Pengantar: Suara Panggilan Menuju Hadirat Ilahi
Di antara syiar-syiar Islam yang paling agung dan akrab di telinga umat Muslim adalah kumandang adzan dan iqomah. Jika adzan adalah seruan agung yang memanggil kaum Muslimin dari berbagai kesibukan duniawi untuk mengingat Allah dan mendirikan sholat, maka iqomah adalah penanda terakhir, sebuah proklamasi tegas bahwa waktu untuk berdiri menghadap Sang Pencipta telah benar-benar tiba. Lafal iqomah, meskipun lebih singkat dan diucapkan dengan tempo lebih cepat dari adzan, membawa bobot makna dan spiritualitas yang tak kalah dalamnya. Ia adalah jembatan antara penantian dan pelaksanaan, antara panggilan dan penyambutan, mengubah suasana dari persiapan menjadi konsentrasi penuh untuk memulai ibadah sholat.
Memahami lafal iqomah bukan sekadar menghafal rangkaian kalimat dalam bahasa Arab. Lebih dari itu, ia adalah sebuah upaya untuk meresapi setiap kata yang terucap, merasakan getaran maknanya di dalam hati, dan menyadari urgensi dari panggilan tersebut. Artikel ini akan membawa kita menyelami seluk-beluk lafal iqomah secara komprehensif. Kita akan mengurai setiap kalimatnya, memahami dasar hukumnya, melihat variasi lafal yang ada dalam khazanah fiqih Islam, serta merenungkan adab dan hikmah spiritual yang terkandung di baliknya. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, semoga setiap kali kita mendengar atau mengumandangkan iqomah, hati kita menjadi lebih siap, jiwa kita lebih khusyuk, dan sholat kita menjadi lebih bermakna.
Mengurai Lafal Iqomah yang Paling Umum
Lafal iqomah yang paling masyhur dan banyak diamalkan di berbagai belahan dunia Muslim, termasuk di Indonesia, adalah lafal yang didasarkan pada hadits Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, yang juga merupakan hadits asal disyariatkannya adzan. Dalam riwayat tersebut, lafal iqomah diucapkan dengan kalimat-kalimat tunggal, kecuali pada lafal takbir di awal dan akhir, serta lafal "Qad Qaamatish-Shalaah" yang diucapkan dua kali. Mari kita bedah satu per satu setiap kalimatnya.
1. Takbir Pembuka: Pengakuan Keagungan Mutlak
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ Allāhu Akbar, Allāhu Akbar
(Allah Maha Besar, Allah Maha Besar)
Iqomah dibuka dengan dua kali seruan takbir, sama seperti adzan. "Allahu Akbar" adalah kalimat yang paling fundamental dalam teologi Islam. Ia bukan sekadar pernyataan bahwa Allah itu besar, tetapi sebuah penegasan bahwa Allah adalah Yang Maha Besar, tidak ada yang lebih besar dan agung daripada-Nya. Saat muqim (orang yang mengumandangkan iqomah) menyerukan kalimat ini, ia sedang mengingatkan dirinya dan seluruh jamaah untuk menyingkirkan segala sesuatu yang dianggap besar dalam kehidupan duniawi—jabatan, harta, masalah, kesenangan—dan menggantinya dengan kesadaran penuh akan kebesaran Allah. Ini adalah persiapan mental pertama, sebuah proklamasi untuk mengecilkan dunia dan membesarkan Sang Pencipta di dalam hati sebelum sholat dimulai.
2. Syahadatain: Fondasi Keimanan
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ Asyhadu an lā ilāha illallāh
(Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah)
Setelah pengakuan akan kebesaran Allah, iqomah menegaskan kembali pilar pertama Rukun Islam: syahadat tauhid. Kalimat ini adalah inti dari seluruh ajaran Islam. "Asyhadu" (aku bersaksi) bukanlah pengakuan biasa, melainkan sebuah kesaksian yang lahir dari keyakinan hati, diucapkan oleh lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan. Dengan mengucapkannya, kita memperbarui ikrar kita bahwa satu-satunya Dzat yang berhak disembah, ditaati, dan dijadikan tujuan hidup hanyalah Allah. Dalam konteks iqomah, kalimat ini membersihkan niat. Sholat yang akan didirikan sesaat lagi adalah murni untuk Allah semata, bukan untuk pujian manusia atau tujuan duniawi lainnya.
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ Asyhadu anna Muhammadan Rasūlullāh
(Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)
Bagian kedua dari syahadatain ini adalah pengakuan atas kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa ini penting sesaat sebelum sholat? Karena tata cara sholat yang kita laksanakan—mulai dari takbiratul ihram hingga salam—datang dari ajaran dan teladan beliau. Mengucapkan syahadat ini adalah pengingat bahwa ibadah kita harus sesuai dengan sunnah, mengikuti petunjuk yang telah dibawa oleh Sang Rasul. Ini adalah penegasan bahwa jalan kita menuju Allah adalah melalui ajaran yang telah beliau sampaikan. Dengan demikian, kita diingatkan untuk melaksanakan sholat dengan cara terbaik, meneladani kekhusyukan dan kesempurnaan sholat Rasulullah.
3. Panggilan Menuju Kemenangan Hakiki
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ Hayya ‘alash-shalāh
(Marilah mendirikan sholat)
Kalimat ini adalah panggilan praktis yang sangat lugas. Jika dalam adzan kalimat ini berfungsi sebagai undangan dari kejauhan, dalam iqomah ia berfungsi sebagai perintah untuk segera bangkit dan bersiap. Kata "Hayya" mengandung makna semangat dan kesegeraan. Ini bukan lagi ajakan, melainkan instruksi final. Seolah-olah muqim berkata, "Tinggalkan semua obrolan, luruskan shaf, fokuskan pikiran, karena sholat akan segera dimulai." Ini adalah transisi dari niat di dalam hati menjadi tindakan fisik yang nyata.
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ Hayya ‘alal-falāh
(Marilah meraih kemenangan)
Setelah panggilan untuk sholat, disusul dengan panggilan menuju "Al-Falah". Al-Falah sering diterjemahkan sebagai "kemenangan" atau "keberuntungan". Namun, maknanya jauh lebih luas. Ia mencakup kebahagiaan, kesuksesan, dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Kalimat ini secara langsung mengaitkan sholat dengan kemenangan sejati. Islam mengajarkan bahwa kesuksesan hakiki tidak diukur dari pencapaian materi, melainkan dari kedekatan dengan Allah. Dengan mendirikan sholat, kita sedang menapaki jalan menuju kemenangan abadi. Panggilan ini membangkitkan optimisme dan harapan, meyakinkan jamaah bahwa usaha mereka untuk beribadah akan diganjar dengan kebaikan yang tak terhingga.
4. Proklamasi Dimulainya Sholat
قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ Qad qāmatish-shalāh, Qad qāmatish-shalāh
(Sungguh, sholat akan segera didirikan, Sungguh, sholat akan segera didirikan)
Inilah kalimat yang menjadi pembeda utama antara adzan dan iqomah. "Qad" adalah partikel dalam bahasa Arab yang memberikan penekanan dan kepastian. "Qamat" berarti telah berdiri, telah tegak, atau telah dimulai. Jadi, "Qad qamatish-shalah" adalah sebuah pernyataan deklaratif yang sangat kuat: "Sholat telah benar-benar ditegakkan!" Ini bukan lagi ajakan, melainkan pemberitahuan resmi. Saat kalimat ini dikumandangkan, imam biasanya sudah berada di posisi paling depan, makmum telah meluruskan dan merapatkan shaf, dan seluruh suasana telah beralih ke mode ibadah total. Pengulangan sebanyak dua kali berfungsi untuk memberikan penekanan maksimal, memastikan tidak ada lagi keraguan bahwa momen sakral untuk berdialog dengan Allah telah tiba.
5. Takbir dan Tahlil Penutup
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ Allāhu Akbar, Allāhu Akbar
(Allah Maha Besar, Allah Maha Besar)
Iqomah ditutup kembali dengan seruan takbir. Jika takbir di awal berfungsi untuk membersihkan hati dari kebesaran selain Allah, takbir di akhir ini berfungsi sebagai penegasan final sebelum imam mengucapkan takbiratul ihram. Seolah-olah ini adalah gerbang terakhir yang harus dilalui, di mana seorang hamba sekali lagi mengikrarkan keagungan Tuhannya, melepaskan sisa-sisa keterikatan dunia, dan mempersiapkan diri sepenuhnya untuk "mi'raj" seorang mukmin.
لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ Lā ilāha illallāh
(Tiada Tuhan selain Allah)
Pungkasan dari iqomah adalah kalimat tauhid. Ini adalah kesimpulan yang sempurna. Seluruh panggilan, syahadat, dan proklamasi sebelumnya bermuara pada satu hakikat: seluruh ibadah ini, seluruh kehidupan ini, adalah untuk Allah semata. Mengakhiri iqomah dengan "La ilaha illallah" adalah seperti mengunci niat dan memantapkan hati, bahwa sholat yang akan didirikan adalah manifestasi tertinggi dari pengakuan bahwa tiada sesembahan yang hakiki selain Allah. Ini adalah fondasi yang di atasnya seluruh bangunan sholat akan ditegakkan.
Hukum Iqomah dalam Islam
Para ulama fiqih memiliki pandangan yang beragam mengenai status hukum iqomah, meskipun semuanya sepakat bahwa iqomah adalah syiar Islam yang sangat ditekankan. Perbedaan pendapat ini umumnya berkisar antara sunnah mu'akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) dan fardhu kifayah (kewajiban kolektif).
- Sunnah Mu'akkadah: Ini adalah pendapat mayoritas ulama, termasuk dari kalangan mazhab Syafi'i dan Maliki. Mereka berdalil bahwa sholat tetap sah meskipun dilakukan tanpa iqomah, namun meninggalkannya tanpa uzur adalah perbuatan yang sangat tercela (makruh). Mereka memandang iqomah sebagai pelengkap adzan dan bagian dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau lakukan secara konsisten.
- Fardhu Kifayah: Ini adalah pendapat yang dipegang oleh mazhab Hanbali. Artinya, dalam suatu komunitas atau wilayah, wajib ada yang mengumandangkan iqomah untuk sholat berjamaah. Jika sudah ada yang melakukannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lain. Namun, jika tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka seluruh komunitas di tempat itu berdosa. Dalil mereka adalah perintah yang bersifat wajib dalam hadits-hadits mengenai adzan dan iqomah, serta fakta bahwa keduanya adalah syiar Islam yang tampak dan harus ditegakkan.
Terlepas dari perbedaan status hukum ini, tidak ada ulama yang meremehkan pentingnya iqomah. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan sholat berjamaah di masjid. Iqomah juga disunnahkan bagi orang yang sholat sendirian (munfarid), baik karena tertinggal jamaah atau memang sholat di rumah. Ini menunjukkan bahwa iqomah bukan hanya untuk mengorganisir jamaah, tetapi juga memiliki fungsi spiritual untuk mempersiapkan individu sebelum menghadap Allah.
Variasi Lafal Iqomah dalam Empat Mazhab
Salah satu keindahan dalam khazanah fiqih Islam adalah adanya ruang perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu' (cabang), termasuk dalam lafal iqomah. Perbedaan ini lahir dari penggunaan dalil hadits yang berbeda oleh para imam mazhab. Semua lafal tersebut memiliki dasar yang kuat dan sah untuk diamalkan. Memahaminya dapat menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai keragaman dalam praktik keagamaan umat Islam.
1. Mazhab Syafi'i dan Hanbali
Kedua mazhab ini mengamalkan lafal iqomah yang telah kita bahas secara rinci di atas. Lafal ini terdiri dari 11 kalimat, di mana sebagian besar diucapkan satu kali, kecuali takbir di awal dan akhir, serta lafal "Qad qamatish-shalah" yang diucapkan dua kali. Dasar utama mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Zaid radhiyallahu 'anhu, yang bermimpi tentang lafal adzan dan iqomah. Dalam riwayat Imam Abu Dawud dan Tirmidzi, disebutkan, "...maka ucapkanlah adzan dengan menggenapkan (mengulang) kalimatnya, dan ucapkanlah iqomah dengan mengganjilkan kalimatnya." Lafal inilah yang paling umum dijumpai di Indonesia, Malaysia, dan banyak negara Timur Tengah.
2. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi memiliki lafal iqomah yang mirip dengan lafal adzan. Jumlah kalimatnya adalah 17, sama seperti adzan (tanpa tarji', yaitu pengulangan syahadatain secara lirih). Artinya, semua kalimat diucapkan dua kali, persis seperti adzan, dengan tambahan "Qad qamatish-shalah" sebanyak dua kali setelah "Hayya 'alal-falah".
Lafal iqomah menurut Mazhab Hanafi adalah sebagai berikut:
- Allahu Akbar, Allahu Akbar
- Allahu Akbar, Allahu Akbar
- Asyhadu an la ilaha illallah
- Asyhadu an la ilaha illallah
- Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah
- Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah
- Hayya 'alash-shalah, Hayya 'alash-shalah
- Hayya 'alal-falah, Hayya 'alal-falah
- Qad qamatish-shalah, Qad qamatish-shalah
- Allahu Akbar, Allahu Akbar
- La ilaha illallah
Dasar yang mereka gunakan adalah riwayat dari Abu Mahdzurah radhiyallahu 'anhu, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya iqomah dengan 17 kalimat. Hadits ini juga shahih dan menjadi pegangan bagi pengikut mazhab Hanafi, yang banyak tersebar di Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh) dan Turki.
3. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki memiliki lafal iqomah yang paling singkat di antara keempatnya. Mereka hanya mengucapkan seluruh kalimat sebanyak satu kali, termasuk lafal "Qad qamatish-shalah". Jumlah total kalimatnya adalah 10.
Lafal iqomah menurut Mazhab Maliki adalah sebagai berikut:
- Allahu Akbar, Allahu Akbar
- Asyhadu an la ilaha illallah
- Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah
- Hayya 'alash-shalah
- Hayya 'alal-falah
- Qad qamatish-shalah
- Allahu Akbar, Allahu Akbar
- La ilaha illallah
Dalil mereka juga bersandar pada hadits Abdullah bin Zaid, namun dengan pemahaman bahwa seluruh kalimat iqomah diucapkan secara tunggal, termasuk lafal penanda sholatnya. Praktik ini banyak dijumpai di negara-negara Afrika Utara dan Barat seperti Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Nigeria, di mana mazhab Maliki menjadi mayoritas.
Tabel Perbandingan Jumlah Lafal Iqomah
| Lafal | Syafi'i & Hanbali (11 Kalimat) | Hanafi (17 Kalimat) | Maliki (10 Kalimat) |
|---|---|---|---|
| Allāhu Akbar | 2 kali | 4 kali | 2 kali |
| Asyhadu an lā ilāha illallāh | 1 kali | 2 kali | 1 kali |
| Asyhadu anna Muhammadan Rasūlullāh | 1 kali | 2 kali | 1 kali |
| Hayya ‘alash-shalāh | 1 kali | 2 kali | 1 kali |
| Hayya ‘alal-falāh | 1 kali | 2 kali | 1 kali |
| Qad qāmatish-shalāh | 2 kali | 2 kali | 1 kali |
| Allāhu Akbar | 2 kali | 2 kali | 2 kali |
| Lā ilāha illallāh | 1 kali | 1 kali | 1 kali |
Adab dan Sunnah Terkait Iqomah
Iqomah bukan sekadar serangkaian kata, melainkan sebuah ritual yang memiliki adab dan etika tersendiri, baik bagi yang mengumandangkannya (muqim) maupun yang mendengarkannya (jamaah).
Bagi Muqim (Yang Mengumandangkan Iqomah)
- Ikhlas: Niat mengumandangkan iqomah harus murni karena Allah, untuk menegakkan syiar-Nya, bukan untuk pamer suara atau mencari pujian.
- Suci dari Hadats: Disunnahkan bagi muqim untuk berada dalam keadaan suci (memiliki wudhu), sama seperti muadzin.
- Menghadap Kiblat: Iqomah dikumandangkan sambil berdiri dan menghadap kiblat.
- Diucapkan dengan Cepat (Al-Hadr): Berbeda dengan adzan yang dianjurkan untuk diucapkan dengan tempo lambat dan panjang (tartil), iqomah disunnahkan untuk diucapkan dengan tempo yang lebih cepat (al-hadr), namun tetap dengan artikulasi yang jelas (makhraj huruf yang benar).
- Tidak Berbicara di Tengah Iqomah: Dimakruhkan untuk berbicara atau melakukan hal lain yang tidak berkaitan dengan sholat saat sedang mengumandangkan iqomah.
- Orang yang Adzan, Dia yang Iqomah: Sunnahnya, orang yang mengumandangkan adzan adalah orang yang sama yang mengumandangkan iqomah. Hal ini didasarkan pada hadits "Siapa yang mengumandangkan adzan, maka dialah yang berhak iqomah." Namun, ini bukan sebuah keharusan.
Bagi Jamaah (Yang Mendengar Iqomah)
- Menjawab Iqomah: Sebagian ulama berpendapat disunnahkan untuk menjawab iqomah seperti menjawab adzan, yaitu dengan mengucapkan lafal yang sama setelah muqim mengucapkannya, kecuali pada kalimat "Hayya 'alash-shalah" dan "Hayya 'alal-falah" dijawab dengan "La hawla wa la quwwata illa billah", dan pada kalimat "Qad qamatish-shalah" dijawab dengan "Aqamahallahu wa adamaha" (Semoga Allah menegakkan dan mengekalkannya). Namun, pendapat lain menyatakan bahwa anjuran menjawab lebih ditekankan pada adzan.
- Kapan Harus Berdiri?: Ini adalah masalah khilafiyah yang luas.
- Mazhab Hanafi: Berdiri saat muqim mengucapkan "Hayya 'alal-falah".
- Mazhab Maliki: Tidak ada waktu spesifik, jamaah boleh berdiri kapan saja selama iqomah dikumandangkan.
- Mazhab Syafi'i: Berdiri setelah iqomah selesai dikumandangkan.
- Mazhab Hanbali: Berdiri saat muqim mengucapkan "Qad qamatish-shalah".
- Meluruskan dan Merapatkan Shaf: Momen iqomah adalah waktu yang paling krusial untuk meluruskan dan merapatkan barisan sholat. Rasulullah sangat menekankan hal ini, karena lurus dan rapatnya shaf adalah bagian dari kesempurnaan sholat berjamaah dan simbol persatuan umat.
- Fokus dan Konsentrasi: Hentikan semua percakapan dan aktivitas duniawi. Arahkan hati dan pikiran sepenuhnya untuk persiapan sholat.
Makna Spiritual dan Psikologis Iqomah
Di balik lafal dan hukumnya, iqomah menyimpan dimensi spiritual dan psikologis yang mendalam. Ia adalah sebuah mekanisme transisi yang brilian, dirancang untuk memindahkan kesadaran manusia dari alam dunia yang lalai ke alam spiritual yang khusyuk.
1. Panggilan Terakhir yang Menggetarkan
Iqomah adalah "alarm" terakhir. Jika adzan adalah pengingat dari kejauhan, iqomah adalah panggilan dari jarak nol. Tempo yang cepat memberikan kesan urgensi dan kesegeraan. Ia seolah berkata, "Tidak ada lagi waktu untuk menunda. Pertemuan agung dengan Raja diraja akan segera dimulai. Tinggalkan semuanya sekarang juga!" Getaran psikologis ini membantu memutus sisa-sisa koneksi mental dengan pekerjaan, masalah, atau percakapan yang baru saja dilakukan.
2. Peneguhan Kembali Tujuan Hidup
Dengan mengulang kalimat tauhid dan syahadat, iqomah berfungsi sebagai "reset" spiritual. Manusia adalah makhluk pelupa. Dalam kesibukan sehari-hari, kita sering lupa tujuan hakiki kita diciptakan. Iqomah, yang diulang minimal lima kali sehari, memaksa kita untuk berhenti sejenak dan mengingat kembali: tujuan hidup kita adalah untuk menyembah Allah. Sholat yang akan kita dirikan adalah perwujudan dari tujuan tersebut. Peneguhan ini sangat penting untuk menjaga kompas spiritual kita tetap lurus.
3. Manifestasi Disiplin dan Keteraturan
Proses dari adzan ke iqomah, lalu ke sholat berjamaah yang teratur dalam shaf-shaf lurus, adalah pelajaran disiplin yang luar biasa. Iqomah menjadi penanda dimulainya disiplin kolektif. Semua individu, dari berbagai latar belakang, melebur menjadi satu kesatuan yang bergerak serentak di belakang seorang imam. Iqomah adalah komando yang menyatukan barisan, mengajarkan bahwa dalam ibadah (dan kehidupan), keteraturan dan kebersamaan adalah kunci kekuatan.
4. Gerbang Menuju Kekhusyukan
Kalimat "Qad qamatish-shalah" adalah titik puncaknya. Ia adalah sebuah deklarasi yang menciptakan suasana hening dan sakral. Ketika kalimat ini diucapkan, kesadaran kolektif jamaah terfokus pada satu titik: sholat. Ia bagaikan pintu gerbang yang terbuka, mengundang setiap jamaah untuk melangkah masuk ke dalam dimensi kekhusyukan, meninggalkan segala kebisingan dunia di belakangnya. Inilah momen di mana hati mulai berdialog dengan Tuhannya, bahkan sebelum lisan mengucapkan takbiratul ihram.
Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Seruan
Lafal iqomah, dalam segala bentuk dan variasinya, adalah permata dalam syariat Islam. Ia bukan sekadar pengumuman prosedural bahwa sholat akan dimulai. Ia adalah rangkuman dari akidah Islam, penegasan kembali ikrar seorang hamba, komando untuk disiplin, dan gerbang menuju kekhusyukan. Setiap kalimatnya—dari takbir yang mengagungkan, syahadat yang mengesakan, panggilan yang menyemangati, hingga proklamasi yang menegaskan—dirangkai dengan sempurna untuk mempersiapkan jiwa dan raga dalam menyambut panggilan Allah.
Dengan memahami kedalaman makna lafal iqomah, menghargai perbedaan yang ada di antara mazhab, serta mengamalkan adab-adab yang menyertainya, kita dapat meningkatkan kualitas sholat kita. Semoga setiap kali iqomah dikumandangkan, ia tidak hanya terdengar di telinga kita, tetapi juga meresap ke dalam sanubari, menggetarkan jiwa, dan menjadikan sholat kita sebagai momen perjumpaan yang paling dinantikan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.