Telur adalah komoditas strategis yang pergerakan harganya menjadi barometer penting bagi stabilitas ekonomi rumah tangga dan industri kuliner. Bagi pengecer, pemilik warung makan, atau rumah tangga besar, pembelian telur dalam satuan ‘papan’ adalah praktik umum. Istilah harga telur 1 papan merujuk pada harga satuan untuk satu rak telur yang umumnya berisi 30 butir. Namun, harga ini tidak pernah statis. Ia bergerak lincah, dipengaruhi oleh rantai pasok yang panjang, biaya produksi yang kompleks, dan dinamika permintaan yang tak terduga.
Artikel ini akan membedah secara mendalam semua variabel yang menentukan harga eceran dan grosir telur per papan, mulai dari pintu peternakan hingga meja dapur Anda. Memahami arsitektur harga ini sangat krusial bagi siapa pun yang bergantung pada stabilitas harga bahan pangan pokok ini.
Standar umum "1 papan" merujuk pada 30 butir telur ayam ras.
Dalam konteks perdagangan telur di Indonesia, 'papan' atau 'tray' merujuk pada unit pengemasan standar yang digunakan untuk memudahkan distribusi dan penjualan. Satuan ini umumnya berisi 30 butir telur ayam ras (bukan telur kampung yang sering dijual dalam keranjang kecil). Namun, definisi papan tidak hanya berhenti pada jumlah butir, melainkan juga harus mempertimbangkan klasifikasi berat dan kualitas.
Harga telur 1 papan sangat bergantung pada bobot total telur di dalamnya. Meskipun jumlahnya 30, berat total dapat bervariasi antara 1.8 kg hingga 2.2 kg, bahkan lebih. Peternak dan distributor biasanya membagi telur ke dalam beberapa grade:
Ketika konsumen menanyakan harga 1 papan, yang dimaksud seringkali adalah Grade B. Perbedaan harga antara Grade A dan C dalam satu papan bisa mencapai Rp 3.000 hingga Rp 5.000, menggambarkan pentingnya standarisasi bobot ini dalam struktur harga akhir.
Penggunaan tray plastik atau karton juga menjadi komponen biaya yang meski kecil, tetap diperhitungkan. Tray ini berfungsi sebagai pelindung agar telur tidak pecah selama pengangkutan. Dalam skala besar, biaya pengadaan tray, yang harus kuat dan steril, menjadi bagian integral dari total harga yang dibebankan kepada pembeli grosir.
Harga telur mentah dianggap sebagai salah satu harga pangan yang paling volatil, bergerak naik turun dalam hitungan hari. Volatilitas ini disebabkan oleh ketidakseimbangan yang sensitif antara produksi harian dan permintaan pasar yang dipicu oleh faktor-faktor luar.
Periode hari raya keagamaan (Idul Fitri, Natal, Tahun Baru) dan libur sekolah secara historis selalu menjadi pendorong utama lonjakan permintaan. Selama periode ini, industri makanan dan rumah tangga meningkatkan pembelian secara drastis untuk keperluan baking, catering, atau kebutuhan konsumsi keluarga. Lonjakan permintaan ini, sementara kapasitas produksi kandang tetap stabil atau hanya meningkat perlahan, memaksa harga telur 1 papan melonjak. Kenaikan 15-30% dari harga normal adalah pemandangan umum saat mendekati periode puncak.
Pemerintah seringkali menetapkan Harga Acuan Pembelian di Tingkat Peternak (HAP) dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Tujuannya adalah melindungi peternak dari kerugian saat harga anjlok (over-supply) dan melindungi konsumen saat harga melambung tinggi. Namun, implementasi di lapangan seringkali menghadapi tantangan logistik dan perbedaan regional, membuat harga riil di pasar acapkali berada di luar koridor acuan yang telah ditetapkan.
Stabilitas harga 1 papan telur sangat dipengaruhi oleh keseimbangan psikologis pasar. Jika rumor kekurangan pasokan menyebar, distributor dan pengecer cenderung menahan stok (hoarding) yang memperparah kenaikan harga, bahkan jika pasokan di tingkat peternak masih mencukupi.
Perubahan cuaca ekstrem, seperti musim hujan berkepanjangan atau gelombang panas, sangat mempengaruhi produksi ayam. Suhu tinggi dapat menyebabkan ayam stress, mengurangi nafsu makan, dan menurunkan produksi telur, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Sebaliknya, saat musim panen pakan utama (seperti jagung) gagal karena banjir, biaya input produksi akan melonjak, dan kenaikan ini langsung ditransfer ke harga jual telur 1 papan di pasaran.
Untuk memahami harga akhir 1 papan telur, kita harus memahami struktur biaya di tingkat peternak. Industri peternakan telur adalah industri padat modal dengan margin keuntungan yang tipis, di mana 70-80% dari total biaya produksi ditentukan oleh satu variabel kritis: pakan.
Pakan adalah faktor penentu utama harga telur. Ayam petelur membutuhkan formulasi pakan yang kompleks yang terdiri dari energi, protein, dan mikronutrien. Bahan baku utama pakan di Indonesia adalah jagung, bungkil kedelai (Soybean Meal/SBM), dan konsentrat vitamin/mineral. Fluktuasi harga bahan baku ini sangat rentan terhadap pasar global dan kebijakan impor.
Jagung adalah sumber energi utama dalam pakan ayam, menyumbang hingga 50-60% dari formulasi. Ketika harga jagung domestik melonjak (biasanya karena musim tanam yang buruk atau keterlambatan panen), atau ketika pemerintah membatasi impor untuk melindungi petani lokal, peternak dipaksa membeli jagung dengan harga tinggi. Kenaikan harga jagung sebesar Rp 500 per kilogram dapat menaikkan biaya produksi telur per papan secara signifikan, dan kenaikan ini seringkali sulit diserap oleh peternak yang bersaing ketat di pasar.
Bungkil kedelai (SBM) adalah sumber protein vital. Sayangnya, mayoritas SBM harus diimpor karena produksi kedelai domestik yang terbatas. Harga SBM dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS, harga komoditas global di Chicago Board of Trade (CBOT), dan biaya pengiriman internasional. Setiap pelemahan Rupiah secara langsung membuat biaya pakan impor menjadi lebih mahal, yang kemudian menekan peternak untuk menaikkan harga jual telur 1 papan.
Meskipun pakan mendominasi, biaya lain juga membentuk harga akhir:
Perbedaan harga telur 1 papan antara kota produksi utama (seperti Blitar di Jawa Timur atau Lampung) dan kota konsumen (seperti Jakarta atau wilayah timur Indonesia) mencerminkan panjangnya rantai distribusi dan biaya logistik.
Ini adalah harga terendah. Di sentra produksi, peternak menjual langsung kepada pengepul atau distributor besar. Harga ini sangat sensitif terhadap kelebihan atau kekurangan pasokan harian. Jika produksi melebihi kapasitas serap lokal, harga di tingkat peternak bisa anjlok drastis (disebut "harga jatuh"), yang merugikan peternak.
Telur adalah komoditas yang rapuh dan berat, memerlukan penanganan khusus (pendingin) dan transportasi cepat. Biaya bahan bakar (BBM) dan tol memiliki dampak langsung pada harga. Ketika telur dikirim dari Jawa ke Kalimantan atau Papua, biaya transportasi, termasuk kapal laut dan penanganan pelabuhan, dapat menambah beban harga hingga Rp 5.000 - Rp 10.000 per papan dibandingkan harga di Jawa. Ini menjelaskan mengapa harga di pasar terpencil selalu jauh lebih tinggi.
Setiap mata rantai distribusi menambahkan marjin keuntungan mereka.
Fluktuasi harga dipengaruhi oleh dinamika harian supply dan demand.
Bagi pelaku bisnis yang menggunakan telur dalam volume besar (seperti usaha kue, roti, atau restoran), mengamankan harga terbaik adalah kunci profitabilitas. Strategi pembelian harus didasarkan pada pemahaman mendalam mengenai siklus pasar.
Membeli telur langsung dari distributor besar di tingkat kota atau bahkan langsung dari koperasi peternak adalah cara paling efektif untuk memotong rantai biaya. Distributor besar seringkali menawarkan harga grosir untuk pembelian minimal 50 hingga 100 papan. Meskipun memerlukan investasi awal yang lebih besar, harga per papan yang didapatkan bisa lebih murah Rp 1.000 hingga Rp 2.500 dibandingkan harga pengecer.
Hindari membeli dalam jumlah besar 1-2 minggu sebelum hari raya besar, karena pada saat itu, distributor sudah menaikkan harga sebagai antisipasi. Waktu terbaik untuk melakukan stok adalah setelah puncak perayaan, ketika permintaan kembali normal dan pasar mengalami kelebihan pasokan sementara (oversupply), yang memaksa harga turun.
Untuk bisnis yang membutuhkan stabilitas harga, menjalin kontrak jangka panjang dengan distributor dapat menjadi solusi. Kontrak ini memungkinkan penetapan harga rata-rata (fixed price) selama periode tertentu, melindungi pembeli dari lonjakan harga tiba-tiba, meskipun mungkin mengorbankan keuntungan saat harga pasar sedang anjlok.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu menjadi momok bagi sektor peternakan, dan dampaknya merambat dengan cepat hingga ke harga telur 1 papan di tingkat konsumen. Analisis ini membutuhkan pemahaman akan dua dimensi utama penggunaan BBM dalam rantai pasok.
Logistik primer adalah pengiriman pakan dari pabrik ke peternakan, dan logistik sekunder adalah pengiriman telur dari peternakan ke pasar/distributor. Peningkatan biaya solar untuk truk pengangkut secara langsung meningkatkan tarif angkut. Sebagai contoh, jika biaya logistik naik 10%, maka biaya ini harus dibagi rata ke puluhan ribu papan yang diangkut. Meskipun dampaknya per butir kecil, dalam skala satu papan (30 butir), kenaikan kumulatifnya menjadi signifikan.
BBM juga digunakan dalam operasional pabrik pakan dan proses panen bahan baku seperti jagung. Kenaikan harga BBM membuat biaya panen dan penggilingan pakan menjadi lebih mahal. Oleh karena itu, peternak tidak hanya menghadapi biaya transportasi telur yang lebih tinggi, tetapi juga biaya pakan yang sudah naik duluan akibat kenaikan energi di hulu. Ini menciptakan efek domino yang menghasilkan lonjakan harga ganda pada telur di tingkat konsumen.
Harga telur 1 papan juga mencerminkan tantangan struktural yang dihadapi oleh peternak skala kecil dan menengah di Indonesia, terutama dalam hal daya saing dan standar kualitas.
Untuk menjamin harga yang stabil, kualitas telur harus terjaga. Peternak harus mematuhi regulasi ketat mengenai sanitasi kandang, penggunaan antibiotik, dan jadwal vaksinasi. Kepatuhan terhadap standar ini membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Telur yang diproduksi dengan standar kesehatan tinggi seringkali dijual dengan harga sedikit premium, namun memberikan jaminan keamanan pangan yang lebih baik bagi konsumen akhir.
Peternak skala besar yang menggunakan sistem kandang tertutup (closed house) dan otomatisasi penuh memiliki efisiensi produksi yang jauh lebih tinggi (Feed Conversion Ratio/FCR yang lebih baik) dan biaya per butir yang lebih rendah. Mereka mampu menyerap kenaikan biaya pakan lebih baik daripada peternak skala kecil yang masih menggunakan kandang terbuka. Perbedaan efisiensi inilah yang menyebabkan peternak kecil seringkali harus menjual telur 1 papan dengan harga yang mepet biaya produksi saat pasar sedang lesu, sementara peternak besar masih dapat bertahan.
Walaupun Indonesia cenderung swasembada telur, isu impor dari negara tetangga sesekali muncul ketika terjadi gejolak harga ekstrem. Ancaman impor, meskipun jarang terwujud, dapat menekan harga di tingkat peternak domestik. Oleh karena itu, peternak harus terus meningkatkan kualitas dan efisiensi agar produk lokal tetap kompetitif.
Memprediksi harga telur 1 papan dalam jangka panjang adalah tugas yang sulit, namun tren menunjukkan bahwa tekanan biaya produksi akan terus meningkat.
Selama harga komoditas global, terutama jagung dan kedelai, tetap tinggi akibat konflik geopolitik, perubahan iklim, atau kebijakan ekspor negara produsen, biaya pakan di Indonesia akan tetap mahal. Peternak akan terus menerus menghadapi dilema antara menaikkan harga jual atau mengurangi kualitas pakan (yang berakibat pada penurunan produksi). Proyeksi menunjukkan bahwa harga rata-rata telur akan cenderung bergerak perlahan naik mengikuti inflasi global biaya input.
Salah satu solusi jangka panjang untuk mengurangi volatilitas harga adalah pembentukan 'buffer stock' atau stok penyangga yang dikelola oleh BUMN atau koperasi peternak. Ketika harga di pasar anjlok, stok ini diserap oleh badan penyangga; ketika harga melonjak, stok dilepas. Mekanisme ini dapat membantu meredam kenaikan dan penurunan harga ekstrem, memberikan stabilitas yang sangat dibutuhkan bagi konsumen yang membeli telur 1 papan.
Upaya penelitian untuk menemukan bahan baku pakan alternatif yang berasal dari sumber daya domestik (seperti ampas sagu, ubi, atau serangga) dapat mengurangi ketergantungan pada jagung dan SBM impor. Keberhasilan inovasi ini dapat menjadi kunci untuk memutus rantai ketergantungan harga global dan menghasilkan harga telur yang lebih stabil dan terjangkau di masa depan.
Secara keseluruhan, harga telur 1 papan adalah cerminan kompleks dari ekonomi mikro peternakan, logistik antarwilayah, dan dinamika pasar makro global. Pembeli yang cerdas harus selalu memantau tidak hanya harga di tingkat pengecer, tetapi juga faktor-faktor fundamental yang memengaruhinya, seperti ketersediaan pakan dan kondisi cuaca di sentra produksi.
***
Untuk mencapai target pembahasan komprehensif, penting untuk menguraikan lebih rinci bagaimana peternakan modern mengelola biaya yang memengaruhi harga jual 1 papan telur. Efisiensi manajemen sangat menentukan harga pokok produksi (HPP).
Peternakan besar menghasilkan limbah kotoran yang signifikan. Biaya pengelolaan limbah ini, baik untuk diolah menjadi pupuk organik atau diolah dengan sistem biogas, menjadi bagian dari HPP. Peternakan yang tidak mengelola limbah dengan baik mungkin memiliki HPP yang sedikit lebih rendah, tetapi menghadapi risiko denda dan penolakan masyarakat. Biaya investasi pada sistem pengolahan limbah yang berkelanjutan dimasukkan dalam perhitungan penyusutan aset yang kemudian dibebankan pada harga telur 1 papan.
Kandang tertutup (closed house system) menjamin suhu dan kelembaban optimal, yang meningkatkan kesehatan ayam dan produksi telur. Namun, sistem ini sangat bergantung pada listrik untuk mengoperasikan blower, pendingin, dan lampu. Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) atau biaya genset saat listrik padam secara langsung meningkatkan biaya operasional harian. Dalam industri dengan margin tipis, kenaikan biaya energi sebesar 5% saja dapat memaksa peternak menaikkan harga jual produk per papan.
Membangun peternakan modern memerlukan investasi modal ratusan juta hingga miliaran Rupiah. Peternak seringkali mengandalkan pinjaman bank. Biaya bunga pinjaman ini adalah biaya tetap yang harus dibayar tanpa memandang fluktuasi harga telur. Di saat suku bunga tinggi, beban HPP yang ditanggung peternak semakin berat, yang memaksa mereka menjaga harga jual telur 1 papan di atas batas minimum agar tidak gagal bayar.
Tidak semua telur dijual dengan harga standar pasar. Ada segmen pasar premium yang menjual telur 1 papan dengan harga jauh lebih tinggi, didasarkan pada kualitas, diet ayam, dan klaim kesehatan.
Telur omega-3 diproduksi oleh ayam yang pakannya diperkaya dengan sumber asam lemak omega-3, seperti biji rami atau minyak ikan. Biaya pakan khusus ini bisa 20-40% lebih mahal daripada pakan standar. Papan telur omega-3 jelas memiliki harga jual yang signifikan lebih tinggi (premium market) karena biaya produksi yang lebih besar dan nilai tambah kesehatan yang ditawarkan kepada konsumen.
Meskipun telur ayam kampung jarang dijual dalam satuan papan 30 butir, ketika ia dijual dalam jumlah besar, harganya jauh melampaui telur ras. Ayam kampung memiliki produktivitas yang jauh lebih rendah dan biaya pemeliharaan per butir yang lebih tinggi. Demikian pula, telur organik dari ayam yang dibesarkan di lingkungan bebas kimia memerlukan biaya sertifikasi dan pemeliharaan yang ketat, menghasilkan harga premium yang tidak dipengaruhi fluktuasi harga komoditas standar.
Peternakan yang menggunakan mesin penyortir telur otomatis dapat menjamin keseragaman ukuran dan kualitas yang lebih baik. Telur yang terdeteksi retak (hairline crack) atau cacat langsung disisihkan. Kualitas yang terjamin ini memungkinkan produk mereka dijual ke pasar modern (supermarket) dengan harga yang lebih stabil dan sedikit lebih tinggi, karena kerugian penyusutan yang dialami pembeli (supermarket) menjadi minimal.
Disparitas harga antar wilayah adalah isu penting yang harus dianalisis. Harga telur 1 papan di daerah sentra produksi (Jawa Timur) dan daerah konsumen akhir (Papua atau Maluku) dapat berbeda hingga 50%.
Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat adalah lumbung produksi telur nasional. Harga di wilayah ini cenderung paling stabil dan paling rendah karena biaya logistik pakan rendah dan akses cepat ke pasar besar. Namun, ketika terjadi over-supply, harga di Jawa bisa anjlok ekstrem, memaksa peternak merugi.
Harga di Jabodetabek sedikit lebih tinggi dari Jawa Timur. Kenaikan ini disebabkan oleh biaya transportasi dari sentra produksi (sekitar Rp 1.000 hingga Rp 2.000 per papan) dan marjin distribusi yang lebih tinggi karena biaya sewa lahan dan tenaga kerja yang mahal di wilayah perkotaan.
Kawasan Timur Indonesia (KTI) menghadapi tantangan terberat. Selain biaya pengiriman laut yang mahal dan waktu tempuh yang lama (risiko kerusakan), infrastruktur pendingin yang minim juga menambah biaya. Di beberapa daerah pelosok, harga telur 1 papan bisa dua kali lipat harga di Jawa. Upaya pemerintah untuk membangun peternakan lokal di KTI bertujuan untuk mengurangi ketergantungan logistik ini dan menstabilkan harga pangan dasar.
Regulasi transportasi dan perizinan juga memengaruhi harga akhir. Setiap lapisan birokrasi, jika tidak efisien, dapat menambah biaya non-produktif pada harga telur 1 papan.
Koperasi memainkan peran penting dalam menstabilkan harga bagi peternak kecil. Dengan menjual telur secara kolektif melalui koperasi, peternak mendapatkan daya tawar yang lebih kuat terhadap distributor besar, memungkinkan mereka mendapatkan harga farm gate yang lebih adil dan mengurangi praktik monopoli oleh pengepul perorangan. Koperasi juga sering menyediakan pakan dengan harga yang lebih kompetitif kepada anggotanya.
Penyederhanaan perizinan angkutan dan peningkatan kualitas jalan tol memangkas waktu dan biaya distribusi. Semakin cepat telur sampai di pasar, semakin rendah risiko kerusakan dan biaya penyimpanan. Oleh karena itu, investasi infrastruktur pemerintah secara tidak langsung berkontribusi pada stabilitas harga telur 1 papan di seluruh wilayah.
Pengawasan ketat terhadap praktik kartel di pasar pakan dan telur sangat vital. Jika beberapa perusahaan besar mengendalikan mayoritas pasokan pakan atau distribusi, mereka dapat memanipulasi harga, menekan peternak kecil, dan akhirnya membebankan biaya tidak wajar kepada konsumen. Penegakan hukum yang kuat diperlukan untuk menjaga persaingan sehat dan memastikan harga pasar yang wajar.
Permintaan konsumen adalah variabel dinamis yang harus diperhitungkan saat menganalisis harga. Perubahan preferensi dan peningkatan kesadaran gizi masyarakat telah membentuk permintaan telur.
Dalam beberapa dekade terakhir, kesadaran masyarakat akan pentingnya protein murah dan berkualitas (terutama untuk tumbuh kembang anak) telah meningkat tajam. Telur adalah sumber protein paling terjangkau. Peningkatan konsumsi per kapita ini berarti permintaan agregat akan selalu tinggi, memberikan dasar yang kuat bagi peternak untuk menjaga volume produksi, meskipun harga telur 1 papan di tingkat tertentu harus mengikuti inflasi.
Sektor Hotel, Restoran, dan Katering (HORECA) adalah konsumen telur dalam volume masif. Saat sektor ini mengalami pertumbuhan pesat, permintaan telur grosir melonjak. Sebaliknya, saat terjadi krisis ekonomi atau pandemi (seperti yang pernah terjadi), sektor HORECA lesu, menyebabkan surplus telur di pasar yang mengakibatkan penurunan harga telur 1 papan secara drastis dalam jangka pendek.
Selain hari raya keagamaan, acara-acara besar seperti pemilihan umum, pesta olahraga nasional, atau konferensi internasional yang melibatkan mobilisasi massa dalam jumlah besar juga memicu peningkatan permintaan makanan, termasuk telur. Efek temporer ini seringkali tidak terprediksi oleh peternak, menyebabkan lonjakan harga yang mendadak sebelum harga kembali normal.
Hubungan antara nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing, khususnya Dolar AS, adalah korelasi negatif yang kuat dengan stabilitas harga telur di pasar domestik.
Seperti yang telah dibahas, mayoritas bungkil kedelai dan beberapa vitamin serta obat-obatan peternakan masih diimpor. Ketika Rupiah melemah (nilai Dolar menguat), peternak harus mengeluarkan lebih banyak Rupiah untuk membeli input pakan yang sama. Biaya tambahan ini, yang terkadang mencapai puluhan hingga ratusan Rupiah per butir, harus ditanggung konsumen melalui kenaikan harga telur 1 papan. Analisis makroekonomi pergerakan kurs menjadi wajib bagi pengamat harga telur.
Peternakan modern sangat bergantung pada teknologi impor, seperti mesin penetas, ventilasi, dan sistem pengemasan otomatis. Pembelian dan perawatan suku cadang ini dibayar dalam mata uang asing. Pelemahan Rupiah membuat investasi jangka panjang peternak menjadi lebih mahal, yang pada akhirnya harus dikompensasi melalui penetapan harga jual produk mereka.
Oleh karena itu, stabilitas moneter nasional memiliki peran yang sama pentingnya dengan ketersediaan jagung domestik dalam menentukan apakah harga telur 1 papan akan tetap terjangkau atau melonjak tak terkendali.
***
Krisis pakan yang bersifat global atau regional dapat menciptakan disrupsi yang mendalam pada industri peternakan lokal, yang berujung pada kelangkaan atau lonjakan harga ekstrem untuk telur 1 papan.
Jagung di Indonesia bersifat musiman. Jika terjadi gagal panen besar di sentra jagung (misalnya akibat La Nina atau El Nino), pasokan jagung nasional berkurang drastis. Peternak kemudian terpaksa beralih menggunakan jagung impor atau mencari substitusi yang harganya lebih mahal. Dalam skenario terburuk, peternak tidak mampu membeli pakan yang cukup atau layak, sehingga produksi telur mereka menurun, menciptakan kelangkaan yang berujung pada harga yang sangat tinggi.
Peristiwa global seperti pandemi atau penutupan jalur pelayaran utama dapat mengganggu pengiriman SBM dari Amerika Selatan atau Amerika Utara. Keterlambatan pasokan (supply chain bottleneck) menyebabkan harga SBM di pelabuhan melonjak tajam. Karena peternak tidak dapat menghentikan pemberian makan ayam, mereka harus menelan biaya pakan yang sangat tinggi, yang hanya dapat diatasi dengan menaikkan harga telur 1 papan hingga ke tingkat yang seringkali tidak terjangkau oleh konsumen biasa.
Harga telur 1 papan merupakan indikator kesehatan ekonomi pangan. Bagi konsumen, pemahaman tentang dinamika ini membantu dalam merencanakan anggaran. Bagi pelaku usaha, pengetahuan mendalam tentang struktur biaya ini adalah keharusan untuk mempertahankan profitabilitas di tengah pasar yang sangat kompetitif.
Dengan demikian, meskipun harga 1 papan telur terlihat sederhana, ia membawa beban seluruh kompleksitas dari hulu (pakan global) hingga hilir (logistik retail). Stabilitas harga komoditas ini memerlukan koordinasi yang baik antara peternak, pemerintah, dan rantai distribusi agar telur tetap menjadi sumber protein yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.