Keynesianisme: Panduan Komprehensif Ekonomi Modern
Pendahuluan: John Maynard Keynes dan Revolusi Pemikiran Ekonomi
Keynesianisme adalah salah satu aliran pemikiran ekonomi makro yang paling berpengaruh di dunia, dinamai dari ekonom Inggris terkemuka, John Maynard Keynes. Teori ini muncul sebagai respons terhadap kegagalan ekonomi klasik dalam menjelaskan dan mengatasi depresi ekonomi besar, khususnya Depresi Besar pada tahun 1930-an. Sebelum Keynes, pandangan dominan dalam ekonomi percaya bahwa pasar akan selalu kembali ke keseimbangan penuh pekerjaan secara otomatis melalui mekanisme harga yang fleksibel dan kekuatan penawaran dan permintaan.
Namun, realitas Depresi Besar menunjukkan bahwa pasar tidak selalu mampu mengoreksi diri sendiri dengan cepat, dan periode pengangguran massal serta kapasitas produksi yang tidak terpakai dapat berlangsung sangat lama. Keynes menantang asumsi-asumsi dasar ekonomi klasik dalam karyanya yang monumental, The General Theory of Employment, Interest and Money, yang diterbitkan pada tahun 1936. Buku ini bukan hanya sebuah analisis, melainkan sebuah manifesto yang merevolusi cara para ekonom dan pembuat kebijakan memandang peran pemerintah dalam mengelola perekonomian.
Inti dari Keynesianisme terletak pada gagasan bahwa total permintaan agregat—yakni, total pengeluaran dalam perekonomian—adalah pendorong utama aktivitas ekonomi. Jika permintaan agregat terlalu rendah, perekonomian dapat terjebak dalam resesi atau depresi dengan tingkat pengangguran yang tinggi. Dalam kondisi seperti ini, Keynes berpendapat bahwa pemerintah memiliki peran krusial untuk campur tangan dan menstimulasi permintaan melalui kebijakan fiskal (pengeluaran pemerintah dan pajak) dan kebijakan moneter (pengendalian suku bunga dan pasokan uang).
Artikel ini akan menguraikan secara komprehensif landasan teori Keynesianisme, konteks historis kemunculannya, mekanisme utama yang diusulkan, evolusi pemikirannya, dampaknya terhadap kebijakan ekonomi global, serta kritik-kritik yang dilontarkan terhadapnya. Lebih jauh lagi, kita akan menganalisis relevansi Keynesianisme dalam menghadapi tantangan ekonomi kontemporer, termasuk krisis finansial global dan pandemi, serta perdebatan yang terus berlangsung mengenai peran intervensi pemerintah dalam pasar bebas.
Latar Belakang Historis dan Kegagalan Ekonomi Klasik
Dunia Sebelum Keynes: Dominasi Ekonomi Klasik
Sebelum kemunculan John Maynard Keynes, lanskap pemikiran ekonomi didominasi oleh apa yang kita kenal sebagai ekonomi klasik dan neo-klasik. Para pemikir seperti Adam Smith, David Ricardo, Jean-Baptiste Say, dan Alfred Marshall membentuk inti dari pandangan ini. Asumsi utama mereka adalah bahwa pasar memiliki kemampuan intrinsik untuk mengatur diri sendiri. Mereka percaya bahwa jika ada gangguan, kekuatan penawaran dan permintaan akan secara otomatis mendorong perekonomian kembali ke keseimbangan penuh pekerjaan (full employment) dalam jangka panjang.
Salah satu pilar utama pemikiran klasik adalah Hukum Say, yang menyatakan bahwa "penawaran menciptakan permintaannya sendiri." Ini berarti bahwa produksi barang dan jasa akan secara otomatis menciptakan pendapatan yang cukup untuk membeli barang dan jasa tersebut. Oleh karena itu, resesi atau depresi dengan pengangguran massal dianggap sebagai fenomena temporer yang akan segera terkoreksi oleh fleksibilitas harga dan upah. Jika ada kelebihan pasokan tenaga kerja (pengangguran), upah akan turun, mendorong perusahaan untuk mempekerjakan lebih banyak orang. Jika ada kelebihan pasokan barang, harga akan turun, merangsang permintaan. Dengan kata lain, tidak akan ada kekurangan permintaan agregat yang berkelanjutan.
Pemerintah, dalam pandangan klasik, seharusnya membatasi perannya dalam perekonomian. Intervensi pemerintah, seperti pengeluaran publik atau kebijakan moneter yang agresif, dianggap dapat mendistorsi pasar dan menghambat proses penyesuaian alami. Idealnya, pemerintah harus fokus pada menjaga anggaran seimbang dan memastikan stabilitas moneter, tanpa mencoba "mengatur" siklus bisnis.
Depresi Besar: Sebuah Pukulan Telak bagi Ortodoksi Klasik
Pada akhir tahun 1920-an, serangkaian peristiwa, dimulai dengan ambruknya pasar saham Wall Street pada tahun 1929, memicu apa yang kemudian dikenal sebagai Depresi Besar. Peristiwa ini menghantam Amerika Serikat dan menyebar ke seluruh dunia, menyebabkan kehancuran ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tingkat pengangguran melonjak hingga lebih dari 25% di AS, produksi industri anjlok, dan kepercayaan terhadap sistem perbankan runtuh. Resesi yang mendalam ini berlangsung selama lebih dari satu dekade, jauh melampaui apa yang dapat dijelaskan oleh model klasik sebagai "penyesuaian sementara."
Selama Depresi Besar, ekonom klasik kesulitan memberikan solusi yang efektif. Saran mereka, seperti membiarkan pasar mengoreksi diri dan menyeimbangkan anggaran pemerintah, justru tampak memperburuk keadaan. Pemotongan pengeluaran pemerintah dan kenaikan pajak yang dilakukan beberapa negara dalam upaya menyeimbangkan anggaran, justru semakin mengurangi permintaan agregat dan memperdalam resesi. Sementara itu, jutaan orang menderita tanpa pekerjaan dan prospek ekonomi yang suram, menunjukkan bahwa mekanisme pasar yang "otomatis" tidak berfungsi seperti yang dijanjikan.
Kondisi inilah yang menjadi titik tolak bagi Keynes. Ia melihat bahwa teori klasik, yang mengasumsikan pasar selalu kembali ke keseimbangan penuh pekerjaan, tidak mampu menjelaskan realitas pengangguran massal yang persisten. Keynes berpendapat bahwa asumsi-asumsi dasar klasik—terutama mengenai fleksibilitas harga dan upah serta kemampuan pasar untuk selalu menyerap produksi—tidak berlaku dalam kenyataan. Dalam dunia nyata, upah dan harga bisa bersifat kaku (sticky), dan ekspektasi pesimis bisa menjebak perekonomian dalam lingkaran setan penurunan permintaan dan investasi.
Observasi Keynes terhadap Depresi Besar memungkinkannya untuk merumuskan ulang pertanyaan-pertanyaan dasar ekonomi makro. Ia tidak lagi bertanya "Bagaimana pasar mencapai keseimbangan penuh pekerjaan?" tetapi "Bagaimana mungkin perekonomian terjebak dalam keseimbangan di bawah kesempatan kerja penuh?" Ini adalah perubahan paradigma fundamental yang membuka jalan bagi teori Keynesianisme.
Teori Dasar Keynesianisme: Permintaan Agregat sebagai Kunci
Jantung dari teori Keynesianisme adalah gagasan bahwa permintaan agregat (total pengeluaran dalam perekonomian) adalah kekuatan pendorong utama di balik tingkat produksi, pendapatan, dan kesempatan kerja. Keynes menolak pandangan klasik yang menempatkan penawaran sebagai penentu utama, dan sebaliknya menekankan peran permintaan dalam menentukan tingkat aktivitas ekonomi.
Permintaan Agregat (Aggregate Demand - AD)
Keynes mendefinisikan permintaan agregat sebagai total pengeluaran yang direncanakan dalam perekonomian. Ia mengidentifikasi empat komponen utama permintaan agregat:
- Konsumsi (C): Pengeluaran oleh rumah tangga untuk barang dan jasa. Keynes berpendapat bahwa konsumsi sangat tergantung pada pendapatan disposable saat ini, meskipun ada juga komponen konsumsi otonom yang tidak bergantung pada pendapatan. Ia memperkenalkan konsep Marginal Propensity to Consume (MPC), yaitu proporsi dari setiap tambahan pendapatan yang dihabiskan untuk konsumsi.
- Investasi (I): Pengeluaran oleh perusahaan untuk barang modal baru (pabrik, mesin, peralatan) dan perubahan persediaan. Investasi sangat volatil dan sangat sensitif terhadap ekspektasi bisnis (yang Keynes sebut sebagai "animal spirits"), suku bunga, dan tingkat keuntungan yang diharapkan. Keynes melihat investasi sebagai komponen yang paling tidak stabil dari permintaan agregat.
- Pengeluaran Pemerintah (G): Pengeluaran oleh pemerintah untuk barang dan jasa (misalnya, pembangunan infrastruktur, gaji pegawai negeri, pertahanan). Keynes berpendapat bahwa komponen ini dapat dimanipulasi oleh pemerintah untuk menstabilkan perekonomian.
- Ekspor Bersih (NX): Perbedaan antara ekspor (penjualan barang dan jasa domestik ke luar negeri) dan impor (pembelian barang dan jasa asing oleh penduduk domestik).
Jadi, permintaan agregat (AD) dapat dirumuskan sebagai: AD = C + I + G + NX.
Keseimbangan di Bawah Kesempatan Kerja Penuh (Underemployment Equilibrium)
Berbeda dengan pandangan klasik yang meyakini pasar akan selalu menuju keseimbangan penuh pekerjaan, Keynes berpendapat bahwa perekonomian dapat mencapai keseimbangan di mana ada sumber daya yang tidak terpakai, terutama tenaga kerja. Ini disebut keseimbangan di bawah kesempatan kerja penuh atau underemployment equilibrium.
Keynes menjelaskan bahwa dalam kondisi resesi atau depresi, permintaan agregat mungkin tidak cukup untuk mendorong produksi hingga tingkat yang memerlukan semua tenaga kerja yang tersedia. Perusahaan tidak akan memproduksi lebih banyak jika tidak ada permintaan yang cukup untuk membeli barang-barang tersebut, bahkan jika mereka memiliki kapasitas produksi yang tidak terpakai dan tenaga kerja yang menganggur. Akibatnya, perekonomian bisa terjebak dalam kondisi pengangguran massal yang persisten.
Kekakuan Upah dan Harga (Sticky Wages and Prices)
Salah satu perbedaan paling signifikan antara model Keynesian dan klasik adalah asumsi tentang fleksibilitas upah dan harga. Ekonom klasik percaya bahwa upah dan harga bersifat fleksibel dan akan dengan cepat menyesuaikan diri untuk membersihkan pasar (misalnya, upah turun saat ada pengangguran, harga turun saat ada kelebihan pasokan). Keynes, sebaliknya, berpendapat bahwa upah dan harga, terutama dalam jangka pendek, cenderung bersifat kaku (sticky) atau lambat untuk menyesuaikan diri ke bawah.
Ada beberapa alasan mengapa upah dan harga bisa kaku:
- Kontrak Kerja: Banyak upah ditetapkan melalui kontrak yang berjangka waktu (misalnya, satu hingga tiga tahun) dan tidak dapat langsung diubah.
- Upah Minimum: Undang-undang upah minimum mencegah upah turun di bawah tingkat tertentu.
- Moral dan Efisiensi: Perusahaan mungkin enggan memotong upah karena takut merusak moral karyawan, mengurangi produktivitas, atau mendorong karyawan terbaik untuk pergi (teori upah efisiensi).
- Biaya Menu (Menu Costs): Perusahaan mungkin menunda perubahan harga karena biaya yang terkait dengan pencetakan ulang menu, katalog, atau penyesuaian sistem harga.
- Harga Nominal: Banyak harga ditetapkan dalam istilah nominal, dan perusahaan mungkin enggan menurunkan harga karena takut memicu perang harga atau karena biaya produksi mereka (termasuk upah) juga relatif kaku.
Kekakuan upah dan harga ini berarti bahwa ketika permintaan agregat turun, perusahaan cenderung merespons dengan mengurangi produksi dan memecat pekerja, bukan dengan memotong upah dan harga. Hal ini menjelaskan mengapa Depresi Besar menyebabkan pengangguran massal, bukan sekadar penyesuaian harga.
Paradoks Penghematan (Paradox of Thrift)
Keynes juga memperkenalkan konsep "paradoks penghematan." Secara individu, menabung lebih banyak dianggap sebagai tindakan yang bijaksana. Namun, Keynes berpendapat bahwa jika semua orang atau sebagian besar orang dalam perekonomian secara bersamaan memutuskan untuk menabung lebih banyak (dan mengurangi konsumsi), hal ini dapat menyebabkan penurunan permintaan agregat secara keseluruhan. Penurunan permintaan ini akan mengakibatkan penurunan produksi, pendapatan, dan pada akhirnya, pengangguran.
Ketika pendapatan turun, kemampuan masyarakat untuk menabung juga akan berkurang, bahkan jika keinginan mereka untuk menabung tetap tinggi. Jadi, meskipun niat awalnya adalah menabung lebih banyak, hasil akhirnya adalah penurunan aktivitas ekonomi yang justru dapat mengurangi total tabungan dalam perekonomian. Ini adalah paradoks karena tindakan yang secara individual rasional justru dapat menjadi kontraproduktif jika dilakukan secara kolektif dalam skala besar.
Ekspektasi dan "Animal Spirits"
Keynes sangat menekankan peran ekspektasi dan sentimen psikologis dalam keputusan investasi dan konsumsi. Ia menyebut ini sebagai "animal spirits"—semacam dorongan spontan untuk bertindak, optimisme atau pesimisme yang mempengaruhi keputusan ekonomi, terutama investasi. Ketika "animal spirits" investor tinggi, mereka cenderung berinvestasi meskipun ada ketidakpastian. Sebaliknya, ketika pesimisme melanda, investasi dapat anjlok, bahkan jika suku bunga rendah. Fluktuasi dalam "animal spirits" dapat menyebabkan volatilitas dalam investasi dan permintaan agregat, yang pada gilirannya dapat memicu siklus bisnis naik dan turun.
Aspek psikologis ini juga menjadi alasan mengapa Keynes skeptis terhadap efektivitas kebijakan moneter untuk mengatasi depresi. Ia berpendapat bahwa jika investor sangat pesimis, bahkan penurunan suku bunga yang signifikan mungkin tidak cukup untuk merangsang investasi.
Peran Pemerintah: Intervensi untuk Stabilisasi Ekonomi
Mengingat analisisnya tentang kemungkinan keseimbangan di bawah kesempatan kerja penuh dan kekakuan harga, Keynes menyimpulkan bahwa pasar bebas tidak selalu dapat mengoreksi diri secara efektif, terutama dalam menghadapi resesi yang parah. Oleh karena itu, ia menganjurkan intervensi pemerintah untuk menstabilkan perekonomian dan mencapai tingkat kesempatan kerja penuh.
Kebijakan Fiskal: Senjata Utama Keynes
Keynes menyoroti kebijakan fiskal sebagai alat paling ampuh yang dimiliki pemerintah untuk mempengaruhi permintaan agregat. Kebijakan fiskal mencakup:
- Pengeluaran Pemerintah (Government Spending - G): Pemerintah dapat meningkatkan pengeluaran untuk barang dan jasa (misalnya, pembangunan infrastruktur, program kesejahteraan, pertahanan). Peningkatan G secara langsung menambah komponen G dalam permintaan agregat.
- Perpajakan (Taxes - T): Pemerintah dapat menyesuaikan tarif pajak. Penurunan pajak akan meningkatkan pendapatan disposable rumah tangga, yang kemudian dapat meningkatkan konsumsi (C) dan investasi (I). Sebaliknya, kenaikan pajak akan mengurangi C dan I.
Dalam kondisi resesi, Keynes menganjurkan kebijakan fiskal ekspansif:
- Peningkatan Pengeluaran Pemerintah: Dengan memulai proyek-proyek publik (misalnya, jalan, jembatan, sekolah) atau meningkatkan program sosial, pemerintah dapat secara langsung menciptakan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan. Ini akan meningkatkan permintaan agregat secara langsung.
- Pemotongan Pajak: Mengurangi pajak akan memberikan lebih banyak uang di tangan konsumen dan bisnis, mendorong mereka untuk meningkatkan pengeluaran dan investasi.
Sebaliknya, dalam periode inflasi atau perekonomian yang terlalu panas (overheating), kebijakan fiskal kontraktif dapat digunakan: mengurangi pengeluaran pemerintah atau menaikkan pajak untuk mendinginkan permintaan agregat.
Penting untuk dicatat bahwa Keynes bersedia menerima defisit anggaran pemerintah selama periode resesi. Berbeda dengan pandangan klasik yang menekankan anggaran berimbang, Keynes berpendapat bahwa pada saat resesi, prioritas utama adalah mengembalikan perekonomian ke kesempatan kerja penuh, bahkan jika itu berarti pemerintah harus meminjam uang dan menanggung utang sementara. Begitu perekonomian pulih, pemerintah dapat kembali ke anggaran yang lebih seimbang atau surplus.
Kebijakan Moneter: Peran Pendukung
Keynes juga mengakui peran kebijakan moneter, yang melibatkan Bank Sentral dalam mengendalikan pasokan uang dan suku bunga. Penurunan suku bunga dapat merangsang investasi karena biaya pinjaman menjadi lebih murah. Peningkatan pasokan uang dapat menurunkan suku bunga dan mendorong aktivitas ekonomi.
Namun, Keynes bersikap lebih skeptis terhadap efektivitas kebijakan moneter, terutama dalam mengatasi resesi yang parah. Ia memperkenalkan konsep perangkap likuiditas (liquidity trap). Dalam situasi ini, suku bunga sudah sangat rendah (mendekati nol), dan meskipun Bank Sentral terus meningkatkan pasokan uang, masyarakat lebih memilih untuk menahan uang tunai daripada menginvestasikannya. Ini bisa terjadi karena ekspektasi pesimis tentang masa depan ekonomi atau karena mereka percaya bahwa suku bunga tidak bisa turun lebih jauh lagi. Dalam perangkap likuiditas, kebijakan moneter menjadi tidak efektif, dan kebijakan fiskal menjadi satu-satunya alat yang tersedia untuk menstimulasi permintaan agregat.
Meskipun demikian, kebijakan moneter tetap menjadi bagian dari kerangka Keynesian, berfungsi sebagai pelengkap kebijakan fiskal, terutama dalam kondisi ekonomi normal.
Pentingnya Intervensi Diskresioner
Salah satu aspek kunci dari rekomendasi kebijakan Keynes adalah sifat diskresioner (berdasarkan kebijakan) dari intervensi pemerintah. Ini berarti bahwa pemerintah harus secara aktif menilai kondisi ekonomi dan memutuskan kapan harus melakukan stimulus atau pengetatan. Ini berbeda dengan aturan kebijakan yang kaku yang sering diusulkan oleh kaum klasik. Keynes percaya bahwa pemerintah tidak boleh pasif, tetapi harus menjadi agen aktif dalam mengelola perekonomian untuk mencapai stabilitas dan kesempatan kerja penuh.
Secara keseluruhan, Keynesianisme mereposisi pemerintah dari pengamat pasif menjadi pemain kunci dalam permainan ekonomi, dengan kekuatan dan tanggung jawab untuk menstabilkan siklus bisnis melalui kebijakan fiskal dan moneter yang proaktif.
Multiplikator Keynesian: Efek Berantai dari Pengeluaran
Salah satu konsep paling revolusioner dan sentral dalam teori Keynesian adalah efek multiplikator. Keynes berargumen bahwa perubahan awal dalam pengeluaran agregat—baik itu konsumsi, investasi, atau pengeluaran pemerintah—tidak hanya memiliki dampak satu-untuk-satu terhadap pendapatan, tetapi akan memicu efek berantai yang menghasilkan perubahan total pendapatan yang lebih besar dari perubahan awal. Ini adalah alasan utama mengapa kebijakan fiskal memiliki kekuatan yang signifikan dalam model Keynesian.
Mekanisme Multiplikator
Bayangkan pemerintah mengeluarkan tambahan 100 juta dolar untuk membangun jembatan. Uang ini dibayarkan kepada pekerja konstruksi, pemasok bahan, dan perusahaan kontraktor. Apa yang terjadi selanjutnya?
- Pengeluaran Awal: Pemerintah mengeluarkan 100 juta dolar. Ini adalah suntikan langsung ke dalam perekonomian.
- Pendapatan Pertama: Pekerja dan pemilik bisnis yang menerima 100 juta dolar ini sekarang memiliki pendapatan tambahan.
- Pengeluaran Sekunder: Mereka tidak akan menabung seluruh pendapatan tambahan ini. Sebagian besar akan mereka belanjakan untuk barang dan jasa (misalnya, membeli makanan, pakaian, hiburan). Proporsi dari setiap pendapatan tambahan yang dihabiskan untuk konsumsi ini disebut Kecenderungan Marginal untuk Mengonsumsi (Marginal Propensity to Consume - MPC). Misalnya, jika MPC adalah 0.8, maka dari 100 juta dolar tambahan, mereka akan membelanjakan 80 juta dolar.
- Pendapatan Kedua: 80 juta dolar yang dibelanjakan ini menjadi pendapatan bagi orang lain—pemilik toko, restoran, produsen barang.
- Pengeluaran Tersier: Orang-orang ini juga akan membelanjakan sebagian dari 80 juta dolar pendapatan tambahan mereka (misalnya, 0.8 x 80 juta = 64 juta dolar).
- Dan Seterusnya: Proses ini terus berlanjut, dengan setiap putaran pengeluaran menjadi pendapatan bagi orang lain, yang kemudian membelanjakan sebagian darinya. Meskipun jumlah pengeluaran tambahan menjadi semakin kecil pada setiap putaran, total dampaknya secara kumulatif bisa sangat besar.
Rumus Multiplikator
Ukuran efek multiplikator tergantung pada Kecenderungan Marginal untuk Mengonsumsi (MPC) dan Kecenderungan Marginal untuk Menabung (Marginal Propensity to Save - MPS), di mana MPC + MPS = 1.
Multiplikator pengeluaran (k) dirumuskan sebagai:
k = 1 / (1 - MPC) atau k = 1 / MPS
Jika MPC = 0.8, maka MPS = 0.2. Multiplikatornya adalah:
k = 1 / (1 - 0.8) = 1 / 0.2 = 5
Ini berarti bahwa setiap 1 dolar pengeluaran tambahan oleh pemerintah atau investasi, akan menghasilkan 5 dolar peningkatan total pendapatan dalam perekonomian.
Dalam contoh di atas, pengeluaran pemerintah sebesar 100 juta dolar akan menghasilkan total peningkatan pendapatan sebesar 5 x 100 juta dolar = 500 juta dolar.
Implikasi Kebijakan
Efek multiplikator memiliki implikasi kebijakan yang sangat penting bagi Keynesianisme:
- Efektivitas Stimulus Fiskal: Ini menunjukkan bahwa bahkan suntikan pengeluaran pemerintah yang relatif kecil dapat menghasilkan dampak yang signifikan terhadap PDB dan kesempatan kerja. Ini memberikan argumen kuat untuk penggunaan kebijakan fiskal proaktif selama resesi.
- Peran Investasi: Karena investasi adalah komponen yang paling volatil dari permintaan agregat dan sangat tergantung pada "animal spirits", fluktuasi investasi dapat memiliki efek multiplikator yang besar, baik positif maupun negatif, pada perekonomian.
- Paradoks Penghematan Dikuatkan: Multiplikator juga memperkuat paradoks penghematan. Jika masyarakat memutuskan untuk menabung lebih banyak (menurunkan MPC), maka multiplikator akan melemah, dan setiap penurunan investasi atau pengeluaran akan memiliki dampak yang lebih besar pada perekonomian.
Batasan dan Kritik Multiplikator
Meskipun multiplikator adalah konsep yang kuat, ada beberapa batasan dan kritik:
- Asumsi MPC Konstan: Multiplikator mengasumsikan MPC relatif konstan, namun dalam kenyataannya, MPC dapat bervariasi antarindividu dan dalam kondisi ekonomi yang berbeda.
- Tingkat Pembocoran (Leakages): Model sederhana tidak selalu memperhitungkan semua "pembocoran" dari aliran sirkular pendapatan, seperti pajak, impor, dan tabungan yang tidak diinvestasikan kembali. Jika pajak dan impor tinggi, efek multiplikator bisa lebih kecil. Multiplikator yang lebih realistis akan memperhitungkan ini, seperti
k = 1 / (1 - MPC(1-t) + MPI)di mana `t` adalah tarif pajak dan `MPI` adalah kecenderungan marginal untuk mengimpor. - Waktu Tunda (Time Lags): Efek multiplikator tidak terjadi secara instan. Ada penundaan dalam proses ini, yang membuat implementasi kebijakan fiskal yang tepat waktu menjadi menantang.
- Crowding Out: Kritik utama, terutama dari ekonom neo-klasik dan monetaris, adalah fenomena crowding out. Jika pemerintah membiayai pengeluarannya melalui pinjaman, ini dapat meningkatkan suku bunga dan mengurangi investasi swasta. Jika crowding out total terjadi, multiplikator bisa mendekati nol atau bahkan negatif. Keynesian biasanya berpendapat bahwa crowding out tidak signifikan selama resesi karena ada banyak sumber daya yang tidak terpakai.
Meskipun ada kritik, konsep multiplikator tetap menjadi salah satu alat analisis fundamental dalam ekonomi makro Keynesian, menunjukkan bagaimana perubahan kecil dalam pengeluaran dapat menghasilkan efek riak yang besar di seluruh perekonomian.
Kritik Keynes Terhadap Ekonomi Klasik dan Hukum Say
Inti dari revolusi Keynesian terletak pada penolakannya terhadap asumsi-asumsi fundamental ekonomi klasik, terutama yang berkaitan dengan fleksibilitas pasar dan Hukum Say. Keynes secara eksplisit menantang pandangan bahwa pasar akan secara otomatis mengoreksi diri dan selalu mencapai keseimbangan penuh pekerjaan.
Penolakan Hukum Say
Seperti disebutkan sebelumnya, Hukum Say ("penawaran menciptakan permintaannya sendiri") adalah landasan pemikiran klasik. Hukum ini berimplikasi bahwa resesi atau pengangguran massal yang berkepanjangan tidak mungkin terjadi karena setiap produksi akan selalu menciptakan pendapatan yang cukup untuk membeli produksi tersebut, dan uang yang tidak dihabiskan untuk konsumsi akan selalu diinvestasikan kembali. Jadi, tidak akan pernah ada kekurangan permintaan agregat.
Keynes dengan tegas menolak Hukum Say. Ia berpendapat bahwa tidak ada jaminan bahwa pendapatan yang diperoleh dari produksi akan seluruhnya dihabiskan atau diinvestasikan kembali. Ada kemungkinan bahwa sebagian dari pendapatan tersebut akan ditabung tetapi tidak segera diinvestasikan. Dalam ekonomi modern, keputusan untuk menabung (oleh rumah tangga) dan keputusan untuk berinvestasi (oleh perusahaan) dibuat oleh agen-agen yang berbeda dengan motivasi yang berbeda. Keputusan menabung tergantung pada pendapatan dan kecenderungan untuk menabung, sementara keputusan investasi tergantung pada ekspektasi keuntungan masa depan, biaya modal (suku bunga), dan "animal spirits" investor.
Jika tabungan melebihi investasi yang direncanakan oleh perusahaan (misalnya, karena pesimisme investor atau ketidakpastian ekonomi), maka akan terjadi kekurangan permintaan agregat. Ini berarti bahwa tidak semua barang dan jasa yang diproduksi akan terjual, memaksa perusahaan untuk mengurangi produksi dan memecat pekerja. Hasilnya adalah keseimbangan di bawah kesempatan kerja penuh.
Jadi, bagi Keynes, penawaran tidak selalu menciptakan permintaannya sendiri. Permintaan agregat yang tidak memadai adalah masalah fundamental yang dapat menyebabkan resesi dan pengangguran yang persisten.
Kritik Terhadap Fleksibilitas Upah dan Harga
Ekonom klasik berasumsi bahwa upah dan harga sangat fleksibel dan akan dengan cepat menyesuaikan diri untuk mengembalikan pasar ke keseimbangan. Jika ada pengangguran, upah akan turun hingga semua orang yang ingin bekerja dapat menemukan pekerjaan. Jika ada kelebihan pasokan barang, harga akan turun hingga semua barang terjual.
Keynes membantah asumsi ini dengan mengamati realitas pasar. Seperti yang telah dijelaskan, ia berpendapat bahwa upah dan harga cenderung kaku ke bawah (sticky downwards) karena berbagai alasan seperti kontrak kerja, upah minimum, moral pekerja, biaya menu, dan asumsi bahwa pemotongan upah atau harga akan merusak kepercayaan dan permintaan.
Kekakuan ini memiliki implikasi besar: ketika permintaan agregat jatuh, alih-alih menyesuaikan harga dan upah, perusahaan lebih cenderung mengurangi produksi dan memecat pekerja. Ini mengarah pada pengangguran massal, bukan penyesuaian pasar yang mulus. Keynes menunjukkan bahwa "keseimbangan" dapat dicapai pada tingkat aktivitas ekonomi yang rendah dan pengangguran tinggi, sebuah kondisi yang dianggap mustahil oleh ekonom klasik.
Peran Uang dan Suku Bunga
Dalam model klasik, uang dianggap netral dalam jangka panjang, hanya mempengaruhi tingkat harga nominal tetapi tidak mempengaruhi variabel riil seperti output dan kesempatan kerja. Suku bunga ditentukan oleh tabungan dan investasi dan berfungsi sebagai mekanisme yang menyeimbangkan keduanya.
Keynes memiliki pandangan yang berbeda. Ia menekankan peran uang dan suku bunga dalam mempengaruhi permintaan agregat. Keynes memperkenalkan konsep preferensi likuiditas, yaitu permintaan masyarakat untuk memegang uang tunai. Masyarakat memegang uang bukan hanya untuk transaksi, tetapi juga untuk tujuan berjaga-jaga dan spekulatif. Jika ekspektasi buruk atau ketidakpastian tinggi, orang cenderung memegang lebih banyak uang tunai (likuiditas), yang berarti mereka mengurangi investasi dan konsumsi.
Suku bunga, dalam pandangan Keynes, bukan hanya harga pinjaman tetapi juga harga untuk melepaskan likuiditas. Bank sentral dapat mempengaruhi suku bunga, tetapi dalam situasi "perangkap likuiditas" (di mana suku bunga sudah sangat rendah), kebijakan moneter menjadi tidak efektif karena orang tetap memilih untuk memegang uang tunai daripada berinvestasi, bahkan dengan biaya pinjaman yang sangat rendah.
Oleh karena itu, uang tidak netral, bahkan dalam jangka pendek dan menengah. Perubahan dalam pasokan uang dan preferensi likuiditas dapat memiliki dampak riil pada perekonomian melalui pengaruhnya terhadap investasi dan permintaan agregat.
Kesimpulan Kritik
Melalui kritik-kritiknya, Keynes berhasil menunjukkan bahwa asumsi-asumsi dasar ekonomi klasik tidak mencukupi untuk menjelaskan dan mengatasi realitas ekonomi yang kompleks, terutama dalam konteks depresi. Ia menggeser fokus dari penawaran ke permintaan, dari keseimbangan otomatis ke kemungkinan keseimbangan di bawah kesempatan kerja penuh, dan dari pasar yang fleksibel ke pasar dengan kekakuan. Kritik ini tidak hanya meruntuhkan ortodoksi klasik tetapi juga membuka jalan bagi intervensi pemerintah yang lebih aktif sebagai alat untuk menstabilkan perekonomian.
Evolusi dan Perkembangan Keynesianisme
Sejak publikasi The General Theory, pemikiran Keynesian telah mengalami evolusi yang signifikan, beradaptasi dengan kritik, tantangan ekonomi baru, dan perkembangan metodologi ekonomi. Lahirlah berbagai cabang pemikiran yang meskipun berakar pada Keynes, namun memiliki nuansa dan penekanan yang berbeda.
Keynesianisme Ortodoks (Neo-Keynesianisme Awal)
Periode pasca-Perang Dunia II hingga tahun 1970-an sering disebut sebagai "Golden Age" Keynesianisme. Selama periode ini, ide-ide Keynesian diintegrasikan ke dalam model ekonomi makro standar yang dikenal sebagai sintesis Neo-Keynesian atau Keynesian-Neo-Klasik. Tokoh-tokoh seperti John Hicks (dengan model IS-LM), Paul Samuelson, dan Robert Solow berperan penting dalam memformalkan dan menyebarkan gagasan Keynesian dalam kerangka matematis yang lebih rapi.
Model IS-LM (Investasi-Tabungan, Preferensi Likuiditas-Pasokan Uang) menjadi alat analisis standar untuk memahami interaksi antara pasar barang dan jasa (kurva IS) dan pasar uang (kurva LM). Model ini menunjukkan bagaimana kebijakan fiskal dan moneter dapat mempengaruhi tingkat pendapatan dan suku bunga dalam perekonomian. Sintesis ini mencoba menjembatani jurang antara Keynesianisme dan ekonomi klasik dengan menyatakan bahwa prinsip-prinsip Keynesian berlaku dalam jangka pendek (ketika upah dan harga kaku), sementara prinsip-prinsip klasik (pasar kembali ke keseimbangan penuh pekerjaan) berlaku dalam jangka panjang.
Kebijakan ekonomi pada masa ini banyak dipengaruhi oleh gagasan Keynesian, dengan pemerintah secara aktif menggunakan kebijakan fiskal dan moneter untuk "memperhalus" siklus bisnis, mengurangi pengangguran, dan menjaga stabilitas ekonomi. Konsep "fine-tuning" perekonomian menjadi populer.
Tantangan dan Kritik: Monetarisme dan Ekonomi Sisi Penawaran
Pada tahun 1970-an, Keynesianisme ortodoks menghadapi tantangan serius. Fenomena stagflation—periode stagnasi ekonomi (pertumbuhan rendah, pengangguran tinggi) yang disertai dengan inflasi tinggi—tidak dapat dijelaskan dengan mudah oleh model Keynesian sederhana. Model Keynesian awal cenderung menyiratkan bahwa pengangguran dan inflasi memiliki hubungan terbalik (Kurva Phillips). Stagflation membuktikan sebaliknya, melemahkan kepercayaan pada kemampuan "fine-tuning" Keynesian.
Dari kritik inilah muncul aliran-aliran baru:
- Monetarisme: Dipimpin oleh Milton Friedman, monetarisme berpendapat bahwa "uang itu penting." Mereka menolak peran aktif kebijakan fiskal dan menekankan bahwa perubahan dalam pasokan uang adalah pendorong utama inflasi dan siklus bisnis. Friedman berpendapat bahwa pemerintah harus mengikuti aturan kebijakan moneter yang stabil dan dapat diprediksi, bukan kebijakan diskresioner, untuk menghindari ketidakstabilan. Monetaris juga berpendapat bahwa efek multiplikator Keynesian akan sepenuhnya diimbangi oleh crowding out jika pemerintah membiayai pengeluaran melalui pinjaman.
- Ekonomi Sisi Penawaran (Supply-Side Economics): Aliran ini berargumen bahwa pertumbuhan ekonomi paling baik dicapai dengan menurunkan pajak (terutama pajak penghasilan dan perusahaan) dan deregulasi untuk merangsang produksi (penawaran), bukan dengan menstimulasi permintaan. Mereka percaya bahwa insentif untuk bekerja, menabung, dan berinvestasi akan mendorong pertumbuhan jangka panjang.
- Teori Pilihan Rasional (Rational Expectations): Dipelopori oleh Robert Lucas Jr., aliran ini berasumsi bahwa agen ekonomi (rumah tangga dan perusahaan) memiliki ekspektasi rasional, artinya mereka menggunakan semua informasi yang tersedia untuk membuat keputusan. Jika agen memiliki ekspektasi rasional, maka kebijakan pemerintah yang dapat diprediksi (seperti stimulus fiskal atau moneter) akan diantisipasi dan dampaknya akan dinetralkan. Ini menyiratkan bahwa kebijakan pemerintah hanya efektif jika bersifat mengejutkan atau tidak terduga, yang pada dasarnya merusak argumen untuk intervensi aktif.
Kritik-kritik ini menyebabkan penurunan dominasi Keynesianisme dalam akademisi dan kebijakan pada akhir 1970-an dan 1980-an, digantikan oleh pendekatan yang lebih neo-klasik dan pro-pasar.
Kebangkitan: New Keynesianisme
Meskipun menghadapi kritik keras, ide-ide inti Keynesian tidak sepenuhnya hilang. Pada tahun 1980-an, munculah aliran New Keynesianism, yang bertujuan untuk membangun fondasi mikroekonomi yang lebih kokoh bagi ide-ide Keynesian. New Keynesian mengakui pentingnya ekspektasi rasional tetapi tetap mempertahankan gagasan kekakuan upah dan harga dalam model mereka.
New Keynesian menjelaskan kekakuan upah dan harga melalui mekanisme seperti:
- Biaya Menu (Menu Costs): Biaya kecil yang terkait dengan perubahan harga (misalnya, mencetak menu baru, mengubah label harga) yang dapat mencegah perusahaan menyesuaikan harga secara sering.
- Upah Efisiensi (Efficiency Wages): Perusahaan membayar upah di atas tingkat kliring pasar untuk memotivasi pekerja, mengurangi pergantian karyawan, dan meningkatkan produktivitas. Ini membuat upah enggan turun selama resesi.
- Kontrak Jangka Panjang: Upah dan harga yang ditetapkan dalam kontrak jangka panjang mengurangi fleksibilitas jangka pendek.
- Persaingan Monopolistik dan Informasi Asimetris: Struktur pasar yang tidak sempurna dan informasi yang tidak sempurna juga dapat menyebabkan kekakuan.
Dengan fondasi mikroekonomi yang lebih kuat, New Keynesianisme berhasil menjelaskan mengapa perekonomian dapat mengalami fluktuasi jangka pendek dan mengapa intervensi pemerintah masih bisa efektif, bahkan dengan agen-agen rasional. Model New Keynesian telah menjadi dasar bagi banyak model makroekonomi modern yang digunakan oleh bank sentral dan lembaga keuangan internasional.
Post-Keynesianisme
Selain New Keynesianisme, ada juga aliran Post-Keynesianisme yang cenderung lebih radikal dan lebih setia pada interpretasi Keynes yang asli, terutama penekanan pada ketidakpastian mendalam (radical uncertainty), peran uang endogen (uang diciptakan oleh permintaan pinjaman, bukan hanya oleh bank sentral), dan pentingnya institusi. Tokoh-tokoh seperti Hyman Minsky (dengan teorinya tentang krisis finansial), Nicholas Kaldor, dan Joan Robinson adalah bagian dari tradisi ini. Mereka seringkali lebih skeptis terhadap kemampuan pasar untuk mengoreksi diri dan lebih mendukung peran aktif pemerintah dalam mengatur perekonomian dan pasar finansial.
Evolusi Keynesianisme menunjukkan bahwa teori ini tidak statis, tetapi dinamis, terus beradaptasi dan berkembang untuk menjelaskan realitas ekonomi yang selalu berubah, serta merespons kritik dan tantangan dari aliran pemikiran lainnya.
Dampak dan Implementasi Keynesianisme dalam Kebijakan Global
Dampak Keynesianisme terhadap kebijakan ekonomi global sangat masif, terutama pada paruh kedua abad ke-20. Ide-ide Keynesian membentuk landasan bagi desain banyak institusi ekonomi internasional pasca-Perang Dunia II dan memandu respons pemerintah terhadap krisis ekonomi.
Era Pasca-Perang Dunia II dan Bretton Woods
Setelah kekacauan Depresi Besar dan Perang Dunia II, para pemimpin dunia berkumpul di Bretton Woods, New Hampshire, pada tahun 1944 untuk merancang sistem moneter dan keuangan global yang baru. Desain sistem ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Keynes. Tujuannya adalah untuk menciptakan stabilitas ekonomi global, mencegah terulangnya depresi, dan mempromosikan pertumbuhan.
Beberapa institusi kunci yang lahir dari konferensi Bretton Woods, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, mencerminkan semangat Keynesian untuk kerja sama internasional dan intervensi yang terkoordinasi untuk menstabilkan ekonomi global. IMF, misalnya, didirikan untuk menyediakan likuiditas dan dukungan kepada negara-negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran, sebuah gagasan yang sejalan dengan penekanan Keynes pada likuiditas dan stabilisasi.
Periode dari akhir Perang Dunia II hingga awal 1970-an sering disebut sebagai "Golden Age of Capitalism" atau "Keynesian Era." Selama periode ini, negara-negara industri maju mengalami pertumbuhan ekonomi yang kuat dan tingkat pengangguran yang relatif rendah. Pemerintah secara aktif menggunakan kebijakan fiskal ekspansif untuk mengatasi resesi dan kebijakan kontraktif untuk mengendalikan inflasi, dengan keyakinan bahwa mereka dapat "mengelola" siklus bisnis.
Program-program pembangunan infrastruktur besar-besaran, perluasan negara kesejahteraan, dan upaya untuk menjaga kesempatan kerja penuh menjadi ciri khas kebijakan di banyak negara Barat, khususnya di Eropa dan Amerika Utara. Di Amerika Serikat, "New Deal" Franklin D. Roosevelt, meskipun dimulai sebelum Keynes' General Theory dipublikasikan, memiliki banyak kesamaan filosofis dengan Keynesianisme dalam hal intervensi pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja dan stimulus permintaan. Kemudian, program "Great Society" di bawah Presiden Lyndon B. Johnson juga mencerminkan komitmen terhadap pengeluaran pemerintah untuk tujuan sosial dan ekonomi.
Tantangan Stagflasi dan Penurunan Pengaruh
Dominasi Keynesianisme mulai merosot pada tahun 1970-an dengan munculnya stagflation—fenomena inflasi tinggi yang terjadi bersamaan dengan stagnasi ekonomi dan pengangguran tinggi. Model Keynesian ortodoks kesulitan menjelaskan kombinasi yang tidak terduga ini, karena mereka cenderung memprediksi hubungan terbalik antara inflasi dan pengangguran (Kurva Phillips).
Krisis minyak tahun 1973 dan 1979 yang menyebabkan lonjakan harga energi dan guncangan penawaran, memperburuk masalah ini. Pemerintah yang mencoba menstimulasi permintaan untuk mengurangi pengangguran justru memperburuk inflasi, sementara upaya mengerem inflasi melalui pengetatan kebijakan justru meningkatkan pengangguran. Kegagalan ini membuka pintu bagi aliran pemikiran alternatif seperti Monetarisme dan Ekonomi Sisi Penawaran untuk mendapatkan pengaruh.
Kebijakan ekonomi di banyak negara maju bergeser ke arah yang lebih konservatif dan pro-pasar, menekankan pengendalian inflasi sebagai prioritas utama, deregulasi, dan pembatasan peran pemerintah. Era Thatcher di Inggris dan Reagan di Amerika Serikat adalah contoh utama dari pergeseran ini, yang sering disebut sebagai "era neo-liberal."
Kebangkitan Kembali: Krisis Finansial Global (2008) dan Pandemi COVID-19
Setelah beberapa dekade dominasi pasar bebas, relevansi Keynesianisme kembali muncul secara dramatis selama Krisis Finansial Global (KFG) tahun 2008. Ketika sistem keuangan global ambang kehancuran dan perekonomian dunia menghadapi resesi yang dalam, pemerintah dan bank sentral di seluruh dunia melakukan intervensi masif yang sangat mirip dengan rekomendasi Keynesian.
- Stimulus Fiskal: Banyak negara meluncurkan paket stimulus fiskal besar-besaran, meningkatkan pengeluaran pemerintah (misalnya, untuk infrastruktur) dan memotong pajak untuk menopang permintaan agregat. Contohnya adalah American Recovery and Reinvestment Act di AS.
- Pelonggaran Moneter Agresif: Bank sentral memotong suku bunga ke tingkat mendekati nol dan meluncurkan program quantitative easing (QE) untuk menyuntikkan likuiditas ke dalam sistem dan mencegah deflasi, sebuah bentuk kebijakan moneter non-konvensional yang bertujuan untuk mengatasi perangkap likuiditas.
- Penyelamatan Sektor Keuangan: Pemerintah melakukan penyelamatan terhadap bank dan lembaga keuangan besar untuk mencegah runtuhnya sistem finansial.
Intervensi ini secara luas dianggap telah mencegah depresi yang lebih parah, mirip dengan Depresi Besar. Reaksi terhadap KFG ini menandai kebangkitan kembali pengaruh Keynesianisme dalam kebijakan praktis.
Relevansi Keynesianisme semakin menguat dengan pecahnya pandemi COVID-19 pada tahun 2020. Pandemi menyebabkan guncangan permintaan dan penawaran yang belum pernah terjadi sebelumnya, memaksa pemerintah di seluruh dunia untuk memberlakukan lockdown dan pembatasan yang melumpuhkan aktivitas ekonomi. Respons kebijakannya sekali lagi sangat Keynesian:
- Stimulus Fiskal Skala Besar: Paket stimulus triliunan dolar diluncurkan, termasuk pembayaran langsung kepada rumah tangga, tunjangan pengangguran yang diperluas, dukungan untuk bisnis, dan pengeluaran kesehatan yang masif. Tujuannya adalah untuk menopang pendapatan dan permintaan agregat di tengah krisis.
- Pelonggaran Moneter Ultra-Agresif: Bank sentral kembali memangkas suku bunga ke rekor terendah dan memperluas program QE mereka untuk memastikan likuiditas pasar dan menjaga biaya pinjaman tetap rendah.
Respons cepat dan besar-besaran ini diakui secara luas telah mencegah keruntuhan ekonomi total dan memitigasi dampak terburuk dari pandemi. Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi krisis yang mendalam, alat-alat Keynesian—intervensi fiskal dan moneter yang proaktif—dianggap sebagai pilihan yang paling efektif untuk menstabilkan perekonomian.
Singkatnya, Keynesianisme telah menjadi kerangka kerja yang dominan untuk memahami dan menanggapi krisis ekonomi. Meskipun telah mengalami pasang surut dan adaptasi, ide inti tentang peran aktif pemerintah dalam mengelola permintaan agregat untuk mencapai stabilitas dan kesempatan kerja penuh tetap menjadi pilar kebijakan ekonomi modern.
Kritik terhadap Keynesianisme
Meskipun Keynesianisme telah menjadi pilar pemikiran ekonomi makro dan panduan kebijakan yang dominan, teori ini tidak luput dari kritik. Berbagai aliran pemikiran telah menyajikan argumen tandingan yang menyoroti kelemahan dan keterbatasan pendekatan Keynesian.
1. Monetarisme (Milton Friedman)
Kritik paling berpengaruh terhadap Keynesianisme datang dari aliran Monetarisme, yang dipimpin oleh Milton Friedman. Monetaris berpendapat bahwa:
- Uang Adalah Pendorong Utama: Friedman dan Monetaris meyakini bahwa pasokan uang adalah penentu utama inflasi dalam jangka panjang dan fluktuasi ekonomi dalam jangka pendek. Mereka menolak penekanan Keynes pada permintaan agregat dari sisi pengeluaran fiskal. Bagi mereka, kebijakan moneter yang stabil dan dapat diprediksi jauh lebih penting daripada kebijakan fiskal diskresioner.
- Kritik Terhadap Kebijakan Fiskal: Monetaris skeptis terhadap efektivitas kebijakan fiskal. Mereka berpendapat bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah atau pemotongan pajak yang dibiayai oleh pinjaman pemerintah dapat menyebabkan crowding out. Crowding out terjadi ketika pemerintah meminjam lebih banyak, hal itu meningkatkan suku bunga, yang pada gilirannya mengurangi investasi swasta. Dalam kasus crowding out yang sempurna, peningkatan pengeluaran pemerintah sepenuhnya diimbangi oleh penurunan investasi swasta, sehingga dampak bersih pada permintaan agregat adalah nol.
- Aturan vs. Diskresi: Monetaris menganjurkan aturan kebijakan moneter yang ketat (misalnya, pertumbuhan pasokan uang pada tingkat yang konstan) daripada kebijakan diskresioner yang seringkali bersifat politis dan dapat menyebabkan ketidakstabilan.
Friedman berpendapat bahwa Depresi Besar bukan karena kegagalan permintaan agregat yang tidak ditangani oleh pemerintah, melainkan karena kegagalan Federal Reserve (bank sentral AS) untuk menyediakan likuiditas yang cukup, yang menyebabkan kontraksi pasokan uang.
2. Teori Pilihan Rasional (Rational Expectations Theory)
Aliran yang berkembang dari kritik Monetaris adalah Teori Pilihan Rasional, dengan tokoh seperti Robert Lucas Jr., Thomas Sargent, dan Neil Wallace. Kritik utama mereka adalah:
- Antisipasi Kebijakan: Jika agen ekonomi (rumah tangga, perusahaan) memiliki ekspektasi rasional, mereka akan mengantisipasi kebijakan pemerintah yang dapat diprediksi. Misalnya, jika pemerintah mengumumkan stimulus fiskal, masyarakat akan mengantisipasi inflasi di masa depan atau kenaikan pajak di kemudian hari untuk membayar utang. Ini dapat menyebabkan mereka menunda konsumsi atau investasi, menetralkan dampak stimulus.
- Netralitas Kebijakan yang Diantisipasi: Penganut pilihan rasional berpendapat bahwa hanya kebijakan yang tidak terduga atau mengejutkan yang dapat memiliki dampak riil pada perekonomian. Kebijakan yang dapat diprediksi akan diantisipasi dan dampaknya akan hanya bersifat nominal (mempengaruhi harga, bukan output riil). Ini secara serius menantang ide "fine-tuning" Keynesian.
- Ekivalensi Ricardian: Konsep ini, yang dihidupkan kembali oleh Robert Barro, menyatakan bahwa pemotongan pajak yang dibiayai oleh utang publik tidak akan merangsang permintaan agregat karena masyarakat mengantisipasi bahwa mereka atau keturunan mereka akan harus membayar pajak lebih tinggi di masa depan untuk melunasi utang tersebut. Oleh karena itu, mereka akan menabung pemotongan pajak tersebut daripada membelanjakannya, sehingga tidak ada dampak stimulus.
3. Ekonomi Sisi Penawaran (Supply-Side Economics)
Ekonomi sisi penawaran, yang mendapatkan popularitas pada tahun 1980-an, berargumen bahwa penekanan Keynesian pada permintaan terlalu sempit. Sebaliknya, mereka percaya bahwa fokus harus pada peningkatan kapasitas produktif perekonomian (penawaran agregat). Kritik mereka meliputi:
- Insentif Produksi: Kebijakan Keynesian seringkali melibatkan pajak yang lebih tinggi untuk mendanai pengeluaran pemerintah. Ekonom sisi penawaran berpendapat bahwa pajak tinggi menghambat insentif untuk bekerja, menabung, berinvestasi, dan berinovasi.
- Regulasi: Deregulasi dianggap penting untuk mengurangi beban biaya pada bisnis dan mendorong investasi serta produksi.
- Kurva Laffer: Konsep terkenal dari ekonomi sisi penawaran, Kurva Laffer, menyarankan bahwa di luar titik tertentu, peningkatan tarif pajak sebenarnya dapat mengurangi total penerimaan pajak karena menghambat aktivitas ekonomi.
Dengan demikian, mereka menganjurkan pemotongan pajak (terutama pajak penghasilan dan perusahaan) dan deregulasi untuk merangsang penawaran agregat dan pertumbuhan jangka panjang, bukan mengandalkan stimulus permintaan jangka pendek.
4. Keterlambatan Kebijakan (Policy Lags)
Kritik praktis terhadap kebijakan Keynesian adalah adanya keterlambatan (lags) dalam implementasi dan dampak kebijakan:
- Lag Pengenalan (Recognition Lag): Waktu yang dibutuhkan untuk mengenali bahwa ada masalah ekonomi (resesi).
- Lag Implementasi (Implementation Lag): Waktu yang dibutuhkan bagi pembuat kebijakan untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan (misalnya, persetujuan kongres untuk stimulus fiskal).
- Lag Efek (Effectiveness Lag): Waktu yang dibutuhkan agar kebijakan yang diimplementasikan memiliki dampak penuh pada perekonomian.
Karena keterlambatan ini, pada saat kebijakan stimulus mulai efektif, perekonomian mungkin sudah mulai pulih dengan sendirinya. Hal ini dapat menyebabkan kebijakan tersebut menjadi destabilisasi, justru memperburuk siklus bisnis daripada memperhalusnya.
5. Utang Publik dan Defisit
Keynesianisme, terutama dalam praktiknya, seringkali dikaitkan dengan peningkatan utang publik karena rekomendasi stimulus fiskal selama resesi. Para kritikus berpendapat bahwa defisit anggaran yang berkelanjutan dan akumulasi utang publik dapat memiliki konsekuensi negatif jangka panjang, seperti:
- Beban Bunga: Pembayaran bunga atas utang dapat menghabiskan porsi anggaran pemerintah yang besar, mengurangi sumber daya untuk investasi produktif atau layanan publik lainnya.
- Risiko Krisis Utang: Tingkat utang yang sangat tinggi dapat meningkatkan risiko krisis utang dan hilangnya kepercayaan investor.
- Generasi Mendatang: Beban utang diserahkan kepada generasi mendatang, yang harus membayar utang tersebut melalui pajak yang lebih tinggi.
Meskipun Keynesian berpendapat bahwa utang saat resesi dapat dibayar kembali saat perekonomian membaik, kritik seringkali menunjukkan bahwa dalam praktiknya, pemerintah cenderung sulit untuk mengurangi pengeluaran atau menaikkan pajak selama periode ekspansi.
6. Politik dan Efisiensi Kebijakan
Kritikus juga menyoroti aspek politis dari kebijakan Keynesian. Kebijakan fiskal diskresioner dapat menjadi alat bagi politisi untuk memenangkan suara dengan meningkatkan pengeluaran atau memotong pajak, bahkan ketika kondisi ekonomi tidak memerlukannya. Hal ini dapat menyebabkan siklus politik (political business cycle), di mana perekonomian distimulasi sebelum pemilihan umum, yang mengarah pada ketidakstabilan jangka panjang.
Selain itu, ada pertanyaan mengenai efisiensi pengeluaran pemerintah. Apakah pemerintah selalu menghabiskan uang secara efisien, atau apakah ada pemborosan dan korupsi? Ekonomi pasar, dalam pandangan kritikus, lebih efisien dalam alokasi sumber daya.
Secara keseluruhan, kritik terhadap Keynesianisme telah mendorong evolusi teori itu sendiri, memaksanya untuk menjadi lebih canggih (seperti dalam New Keynesianisme) dan juga menyebabkan perdebatan berkelanjutan tentang peran dan batasan intervensi pemerintah dalam perekonomian.
Relevansi Kontemporer Keynesianisme
Meskipun telah melalui pasang surut dan menghadapi berbagai kritik, relevansi Keynesianisme dalam analisis dan kebijakan ekonomi kontemporer tidak dapat disangkal. Seiring dengan tantangan-tantangan baru yang muncul, ide-ide Keynesian terus beradaptasi dan memberikan kerangka kerja penting bagi para pembuat kebijakan di seluruh dunia.
Respons Terhadap Krisis Finansial Global (2008)
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Krisis Finansial Global (KFG) pada tahun 2008-2009 menjadi titik balik penting bagi kebangkitan kembali Keynesianisme. Ketika perekonomian global terancam runtuh akibat krisis kredit dan jatuhnya permintaan, banyak pemerintah dan bank sentral secara masif mengadopsi kebijakan-kebijakan yang berakar pada pemikiran Keynes:
- Stimulus Fiskal Besar-besaran: Negara-negara G20 dan banyak negara lain meluncurkan paket stimulus fiskal yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti American Recovery and Reinvestment Act di AS. Paket ini melibatkan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, tunjangan pengangguran, dan pemotongan pajak. Tujuannya adalah untuk secara langsung menopang permintaan agregat dan mencegah spiral deflasi.
- Kebijakan Moneter Non-Konvensional: Bank sentral memotong suku bunga acuan hingga mendekati nol (mencapai batas bawah nol atau zero lower bound – ZLB), sebuah kondisi yang sering dikaitkan dengan "perangkap likuiditas" Keynesian. Untuk mengatasi keterbatasan ini, mereka memperkenalkan kebijakan moneter non-konvensional seperti Quantitative Easing (QE), yaitu pembelian besar-besaran aset keuangan untuk menurunkan suku bunga jangka panjang dan menyuntikkan likuiditas ke dalam sistem.
Konsensus di antara banyak ekonom dan pembuat kebijakan adalah bahwa intervensi Keynesian yang cepat dan berskala besar inilah yang berhasil mencegah KFG berubah menjadi Depresi Besar kedua. Respon ini menunjukkan bahwa dalam kondisi krisis yang parah, ketika mekanisme pasar gagal dan "animal spirits" investor sangat pesimis, intervensi pemerintah yang proaktif tetap menjadi alat yang paling efektif.
Tantangan Pandemi COVID-19 (2020-2022)
Pandemi COVID-19 pada tahun 2020 menghadirkan tantangan ekonomi yang unik dan belum pernah terjadi sebelumnya. Pemerintah di seluruh dunia terpaksa melakukan lockdown dan pembatasan mobilitas yang menyebabkan guncangan besar pada sisi penawaran (penutupan bisnis, gangguan rantai pasokan) dan sisi permintaan (penurunan konsumsi karena pembatasan dan ketidakpastian). Respons kebijakan terhadap pandemi ini semakin mengokohkan relevansi Keynesianisme:
- Dukungan Pendapatan dan Stimulus Fiskal: Pemerintah di banyak negara memberikan dukungan pendapatan langsung kepada rumah tangga (misalnya, pembayaran stimulus langsung, tunjangan pengangguran yang ditingkatkan), bantuan untuk bisnis (subsidi gaji, pinjaman murah), dan peningkatan pengeluaran publik untuk kesehatan. Tujuannya adalah untuk menopang daya beli, mencegah gelombang kebangkrutan, dan menstabilkan permintaan di tengah guncangan eksternal.
- Kebijakan Moneter Ultra-Akomodatif: Bank sentral di seluruh dunia kembali memangkas suku bunga ke rekor terendah dan memperluas program QE mereka ke skala yang lebih besar dari sebelumnya. Ini dilakukan untuk menjaga kondisi keuangan tetap longgar, mendukung pasar kredit, dan mencegah deflasi.
Respons ini merupakan implementasi besar-besaran dari prinsip-prinsip Keynesian, yang sekali lagi menunjukkan bahwa dalam menghadapi guncangan besar yang mengancam permintaan agregat dan stabilitas ekonomi, pemerintah memiliki peran vital untuk campur tangan secara aktif. Meskipun respons ini juga memicu kekhawatiran tentang inflasi dan utang publik, banyak yang berpendapat bahwa tanpa intervensi ini, konsekuensi ekonomi akan jauh lebih paruk.
Debat tentang Utang Publik dan Inflasi
Relevansi Keynesianisme modern tidak berarti tanpa perdebatan. Peningkatan utang publik yang besar akibat stimulus fiskal pasca-KFG dan pandemi telah memicu kekhawatiran tentang keberlanjutan fiskal di banyak negara. Meskipun banyak Keynesian berpendapat bahwa utang dapat dikelola asalkan pertumbuhan ekonomi tetap solid dan suku bunga tetap rendah, kritikus khawatir tentang beban generasi mendatang dan risiko krisis utang.
Selain itu, lonjakan inflasi global pasca-pandemi telah memicu debat sengit. Beberapa kritikus berpendapat bahwa stimulus fiskal dan moneter yang terlalu besar dan berkepanjangan adalah penyebab utama inflasi. Keynesian modern, di sisi lain, seringkali menyalahkan faktor-faktor sisi penawaran (gangguan rantai pasokan, perang di Ukraina) dan keuntungan perusahaan yang berlebihan, sementara tetap mempertahankan bahwa stimulus awal diperlukan untuk mencegah depresi.
Keynesianisme dan Tantangan Baru
Keynesianisme juga terus beradaptasi dengan tantangan ekonomi baru:
- Perubahan Iklim: Konsep "Green New Deal" atau investasi besar-besaran oleh pemerintah untuk transisi menuju ekonomi hijau dapat dilihat sebagai aplikasi Keynesianisme untuk mengatasi kegagalan pasar dalam isu lingkungan dan sekaligus menciptakan lapangan kerja serta pertumbuhan ekonomi.
- Ketimpangan Pendapatan: Meskipun Keynes tidak secara eksplisit fokus pada ketimpangan, banyak kebijakan Keynesian modern (misalnya, program kesejahteraan, pajak progresif) juga dapat dilihat sebagai alat untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan daya beli kelompok berpendapatan rendah, yang pada gilirannya dapat menopang permintaan agregat.
- Digitalisasi dan Otomatisasi: Potensi hilangnya pekerjaan akibat otomatisasi dan tantangan ekonomi dari platform digital memunculkan pertanyaan tentang peran pemerintah dalam menyediakan jaring pengaman sosial dan berinvestasi pada keterampilan baru, yang sejalan dengan semangat Keynesian untuk intervensi yang menstabilkan.
Dalam dunia yang ditandai oleh ketidakpastian, guncangan eksternal, dan siklus bisnis yang tidak dapat diprediksi sepenuhnya, ide-ide Keynes tentang pentingnya permintaan agregat, kekakuan pasar, dan peran proaktif pemerintah dalam menstabilkan perekonomian tetap menjadi landasan penting bagi pemahaman dan pengelolaan ekonomi modern.
Kesimpulan: Warisan Abadi John Maynard Keynes
John Maynard Keynes, melalui karyanya The General Theory of Employment, Interest and Money, tidak hanya merevolusi pemikiran ekonomi tetapi juga mengubah secara fundamental cara pemerintah memandang dan mengelola perekonomian. Dari abu Depresi Besar, ia menghadirkan sebuah kerangka kerja yang menjelaskan mengapa pasar bebas dapat terjebak dalam keseimbangan yang tidak efisien dengan pengangguran massal, dan yang lebih penting, menawarkan solusi praktis untuk mengatasinya.
Inti dari warisan Keynes adalah penekanannya pada permintaan agregat sebagai pendorong utama aktivitas ekonomi. Ia menolak dogma klasik yang percaya pada kemampuan koreksi diri pasar yang otomatis, dengan alasan bahwa kekakuan upah dan harga, serta faktor psikologis seperti "animal spirits" investor, dapat menyebabkan pasar gagal untuk mencapai kesempatan kerja penuh. Dalam situasi tersebut, Keynesianisme mengadvokasi intervensi pemerintah melalui kebijakan fiskal (pengeluaran pemerintah dan pajak) dan, pada tingkat lebih rendah, kebijakan moneter, untuk menstimulasi permintaan dan mengembalikan perekonomian ke jalur pertumbuhan dan kesempatan kerja penuh.
Konsep-konsep seperti efek multiplikator, paradoks penghematan, dan kemungkinan perangkap likuiditas tidak hanya menjadi alat analisis yang kuat, tetapi juga membentuk dasar kebijakan ekonomi global selama "Golden Age" pasca-Perang Dunia II. Meskipun menghadapi kritik keras dari Monetaris, Teori Pilihan Rasional, dan Ekonomi Sisi Penawaran pada tahun 1970-an dan 1980-an, yang menyebabkan pergeseran paradigma ke arah kebijakan pro-pasar, Keynesianisme berhasil berevolusi menjadi bentuk yang lebih canggih (New Keynesianisme) dengan fondasi mikroekonomi yang lebih kuat.
Kebangkitan kembali yang dramatis dari Keynesianisme selama Krisis Finansial Global 2008 dan pandemi COVID-19 adalah bukti nyata dari daya tahan dan relevansinya. Dalam menghadapi krisis ekonomi yang parah, pemerintah di seluruh dunia secara konsisten beralih ke alat-alat Keynesian berupa stimulus fiskal besar-besaran dan kebijakan moneter ultra-akomodatif untuk menopang permintaan, mencegah keruntuhan, dan memitigasi dampak terburuk. Intervensi ini, meskipun memicu perdebatan tentang utang dan inflasi, secara luas diakui telah menyelamatkan perekonomian global dari kehancuran yang lebih dalam.
Pada akhirnya, Keynesianisme telah mengajarkan kita bahwa pasar, meskipun luar biasa efisien dalam banyak hal, tidaklah sempurna. Ada saat-saat ketika intervensi pemerintah yang bijaksana dan terarah diperlukan untuk menstabilkan perekonomian, mengurangi penderitaan manusia akibat pengangguran, dan memastikan prospek kesejahteraan jangka panjang. Warisan John Maynard Keynes terus hidup, tidak hanya dalam buku-buku teks ekonomi, tetapi juga dalam setiap keputusan kebijakan yang diambil untuk menavigasi kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi modern.