Industri perunggasan di Indonesia merupakan salah satu sektor pangan strategis yang nilainya mencapai triliunan rupiah setiap periode. Harga ayam hidup per ekor, yang sering disebut sebagai Harga Ayam Livebird (LB), adalah barometer kesehatan ekonomi peternak dan indikator stabilitas pasokan protein hewani di pasar. Fluktuasi harga ini sangat dinamis, dipengaruhi oleh berbagai faktor mulai dari biaya produksi di tingkat hulu hingga daya beli konsumen di tingkat hilir.
Memahami mekanisme penentuan harga ayam hidup bukanlah sekadar mengetahui angka per hari, melainkan menelisik seluruh ekosistem yang kompleks, melibatkan integrator besar, peternak mandiri, pengepul, serta regulasi pemerintah. Artikel ini akan mengupas tuntas setiap aspek yang memengaruhi harga LB, memberikan panduan komprehensif bagi peternak, pedagang, investor, dan masyarakat umum.
Harga jual ayam hidup di tingkat peternak (farm gate price) ditentukan oleh variabel biaya yang sangat sensitif. Sedikit perubahan pada salah satu komponen dapat memicu kenaikan atau penurunan harga yang signifikan di pasar.
Pakan adalah komponen biaya terbesar dalam budidaya ayam broiler maupun layer, sering kali mencapai 60% hingga 75% dari total biaya operasional (biaya pokok produksi/BPP). Harga pakan sangat bergantung pada harga komoditas global, terutama jagung, bungkil kedelai (Soybean Meal/SBM), dan bahan baku impor lainnya. Karena mayoritas bahan baku utama pakan (terutama SBM) masih diimpor, kurs Rupiah terhadap Dolar AS menjadi penentu utama.
Jagung adalah sumber energi utama dalam pakan. Meskipun Indonesia berupaya swasembada jagung, ketersediaan dan kualitas jagung lokal seringkali tidak stabil. Ketika panen raya, harga jagung lokal bisa turun, mengurangi BPP peternak. Sebaliknya, saat musim paceklik, peternak terpaksa beralih ke stok impor atau substitusi, yang harganya jauh lebih tinggi.
Bungkil kedelai adalah sumber protein vital. Harga kedelai ditentukan oleh pasar global, terutama dari Amerika Serikat dan Brazil. Gejolak geopolitik, kondisi cuaca di negara produsen utama, atau kebijakan tarif dagang internasional secara langsung memengaruhi biaya protein yang diserap oleh pabrik pakan di Indonesia, dan akhirnya diteruskan ke harga LB.
Anak ayam umur sehari (DOC) adalah modal awal peternak. Harga DOC ditentukan oleh perusahaan pembibitan (Breeding Farm). Jika suplai DOC berlimpah (over supply), harga DOC akan turun, dan peternak cenderung menambah populasi, yang pada akhirnya dapat menekan harga jual ayam hidup saat panen (panen bersamaan).
Sebaliknya, jika terjadi pengetatan suplai DOC—seringkali diintervensi oleh pemerintah untuk menjaga harga—maka harga DOC naik, tetapi ini diharapkan dapat menstabilkan harga LB di masa depan karena populasi yang lebih terkontrol.
Angka mortalitas ayam sangat krusial. Jika terjadi serangan penyakit seperti Avian Influenza (AI), Newcastle Disease (ND), atau Gumboro, tingkat kematian bisa meningkat drastis. Setiap ekor ayam yang mati berarti kerugian biaya pakan dan DOC yang sudah dikeluarkan. Untuk menutupi kerugian akibat tingginya mortalitas (misalnya di atas 5%), peternak harus menjual sisa ayam hidup dengan harga yang lebih tinggi agar mencapai titik impas (BEP).
Pencegahan penyakit memerlukan investasi pada vaksinasi dan obat-obatan. Biaya ini termasuk dalam BPP. Peningkatan biaya pencegahan, meskipun mengurangi risiko, tetap menambah beban biaya produksi yang harus dimasukkan dalam harga jual per ekor.
Komponen ini meliputi listrik, air, tenaga kerja, serta biaya transportasi dari kandang ke pasar atau Rumah Potong Ayam (RPA). Peternak yang berada jauh dari sentra industri pakan dan RPA memiliki biaya logistik yang jauh lebih tinggi. Kenaikan harga BBM atau biaya tol secara otomatis meningkatkan biaya pengiriman dan menekan margin peternak.
Tidak semua ayam hidup diperdagangkan dengan harga yang sama. Harga sangat ditentukan oleh jenis ras, berat, dan standar kualitas karkas yang diperkirakan setelah disembelih. Pemahaman tentang segmentasi ini penting untuk menganalisis pasar.
Ayam broiler mendominasi pasar, mencapai lebih dari 90% konsumsi daging ayam di Indonesia. Harganya paling fluktuatif karena siklus panennya yang sangat cepat (28 hingga 35 hari).
Harga ditentukan per kilogram (Rp/kg), namun pedagang sering mengkonversinya menjadi harga per ekor berdasarkan estimasi berat timbang. Kualitas ayam broiler umumnya dibagi:
FCR (rasio pakan yang dihabiskan per pertambahan berat) sangat memengaruhi harga. Ayam dengan FCR rendah (misalnya 1.6) berarti peternak lebih efisien, dan margin keuntungannya lebih besar, memungkinkan peternak menjual dengan harga yang lebih kompetitif. Kematangan panen juga penting; ayam yang dipanen terlalu dini atau terlambat akan memiliki harga yang kurang optimal.
Ayam Kampung memiliki harga yang jauh lebih stabil dan biasanya lebih tinggi dibandingkan broiler, karena proses budidayanya yang lebih lama (90-120 hari) dan biaya pakan yang bervariasi (sering menggunakan pakan alternatif).
Karena harga ayam kampung lebih terikat pada tradisi dan permintaan lokal spesifik (misalnya untuk upacara adat atau hajatan), mekanisme harganya cenderung berbeda dan kurang sensitif terhadap kelebihan pasokan broiler.
Untuk memahami mengapa harga ayam hidup dapat berkisar antara Rp 15.000 hingga Rp 25.000 per kg di tingkat peternak, kita harus membedah BPP. Asumsi BPP di bawah ini didasarkan pada populasi 10.000 ekor, periode panen 32 hari, dan FCR 1.7:
Jika harga pakan rata-rata mencapai Rp 8.000/kg dan asumsi berat panen rata-rata 1.8 kg/ekor, maka:
Angka Rp 24.480 ini sudah mencakup sekitar 70% dari BPP total. Jika harga pakan naik 5%, maka BPP akan naik sekitar Rp 1.224 per ekor, yang harus ditanggung oleh harga jual LB.
Komponen non-pakan meliputi DOC, obat-obatan, dan operasional. Jika harga DOC adalah Rp 7.500/ekor dan biaya operasional (listrik, tenaga kerja, sekam) adalah Rp 2.500/ekor (diasumsikan mortalitas 5% dan biaya ditanggung 95% sisa populasi), maka total BPP tanpa memperhitungkan profit adalah:
Dengan berat 1.8 kg, harga impas per kg adalah Rp 34.480 / 1.8 kg = Rp 19.155/kg. Peternak harus menjual di atas harga ini untuk mendapatkan margin. Jika harga pasar di bawah Rp 19.155, peternak mengalami kerugian.
Rantai distribusi ayam hidup di Indonesia sangat berlapis, memengaruhi transparansi dan efisiensi harga. Struktur pasar didominasi oleh perusahaan integrator besar, namun peternak mandiri masih memegang peran penting.
Integrator adalah perusahaan besar yang mengontrol seluruh proses dari hulu (pembibitan DOC, pabrik pakan) hingga hilir (RPA dan distribusi). Mayoritas ayam broiler dijual melalui sistem kemitraan, di mana integrator menyediakan DOC dan pakan, sementara peternak menyediakan kandang dan tenaga kerja.
Peternak mandiri (non-mitra) menanggung seluruh risiko BPP. Mereka membeli DOC dan pakan secara tunai. Keuntungan mereka bisa sangat besar ketika harga LB tinggi, namun kerugiannya juga bisa fatal ketika terjadi over supply atau penyakit.
Harga ayam hidup peternak mandiri sering kali menjadi harga acuan pasar bebas, dan umumnya lebih rendah (Rp 500 - Rp 1.000/kg) dibandingkan ayam kemitraan karena mereka perlu menjual lebih cepat dan menerima pembayaran tunai dari pengepul.
Pengepul (tengkulak) memainkan peran krusial sebagai penyerap stok harian dari peternak dan pemasok utama ke RPA. Mereka menentukan harga harian berdasarkan informasi cepat mengenai stok kandang, permintaan RPA, dan harga pakan terbaru. Margin keuntungan pengepul menjadi salah satu penambah harga dari farm gate price ke harga konsumen.
Pengepul atau peternak yang mencoba menahan stok (misalnya menunda panen) berharap harga akan naik. Namun, jika penahanan stok terlalu lama, FCR akan memburuk, ayam menjadi terlalu besar (yang kurang disukai pasar), dan risiko penyakit meningkat, yang justru bisa memicu penurunan harga drastis saat terjadi panic selling.
Harga ayam hidup tidak seragam di seluruh wilayah Indonesia. Perbedaan ini dipicu oleh dua faktor utama: jarak pusat produksi dan kepadatan populasi konsumen.
Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, adalah sentra produksi terbesar. Karena kedekatan antara pabrik pakan, peternak, dan konsumen (Jawa memiliki kepadatan penduduk tertinggi), harga LB di Jawa cenderung menjadi harga acuan nasional dan relatif lebih rendah serta stabil.
Wilayah di luar Jawa—seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua—umumnya memiliki harga ayam hidup yang jauh lebih tinggi. Disparitas ini disebabkan oleh tiga hal:
Meskipun ada pabrik pakan lokal di luar Jawa (misalnya di Sumatera Utara), sebagian besar pakan dan hampir seluruh DOC berkualitas tinggi harus didatangkan dari Jawa. Biaya angkut kapal dan distribusi darat yang mahal meningkatkan BPP di wilayah tersebut. Peningkatan biaya logistik ini bisa mencapai Rp 3.000 hingga Rp 5.000 per kg tambahan pada harga jual LB.
Peternakan di luar Jawa cenderung memiliki skala yang lebih kecil dan kurang terintegrasi. Ini membuat mereka kurang efisien dalam FCR dan penggunaan energi, sehingga membutuhkan margin keuntungan yang lebih besar untuk tetap bertahan.
Di daerah terpencil, pasokan terkadang sangat terbatas. Hukum penawaran dan permintaan sangat berlaku; jika pasokan terlambat atau gagal dikirim (misalnya karena cuaca buruk), harga lokal bisa melonjak ekstrem, bahkan melebihi dua kali lipat harga di Jawa.
Contoh Kasus Regional: Di pasar tradisional Jakarta, harga LB mungkin Rp 21.000/kg. Sementara di Merauke, Papua, karena biaya logistik yang kompleks, harga LB dapat mencapai Rp 35.000/kg hingga Rp 40.000/kg, meskipun BPP-nya juga lebih tinggi.
| Wilayah | Jarak ke Pabrik Pakan Utama | Estimasi Kenaikan Biaya Logistik Pakan/DOC (Rp/kg LB) | Dampak pada Harga Jual (Estimasi % Kenaikan dari Jawa) |
|---|---|---|---|
| Jawa (Sentra) | Rendah | Rp 0 - Rp 500 | 0% (Harga Acuan) |
| Sumatera (Utara/Selatan) | Sedang | Rp 1.500 - Rp 2.500 | 8% - 15% |
| Kalimantan (Tengah/Timur) | Tinggi | Rp 3.000 - Rp 4.500 | 15% - 25% |
| Indonesia Timur (Papua/Maluku) | Sangat Tinggi | Rp 5.000 - Rp 8.000+ | 25% - 50%+ |
Data ini menunjukkan bahwa faktor geografis dan infrastruktur logistik adalah variabel biaya yang sangat signifikan dalam menentukan harga ayam hidup per ekor, terutama dalam konteks per ekor yang mencakup seluruh biaya logistik yang telah terakumulasi.
Harga ayam hidup sangat rentan terhadap siklus tahunan, terutama yang berkaitan dengan hari raya keagamaan dan musim liburan, karena pola konsumsi masyarakat yang berubah drastis.
Periode Ramadhan hingga Idul Fitri adalah puncak permintaan tertinggi sepanjang tahun. Permintaan bisa melonjak hingga 30% - 40% dari hari biasa. Harga LB akan naik tajam karena peternak, didorong oleh ekspektasi untung besar, menaikkan populasi pada periode pemeliharaan 30 hari sebelumnya.
Pemerintah sering kali melakukan intervensi sebelum Lebaran untuk memastikan ketersediaan dan mencegah lonjakan harga yang terlalu ekstrem. Namun, setelah hari raya berakhir, permintaan anjlok tiba-tiba (post-Lebaran crash), dan pasar dibanjiri oleh ayam yang tertunda panen, yang sering kali menyebabkan harga terjun bebas hingga di bawah BPP, menimbulkan kerugian besar bagi peternak mandiri.
Kondisi cuaca juga memainkan peran tidak langsung. Musim hujan ekstrem meningkatkan risiko penyakit dan kelembaban kandang, yang dapat meningkatkan mortalitas dan biaya pengobatan, menaikkan BPP.
Sebaliknya, musim kemarau panjang, meskipun lebih baik untuk kesehatan ayam, dapat menyebabkan kelangkaan air dan peningkatan suhu kandang, yang mengakibatkan ayam stres (heat stress), mengurangi nafsu makan, dan menghambat pertumbuhan, sehingga memperpanjang masa panen dan menaikkan BPP per ekor.
Pemerintah, melalui Kementerian Pertanian dan Badan Pangan Nasional (Bapanas), memiliki peran penting dalam menstabilkan harga ayam hidup, terutama untuk melindungi konsumen dari inflasi dan peternak dari kerugian harga di bawah BPP.
Regulasi HAP dan HAPJ menetapkan batas bawah dan batas atas harga ayam hidup di tingkat peternak. Tujuannya adalah memastikan peternak mendapatkan keuntungan yang wajar (batas bawah) dan mencegah harga terlalu tinggi bagi konsumen (batas atas).
Karena pakan adalah biaya terbesar, pemerintah berupaya menstabilkan harga pakan melalui:
Kebijakan ini secara langsung memengaruhi BPP peternak. Jika harga pakan berhasil diturunkan, harga ayam hidup per ekor secara otomatis akan menjadi lebih terjangkau.
Badan Pangan Nasional memiliki peran dalam menyerap kelebihan stok (buffer stock) saat harga ayam jatuh di bawah BPP. Ayam yang diserap ini kemudian diolah menjadi produk beku atau karkas untuk stabilisasi harga atau bantuan sosial.
Stabilitas harga ayam hidup adalah cerminan dari keseimbangan antara kepentingan produsen (profitabilitas) dan kepentingan konsumen (keterjangkauan). Setiap intervensi pemerintah berupaya menyeimbangkan dua kepentingan yang seringkali bertentangan ini.
Siklus harga ayam hidup di Indonesia seringkali mengikuti pola 'boom and bust' (naik tajam dan jatuh tajam) yang terjadi setiap 6 hingga 12 bulan. Memahami siklus ini penting untuk mitigasi risiko.
Kelebihan pasokan terjadi ketika harga pakan relatif stabil dan harga LB sedang baik. Peternak, baik mandiri maupun mitra, serentak meningkatkan populasi. Karena siklus panen broiler hanya 30 hari, efek peningkatan populasi ini dirasakan 30 hari kemudian.
Ketika panen raya tiba, RPA dan pengepul tidak mampu menyerap seluruh volume ayam yang masuk. Peternak terpaksa menahan ayam (menjadi ayam besar) atau menjual dengan harga diskon jauh di bawah BPP, menghasilkan kerugian. Contohnya, saat BPP Rp 19.500/kg, harga jual di tingkat peternak bisa anjlok menjadi Rp 16.000/kg. Dalam skenario per ekor (1.8 kg), kerugian peternak mencapai Rp 6.300 per ekor.
Kekurangan pasokan terjadi setelah masa kerugian besar. Peternak trauma dan mengurangi populasi (karena modal habis atau keengganan berinvestasi). Bersamaan dengan itu, harga DOC mungkin dinaikkan oleh integrator.
Saat pasokan kurang, harga jual LB melonjak tinggi. Misalnya, harga BPP Rp 20.000/kg, namun harga jual mencapai Rp 28.000/kg, memberikan keuntungan besar bagi peternak yang masih bertahan. Namun, lonjakan ini memicu inflasi harga daging ayam di tingkat konsumen, yang akhirnya menarik intervensi pemerintah untuk menurunkan harga.
Harga ayam hidup juga sangat dipengaruhi oleh psikologi pasar. Ketika harga mulai naik sedikit, peternak cenderung menahan stok lebih lama dengan harapan harga akan terus naik (hold and wait), memperparah kekurangan pasokan dan kenaikan harga. Sebaliknya, saat harga mulai turun, peternak panik dan menjual cepat (panic selling), yang mempercepat penurunan harga.
Bagi pembeli skala besar (pemilik restoran, katering) maupun investor, memahami dinamika harga ini memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih strategis, baik untuk mendapatkan harga per ekor terbaik maupun untuk mitigasi risiko investasi.
Investasi dalam industri perunggasan harus fokus pada efisiensi biaya yang terkendali, karena harga jual di tingkat peternak sangat sulit diprediksi.
Kandang tertutup menawarkan kontrol suhu dan kelembaban yang optimal, secara drastis mengurangi FCR dan mortalitas. Meskipun biaya investasi awal tinggi, BPP per ekor yang dihasilkan lebih rendah, membuat peternak closed house lebih tahan terhadap harga pasar yang anjlok.
Misalnya, BPP pada kandang terbuka mungkin Rp 19.500/kg (mortalitas 8%, FCR 1.8), sementara pada kandang tertutup BPP bisa ditekan menjadi Rp 18.000/kg (mortalitas 3%, FCR 1.6). Selisih Rp 1.500/kg ini menjadi margin penyelamat saat harga pasar sedang tertekan.
Peternak mandiri yang ingin bertahan harus mempertimbangkan integrasi. Daripada menjual ayam hidup per ekor kepada pengepul, lebih baik memiliki RPA mini sendiri. Dengan mengontrol proses pemotongan dan penjualan karkas, peternak dapat menambah nilai (added value) dan menjual karkas dengan harga yang lebih tinggi, menutupi risiko fluktuasi harga LB.
Masa depan harga ayam hidup akan sangat dipengaruhi oleh tiga tantangan besar: perubahan iklim, keamanan pangan (biosecurity), dan digitalisasi rantai pasok.
Perubahan iklim menyebabkan anomali cuaca yang sulit diprediksi, mengganggu panen jagung lokal dan meningkatkan biaya pendinginan (AC atau ventilasi) di kandang. Jika ketersediaan pakan lokal terus terganggu, ketergantungan pada impor akan meningkat, membuat harga ayam hidup per ekor semakin rentan terhadap nilai tukar Rupiah dan gejolak harga komoditas global.
Masa depan harga ayam dapat distabilkan jika industri berhasil menemukan substitusi protein dan energi lokal yang efektif dan skala besar, seperti penggunaan maggot BSF (Black Soldier Fly) atau bahan pakan alternatif lain untuk mengurangi porsi bungkil kedelai impor.
Ancaman penyakit seperti AI (flu burung) adalah risiko terbesar yang dapat menghancurkan harga. Jika terjadi wabah besar, peternak harus melakukan pemusnahan massal, yang menghapus pasokan secara instan dan menyebabkan lonjakan harga yang diikuti oleh ketidakpercayaan konsumen. Investasi pada biosecurity kandang adalah kunci untuk menjaga kelangsungan pasokan dan menstabilkan harga dalam jangka panjang.
Saat ini, harga harian ayam hidup masih sering ditentukan secara informal (melalui grup WhatsApp atau komunikasi pengepul). Digitalisasi penuh, di mana setiap peternak dan pembeli memiliki akses ke data stok dan permintaan secara real-time (melalui platform digital), dapat menciptakan transparansi harga yang lebih baik. Transparansi ini akan mengurangi permainan harga oleh perantara dan membantu peternak mandiri mendapatkan harga yang lebih adil dan mendekati HAP.
Penggunaan Kecerdasan Buatan (AI) untuk memprediksi harga berdasarkan input data cuaca, populasi DOC, harga pakan global, dan hari raya dapat membantu peternak membuat keputusan populasi yang lebih bijaksana, sehingga mengurangi siklus "boom and bust" yang merugikan. Prediksi harga yang akurat akan meminimalkan risiko menjual ayam hidup di bawah BPP.
Untuk memahami sepenuhnya harga ayam hidup per ekor, kita harus membedakan secara rigid antara biaya yang ditanggung oleh peternak skala kecil (tradisional) versus peternak skala besar (integrasi/modern).
Peternak skala kecil, yang biasanya memiliki populasi di bawah 5.000 ekor, menghadapi BPP yang relatif lebih tinggi karena mereka tidak mendapatkan diskon volume besar untuk pakan dan DOC. Struktur biaya mereka cenderung lebih kaku:
Karena inefisiensi ini, peternak kecil sering membutuhkan harga jual LB per ekor minimal 10% di atas harga BPP peternak modern hanya untuk mencapai titik impas yang sama.
Integrator besar menikmati skala ekonomi yang masif, yang menekan biaya per ekor secara signifikan:
Dengan efisiensi yang tinggi, Integrator dapat bertahan dan bahkan masih untung ketika harga ayam hidup per ekor anjlok ke level yang sudah merugikan bagi peternak mandiri. Inilah yang menjelaskan mengapa pasar ayam hidup seringkali didominasi oleh perusahaan besar.
Harga ayam hidup (LB) adalah input utama untuk harga karkas ayam (daging yang sudah dipotong dan dibersihkan). Analisis harga LB tidak lengkap tanpa membahas bagaimana harga ini ditranslasikan ke harga karkas di pasar.
Ketika ayam hidup dijual per ekor (atau per kg) ke RPA, faktor penentu harga karkas adalah yield (persentase daging bersih dari total berat hidup). Yield standar ayam broiler berkisar antara 65% hingga 70%.
Jika harga LB adalah Rp 20.000/kg dan yield 68%, maka BPP karkas mentah adalah: Rp 20.000 / 0.68 = Rp 29.411/kg.
Di atas angka ini, RPA harus menambahkan biaya operasional pemotongan, biaya pendinginan (rantai dingin), biaya pengemasan, dan margin keuntungan. Oleh karena itu, harga jual karkas di RPA selalu jauh lebih tinggi daripada harga LB. Fluktuasi kecil pada harga LB (misalnya naik Rp 1.000/kg) dapat diterjemahkan menjadi kenaikan Rp 1.470/kg pada harga karkas, yang signifikan bagi konsumen.
Bagian lain dari ayam (kepala, ceker, hati, ampela, usus) disebut produk sampingan. Harga jual produk sampingan ini dapat menutupi sebagian biaya operasional RPA, dan memungkinkan RPA memberikan harga pembelian ayam hidup yang sedikit lebih baik kepada peternak.
Apabila permintaan produk sampingan (misalnya ceker untuk ekspor) sedang tinggi, margin RPA meningkat, dan mereka mungkin bersedia membayar harga LB yang lebih kompetitif. Sebaliknya, jika permintaan ceker dan jeroan turun, RPA akan menekan harga beli ayam hidup per ekor.
Fluktuasi harga ayam hidup tidak hanya berdampak pada angka ekonomi makro, tetapi juga pada kesejahteraan sosial ribuan peternak di pedesaan.
Bagi peternak mandiri, setiap siklus harga di bawah BPP mengikis modal kerja. Mereka sering kali terpaksa meminjam, dan jika kerugian terjadi berturut-turut, peternak dapat terjerat utang atau gulung tikar. Inilah salah satu alasan utama mengapa banyak peternak mandiri beralih menjadi mitra integrator, meskipun harus mengorbankan independensi harga jual.
Ketika harga ayam hidup per ekor terlalu rendah, hal itu menimbulkan ketidakpercayaan peternak terhadap kebijakan pangan nasional. Jika peternak besar-besaran keluar dari bisnis, pasokan pangan protein nasional terancam, yang berpotensi menyebabkan kelangkaan dan lonjakan harga ekstrem di masa depan. Menjaga harga di atas BPP adalah investasi pada ketahanan pangan jangka panjang.
Proses panen itu sendiri adalah tahapan kritis yang memengaruhi harga jual akhir per ekor di tingkat kandang (farm gate).
Sebelum diangkut, ayam hidup disortir berdasarkan berat. RPA atau pengepul akan menetapkan harga berbeda untuk setiap grade. Ayam yang tidak mencapai berat minimum (underweight) akan dihargai lebih rendah per kg, atau bahkan ditolak. Peternak harus menanggung kerugian biaya pakan untuk ayam yang pertumbuhannya terhambat.
Ayam hidup akan mengalami penyusutan bobot (shrinkage) selama proses pengangkutan dari kandang ke RPA. Susut bobot ini bisa mencapai 1% hingga 3% tergantung jarak, waktu tunggu, dan kondisi transportasi. Peternak dan pengepul bernegosiasi siapa yang menanggung susut bobot ini. Biasanya, harga LB dihitung berdasarkan timbangan di kandang, namun selisih susut bobot akan diperhitungkan oleh RPA, yang menekan harga bersih yang diterima peternak.
Peternak mandiri yang membutuhkan dana cepat (cash flow) seringkali harus menerima harga jual yang lebih rendah jika pengepul membayar tunai di tempat. Jika peternak bersedia menerima pembayaran dalam tempo 7-14 hari, harga yang ditawarkan mungkin sedikit lebih tinggi. Durasi dan metode pembayaran ini menjadi faktor penentu harga akhir per ekor yang disepakati.
Harga ayam hidup tidak berdiri sendiri. Ia sangat terikat dengan harga komoditas protein lainnya, seperti telur dan daging sapi.
Harga ayam layer (petelur) afkir, yang dijual sebagai ayam pedaging tua, bergerak bersamaan dengan harga broiler. Ketika harga broiler tinggi, harga ayam afkir layer juga naik, dan sebaliknya. Selain itu, ayam jantan layer (Pejantan) juga merupakan produk sampingan industri telur yang harganya sensitif terhadap harga daging secara umum.
Daging ayam adalah substitusi langsung untuk daging sapi. Ketika harga daging sapi melambung tinggi (misalnya menjelang Idul Adha), konsumen kelas menengah ke bawah akan beralih ke ayam. Peningkatan permintaan subtitusi ini mendorong kenaikan harga ayam hidup, meskipun biaya produksinya tidak berubah. Ini adalah murni dorongan dari sisi permintaan pasar.
Untuk mencapai stabilitas harga ayam hidup per ekor di masa depan, fokus harus beralih dari sekadar intervensi harga ke peningkatan efisiensi hulu.
Investasi pada penelitian dan pengembangan sumber pakan alternatif di Indonesia (misalnya singkong, sorgum, atau produk sampingan industri kelapa sawit) dapat secara signifikan mengurangi ketergantungan pada jagung dan kedelai impor. Stabilitas pasokan pakan lokal berarti BPP peternak menjadi lebih terkendali, yang pada gilirannya menstabilkan harga LB.
Meskipun biaya awalnya lebih tinggi, standar kesejahteraan hewan (animal welfare) yang lebih baik, seperti kepadatan kandang yang lebih rendah dan fasilitas yang lebih nyaman, akan mengurangi stres dan penyakit, menghasilkan FCR yang lebih baik, dan kualitas karkas yang lebih tinggi. Pada akhirnya, ini mengurangi risiko kerugian peternak dan membenarkan harga jual per ekor yang lebih premium.
Secara keseluruhan, harga ayam hidup per ekor adalah hasil akhir dari keseimbangan rapuh antara biaya produksi yang didominasi pakan global dan dinamika permintaan lokal yang sangat musiman. Keberhasilan dalam menstabilkan harga membutuhkan kolaborasi erat antara pemerintah, integrator, dan peternak mandiri, dengan fokus utama pada efisiensi biaya, mitigasi risiko penyakit, dan transparansi rantai pasok.