik/Positivis), atau haruskah ia memerlukan metodologi yang unik (Pendekatan Interpretif/Hermeneutika)?
Pendekatan Hermeneutika, yang berakar pada pemikiran Dilthey dan Gadamer, menegaskan bahwa tujuan ilmu sosial bukanlah eksplanasi kausal (mengapa peristiwa X terjadi), tetapi Verstehen (pemahaman interpretatif) terhadap makna di balik tindakan sosial. Manusia bertindak berdasarkan makna; oleh karena itu, ilmuwan sosial harus berempati dan menginterpretasikan budaya atau bahasa subjeknya.
M. Fil. I menekankan bahwa dualitas ini (Naturalisme vs. Hermeneutika) menghasilkan dua jenis pengetahuan yang berbeda. Ilmu alam mencari hukum universal yang bebas konteks, sementara ilmu sosial mencari pemahaman kontekstual yang kaya. Kegagalan untuk mengakui perbedaan metodologis ini dapat menyebabkan reduksionisme yang berbahaya, di mana pengalaman manusia direduksi menjadi sekadar variabel yang dapat diukur secara mekanis.
Alt: Peta konseptual M. Fil. I yang menghubungkan isu-isu utama seperti ontologi, sosiologi, dan etika.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang M. Fil. I, kita harus menyelami lebih jauh aspek-aspek spesifik dari metodologi dan perdebatan historis yang membentuk cara kita berpikir saat ini. Perluasan ini mencakup detail-detail yang sering terabaikan dalam tinjauan singkat, namun esensial untuk konstruksi pengetahuan yang kokoh.
Masalah induksi yang diangkat oleh Hume tidak hanya menggoyahkan fondasi empirisme, tetapi juga mendorong perkembangan filosofi probabilitas. Ketika ilmuwan membuat generalisasi induktif, mereka sebenarnya membuat klaim probabilistik. Namun, M. Fil. I menghadapi dilema: Apa dasar logis untuk probabilitas itu sendiri?
Ada dua interpretasi utama probabilitas dalam filsafat ilmu:
Kajian mendalam ini menunjukkan bahwa epistemologi modern sangat bergantung pada matematika probabilitas untuk mengatasi ketidakpastian yang inheren dalam penalaran induktif, sebuah upaya sintesis antara logika formal dan pengalaman empiris.
Salah satu kritik paling radikal terhadap metodologi ilmu datang dari Paul Feyerabend, yang menganjurkan Anarkisme Epistemologis. Feyerabend, dalam karyanya yang terkenal Against Method, berpendapat bahwa tidak ada metode ilmiah universal yang konsisten atau abadi yang dapat menjamin kemajuan. Jika kita melihat sejarah ilmu pengetahuan, penemuan besar seringkali terjadi karena ilmuwan melanggar aturan metodologis yang sudah ditetapkan.
Slogannya yang terkenal adalah: "Anything goes" (Apa pun boleh dilakukan). Feyerabend tidak menganjurkan untuk menjadi tidak rasional, tetapi ia menentang dogmatisme metodologis. Ia berpendapat bahwa pembatasan metodologis hanya akan menghambat kreativitas dan inovasi. Ilmu pengetahuan seharusnya menjadi proyek humanistik dan anarkis yang terbuka terhadap berbagai cara berpikir, termasuk yang berasal dari mitos dan praktik spiritual, jika mereka menghasilkan wawasan yang berguna.
Meskipun pandangan Feyerabend sering dianggap ekstrem, ia berfungsi sebagai peringatan penting dalam M. Fil. I: kita harus selalu skeptis terhadap klaim bahwa hanya ada 'satu cara yang benar' untuk melakukan ilmu. Fleksibilitas metodologis adalah kunci untuk menangani fenomena yang kompleks dan tidak terduga.
Pertanyaan ontologis dan metodologis yang terus-menerus muncul dalam M. Fil. I adalah masalah reduksionisme dan hierarki ilmu. Reduksionisme adalah tesis bahwa fenomena yang lebih tinggi (seperti biologi atau psikologi) pada prinsipnya dapat dijelaskan sepenuhnya oleh hukum-hukum ilmu yang lebih rendah (seperti kimia atau fisika). Misalnya, apakah kesadaran hanyalah aktivitas neuron (reduksi ke neurobiologi), dan apakah biologi hanyalah kimia yang sangat kompleks (reduksi ke fisika)?
Pandangan alternatif adalah Emergen Properti (Properti Kemunculan). Pandangan ini berpendapat bahwa ketika kompleksitas mencapai tingkat tertentu, sifat-sifat baru yang tidak dapat diprediksi dari bagian-bagian individualnya muncul. Air (H2O) memiliki sifat kebasahan yang tidak dimiliki oleh hidrogen atau oksigen secara individual. Kesadaran dianggap sebagai properti kemunculan dari otak yang sangat kompleks.
Implikasi dari perdebatan ini terhadap M. Fil. I sangat krusial, terutama dalam ilmu yang berurusan dengan sistem kompleks seperti ekologi, iklim, dan ekonomi. Jika properti kemunculan itu nyata, maka ilmu-ilmu yang lebih tinggi harus memiliki otonomi metodologis mereka sendiri dan tidak boleh direduksi sepenuhnya menjadi hukum fisika. Hal ini membenarkan keberadaan dan nilai unik dari disiplin ilmu yang berbeda, mengakui bahwa realitas beroperasi dalam tingkat-tingkat kompleksitas yang berbeda.
Dalam konteks modern M. Fil. I, hubungan antara ilmu (teori) dan teknologi (aplikasi) menjadi semakin kabur. Filosofi teknologi mempertanyakan apakah teknologi hanyalah aplikasi netral dari ilmu, atau apakah ia memiliki otonomi filosofis dan membentuk realitas kita.
Teknologi tidak hanya menerapkan ilmu; teknologi juga:
Pendekatan M. Fil. I terhadap teknologi saat ini menekankan bahwa ilmu dan teknologi adalah proyek teknosains yang terintegrasi, di mana instrumen (teknologi) berfungsi sebagai perpanjangan dari teori, dan teori dibentuk oleh kemampuan instrumen. Ini menuntut pemeriksaan etis yang lebih ketat terhadap sains, karena nilai-nilai yang tertanam dalam teknologi (misalnya, bias dalam algoritma AI) adalah konsekuensi langsung dari asumsi filosofis dan metodologis yang digunakan selama pengembangannya.
Bagian terakhir dari kerangka M. Fil. I melibatkan analisis struktur formal dari teori ilmiah. Teori, pada dasarnya, adalah sekumpulan proposisi yang diorganisasi secara logis. Untuk memahami teori, kita harus memahami bagaimana proposisi-proposisi ini terkait satu sama lain, bagaimana mereka merujuk pada dunia, dan bagaimana mereka dapat diuji.
Model struktur teori yang paling umum adalah Model Hierarki, di mana teori terdiri dari:
M. Fil. I menggunakan logika formal dan semantik untuk mengurai bagaimana konsep teoretis (misalnya, 'medan', 'energi gelap') mendapatkan maknanya. Salah satu masalah yang paling menantang adalah bagaimana teori yang benar-benar baru, yang menggunakan bahasa dan konsep yang sama sekali berbeda dari teori lama (seperti fisika Einstein dibandingkan Newton), dapat dipahami. Masalah ini, yang terkait erat dengan inkomensurabilitas Kuhn, memaksa filsuf untuk mengembangkan model semantik yang lebih dinamis dan historis, mengakui bahwa makna istilah ilmiah berevolusi seiring dengan perkembangan pengetahuan.
Penelitian mendalam di bidang M. Fil. I ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan adalah usaha yang sangat manusiawi, tidak hanya didorong oleh data, tetapi juga oleh struktur konseptual, nilai-nilai sosial, dan kerangka logis yang selalu berada dalam kondisi perbaikan dan perdebatan yang intens. Eksplorasi filosofis ini berfungsi sebagai landasan kritis yang diperlukan bagi setiap sarjana yang ingin berkontribusi secara signifikan pada kemajuan pengetahuan, baik dalam manajemen, filosofi, maupun integrasi ilmu.