Kifayah: Memahami Kewajiban dan Kebutuhan dalam Islam
Dalam khazanah keilmuan Islam, konsep “kifayah” memegang peranan sentral yang membentuk struktur kewajiban individu dan kolektif, sekaligus mendefinisikan batasan kecukupan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kata “kifayah” sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti “kecukupan” atau “memadai”. Namun, dalam diskursus fikih dan sosial-ekonomi Islam, maknanya berkembang menjadi dua dimensi utama yang saling melengkapi: pertama, “fardhu kifayah” yang merujuk pada kewajiban kolektif umat, dan kedua, “kebutuhan kifayah” yang berkaitan dengan standar hidup minimal yang layak bagi setiap individu. Memahami kedua dimensi ini secara komprehensif adalah kunci untuk merajut tatanan masyarakat Islam yang adil, sejahtera, dan bertanggung jawab.
Kifayah bukan sekadar terminologi teknis; ia adalah cerminan dari filosofi Islam yang mendalam mengenai tanggung jawab sosial, keadilan distributif, dan keseimbangan antara hak individu dan kewajiban komunal. Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak hanya mengatur hubungan vertikal antara hamba dan Penciptanya, tetapi juga hubungan horizontal antar sesama manusia dan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Dengan menelusuri akar-akar etimologis, dasar-dasar syariat, hingga implementasinya dalam kehidupan modern, kita dapat mengapresiasi bagaimana kifayah menjadi pilar penting dalam mewujudkan cita-cita Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
Bagian 1: Kifayah dalam Konteks Fiqh – Fardhu Kifayah
Fardhu kifayah adalah salah satu jenis kewajiban dalam Islam yang membedakannya dari fardhu ain. Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada sifat pelaksananya dan implikasi hukumnya. Jika fardhu ain adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap individu Muslim mukallaf (contoh: salat lima waktu, puasa Ramadan), maka fardhu kifayah adalah kewajiban yang jika telah dilaksanakan oleh sebagian dari umat Islam, maka gugurlah kewajiban tersebut bagi Muslim lainnya. Namun, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh umat Islam di wilayah tersebut berdosa.
Definisi dan Batasan Fardhu Kifayah
Secara etimologi, “fardhu” berarti ketentuan atau kewajiban, sedangkan “kifayah” berarti kecukupan. Jadi, fardhu kifayah secara harfiah dapat diartikan sebagai “kewajiban yang mencukupi”. Dalam terminologi syariat, Imam Nawawi mendefinisikan fardhu kifayah sebagai: “Perkara yang dituntut pelaksanaannya secara wajib, dan apabila sebagian orang telah melaksanakannya, maka gugurlah tuntutan tersebut dari yang lain, namun jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka semua yang berkemampuan akan berdosa.”
Penting untuk dicatat bahwa dosa yang ditanggung oleh seluruh umat jika fardhu kifayah tidak dilaksanakan adalah dosa kolektif. Ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang tanggung jawab sosial dan kebutuhan akan keberadaan fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat. Fardhu kifayah adalah mekanisme syariat untuk memastikan kelangsungan hidup umat dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan esensial yang tidak mungkin ditanggung oleh individu semata.
Perbedaan Mendasar dengan Fardhu Ain
Memahami perbedaan antara fardhu kifayah dan fardhu ain sangat krusial untuk menghindari kekeliruan dalam praktik ibadah dan muamalah. Tabel berikut menyajikan perbandingan singkat:
- Fardhu Ain: Kewajiban individu, setiap Muslim wajib melaksanakannya, tidak bisa diwakilkan, dosa ditanggung individu jika tidak melaksanakan. Contoh: salat, puasa, zakat (bagi yang mampu), haji (bagi yang mampu).
- Fardhu Kifayah: Kewajiban kolektif, gugur jika sebagian umat telah melaksanakannya, dosa ditanggung kolektif jika tidak ada yang melaksanakan. Contoh: mengurus jenazah, adzan, menuntut ilmu kedokteran, mendirikan negara.
Perbedaan ini menegaskan bahwa Islam memiliki struktur kewajiban yang berlapis, mengakui peran individu sekaligus pentingnya kerjasama dan pembagian tugas dalam masyarakat.
Contoh-contoh Fardhu Kifayah Klasik dan Kontemporer
Fardhu kifayah mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari ibadah hingga urusan sosial dan profesional. Beberapa contoh klasik yang sering disebut dalam kitab-kitab fikih adalah:
- Mengurus Jenazah: Ini adalah salah satu contoh fardhu kifayah yang paling sering disebutkan. Meliputi memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan jenazah seorang Muslim. Jika sebagian orang telah melaksanakannya, maka gugur kewajiban bagi yang lain. Namun, jika tidak ada yang mengurus, seluruh umat Islam di daerah tersebut berdosa. Ini menunjukkan pentingnya penghormatan terakhir bagi sesama Muslim.
- Menuntut Ilmu Syar'i (Spesialisasi): Meskipun menuntut ilmu agama dasar adalah fardhu ain bagi setiap Muslim, mendalami ilmu agama hingga menjadi ulama, fuqaha, muhadditsin, atau mufassirin adalah fardhu kifayah. Masyarakat membutuhkan para ahli di bidang ini untuk membimbing dan memberikan fatwa. Tanpa mereka, umat akan tersesat.
- Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar: Kewajiban menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran pada level umum (yaitu dengan tangan, lisan, atau kekuasaan) adalah fardhu kifayah. Jika ada sekelompok orang atau lembaga yang secara khusus menangani masalah ini, maka gugur kewajiban bagi yang lain, namun jika tidak ada, semua berdosa.
- Membela Negara (Jihad Defensif): Jika ada serangan terhadap negeri Muslim, maka kewajiban untuk membela diri menjadi fardhu kifayah. Jika pasukan yang cukup telah dibentuk dan berhasil mempertahankan diri, maka gugur kewajiban bagi yang lain. Namun, jika jumlah pasukan yang ada tidak mencukupi, maka kewajiban ini dapat bergeser menjadi fardhu ain bagi setiap individu yang mampu hingga ancaman tersebut teratasi.
- Adzan: Mengumandangkan adzan sebagai tanda masuk waktu salat di setiap wilayah Muslim adalah fardhu kifayah.
Selain contoh-contoh klasik tersebut, seiring perkembangan zaman, banyak profesi dan keahlian yang dapat dikategorikan sebagai fardhu kifayah. Ini adalah penyesuaian yang vital untuk menjaga relevansi Islam dalam setiap era. Contoh-contoh kontemporer meliputi:
- Profesi Medis (Dokter, Perawat, dll.): Masyarakat membutuhkan ahli kesehatan untuk menjaga jiwa dan raga. Jika suatu komunitas tidak memiliki dokter atau tenaga medis yang memadai, maka seluruh komunitas tersebut berdosa karena melalaikan kebutuhan vital.
- Insinyur dan Ahli Teknologi: Untuk membangun infrastruktur yang layak, mengembangkan teknologi yang bermanfaat, dan memenuhi kebutuhan modern masyarakat, kehadiran insinyur, ilmuwan, dan ahli teknologi menjadi fardhu kifayah.
- Petani dan Penyedia Pangan: Ketersediaan pangan yang cukup dan berkualitas adalah kebutuhan dasar. Oleh karena itu, profesi di bidang pertanian, peternakan, dan distribusi pangan adalah fardhu kifayah.
- Ahli Ekonomi dan Manajemen: Untuk mengelola sumber daya, mengembangkan sistem ekonomi yang adil, dan memastikan distribusi kekayaan yang merata, dibutuhkan ahli ekonomi dan manajemen yang kompeten.
- Pengacara dan Ahli Hukum: Untuk menegakkan keadilan, melindungi hak-hak individu, dan memastikan penegakan hukum yang syar'i, kehadiran pengacara dan ahli hukum yang berintegritas adalah fardhu kifayah.
- Pendidik dan Guru: Selain ulama, guru di berbagai disiplin ilmu juga memegang peran fardhu kifayah untuk mencerdaskan umat dan menyiapkan generasi penerus.
Prinsip umum dalam mengidentifikasi fardhu kifayah kontemporer adalah: setiap ilmu, keahlian, atau profesi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk menjaga keberlangsungan hidup, kemaslahatan umum, dan penegakan syariat, dan jika tidak ada yang melaksanakannya akan menimbulkan kesulitan atau kerusakan bagi umat, maka ia tergolong fardhu kifayah. Ini mendorong umat Islam untuk berinovasi dan mengisi semua lini kehidupan dengan keahlian yang bermanfaat.
Implikasi dan Konsekuensi Pelaksanaan Fardhu Kifayah
Implikasi dari konsep fardhu kifayah sangatlah besar bagi pembentukan masyarakat Muslim yang berfungsi. Pertama, ia mendorong spesialisasi dan pembagian kerja. Tidak setiap orang harus menjadi ulama atau dokter, tetapi harus ada yang menjadi ulama dan dokter. Ini menciptakan keberagaman peran dan saling ketergantungan yang sehat dalam masyarakat.
Kedua, fardhu kifayah menumbuhkan rasa tanggung jawab kolektif. Tidak ada ruang untuk sikap apatis atau menyerahkan semua urusan kepada orang lain. Setiap individu didorong untuk bertanya: "Apakah saya memiliki kemampuan untuk berkontribusi dalam memenuhi fardhu kifayah ini?" atau "Apakah ada cukup orang yang melaksanakan kewajiban ini sehingga gugur dari kami semua?" Jika jawabannya tidak, maka individu memiliki tanggung jawab moral dan agama untuk mengambil inisiatif.
Ketiga, konsep ini menjadi dasar legitimasi bagi institusi dan organisasi sosial dalam Islam. Lembaga pendidikan, rumah sakit, lembaga penegak hukum, dan bahkan lembaga pertahanan negara dapat dipandang sebagai manifestasi dari upaya kolektif umat untuk memenuhi fardhu kifayah. Negara Islam, misalnya, memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa ada cukup sumber daya manusia dan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan fardhu kifayah bagi rakyatnya.
Konsekuensi jika fardhu kifayah tidak dilaksanakan adalah dosa yang menimpa seluruh umat yang mampu dan tidak mengambil langkah untuk memenuhinya. Dosa ini bukan hanya pada tingkat individu, melainkan dosa komunal yang dapat membawa dampak buruk bagi seluruh masyarakat, baik di dunia maupun di akhirat. Misalnya, jika sebuah komunitas tidak memiliki tenaga medis yang memadai dan banyak warganya meninggal karena penyakit yang sebenarnya bisa diobati, maka seluruh komunitas tersebut menanggung dosa kelalaian ini.
Oleh karena itu, fardhu kifayah adalah panggilan bagi umat untuk tidak hanya berfokus pada ibadah ritual pribadi, tetapi juga untuk aktif berkontribusi dalam membangun dan menjaga kemaslahatan umum. Ia adalah fondasi bagi peradaban Islam yang maju, yang mampu memenuhi semua kebutuhan internalnya dan memberikan manfaat bagi seluruh kemanusiaan.
Bagian 2: Kifayah dalam Konteks Ekonomi dan Sosial – Kebutuhan Kifayah
Selain sebagai kewajiban kolektif (fardhu kifayah), istilah "kifayah" juga digunakan untuk merujuk pada standar kecukupan atau kebutuhan dasar yang harus terpenuhi bagi setiap individu. Ini sering disebut sebagai "kebutuhan kifayah" atau "tingkat kifayah", yang merupakan batasan minimal hidup layak yang dijamin dalam Islam. Konsep ini menjadi landasan penting dalam ekonomi Islam, sistem jaminan sosial, dan kebijakan distributif kekayaan.
Definisi Kebutuhan Kifayah: Standar Hidup Layak
Kebutuhan kifayah adalah suatu tingkat kecukupan dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidup, sehingga seseorang dapat menjalankan kehidupannya dengan layak, bermartabat, dan mampu menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya tanpa terbebani oleh kesulitan ekonomi yang ekstrem. Ini bukan sekadar bertahan hidup (subsistence level), melainkan hidup yang memungkinkan individu untuk berkembang, menjaga kehormatan, dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat.
Imam al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin, menyatakan bahwa seorang Muslim harus memiliki kecukupan (kifayah) untuk dirinya dan keluarganya, sehingga ia tidak perlu meminta-minta dan dapat menjaga kehormatannya. Tingkat kifayah ini berbeda-beda tergantung pada konteks zaman, tempat, dan kondisi individu, namun prinsip dasarnya tetap sama: menjamin kehidupan yang bermartabat.
Dasar-dasar dalam Islam untuk Kebutuhan Kifayah
Konsep kebutuhan kifayah memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Beberapa di antaranya adalah:
- Ayat-ayat Al-Qur'an tentang Nafkah: Banyak ayat yang menekankan kewajiban menafkahi keluarga, seperti firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 233, "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf." Kata "ma'ruf" di sini menyiratkan standar yang layak dan sesuai kebiasaan yang baik, bukan sekadar minimalis.
- Hadits tentang Zakat dan Sedekah: Zakat adalah instrumen utama dalam Islam untuk redistribusi kekayaan. Salah satu tujuan zakat adalah untuk mencukupi kebutuhan fakir miskin. Nabi ﷺ bersabda, "Ambillah sedekah (zakat) dari orang-orang kaya mereka dan kembalikanlah kepada orang-orang fakir mereka." Ini menunjukkan komitmen Islam untuk memastikan bahwa tidak ada yang hidup dalam kekurangan ekstrem.
- Konsep Keadilan Sosial: Islam sangat menekankan keadilan sosial (`adl) dan ihsan (berbuat baik). Membiarkan sebagian masyarakat hidup dalam kemiskinan dan kelaparan sementara sebagian lain bergelimang harta adalah bentuk ketidakadilan yang dilarang.
- Larangan Meminta-minta: Islam sangat menganjurkan untuk menjaga kehormatan diri dan menghindari meminta-minta, kecuali dalam keadaan darurat yang sangat terpaksa. Ini secara implisit menuntut adanya sistem yang menjamin kebutuhan dasar setiap orang agar tidak terpaksa mengemis.
Elemen-elemen Kebutuhan Kifayah
Para ulama telah mengidentifikasi beberapa elemen dasar yang termasuk dalam kebutuhan kifayah, yang jika terpenuhi, seorang individu dapat dianggap telah mencapai tingkat kecukupan:
- Makanan (Gizi Cukup): Makanan yang halal, thayyib (baik), dan cukup gizi untuk menjaga kesehatan tubuh dan energi untuk beribadah serta bekerja. Ini bukan hanya sekadar untuk kenyang, tetapi juga untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
- Pakaian (Layak dan Menutup Aurat): Pakaian yang layak, bersih, menutup aurat, dan sesuai dengan iklim setempat untuk melindungi diri dari panas dan dingin. Ini juga mencakup pakaian yang pantas untuk berinteraksi sosial dan beribadah.
- Tempat Tinggal (Aman dan Layak): Hunian yang aman, nyaman, dan layak huni, yang memberikan privasi dan perlindungan dari cuaca serta bahaya. Ini bukan sekadar atap di atas kepala, melainkan tempat yang mendukung kehidupan berkeluarga dan spiritual.
- Pendidikan (Ilmu Agama dan Dunia): Akses terhadap pendidikan yang memadai, baik ilmu agama untuk memahami ajaran Islam maupun ilmu dunia untuk mengembangkan potensi diri dan mencari nafkah. Pendidikan adalah kunci untuk mobilitas sosial dan spiritual.
- Kesehatan (Akses Layanan Medis): Akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas untuk menjaga kesehatan fisik dan mental, serta pengobatan ketika sakit. Ini mencakup pencegahan dan pengobatan.
- Keamanan (Dari Ancaman): Rasa aman dari ancaman fisik, harta, dan kehormatan. Masyarakat harus dilindungi dari kejahatan, ketidakadilan, dan konflik.
- Transportasi (Dasar): Sarana transportasi dasar yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti pergi bekerja, belajar, atau berobat.
- Pernikahan (Bagi yang Mampu): Dalam kondisi tertentu, kemampuan untuk menikah dan membangun keluarga juga dapat dikategorikan sebagai kebutuhan kifayah, mengingat pentingnya menjaga keturunan dan kehormatan dalam Islam.
Penting untuk dicatat bahwa tingkat kifayah ini bersifat dinamis. Apa yang dianggap "layak" pada satu masa atau tempat bisa berbeda di masa atau tempat lain. Misalnya, di daerah perkotaan, kebutuhan transportasi mungkin lebih mendesak daripada di pedesaan. Oleh karena itu, penentuan standar kifayah memerlukan ijtihad dan kebijaksanaan yang mempertimbangkan konteks lokal dan global.
Peran Negara dan Masyarakat dalam Menjamin Kifayah
Islam tidak menyerahkan pemenuhan kebutuhan kifayah sepenuhnya kepada individu semata, melainkan menempatkan tanggung jawab kolektif pada negara dan masyarakat. Ini menunjukkan visi Islam tentang negara sebagai pelayan rakyat, bukan hanya penguasa.
- Sistem Zakat, Infaq, Sedekah, dan Wakaf (ZISWAF): Ini adalah pilar utama dalam ekonomi Islam untuk menjamin kebutuhan kifayah. Zakat adalah kewajiban wajib bagi Muslim kaya untuk membantu Muslim miskin. Infaq dan sedekah adalah sumbangan sukarela yang sangat dianjurkan. Wakaf, sebagai aset abadi, juga dapat digunakan untuk membiayai fasilitas publik seperti rumah sakit, sekolah, atau menyediakan layanan dasar bagi masyarakat.
- Jaminan Sosial Islam: Negara atau komunitas memiliki kewajiban untuk mendirikan sistem jaminan sosial yang memastikan bahwa tidak ada anggota masyarakat yang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya. Ini bisa berbentuk tunjangan bagi fakir miskin, jaminan pekerjaan, atau asuransi sosial yang sesuai syariah.
- Kebijakan Ekonomi yang Adil: Pemerintah harus menerapkan kebijakan ekonomi yang adil, mencegah penumpukan kekayaan pada segelintir orang, mendorong distribusi kekayaan yang merata, dan menciptakan peluang kerja yang setara. Ini mencakup regulasi pasar, pencegahan monopoli, dan penegakan keadilan dalam transaksi.
- Tanggung Jawab Individu: Meskipun ada peran negara dan masyarakat, setiap individu juga memiliki tanggung jawab untuk berusaha mencari nafkah yang halal dan mencukupi kebutuhan dirinya serta keluarganya. Kemalasan atau sikap bergantung sepenuhnya kepada orang lain tanpa usaha adalah tidak dianjurkan.
Dengan demikian, konsep kebutuhan kifayah membentuk dasar etika dan kebijakan ekonomi Islam yang berorientasi pada kesejahteraan umat secara menyeluruh, bukan hanya pertumbuhan ekonomi semata.
Membandingkan Kebutuhan Kifayah dengan Konsep Modern
Kebutuhan kifayah memiliki kemiripan dengan konsep "basic needs" (kebutuhan dasar) atau "poverty line" (garis kemiskinan) dalam ekonomi modern, tetapi juga memiliki perbedaan fundamental. Konsep modern cenderung fokus pada aspek materi dan seringkali ditentukan berdasarkan statistik ekonomi semata.
Perbedaannya adalah:
- Dimensi Spiritual dan Moral: Kifayah dalam Islam tidak hanya mencakup kebutuhan materi, tetapi juga spiritual dan moral. Misalnya, pendidikan agama atau kemampuan beribadah dengan tenang adalah bagian integral dari hidup yang layak dalam perspektif Islam. Konsep "basic needs" modern seringkali mengabaikan aspek ini.
- Kualitas vs. Kuantitas Minimum: Kifayah menekankan "kecukupan" dan "kelayakan" (`ma'ruf`), bukan hanya kuantitas minimum untuk bertahan hidup. Makanan harus thayyib (baik), tempat tinggal harus layak, pakaian harus pantas, bukan sekadar memenuhi syarat minimal.
- Tanggung Jawab Kolektif: Islam menempatkan tanggung jawab yang lebih besar pada negara dan masyarakat untuk menjamin pemenuhan kebutuhan kifayah, bukan hanya melalui mekanisme pasar.
- Dinamisme: Sementara "garis kemiskinan" seringkali statis atau lambat berubah, konsep kifayah secara inheren mengakui bahwa standar kecukupan dapat berubah seiring waktu dan tempat, menuntut penyesuaian yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, kebutuhan kifayah adalah konsep yang lebih holistik dan komprehensif, mencerminkan pandangan Islam tentang kehidupan yang seimbang antara dunia dan akhirat, individu dan masyarakat.
Bagian 3: Dimensi Etika dan Filosofis Kifayah
Lebih dari sekadar ketentuan hukum, konsep kifayah merangkum etika dan filosofi mendalam yang menjadi landasan bagi tatanan sosial Islam. Ia bukan hanya tentang apa yang harus dilakukan, tetapi juga mengapa itu harus dilakukan, dan dampak apa yang ingin dicapai dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Kifayah sebagai Landasan Keadilan Sosial dalam Islam
Keadilan sosial (`al-adl al-ijtima'i`) adalah salah satu tujuan fundamental syariat (maqashid syariah). Konsep kifayah, baik fardhu kifayah maupun kebutuhan kifayah, secara langsung berkontribusi pada pencapaian keadilan ini.
- Fardhu Kifayah: Memastikan bahwa fungsi-fungsi esensial bagi kelangsungan hidup masyarakat terpenuhi, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Tanpa adanya fungsi-fungsi ini, masyarakat akan pincang dan keadilan sulit ditegakkan. Misalnya, tanpa sistem hukum yang berfungsi (sebuah fardhu kifayah), keadilan dalam sengketa tidak akan tercapai.
- Kebutuhan Kifayah: Menjamin bahwa setiap individu memiliki akses terhadap kebutuhan dasar yang layak. Ini adalah bentuk keadilan distributif, di mana kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang kaya, tetapi juga menjangkau mereka yang membutuhkan. Jika setiap orang merasa aman, sehat, berpendidikan, dan memiliki tempat tinggal, maka fondasi keadilan sosial telah dibangun.
Islam menolak kesenjangan ekonomi yang ekstrem dan kemiskinan struktural. Kifayah adalah salah satu alat syariat untuk memerangi ketidakadilan tersebut, dengan mewajibkan yang mampu untuk membantu yang kurang mampu, dan menugaskan masyarakat secara keseluruhan untuk memastikan tidak ada yang tertinggal dalam pemenuhan kebutuhan dasar.
Hubungan antara Kifayah dan Maqashid Syariah
Maqashid syariah, atau tujuan-tujuan syariat, adalah inti dari hukum Islam yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan (kebaikan) dan menolak mafsadah (kerusakan) bagi manusia. Lima maqashid utama adalah menjaga agama (hifzh al-din), jiwa (hifzh al-nafs), akal (hifzh al-aql), keturunan (hifzh al-nasl), dan harta (hifzh al-mal).
Konsep kifayah sangat erat kaitannya dengan kelima maqashid ini:
- Menjaga Agama (Hifzh al-Din): Fardhu kifayah seperti adanya ulama, da'i, dan pendidik agama memastikan kelangsungan pengetahuan Islam. Kebutuhan kifayah yang terpenuhi memungkinkan individu beribadah dengan tenang tanpa terbebani oleh kesulitan hidup.
- Menjaga Jiwa (Hifzh al-Nafs): Fardhu kifayah berupa tenaga medis, pertahanan negara, dan penyedia pangan secara langsung melindungi jiwa. Kebutuhan kifayah seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan adalah esensial untuk menjaga kelangsungan hidup dan kesehatan fisik.
- Menjaga Akal (Hifzh al-Aql): Fardhu kifayah dalam bidang pendidikan dan penelitian ilmu pengetahuan (baik agama maupun dunia) penting untuk pengembangan akal. Kebutuhan kifayah berupa akses pendidikan memastikan akal manusia dapat berkembang optimal.
- Menjaga Keturunan (Hifzh al-Nasl): Fardhu kifayah seperti adanya sistem pernikahan yang sehat dan perlindungan anak penting untuk keberlangsungan keturunan. Kebutuhan kifayah yang terpenuhi bagi keluarga memungkinkan mereka mendidik anak-anak dengan baik.
- Menjaga Harta (Hifzh al-Mal): Fardhu kifayah seperti adanya ahli ekonomi yang adil dan sistem peradilan yang melindungi hak milik membantu menjaga harta. Kebutuhan kifayah yang terpenuhi mencegah orang dari tindak kejahatan karena kemiskinan dan mendorong pemerataan ekonomi.
Dengan demikian, kifayah bukan sekadar peraturan, melainkan sebuah kerangka kerja yang komprehensif untuk mencapai tujuan-tujuan luhur syariat, yaitu kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat.
Kifayah sebagai Pendorong Solidaritas dan Tanggung Jawab Kolektif
Salah satu aspek filosofis paling indah dari kifayah adalah kemampuannya untuk menumbuhkan solidaritas (ukhuwah) dan tanggung jawab kolektif dalam masyarakat Muslim. Ia memecah egoisme individu dan menggeser fokus dari "saya" menjadi "kita".
Fardhu kifayah secara eksplisit menyatakan bahwa kesejahteraan suatu komunitas adalah tanggung jawab bersama. Jika sebagian orang tidak mampu memenuhi kebutuhannya atau tidak ada yang melaksanakan fungsi vital, itu adalah masalah bagi seluruh komunitas. Ini mendorong individu untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga kesejahteraan orang lain.
Kifayah mengajarkan bahwa kekuatan umat terletak pada persatuan dan saling bantu-membantu. Seorang Muslim tidak dapat hidup sepenuhnya sebagai individu yang terpisah; ia adalah bagian dari sebuah organisme yang lebih besar, yaitu umat Islam. Dengan adanya kifayah, setiap anggota masyarakat, baik yang kaya maupun yang miskin, yang kuat maupun yang lemah, memiliki peran dan nilai dalam tatanan sosial.
Konsep ini juga menumbuhkan empati dan kasih sayang. Ketika seorang Muslim memahami bahwa kelaparan tetangganya atau kurangnya pendidikan di masyarakat adalah tanggung jawabnya juga (dalam konteks fardhu kifayah atau jaminan kebutuhan kifayah), maka ia akan terdorong untuk bertindak, bukan karena paksaan, melainkan karena kesadaran akan ikatan persaudaraan seiman.
Bahaya Melalaikan Kifayah
Melalaikan kifayah, baik fardhu kifayah maupun kebutuhan kifayah, memiliki konsekuensi yang serius, baik bagi individu maupun masyarakat secara keseluruhan.
Jika fardhu kifayah diabaikan, masyarakat akan kehilangan fungsi-fungsi vital. Contohnya, jika tidak ada cukup dokter, kesehatan masyarakat akan menurun. Jika tidak ada ulama yang mumpuni, umat akan mudah tersesat dalam memahami agama. Jika tidak ada yang melindungi negara, maka kedaulatan akan terancam. Ini akan menyebabkan kerusakan (`fasad`) di bumi, yang dilarang dalam Islam.
Demikian pula, jika kebutuhan kifayah tidak terpenuhi bagi sebagian besar masyarakat, maka akan timbul berbagai masalah sosial:
- Kemiskinan Ekstrem: Menyebabkan kelaparan, penyakit, dan kematian yang tidak perlu.
- Kesenjangan Sosial: Menimbulkan rasa iri, dengki, dan bahkan potensi konflik sosial.
- Kejahatan: Orang yang terdesak kebutuhan seringkali tergoda untuk melakukan kejahatan demi bertahan hidup.
- Degradasi Moral: Kemiskinan dapat merusak moral dan martabat individu, memaksa mereka pada pilihan-pilihan yang tidak etis.
- Kelemahan Umat: Umat yang lemah karena kemiskinan dan kebodohan akan mudah ditindas dan kehilangan kemampuannya untuk bersaing di panggung dunia.
Oleh karena itu, Islam memandang pemenuhan kifayah sebagai kewajiban yang sangat penting, bukan hanya untuk kesejahteraan duniawi, tetapi juga untuk keselamatan ukhrawi. Ia adalah cerminan dari prinsip "tiada keimanan sempurna jika tetangga masih kelaparan" dan "sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya".
Bagian 4: Tantangan dan Implementasi Kifayah di Era Kontemporer
Meskipun prinsip kifayah telah ada sejak zaman Nabi, implementasinya di era kontemporer menghadapi tantangan yang kompleks dan membutuhkan pemikiran ulang yang inovatif. Globalisasi, kemajuan teknologi, perubahan sosial, dan struktur ekonomi modern menghadirkan konteks yang berbeda dari masa lampau.
Tantangan Globalisasi, Kemiskinan, dan Kesenjangan Ekonomi
Dunia modern dicirikan oleh saling ketergantungan global, tetapi pada saat yang sama, juga oleh kemiskinan yang persisten dan kesenjangan ekonomi yang melebar. Tantangan-tantangan ini secara langsung mempengaruhi implementasi kifayah:
- Globalisasi dan Kompleksitas Ekonomi: Ekonomi global seringkali menciptakan kondisi di mana sumber daya terkonsentrasi di tangan segelintir korporasi atau negara, sementara negara-negara berkembang berjuang memenuhi kebutuhan dasar warganya. Konsep fardhu kifayah untuk menyediakan pangan, energi, dan teknologi menjadi lebih kompleks karena faktor-faktor global.
- Kemiskinan Multidimensi: Kemiskinan di era modern bukan hanya kekurangan uang, tetapi juga kekurangan akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, air bersih, sanitasi, dan informasi. Ini menuntut pendekatan yang lebih holistik dalam memenuhi kebutuhan kifayah.
- Kesenjangan Digital: Akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi (ICT) kini menjadi kebutuhan vital. Kesenjangan digital dapat memperparah kesenjangan ekonomi dan sosial, sehingga akses internet dan literasi digital dapat dianggap sebagai bagian dari kebutuhan kifayah di era ini.
- Perubahan Iklim dan Bencana Alam: Ancaman lingkungan seperti perubahan iklim dan bencana alam seringkali paling berdampak pada kelompok rentan, memperparah kemiskinan dan mempersulit pemenuhan kebutuhan kifayah. Fardhu kifayah untuk menjaga lingkungan menjadi sangat relevan.
Menghadapi tantangan ini, umat Islam perlu mengadaptasi pemahaman dan strategi implementasi kifayah agar tetap relevan dan efektif.
Fardhu Kifayah dalam Profesi Modern
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, banyak profesi modern yang dapat dikategorikan sebagai fardhu kifayah. Namun, tantangannya adalah bagaimana mengidentifikasi dan mendorong umat Islam untuk mengambil peran-peran ini. Beberapa bidang profesi yang relevan di antaranya:
- Ilmuwan dan Peneliti: Dibutuhkan ilmuwan Muslim yang unggul dalam sains, teknologi, rekayasa, dan matematika (STEM) untuk mengembangkan solusi bagi masalah umat, seperti energi terbarukan, pengobatan penyakit, atau teknologi pangan. Ini adalah fardhu kifayah keilmuan modern.
- Ahli Lingkungan: Dengan krisis lingkungan yang semakin nyata, ahli lingkungan Muslim yang mampu merumuskan solusi berkelanjutan dan menerapkan prinsip-prinsip Islam tentang kelestarian alam menjadi fardhu kifayah yang mendesak.
- Diplomat dan Negosiator: Dalam dunia yang saling terhubung, dibutuhkan diplomat Muslim yang cakap untuk mewakili kepentingan umat, membangun jembatan perdamaian, dan mencegah konflik. Ini adalah fardhu kifayah politik.
- Ahli Media dan Komunikasi: Untuk melawan narasi negatif tentang Islam dan menyebarkan pesan kebaikan, dibutuhkan ahli media, jurnalis, dan pembuat konten Muslim yang profesional dan berintegritas.
- Pekerja Sosial dan Relawan Kemanusiaan: Dengan banyaknya konflik dan bencana, peran pekerja sosial dan relawan dalam membantu mereka yang membutuhkan sangatlah penting, mencerminkan fardhu kifayah dalam layanan sosial.
Masyarakat Muslim harus mendorong anak-anak muda untuk tidak hanya berprofesi yang "aman" tetapi juga yang "strategis" dan memenuhi kebutuhan kolektif umat, dengan memberikan dukungan pendidikan dan apresiasi yang layak.
Bagaimana Kebutuhan Kifayah Diwujudkan dalam Ekonomi Modern
Mewujudkan kebutuhan kifayah dalam ekonomi modern yang kompleks memerlukan pendekatan multi-sektoral dan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil.
- Sistem Zakat dan Wakaf yang Efektif: Optimalisasi pengelolaan zakat dan wakaf agar dapat mencapai target yang lebih luas dan efisien. Teknologi dapat digunakan untuk mempermudah pengumpulan dan distribusi dana ZISWAF. Wakaf produktif, misalnya, dapat digunakan untuk membangun rumah sakit atau sekolah yang terjangkau.
- Ekonomi Syariah dan Keuangan Inklusif: Mengembangkan sektor ekonomi syariah yang kuat, termasuk perbankan syariah, asuransi syariah (takaful), dan pasar modal syariah, untuk menyediakan akses keuangan yang adil dan inklusif bagi semua lapisan masyarakat, terutama yang terpinggirkan.
- Pemberdayaan Ekonomi Mikro dan UKM: Mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui pembiayaan syariah tanpa riba, pelatihan, dan akses pasar. UMKM adalah tulang punggung perekonomian banyak negara dan dapat menjadi motor penggerak untuk meningkatkan kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan kifayah.
- Kebijakan Publik yang Pro-Rakyat: Pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang menjamin akses terhadap pendidikan, kesehatan, perumahan layak, dan infrastruktur dasar bagi seluruh warga negara, terlepas dari status ekonomi mereka. Subsidi yang tepat sasaran dan program jaminan sosial yang komprehensif adalah bagian dari ini.
- Peran Filantropi Islam: Mendorong individu dan organisasi kaya untuk aktif dalam filantropi Islam, tidak hanya zakat wajib, tetapi juga sedekah, infaq, dan wakaf yang dapat menopang program-program pemenuhan kebutuhan kifayah secara berkelanjutan.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, diharapkan masyarakat Muslim dapat menciptakan sebuah sistem yang lebih adil dan memastikan bahwa kebutuhan dasar setiap individu terpenuhi, sehingga mereka dapat hidup bermartabat dan berkontribusi secara penuh kepada masyarakat.
Peran Individu, Organisasi Nirlaba, dan Pemerintah dalam Mewujudkan Kifayah
Pencapaian kifayah yang komprehensif membutuhkan sinergi dari berbagai pihak:
- Individu: Setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk berusaha mencukupi diri dan keluarganya dengan cara yang halal. Bagi yang mampu, ada kewajiban zakat, infaq, sedekah, dan wakaf. Selain itu, individu juga didorong untuk mengembangkan keahlian yang bermanfaat bagi umat (fardhu kifayah) dan aktif berpartisipasi dalam upaya-upaya sosial.
- Organisasi Nirlaba (NGO) dan Lembaga Sosial Islam: Organisasi seperti lembaga amil zakat, lembaga wakaf, dan berbagai NGO kemanusiaan memainkan peran krusial dalam mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, mengumpulkan dana, dan mendistribusikan bantuan secara efisien. Mereka juga bisa menjadi agen penting dalam program pemberdayaan dan pendidikan.
- Pemerintah: Pemerintah, khususnya dalam negara-negara mayoritas Muslim, memiliki tanggung jawab terbesar untuk menciptakan kerangka kerja hukum dan ekonomi yang mendukung pemenuhan kifayah. Ini mencakup regulasi, kebijakan fiskal, investasi di sektor publik (pendidikan, kesehatan, infrastruktur), serta memastikan keamanan dan penegakan hukum yang adil. Pemerintah juga harus menjadi fasilitator bagi inisiatif masyarakat dan sektor swasta dalam mewujudkan kifayah.
Ketika ketiga pilar ini bekerja sama dengan efektif, maka cita-cita kifayah sebagai landasan bagi keadilan, kesejahteraan, dan kemuliaan umat Islam dapat terwujud secara nyata. Ini adalah tantangan yang membutuhkan komitmen jangka panjang, inovasi, dan kerja keras, namun hasilnya adalah masyarakat yang kuat, adil, dan berakhlak mulia.
Kesimpulan
Kifayah, dalam dua dimensinya sebagai fardhu kifayah (kewajiban kolektif) dan kebutuhan kifayah (standar kecukupan hidup), merupakan salah satu pilar fundamental dalam ajaran Islam yang menggariskan visi tentang masyarakat yang adil, sejahtera, dan bertanggung jawab. Lebih dari sekadar konsep teoritis, kifayah adalah peta jalan praktis bagi umat Islam untuk membangun peradaban yang berlandaskan kasih sayang, solidaritas, dan kepedulian terhadap sesama.
Fardhu kifayah mengajarkan kita pentingnya spesialisasi dan pembagian tugas dalam masyarakat. Ia memastikan bahwa semua fungsi esensial bagi kelangsungan hidup umat – mulai dari mengurus jenazah hingga mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi – tidak terabaikan. Jika setiap Muslim menyadari perannya dalam mengisi salah satu ruang fardhu kifayah, maka umat akan menjadi mandiri, kuat, dan mampu menghadapi berbagai tantangan zaman.
Sementara itu, kebutuhan kifayah menegaskan hak fundamental setiap individu untuk hidup dalam martabat dan kecukupan. Ini bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan minimal untuk bertahan hidup, melainkan tentang memastikan setiap anggota masyarakat memiliki akses terhadap makanan bergizi, pakaian layak, tempat tinggal aman, pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, dan rasa aman. Konsep ini mendorong redistribusi kekayaan melalui zakat, infaq, sedekah, dan wakaf, serta menuntut peran aktif negara dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Di era kontemporer yang penuh tantangan, relevansi kifayah semakin nyata. Kita dihadapkan pada masalah global seperti kemiskinan ekstrem, kesenjangan ekonomi yang menganga, dan krisis lingkungan. Dalam konteks ini, fardhu kifayah mendorong umat untuk berinovasi dan mengisi peran-peran strategis di bidang sains, teknologi, diplomasi, dan kemanusiaan. Kebutuhan kifayah menuntut kita untuk membangun sistem ekonomi dan sosial yang lebih adil dan inklusif, memanfaatkan instrumen-instrumen Islam seperti zakat dan wakaf, serta merumuskan kebijakan yang pro-rakyat.
Pada akhirnya, kifayah adalah panggilan untuk beraksi. Ia adalah pengingat bahwa keimanan sejati tidak hanya tercermin dalam ritual pribadi, tetapi juga dalam kepedulian terhadap sesama dan kontribusi positif terhadap masyarakat. Dengan memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai kifayah secara kaffah, umat Islam dapat kembali menjadi teladan bagi dunia, menghadirkan keadilan, kemaslahatan, dan rahmat bagi seluruh alam.