Hadroh Sholawat: Gema Puji dalam Harmoni Nusantara
Di tengah riuh rendahnya kehidupan, ada sebuah alunan yang senantiasa menyejukkan jiwa, menggema dari surau kecil hingga panggung megah. Itulah suara hadroh sholawat, sebuah harmoni puji-pujian yang memadukan ketukan ritmis perkusi dengan untaian lirik kerinduan kepada Sang Nabi. Lebih dari sekadar pertunjukan musik, hadroh adalah denyut nadi spiritualitas, media dakwah yang ramah, serta perekat ikatan sosial yang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Nusantara.
Hadroh sholawat merupakan sebuah fenomena budaya dan religius yang unik. Ia mampu menyentuh berbagai lapisan masyarakat, dari anak-anak hingga orang tua, dari kalangan santri hingga masyarakat umum. Kekuatannya terletak pada kesederhanaan formatnya namun kedalaman makna yang disampaikannya. Melalui pukulan rebana yang membangkitkan semangat dan lantunan sholawat yang menggetarkan hati, sebuah pesan cinta, kedamaian, dan keteladanan agung disampaikan dengan cara yang indah dan mudah diterima. Artikel ini akan mengajak kita menyelami lebih dalam dunia hadroh sholawat, dari akar filosofisnya hingga manifestasinya dalam kehidupan modern.
Akar Sejarah dan Filosofi Hadroh
Untuk memahami hadroh sholawat secara utuh, kita perlu menelusuri jejak sejarah dan menggali makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Istilah "hadroh" sendiri berasal dari bahasa Arab, hadrah (حَضْرَة), yang berarti 'kehadiran'. Dalam konteks sufistik, hadrah adalah sebuah ritual dzikir berjamaah yang bertujuan untuk merasakan 'kehadiran' Ilahi. Ritual ini sering kali diiringi oleh gerakan badan dan puji-pujian yang dilantunkan secara ritmis.
Penggunaan alat musik perkusi, khususnya rebana (dalam bahasa Arab disebut duff), memiliki landasan sejarah yang kuat sejak zaman kenabian. Terdapat banyak riwayat yang menceritakan bagaimana Nabi Muhammad SAW disambut dengan lantunan syair dan tabuhan rebana oleh penduduk Madinah saat hijrah. Peristiwa ini menjadi semacam legitimasi kultural bahwa ekspresi kegembiraan dan pujian yang diiringi perkusi memiliki tempat dalam tradisi Islam. Rebana, dengan suaranya yang bulat dan membangkitkan semangat, dianggap sebagai instrumen yang tidak melalaikan, melainkan justru memfokuskan hati untuk mengingat dan memuji.
Filosofi di balik hadroh sangatlah dalam. Pukulan rebana yang konstan dan berirama diibaratkan seperti detak jantung, sebuah ritme kehidupan yang mendasar. Ketika sekelompok orang memainkannya bersama-sama, mereka menciptakan sebuah denyut kolektif, sebuah harmoni yang menyatukan hati-hati mereka dalam satu frekuensi pujian. Suara yang dihasilkan bersifat komunal, bukan individual. Tidak ada penonjolan ego dalam permainan hadroh; yang ada hanyalah kesatuan untuk mengagungkan nama Allah SWT dan Rasul-Nya. Inilah mengapa hadroh menjadi simbol persaudaraan (ukhuwah) dan kebersamaan.
Seiring penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia, tradisi hadrah ini berakulturasi dengan budaya lokal. Di wilayah Hadhramaut, Yaman, tradisi ini berkembang pesat dan menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan-perayaan keagamaan. Para ulama dan habaib dari Hadhramaut yang berdakwah ke Nusantara membawa serta tradisi ini. Di tanah air, hadroh disambut dengan hangat dan menyatu dengan seni musik lokal, melahirkan berbagai gaya dan aliran yang kita kenal hingga saat ini. Ia menjadi wahana yang efektif untuk syiar Islam karena pendekatannya yang merangkul budaya, bukan memberangusnya.
Anatomi Ansambel Hadroh: Instrumen dan Perannya
Sebuah pertunjukan hadroh sholawat adalah simfoni sederhana yang lahir dari sinergi beberapa instrumen perkusi dan vokal. Setiap elemen memiliki peran spesifik yang saling melengkapi, menciptakan jalinan musik yang kaya dan dinamis.
1. Rebana (Terbang)
Rebana atau sering disebut juga terbang adalah jantung dari ansambel hadroh. Instrumen ini adalah sejenis gendang tangan berbentuk bundar dan pipih, terbuat dari bingkai kayu dengan salah satu sisinya ditutup kulit hewan (biasanya kulit kambing). Dalam satu grup hadroh, biasanya terdapat beberapa pemain rebana dengan fungsi yang berbeda, menciptakan lapisan ritme yang kompleks.
- Penabuh Utama (Pembawa Irama): Sering kali adalah pemimpin atau orang yang paling mahir. Ia memberikan komando, memulai pukulan, dan menentukan variasi ritme.
- Pengikut (Penjawab Irama): Para pemain lain akan mengikuti dan menjawab pukulan dari penabuh utama. Mereka mengisi ruang-ruang ritmis dengan pola pukulan yang telah disepakati.
Teknik memukul rebana pun beragam. Ada pukulan "tak" yang menghasilkan suara nyaring dan tajam, biasanya dilakukan dengan jari di bagian tepi kulit. Ada pula pukulan "dung" yang menghasilkan suara bass yang dalam, dilakukan dengan telapak tangan di bagian tengah. Kombinasi dari "tak" dan "dung" inilah yang membentuk pola ritmik (pukulan) yang menjadi ciri khas setiap gaya hadroh.
2. Bass Hadroh (Jidor atau Gendang Besar)
Jika rebana adalah jantung, maka bass hadroh adalah fondasinya. Instrumen ini berukuran jauh lebih besar dari rebana biasa dan menghasilkan suara yang sangat dalam dan menggema. Bass hadroh dimainkan dengan pemukul khusus yang ujungnya dilapisi kain atau bahan empuk. Perannya adalah menjaga tempo dan memberikan aksen pada ketukan-ketukan penting dalam sebuah lagu. Pukulan bass yang stabil dan kuat menjadi penanda birama, memberikan kerangka bagi instrumen lain untuk berimprovisasi. Kehadirannya memberikan "bobot" dan "kedalaman" pada keseluruhan musik, menciptakan sensasi getaran yang bisa dirasakan oleh pendengar.
3. Darbuka (Calty atau Tumbuk Batu)
Darbuka adalah instrumen perkusi berbentuk piala atau jam pasir yang berasal dari Timur Tengah. Dalam ansambel hadroh modern, darbuka memegang peran sebagai penghias melodi ritmis. Suaranya yang renyah, nyaring, dan lincah memungkinkan pemainnya untuk memainkan pola-pola ritmik yang sangat cepat dan rumit (interlock). Darbuka mengisi celah-celah kosong di antara pukulan rebana dan bass, menambahkan tekstur dan dinamika yang membuat musik hadroh menjadi lebih hidup dan semarak. Seorang pemain darbuka yang andal mampu berdialog secara ritmis dengan vokal dan instrumen lainnya.
4. Kecer atau Tamborin
Instrumen ini berfungsi sebagai penambah warna suara (timbre). Kecer terdiri dari piringan-piringan logam kecil yang dipasang pada bingkai kayu. Ketika digoyangkan atau dipukul, ia menghasilkan suara gemerincing yang cerah. Dalam hadroh, kecer biasanya dimainkan untuk memberikan aksentuasi, menandai transisi antar bagian lagu, dan menjaga ritme tetap berjalan dengan konstan. Suara "ces" yang dihasilkannya memberikan efek kilau pada musik, melengkapi suara kulit dari rebana dan bass.
5. Vokal (Munsyid dan Majelis)
Vokal adalah jiwa dari hadroh sholawat. Tanpa lantunan sholawat, hadroh hanya akan menjadi musik perkusi biasa. Terdapat dua komponen utama dalam vokal hadroh:
- Munsyid (Vokalis Utama): Seseorang yang melantunkan bait-bait utama dari sholawat. Seorang munsyid harus memiliki suara yang merdu, napas yang kuat, dan yang terpenting, pemahaman mendalam (ma'rifat) terhadap makna lirik yang dibawakannya. Pengucapan huruf Arab (makharijul huruf) yang fasih adalah sebuah keharusan.
- Majelis (Vokalis Latar/Paduan Suara): Anggota grup lainnya yang menjawab atau menyahuti lantunan dari munsyid. Pola vokal call-and-response (panggilan dan jawaban) ini menciptakan dialog yang indah dan melibatkan seluruh anggota grup. Kekompakan majelis dalam menjawab dengan nada dan waktu yang tepat sangat menentukan keharmonisan lagu.
Ragam Gaya dan Aliran Hadroh di Nusantara
Kekayaan budaya Indonesia tercermin dalam keragaman gaya hadroh yang berkembang di berbagai daerah. Masing-masing memiliki ciri khas pukulan, aransemen, bahkan kostum dan cara penyajian yang unik.
Hadroh Al-Banjari
Berasal dari tradisi masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, Al-Banjari adalah salah satu gaya hadroh yang paling populer, terutama di kalangan pondok pesantren di Jawa. Ciri khasnya adalah permainan yang dilakukan sambil duduk bersila membentuk lingkaran atau setengah lingkaran. Pola pukulannya memiliki pakem yang khas dan dikenal sangat ritmis. Musiknya cenderung lebih "klasik" dan fokus pada kekompakan pukulan terbang serta keindahan vokal. Al-Banjari sering dilombakan dalam festival-festival seni Islami, di mana penilaian mencakup kualitas vokal, kekompakan pukulan, variasi ritme, dan adab.
Hadroh Habaib (Gaya Habib Syech)
Gaya ini dipopulerkan oleh Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf dari Surakarta. Hadroh gaya ini memiliki nuansa yang lebih modern dan megah. Aransemennya sering kali diperkaya dengan instrumen modern seperti keyboard, drum elektrik, dan bass gitar, meskipun instrumen hadroh tradisional tetap menjadi intinya. Ciri utamanya adalah kemampuannya untuk menggerakkan ribuan jamaah dalam sebuah majelis sholawat akbar. Lagu-lagu yang dibawakan sering kali memiliki tempo yang membangkitkan semangat dan mudah diikuti oleh jamaah. Gaya ini berhasil membawa hadroh sholawat dari lingkup surau ke panggung besar dan menjadi fenomena massal.
Hadroh Ishari
Ishari adalah singkatan dari Ikatan Seni Hadroh Indonesia, sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama Nahdlatul Ulama (NU). Hadroh Ishari, yang banyak berkembang di Jawa Timur, memiliki keunikan tersendiri karena memadukan tabuhan rebana dan vokal dengan gerakan tarian (disebut rodat). Para pemainnya berdiri dan melakukan gerakan-gerakan yang serempak dan dinamis, mengikuti irama musik. Gerakan ini bukan sekadar tarian, melainkan ekspresi fisik dari kegembiraan dan kekhidmatan dalam bersholawat. Pertunjukan Ishari seringkali sangat teatrikal dan memukau secara visual.
Hadroh Kontemporer dan Fusion
Generasi muda terus berinovasi. Saat ini, banyak grup hadroh yang bereksperimen dengan menggabungkan irama hadroh dengan genre musik lain seperti pop, jazz, rock, hingga musik elektronik. Mereka memanfaatkan platform media sosial seperti YouTube dan TikTok untuk menyebarkan karya mereka. Lirik sholawat pun kadang dipadukan dengan lirik berbahasa Indonesia atau bahasa daerah untuk membuatnya lebih relevan bagi audiens yang lebih luas. Hadroh kontemporer menunjukkan bahwa tradisi ini sangat hidup, dinamis, dan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan esensi spiritualnya.
Makna dan Fungsi Hadroh dalam Kehidupan Masyarakat
Hadroh sholawat jauh melampaui fungsi hiburan. Ia memegang peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan spiritual masyarakat.
1. Sarana Dakwah yang Efektif
Di era digital yang penuh distraksi, dakwah memerlukan pendekatan yang kreatif dan menyentuh hati. Hadroh sholawat adalah jawabannya. Melalui medium seni yang indah, ajaran-ajaran Islam tentang cinta kepada Rasul, akhlak mulia, dan keagungan Tuhan disampaikan dengan cara yang tidak menggurui. Ini sangat efektif untuk menarik minat generasi muda, yang mungkin merasa kurang terhubung dengan metode ceramah konvensional. Majelis sholawat menjadi ruang yang nyaman bagi mereka untuk berkumpul, belajar, dan merasakan kedekatan dengan agamanya.
2. Media Puji-pujian dan Terapi Spiritual
Pada intinya, hadroh adalah bentuk ibadah, sebuah cara untuk mengingat (dzikir) dan bersholawat. Saat lirik-lirik pujian dilantunkan serempak, diiringi irama yang menghanyutkan, suasana khidmat dan syahdu pun tercipta. Banyak orang merasakan ketenangan batin, pelepasan beban emosional, dan peningkatan spiritualitas saat mengikuti majelis sholawat. Getaran dari bass hadroh dan ritme yang konstan bisa membawa seseorang ke dalam kondisi meditatif, membantu menjernihkan pikiran dan menenangkan hati yang gelisah.
3. Perekat Komunitas dan Silaturahmi
Grup hadroh, atau jam'iyyah, adalah sebuah mikrokosmos komunitas. Proses latihan rutin membangun ikatan yang kuat antar anggota. Mereka belajar bekerja sama, saling mendengarkan, dan menyatukan energi untuk satu tujuan mulia. Lebih luas lagi, pertunjukan hadroh dalam acara-acara seperti pernikahan, aqiqah, maulid Nabi, atau acara syukuran lainnya menjadi ajang silaturahmi bagi masyarakat. Ia mempertemukan tetangga, kerabat, dan teman dalam sebuah suasana yang penuh berkah dan kegembiraan.
4. Pelestarian Budaya dan Seni Islam
Setiap pukulan rebana dan setiap lantunan sholawat adalah sebuah tindakan pelestarian. Grup-grup hadroh, dari tingkat desa hingga nasional, berperan sebagai penjaga tradisi. Mereka mewariskan ilmu tentang pola pukulan, lagu-lagu sholawat kuno, dan adab dalam bersholawat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian, hadroh memastikan bahwa salah satu cabang seni Islam yang paling otentik dan merakyat ini tidak akan lekang oleh waktu.
Lirik Sholawat Populer dan Kandungan Maknanya
Kekuatan hadroh sholawat juga terletak pada kedalaman lirik yang dilantunkan. Berikut adalah beberapa contoh sholawat yang sering dibawakan beserta maknanya.
Ya Nabi Salam ‘Alaika (Mahalul Qiyam)
يَا نَبِي سَلَامٌ عَلَيْكَ ، يَا رَسُوْل سَلَامٌ عَلَيْكَ
Yaa Nabî salâm ‘alaika, Yâ Rosûl salâm ‘alaika
Wahai Nabi, salam sejahtera untukmu, Wahai Rasul, salam sejahtera untukmu.
يَا حَبِيْبْ سَلَامٌ عَلَيْكَ ، صَلَوَاتُ الله عَلَيْكَ
Yâ habîb salâm ‘alaika, sholawâtullâh ‘alaika
Wahai Kekasih, salam sejahtera untukmu, semoga sholawat (rahmat) Allah tercurah untukmu.
Ini adalah sholawat penyambutan yang paling ikonik. Dilantunkan sambil berdiri (qiyam), lirik ini adalah ekspresi penghormatan, kegembiraan, dan cinta atas kehadiran spiritual Nabi Muhammad SAW. Setiap baitnya adalah sapaan penuh kerinduan kepada Sang Teladan.
Sholawat Badar
صَلَاةُ اللهِ سَلَامُ اللهِ ، عَلَى طَهَ رَسُوْلِ اللهِ
Sholâtullâh salâmullâh, ‘alâ Thôhâ Rosûlillâh
Rahmat dan keselamatan Allah, semoga tercurah atas Thoha (gelar Nabi), utusan Allah.
صَلَاةُ اللهِ سَلَامُ اللهِ ، عَلَى يس حَبِيْبِ اللهِ
Sholâtullâh salâmullâh, ‘alâ Yâsîn habîbillâh
Rahmat dan keselamatan Allah, semoga tercurah atas Yasin (gelar Nabi), kekasih Allah.
Diciptakan oleh seorang ulama Nusantara, sholawat ini pada awalnya adalah sebuah doa dan tawasul kepada para pejuang Badar untuk memohon keselamatan dan perlindungan. Liriknya berisi pujian kepada Nabi dan permohonan kepada Allah agar dijauhkan dari segala marabahaya, menjadikannya sholawat yang sangat kuat dan sering dibaca dalam situasi sulit.
Qomarun
قَمَرٌ قَمَرٌ قَمَرٌ سِيدْنَا النَّبِى قَمَرٌ
Qamarun, Qamarun, Qamarun Sîdnan-Nabî Qamarun
Bagaikan bulan, bagaikan bulan, bagaikan bulan, Junjungan kita Nabi laksana bulan.
وَجَمِيلٌ وَجَمِيلٌ وَجَمِيلٌ سِيدْنَا النَّبِى وَجَمِيلٌ
Wa jamîlun, wa jamîlun, wa jamîlun Sîdnan-Nabî wa jamîlun
Dan begitu indah, begitu indah, begitu indah, Junjungan kita Nabi begitu indah.
Sholawat ini adalah sebuah puisi metaforis yang memuji keindahan fisik dan akhlak Nabi Muhammad SAW. Beliau diibaratkan seperti bulan purnama (qamarun) yang cahayanya sempurna dan meneduhkan, serta keindahannya (jamilun) yang tiada tara. Ini adalah cara puitis untuk mengungkapkan kekaguman dan cinta yang mendalam.
Penutup: Gema yang Tak Pernah Padam
Hadroh sholawat adalah sebuah simfoni iman, budaya, dan komunitas. Ia adalah bukti bagaimana ajaran Islam dapat diekspresikan melalui medium seni yang indah dan merangkul. Dari pukulan rebana yang sederhana, lahir sebuah gema dahsyat yang mampu menyatukan hati, menenangkan jiwa, dan menyebarkan pesan cinta kepada semesta.
Di tengah derasnya arus modernisasi, gema hadroh tidak meredup. Sebaliknya, ia terus beradaptasi, menemukan bentuk-bentuk baru, dan menjangkau audiens yang lebih luas. Selama masih ada kerinduan di hati umat kepada Nabinya, maka selama itu pula irama hadroh akan terus bergema, melantunkan kisah cinta abadi yang tak akan pernah usai, dari satu generasi ke generasi berikutnya, sebagai harmoni puji-pujian yang menyejukkan Nusantara dan dunia.