Pendahuluan: Memahami Pilar Negara
Konstitusionalisme adalah salah satu konsep paling fundamental dalam tata negara modern, menjadi tulang punggung bagi pembentukan negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Lebih dari sekadar memiliki sebuah konstitusi atau undang-undang dasar, konstitusionalisme adalah filosofi dan praktik pemerintahan yang berakar pada gagasan bahwa kekuasaan pemerintah harus dibatasi oleh hukum. Ini adalah sebuah komitmen untuk pemerintahan yang terikat oleh aturan-aturan yang telah ditetapkan sebelumnya, bukan oleh kehendak sewenang-wenang penguasa.
Dalam esensinya, konstitusionalisme menegaskan supremasi hukum, di mana tidak ada seorang pun, termasuk penguasa tertinggi sekalipun, yang berada di atas hukum. Konsep ini menuntut adanya mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, melindungi kebebasan individu, dan memastikan bahwa pemerintah bertindak demi kesejahteraan umum. Tanpa konstitusionalisme, sebuah konstitusi hanyalah selembar kertas tanpa makna, tidak mampu menahan gelombang otoritarianisme atau tirani mayoritas.
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam berbagai aspek konstitusionalisme, mulai dari akar sejarahnya, definisi dan prinsip-prinsip intinya, perkembangannya dalam konteks global, tantangan yang dihadapinya di era kontemporer, hingga manifestasinya dalam sistem hukum dan politik di Indonesia. Dengan pemahaman yang komprehensif tentang konstitusionalisme, kita dapat lebih menghargai pentingnya integritas institusi demokrasi dan perlindungan hak-hak fundamental warga negara.
Akar Sejarah dan Perkembangan Konstitusionalisme
Gagasan tentang pembatasan kekuasaan bukanlah hal baru; jejaknya dapat ditelusuri jauh ke belakang dalam sejarah peradaban. Namun, konsep konstitusionalisme yang kita kenal sekarang ini adalah produk dari evolusi pemikiran politik dan perjuangan panjang melawan kekuasaan absolut.
Dari Zaman Kuno hingga Abad Pertengahan
Meskipun belum dalam bentuk modernnya, ide-ide awal tentang hukum yang mengikat penguasa sudah muncul di peradaban kuno. Di Athena Kuno, Solon dan Cleisthenes meletakkan dasar-dasar hukum yang membatasi aristokrasi dan memberikan hak-hak tertentu kepada warga negara. Republik Romawi, dengan hukum tertulisnya dan konsep Lex (hukum) sebagai yang tertinggi, juga menunjukkan upaya membatasi kekuasaan melalui aturan yang disepakati.
Pada Abad Pertengahan, Magna Carta (1215) di Inggris menjadi tonggak sejarah yang krusial. Meskipun awalnya merupakan perjanjian antara Raja John dan para baronnya untuk melindungi hak-hak feodal, dokumen ini kemudian diinterpretasikan sebagai prinsip bahwa raja pun terikat oleh hukum. Klausa-klausa seperti hak untuk mendapatkan peradilan yang adil dan perlindungan dari penyitaan properti tanpa proses hukum yang semestinya adalah embrio dari hak-hak konstitusional modern.
"Magna Carta adalah salah satu dokumen paling berpengaruh dalam sejarah hukum dan politik. Ia meletakkan dasar bagi gagasan bahwa tidak ada seorang pun, bahkan raja sekalipun, yang kebal terhadap hukum."
Revolusi dan Pencerahan
Era Pencerahan di abad ke-17 dan ke-18 memainkan peran transformatif dalam perkembangan konstitusionalisme. Para filsuf seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Montesquieu mengemukakan teori-teori tentang kedaulatan rakyat, kontrak sosial, dan pemisahan kekuasaan yang menjadi fondasi intelektual bagi konstitusi modern. Locke, dengan gagasannya tentang hak-hak alami (hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan) yang tidak dapat dicabut oleh pemerintah, secara fundamental mengubah cara pandang terhadap hubungan antara individu dan negara.
Revolusi Gemilang (Glorious Revolution) di Inggris pada tahun 1688, yang menghasilkan Bill of Rights 1689, adalah contoh nyata pembatasan kekuasaan monarki oleh parlemen. Dokumen ini mengukuhkan supremasi parlemen atas raja dan menjamin hak-hak tertentu bagi warga negara. Ini adalah langkah besar menuju monarki konstitusional.
Revolusi Amerika (1776) dan pembentukan Konstitusi Amerika Serikat (1787) adalah momen krusial lainnya. Konstitusi AS menjadi konstitusi tertulis pertama yang membentuk pemerintahan republik dengan sistem federal dan pemisahan kekuasaan yang jelas, serta menambahkan Bill of Rights untuk melindungi hak-hak individu. Ini menjadi model bagi banyak negara di dunia.
Revolusi Prancis (1789) dan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara juga menyumbangkan ide-ide fundamental tentang kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, yang kemudian banyak diadopsi dalam konstitusi-konstitusi modern.
Konstitusionalisme di Abad ke-19 dan ke-20
Sepanjang abad ke-19 dan ke-20, konstitusionalisme terus berkembang dan menyebar ke seluruh dunia. Munculnya negara-negara bangsa baru dan runtuhnya kekaisaran memicu gelombang penyusunan konstitusi di berbagai belahan dunia. Konstitusi tidak hanya berfungsi sebagai alat pembatasan kekuasaan, tetapi juga sebagai deklarasi identitas nasional dan cita-cita sosial-politik.
Pasca-Perang Dunia II, terutama setelah kengerian totalitarianisme, konstitusionalisme mengalami revitalisasi dengan penekanan kuat pada perlindungan hak asasi manusia dan pembentukan lembaga-lembaga yang independen untuk menegakkan konstitusi, seperti mahkamah konstitusi. Konstitusi Jerman (Grundgesetz) dan konstitusi Italia adalah contoh-contoh yang menonjol dari periode ini, yang berupaya mencegah terulangnya penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu.
Definisi dan Prinsip-Prinsip Inti Konstitusionalisme
Konstitusionalisme adalah konsep multidimensional yang mencakup serangkaian prinsip inti yang bekerja secara sinergis untuk membatasi dan mengendalikan kekuasaan negara demi perlindungan kebebasan dan hak warga negara.
A. Supremasi Konstitusi
Prinsip ini menegaskan bahwa konstitusi adalah hukum tertinggi dalam suatu negara. Semua hukum lain, termasuk undang-undang yang dibuat oleh parlemen, peraturan pemerintah, dan keputusan administrasi, harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Apabila ada pertentangan, konstitusi yang berlaku.
Implikasi dari supremasi konstitusi adalah:
- Kontrol Konstitusional: Adanya mekanisme, seringkali melalui mahkamah konstitusi, untuk menguji apakah suatu undang-undang atau tindakan pemerintah sesuai dengan konstitusi.
- Stabilitas Hukum: Konstitusi menyediakan kerangka hukum yang stabil dan fundamental, yang tidak mudah diubah oleh kemauan politik sesaat.
- Perlindungan Hak: Hak-hak yang dijamin dalam konstitusi memiliki status hukum yang lebih tinggi dan lebih sulit untuk dilanggar oleh pemerintah.
B. Pembatasan Kekuasaan Pemerintah
Ini adalah jantung dari konstitusionalisme. Gagasan bahwa kekuasaan pemerintah, tanpa terkecuali, harus dibatasi dan tidak boleh absolut. Pembatasan ini dapat berupa:
- Pembatasan Substantif: Menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pemerintah (misalnya, tidak boleh melanggar hak asasi manusia).
- Pembatasan Prosedural: Menetapkan bagaimana pemerintah harus bertindak (misalnya, melalui proses hukum yang adil).
Pembatasan ini dimaksudkan untuk mencegah tirani, baik itu tirani seorang individu, kelompok, maupun mayoritas.
C. Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan (Trias Politica)
Dipopulerkan oleh Montesquieu, prinsip ini membagi kekuasaan negara menjadi setidaknya tiga cabang utama:
- Kekuasaan Legislatif: Bertugas membuat undang-undang (Parlemen/DPR).
- Kekuasaan Eksekutif: Bertugas menjalankan undang-undang (Presiden/Pemerintah).
- Kekuasaan Yudikatif: Bertugas menafsirkan dan menegakkan undang-undang (Mahkamah Agung/Mahkamah Konstitusi).
Tujuan utama pemisahan kekuasaan adalah untuk mencegah konsentrasi kekuasaan di satu tangan, sehingga setiap cabang dapat saling mengawasi dan menyeimbangkan (checks and balances) satu sama lain. Ini menciptakan sistem akuntabilitas dan mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan.
D. Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
Konstitusionalisme modern sangat erat kaitannya dengan jaminan dan perlindungan hak-hak fundamental warga negara. Konstitusi tidak hanya mengatur struktur pemerintahan, tetapi juga secara eksplisit mencantumkan hak-hak sipil dan politik (seperti kebebasan berbicara, berkumpul, beragama) serta seringkali juga hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya (seperti hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan).
Perlindungan HAM ini bersifat universal, tidak dapat dicabut (inalienable), dan mengikat negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut.
E. Rule of Law (Negara Hukum)
Prinsip ini berarti bahwa semua orang, termasuk pemerintah, tunduk pada hukum yang berlaku dan diterapkan secara adil. Ini mencakup beberapa aspek:
- Supremasi Hukum: Tidak ada yang di atas hukum.
- Kesetaraan di Hadapan Hukum: Setiap individu memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum, tanpa diskriminasi.
- Kepastian Hukum: Hukum harus jelas, dapat diprediksi, dan diumumkan secara terbuka.
- Proses Hukum yang Adil: Setiap orang berhak atas peradilan yang tidak memihak dan prosedur hukum yang transparan dan jujur.
F. Pemerintahan Demokratis
Meskipun konstitusionalisme secara teknis tidak selalu mensyaratkan demokrasi (ada monarki konstitusional), namun dalam konteks modern, keduanya saling terkait erat. Konstitusionalisme memberikan kerangka hukum bagi praktik demokrasi, seperti pemilihan umum yang bebas dan adil, partisipasi warga negara, dan akuntabilitas pemerintah kepada rakyat.
Demokrasi tanpa konstitusionalisme dapat berubah menjadi "tirani mayoritas," di mana hak-hak minoritas dapat diabaikan. Sebaliknya, konstitusionalisme tanpa elemen demokratis mungkin tidak memiliki legitimasi yang cukup.
G. Independensi Peradilan
Cabang yudikatif harus independen dari cabang eksekutif dan legislatif untuk dapat menjalankan tugasnya menafsirkan dan menegakkan konstitusi secara objektif dan tidak memihak. Hakim harus bebas dari tekanan politik dan mampu membuat keputusan berdasarkan hukum dan keadilan semata.
H. Prosedur Amandemen Konstitusi yang Jelas dan Sulit
Untuk menjaga stabilitas dan supremasi konstitusi, prosedur untuk mengubah atau mengamandemennya biasanya dibuat lebih sulit daripada prosedur pembuatan undang-undang biasa. Ini memastikan bahwa perubahan konstitusi hanya dilakukan setelah pertimbangan yang matang dan konsensus yang luas, bukan atas dasar kepentingan politik jangka pendek.
Peran Konstitusi dalam Menerapkan Konstitusionalisme
Konstitusi adalah dokumen formal yang menjadi wadah bagi prinsip-prinsip konstitusionalisme. Ia tidak hanya membentuk struktur pemerintahan tetapi juga berfungsi sebagai kontrak sosial antara pemerintah dan rakyatnya. Perannya sangat sentral dalam operasionalisasi konstitusionalisme.
A. Kerangka Hukum Tertinggi
Konstitusi menyediakan kerangka hukum dasar yang menjadi acuan bagi seluruh sistem hukum dan politik negara. Ia mendefinisikan batas-batas kekuasaan negara, menetapkan prosedur bagi pengambilan keputusan, dan mengidentifikasi hak-hak fundamental warga negara. Sebagai hukum tertinggi, semua norma hukum di bawahnya harus konsisten dengan konstitusi.
B. Legitimasi Kekuasaan
Pemerintahan yang sah mendapatkan legitimasinya dari konstitusi. Kekuasaan yang tidak diatur atau yang melampaui batas konstitusi akan kehilangan legitimasinya di mata rakyat. Dengan demikian, konstitusi berfungsi sebagai sumber otoritas dan batasan bagi setiap tindakan pemerintah.
C. Alat Pengawasan dan Akuntabilitas
Melalui pembagian kekuasaan dan mekanisme checks and balances yang diatur dalam konstitusi, setiap cabang pemerintahan dapat saling mengawasi. Legislatif dapat mengawasi eksekutif, yudikatif dapat menguji konstitusionalitas undang-undang, dan sebagainya. Ini memastikan akuntabilitas pemerintah kepada rakyat.
D. Sarana Perlindungan Hak Asasi Manusia
Konstitusi modern secara eksplisit mencantumkan daftar hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh negara. Ini bukan sekadar deklarasi, melainkan janji negara untuk melindungi dan menghormati hak-hak tersebut, dan menjadi dasar bagi warga negara untuk menuntut haknya apabila dilanggar.
E. Stabilitas dan Kepastian
Dengan menetapkan aturan main yang fundamental dan sulit diubah, konstitusi memberikan stabilitas politik dan kepastian hukum. Rakyat dan pelaku usaha dapat merencanakan masa depan dengan keyakinan bahwa kerangka hukum dasar tidak akan berubah secara drastis dalam semalam.
Tantangan Terhadap Konstitusionalisme di Era Kontemporer
Meskipun konstitusionalisme adalah pilar penting bagi negara modern, ia tidak luput dari berbagai tantangan di era kontemporer. Tantangan-tantangan ini menguji ketahanan institusi dan prinsip-prinsip konstitusional.
A. Bangkitnya Populisme
Gerakan populisme seringkali menantang institusi dan norma-norma konstitusional yang dianggap menghalangi "kehendak rakyat." Pemimpin populis cenderung mengklaim representasi langsung dari rakyat dan dapat memarginalisasi lembaga-lembaga penyeimbang kekuasaan seperti peradilan atau lembaga legislatif, serta mengikis perlindungan hak minoritas.
"Populisme seringkali menunjukkan kecenderungan untuk melemahkan lembaga-lembaga konstitusional yang dirancang untuk membatasi kekuasaan, dengan mengatasnamakan 'kehendak rakyat' yang homogen."
B. Polarisasi Politik dan Fragmentasi Sosial
Ketika masyarakat terpecah belah berdasarkan ideologi, etnis, atau agama, konsensus konstitusional bisa sulit dicapai dan dipertahankan. Polarisasi dapat menyebabkan parlemen menjadi tidak efektif, lembaga peradilan menjadi sasaran kritik politik, dan kepercayaan publik terhadap institusi menurun, mengancam fondasi konstitusionalisme.
C. Krisis Legitimasi dan Kepercayaan Publik
Korupsi, inefisiensi, dan kegagalan pemerintah untuk memenuhi harapan publik dapat mengikis kepercayaan terhadap sistem konstitusional. Ketika warga negara merasa bahwa konstitusi tidak benar-benar melindungi hak-hak mereka atau bahwa penguasa tidak bertindak sesuai hukum, legitimasi konstitusi dan institusinya akan terkikis.
D. Pengaruh Teknologi dan Media Sosial
Penyebaran informasi yang cepat, termasuk berita palsu dan disinformasi, melalui media sosial dapat memengaruhi opini publik, mempolarisasi masyarakat, dan bahkan digunakan untuk memanipulasi proses demokrasi. Ini menimbulkan tantangan baru terhadap kebebasan berekspresi sekaligus perlindungan terhadap penyebaran kebencian atau propaganda.
E. Globalisasi dan Kedaulatan Negara
Dalam era globalisasi, negara-bangsa menghadapi tekanan dari aktor-aktor non-negara, organisasi internasional, dan pasar global. Keputusan ekonomi global dapat membatasi ruang gerak pemerintah, dan hukum internasional dapat berinteraksi dengan hukum nasional, menimbulkan pertanyaan tentang supremasi konstitusi nasional dan kedaulatan.
F. Ancaman Terorisme dan Keamanan
Dalam upaya memerangi terorisme dan menjaga keamanan nasional, seringkali muncul desakan untuk membatasi hak-hak sipil dan kebebasan individu. Menyeimbangkan kebutuhan keamanan dengan perlindungan hak asasi manusia adalah tantangan konstitusional yang konstan dan rumit.
Konstitusionalisme di Indonesia
Indonesia, sebagai negara hukum yang demokratis, memiliki sejarah konstitusionalisme yang kaya dan kompleks, berpusat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
A. UUD 1945 dan Pancasila
Konstitusi Indonesia adalah UUD 1945, yang secara eksplisit menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum" (Pasal 1 ayat 3) dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip konstitusionalisme. Pembukaan UUD 1945 juga memuat Pancasila sebagai dasar filosofis dan ideologi negara, yang menjiwai seluruh batang tubuh konstitusi.
Pancasila, dengan lima silanya, menyediakan kerangka nilai-nilai yang mengikat seluruh penyelenggara negara dan warga negara. Sila-sila tersebut, seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, berfungsi sebagai landasan moral dan etika konstitusionalisme Indonesia.
B. Periode Sejarah Konstitusional
- Masa Awal Kemerdekaan (1945-1949): UUD 1945 diberlakukan dengan sistem presidensial, namun kemudian sempat beralih ke sistem parlementer darurat.
- Konstitusi RIS (1949-1950) dan UUDS 1950 (1950-1959): Indonesia pernah menerapkan konstitusi federal dan konstitusi sementara yang parlementer, menunjukkan pencarian format negara yang sesuai.
- Dekrit Presiden (1959) dan Orde Lama (1959-1966): Kembali ke UUD 1945, namun dengan interpretasi yang cenderung sentralistik di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang kuat.
- Orde Baru (1966-1998): UUD 1945 berlaku secara rigid tanpa amandemen, namun praktik ketatanegaraan seringkali menyimpang dari prinsip-prinsip konstitusionalisme, dengan konsentrasi kekuasaan pada eksekutif dan pembatasan hak-hak sipil.
- Era Reformasi (1998-Sekarang): Periode ini ditandai dengan perubahan konstitusional yang sangat signifikan.
C. Amandemen UUD 1945 Pasca-Reformasi
Salah satu pencapaian terbesar konstitusionalisme di Indonesia pasca-Reformasi adalah serangkaian amandemen UUD 1945 yang dilakukan dalam empat tahap (1999, 2000, 2001, 2002). Amandemen ini bertujuan untuk memperkuat konstitusionalisme dan demokrasi, dengan pokok-pokok perubahan sebagai berikut:
- Pembatasan Masa Jabatan Presiden: Menjadi maksimal dua periode, mencegah konsentrasi kekuasaan yang terlalu lama.
- Penguatan Sistem Checks and Balances: Memperjelas fungsi dan wewenang lembaga negara seperti DPR, DPD, MPR, Presiden, MA, MK, dan BPK.
- Jaminan HAM yang Komprehensif: Penambahan bab khusus tentang HAM (Bab XA) yang merinci hak-hak warga negara.
- Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK): Sebagai lembaga baru yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara, membubarkan partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan/atau wakil presiden.
- Otonomi Daerah: Penguatan otonomi daerah untuk desentralisasi kekuasaan.
- Mekanisme Pemilu yang Demokratis: Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat.
D. Peran Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahkamah Konstitusi adalah pilar utama konstitusionalisme di Indonesia. Sebagai lembaga yudikatif yang independen, MK memiliki peran krusial dalam menjaga supremasi UUD 1945. Fungsi utamanya adalah:
- Judicial Review (Pengujian Undang-Undang): Memastikan bahwa setiap undang-undang yang dibuat oleh DPR dan pemerintah tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ini adalah mekanisme vital untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan mencegah parlemen atau pemerintah membuat undang-undang yang inkonstitusional.
- Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara: Menjaga keseimbangan antarlembaga negara agar tidak ada yang melampaui batas kewenangannya.
- Memutus Pembubaran Partai Politik: Menjamin bahwa pembubaran partai politik harus melalui proses hukum yang adil.
- Memutus Perselisihan Hasil Pemilu: Menjaga integritas dan keadilan dalam proses demokrasi.
Dengan adanya MK, Indonesia memiliki mekanisme yang kuat untuk menegakkan konstitusi dan melindungi hak-hak warga negara, memastikan bahwa prinsip konstitusionalisme tidak hanya ada di atas kertas tetapi juga dalam praktik.
E. Tantangan Konstitusionalisme di Indonesia
Meskipun telah banyak kemajuan, konstitusionalisme di Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan:
- Implementasi Konstitusi: Terkadang, meskipun ada konstitusi yang kuat, implementasinya masih lemah karena faktor korupsi, birokrasi, atau politik kepentingan.
- Independensi Peradilan: Meskipun Mahkamah Konstitusi memiliki peran penting, independensi peradilan secara keseluruhan (termasuk Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya) masih sering diuji oleh intervensi atau tekanan.
- Kualitas Legislasi: Pembuatan undang-undang yang tergesa-gesa atau kurang partisipatif seringkali menghasilkan produk hukum yang tumpang tindih atau bahkan berpotensi inkonstitusional.
- Pendidikan Konstitusi: Pemahaman masyarakat yang belum merata tentang hak dan kewajiban konstitusionalnya dapat menghambat partisipasi aktif dalam menjaga konstitusionalisme.
- Politik Identitas dan Polarisasi: Seperti di banyak negara, politik identitas dan polarisasi dapat mengancam konsensus konstitusional dan memperlemah institusi demokrasi.
Kesimpulan: Masa Depan Konstitusionalisme
Konstitusionalisme adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir. Ia adalah upaya berkelanjutan untuk menciptakan dan mempertahankan sebuah tatanan politik di mana kekuasaan dibatasi, hukum berkuasa, dan hak-hak individu dihormati. Dari akar sejarah yang panjang, melalui era revolusi dan pencerahan, hingga perkembangannya di dunia modern, prinsip-prinsip inti konstitusionalisme—supremasi konstitusi, pembatasan kekuasaan, pemisahan kekuasaan, perlindungan HAM, dan negara hukum—tetap relevan dan krusial.
Di Indonesia, UUD 1945 dan Pancasila menyediakan fondasi yang kokoh bagi konstitusionalisme, yang telah diperkuat secara signifikan melalui amandemen pasca-Reformasi dan pembentukan Mahkamah Konstitusi. Namun, tantangan seperti populisme, polarisasi, dan isu-isu implementasi terus menguji ketahanan sistem ini.
Masa depan konstitusionalisme akan sangat bergantung pada komitmen kolektif, baik dari para pemimpin politik maupun dari warga negara. Ia membutuhkan kesadaran kritis terhadap ancaman yang muncul, dukungan terhadap lembaga-lembaga yang menegakkan konstitusi, serta partisipasi aktif dalam menjaga integritas prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Melestarikan konstitusionalisme berarti secara terus-menerus menegaskan bahwa kekuasaan, dalam bentuk apa pun, harus bertanggung jawab, dan bahwa martabat serta kebebasan setiap individu adalah nilai yang tidak dapat dinegosiasikan. Hanya dengan demikian, negara hukum yang adil dan demokratis dapat terus berkembang dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.