Apa Itu Doa Iftitah?
Doa iftitah adalah serangkaian zikir, pujian, dan permohonan yang dibaca setelah mengangkat takbir pertama (takbiratul ihram) dan sebelum membaca Surah Al-Fatihah dalam rakaat pertama setiap shalat. Hukum membacanya adalah sunnah menurut mayoritas ulama dari berbagai mazhab. Meskipun bukan termasuk rukun shalat yang jika ditinggalkan membatalkan shalat, membacanya sangat dianjurkan karena keutamaan dan makna agung yang terkandung di dalamnya.
Fungsi utama dari doa iftitah adalah sebagai persiapan mental dan spiritual. Ia ibarat mengetuk pintu sebelum memasuki sebuah ruangan agung. Dengan melafalkan pujian dan pengagungan kepada Allah, seorang muslim menata hatinya, membersihkan pikirannya dari urusan duniawi, dan memfokuskan seluruh kesadarannya hanya kepada Sang Pencipta. Ini adalah momen transisi krusial dari hiruk pikuk kehidupan menuju ketenangan percakapan suci dengan Allah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan beberapa versi doa iftitah yang berbeda, yang semuanya tercatat dalam hadis-hadis yang shahih. Perbedaan ini menunjukkan keluasan dan fleksibilitas dalam syariat Islam, memungkinkan umatnya untuk memilih bacaan yang paling mudah dihafal atau paling menyentuh hati mereka. Setiap versi memiliki penekanan makna yang unik, namun semuanya bermuara pada satu tujuan: mengagungkan Allah dan merendahkan diri di hadapan-Nya.
Kumpulan Bacaan Doa Iftitah Arab, Latin, dan Terjemahannya
Berikut ini adalah beberapa bacaan doa iftitah yang paling umum diamalkan, lengkap dengan tulisan Arab, transliterasi Latin untuk membantu pelafalan, serta terjemahan dan penjelasan maknanya secara mendalam.
1. Doa Iftitah Versi "Allahu Akbar Kabira"
Ini adalah salah satu doa iftitah yang paling populer dan sering diajarkan di Indonesia. Bacaannya relatif singkat, mudah dihafal, dan penuh dengan pujian kepada Allah.
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً
Allahu akbar kabira, walhamdu lillahi kathira, wa subhanallahi bukrataw wa asila.
"Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci Allah pada waktu pagi dan petang."
Diriwayatkan oleh Imam MuslimPenjelasan Makna Mendalam:
- اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا (Allahu akbar kabira): Kalimat ini merupakan penegasan ulang dari takbiratul ihram. Jika "Allahu Akbar" berarti "Allah Maha Besar", penambahan kata "kabira" memberikan penekanan yang luar biasa, seolah-olah kita berkata, "Allah Maha Besar dengan kebesaran yang sesungguhnya, yang tak terbatas, dan tak tertandingi." Ini adalah pengakuan awal dari seorang hamba akan keagungan Tuhannya, meletakkan segala sesuatu selain Allah pada posisi yang lebih kecil dan tidak berarti. Saat mengucapkan ini, hati seharusnya merasakan betapa kecilnya diri kita dan betapa agungnya Zat yang sedang kita hadapi.
- وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا (Walhamdu lillahi kathira): Setelah mengakui kebesaran Allah, kita langsung memuji-Nya. "Alhamdulillah" berarti "segala puji bagi Allah". Penambahan kata "kathira" yang berarti "yang banyak" menunjukkan bahwa pujian kita kepada Allah tidak akan pernah cukup. Pujian ini mencakup segala nikmat yang telah Dia berikan, baik yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari—nikmat iman, Islam, kesehatan, udara untuk bernapas, dan tak terhitung lainnya. Ini adalah ungkapan rasa syukur yang meluap dari hati seorang hamba.
- وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً (Wa subhanallahi bukrataw wa asila): "Subhanallah" adalah kalimat tasbih, yang artinya "Maha Suci Allah". Ini adalah pernyataan bahwa Allah suci dan bebas dari segala bentuk kekurangan, kelemahan, sifat buruk, atau keserupaan dengan makhluk-Nya. Dia Sempurna dalam segala aspek. Frasa "bukrataw wa asila" berarti "pagi dan petang". Ini bukan berarti kita hanya menyucikan Allah di dua waktu tersebut, melainkan sebuah kiasan yang berarti "sepanjang waktu" atau "terus-menerus". Sebagaimana silih bergantinya pagi dan petang, begitu pula tasbih kita kepada-Nya tidak pernah berhenti.
2. Doa Iftitah Versi "Wajjahtu Wajhiya"
Doa iftitah ini lebih panjang dan mengandung deklarasi tauhid yang sangat kuat. Bacaan ini mencerminkan penyerahan diri total seorang hamba kepada Rabb-nya, mengikuti jejak Nabi Ibrahim 'alaihissalam.
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. إِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. لَا شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.
Wajjahtu wajhiya lilladzi fatharas samawati wal ardha hanifam muslimaw wa ma ana minal musyrikin. Inna salati, wa nusuki, wa mahyaya, wa mamati, lillahi rabbil 'alamin. La syarika lahu wa bidzalika umirtu wa ana minal muslimin.
"Aku hadapkan wajahku kepada Zat yang menciptakan langit dan bumi dengan lurus (dalam keadaan tunduk dan patuh), dan aku bukanlah dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri."
Diriwayatkan oleh Imam MuslimPenjelasan Makna Mendalam:
- وَجَّهْتُ وَجْهِيَ (Wajjahtu wajhiya): "Aku hadapkan wajahku". Wajah adalah bagian tubuh yang paling mulia dan mewakili keseluruhan diri seseorang. Menghadapkan wajah berarti menghadapkan seluruh eksistensi, perhatian, niat, dan tujuan hidup hanya kepada satu arah, yaitu Allah.
- لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ (Lilladzi fatharas samawati wal ardha): "...kepada Zat yang menciptakan langit dan bumi". Ini adalah pengakuan bahwa tujuan kita adalah Sang Pencipta, bukan ciptaan-Nya. Kata "fathara" bermakna menciptakan dari ketiadaan, menunjukkan kekuasaan mutlak Allah.
- حَنِيْفًا مُسْلِمًا (Hanifam muslima): "Hanif" berarti lurus, condong dari kesesatan menuju kebenaran. Ini adalah ajaran tauhid murni yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. "Muslim" berarti orang yang berserah diri. Jadi, kita menghadapkan diri dalam kondisi lurus di atas tauhid dan pasrah sepenuhnya kepada kehendak Allah.
- وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ (Wa ma ana minal musyrikin): "...dan aku bukanlah dari golongan orang-orang musyrik". Ini adalah deklarasi pembebasan diri (bara'ah) dari segala bentuk syirik, baik yang besar maupun yang kecil, yang nyata maupun yang tersembunyi.
- إِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ (Inna salati, wa nusuki, wa mahyaya, wa mamati): "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku". Ini adalah puncak dari penyerahan diri. "Shalat" mewakili ibadah khusus. "Nusuk" mencakup semua jenis ritual ibadah lainnya, seperti kurban, haji, dan lainnya. "Mahyaya" (hidupku) berarti seluruh aktivitas, waktu, tenaga, pikiran, dan harta selama kita hidup. "Mamati" (matiku) berarti bagaimana kita berharap untuk mengakhiri hidup ini.
- لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (Lillahi rabbil 'alamin): "...hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam". Semua aspek yang disebutkan tadi—shalat, ibadah, hidup, dan mati—dipersembahkan secara eksklusif hanya untuk Allah, Sang Pemelihara seluruh alam. Tidak ada tujuan lain, tidak ada motivasi lain.
- لَا شَرِيْكَ لَهُ (La syarika lahu): "Tiada sekutu bagi-Nya". Penegasan kembali konsep tauhid, menafikan adanya tuhan-tuhan lain, perantara, atau apapun yang disekutukan dengan Allah.
- وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ (Wa bidzalika umirtu wa ana minal muslimin): "...dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri". Ini adalah pengakuan bahwa tauhid dan penyerahan diri total ini bukanlah pilihan pribadi, melainkan perintah langsung dari Allah yang wajib ditaati. Dan diakhiri dengan penegasan identitas sebagai seorang "muslim" yang tunduk dan patuh.
3. Doa Iftitah Versi Permohonan Pengampunan ("Allahumma Ba'id")
Doa iftitah ini memiliki fokus yang berbeda. Jika dua versi sebelumnya lebih menekankan pada pengagungan dan deklarasi tauhid, versi ini lebih berfokus pada permohonan ampun dan penyucian diri dari dosa. Doa ini sangat dianjurkan karena memulai shalat dengan memohon ampunan adalah adab yang sangat baik.
اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ. اَللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ. اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ.
Allahumma ba'id baini wa baina khathayaya kama ba'adta bainal masyriqi wal maghrib. Allahumma naqqini min khathayaya kama yunaqqats tsaubul abyadhu minad danas. Allahummaghsilni min khathayaya bits tsalji wal ma'i wal barad.
"Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air, dan embun."
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan MuslimPenjelasan Makna Mendalam:
Doa ini menggunakan tiga metafora yang sangat indah dan kuat untuk menggambarkan proses penyucian diri dari dosa:
- Permohonan Penjauhan (Metafora Jarak):
"Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat."
Timur dan barat adalah dua titik yang tidak akan pernah bertemu. Permohonan ini bukan hanya meminta ampunan atas dosa yang telah lalu, tetapi juga memohon perlindungan agar tidak melakukan dosa di masa depan. Kita memohon kepada Allah untuk menciptakan jarak yang tak terjembatani antara diri kita dan perbuatan maksiat. Ini adalah permohonan preventif yang luar biasa. - Permohonan Pembersihan (Metafora Kain Putih):
"Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran."
Dosa diibaratkan sebagai "danas" atau kotoran yang menodai kain putih. Kain putih melambangkan fitrah manusia yang suci. Noda sekecil apapun akan terlihat jelas di atas kain putih. Permohonan ini adalah untuk mengembalikan kesucian fitrah tersebut, membersihkannya hingga tidak ada noda dosa yang tersisa. Ini adalah permohonan untuk pembersihan total dari dampak buruk dosa. - Permohonan Pencucian (Metafora Air, Salju, dan Embun):
"Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air, dan embun."
Mengapa menggunakan tiga elemen pembersih? Para ulama menjelaskan bahwa dosa memiliki sifat "panas" karena berasal dari hawa nafsu dan akan membawa ke neraka yang panas. Oleh karena itu, kita memohon untuk dicuci dengan elemen-elemen yang dingin (air, salju, embun) untuk memadamkan panasnya dosa tersebut. Penggunaan tiga elemen yang berbeda juga menyiratkan permohonan untuk pembersihan yang sempurna dari segala jenis dan tingkatan dosa, memastikan tidak ada sisa-sisa kotoran spiritual yang tertinggal.
Hukum dan Kedudukan Doa Iftitah dalam Shalat
Jumhur (mayoritas) ulama dari mazhab Syafi'i, Hanbali, dan Hanafi berpendapat bahwa membaca doa iftitah hukumnya adalah sunnah. Artinya, sangat dianjurkan untuk dikerjakan, dan orang yang mengerjakannya akan mendapatkan pahala, namun jika ditinggalkan (baik sengaja maupun tidak sengaja), shalatnya tetap sah. Dasarnya adalah hadis-hadis yang telah disebutkan di atas, di mana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membacanya secara rutin dalam shalatnya.
Adapun dalam mazhab Maliki, pendapat yang masyhur adalah membaca doa iftitah hukumnya makruh dalam shalat fardhu, namun dianjurkan (mandub) dalam shalat sunnah. Perbedaan pandangan ini adalah bagian dari kekayaan khazanah fiqih Islam yang harus kita sikapi dengan lapang dada.
Penting untuk dipahami bahwa doa iftitah dibaca pada rakaat pertama saja, setelah takbiratul ihram dan sebelum ta'awudz (membaca A'udzubillah) dan Al-Fatihah. Doa ini tidak diulangi pada rakaat-rakaat berikutnya.
Bagaimana Jika Menjadi Makmum Masbuq?
Sebuah pertanyaan yang sering muncul adalah: "Apakah saya tetap membaca doa iftitah jika saya terlambat bergabung dalam shalat berjamaah (masbuq)?"
Para ulama memberikan panduan sebagai berikut:
- Jika seorang makmum masbuq mendapati imam sedang berdiri dan masih dalam waktu yang cukup sebelum imam rukuk, dan ia yakin bisa menyelesaikan doa iftitah (walaupun yang singkat) dan Al-Fatihah, maka ia dianjurkan untuk membaca doa iftitah.
- Namun, jika ia mendapati imam sedang membaca Al-Fatihah atau surah pendek, maka yang lebih utama adalah ia langsung diam dan mendengarkan bacaan imam (jika bacaannya dikeraskan) atau segera membaca Al-Fatihah (jika bacaan imam tidak dikeraskan atau jika ia khawatir tidak sempat membacanya sebelum imam rukuk). Dalam kondisi ini, kesunahan membaca doa iftitah gugur karena ada kewajiban yang lebih tinggi, yaitu membaca Al-Fatihah yang merupakan rukun shalat.
- Jika ia mendapati imam sudah dalam posisi rukuk, maka ia harus langsung takbiratul ihram, kemudian langsung takbir untuk rukuk dan mengikuti imam. Dalam kondisi ini, ia tidak membaca doa iftitah maupun Al-Fatihah.
Prinsipnya adalah, kewajiban (rukun) harus didahulukan daripada yang sunnah. Dan mengikuti gerakan imam adalah sebuah kewajiban bagi makmum.
Hikmah dan Keutamaan Membaca Doa Iftitah
Membiasakan diri membaca doa iftitah dalam setiap shalat bukanlah sekadar rutinitas tanpa makna. Ada hikmah dan keutamaan besar di baliknya:
- Sarana Meraih Khusyuk: Doa iftitah berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kesibukan dunia dengan kekhusyukan shalat. Dengan memulainya dengan pujian dan pengagungan, hati menjadi lebih siap dan fokus untuk berdialog dengan Allah.
- Pengakuan Totalitas Penghambaan: Doa seperti "Inna salati, wa nusuki..." adalah ikrar tertinggi seorang hamba. Ia menyadarkan kita bahwa seluruh hidup kita, dari ibadah ritual hingga aktivitas sehari-hari, bahkan kematian kita, harus bernilai ibadah dan dipersembahkan hanya untuk Allah.
- Meneladani Sunnah Nabi: Mengamalkan doa iftitah adalah bentuk kecintaan kita kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menghidupkan sunnah-sunnah beliau dalam ibadah kita.
- Membuka Pintu Langit: Dalam sebuah hadis, ketika seorang sahabat membaca doa iftitah "Allahu Akbar Kabira...", Rasulullah bersabda, "Aku takjub dengannya, pintu-pintu langit telah dibuka karena kalimat tersebut." (HR. Muslim). Ini menunjukkan betapa agungnya kalimat-kalimat pujian ini di sisi Allah.
- Menjadi Awal yang Sempurna: Memulai sesuatu yang agung (shalat) dengan bacaan yang agung adalah sebuah adab yang mulia. Sebagaimana kita memulai pidato dengan mukadimah yang baik, kita memulai shalat kita dengan mukadimah terbaik yang berisi pujian, pengagungan, dan permohonan ampun kepada Allah Ta'ala.
Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Pembuka
Doa iftitah, dengan berbagai macam bacaannya, bukanlah sekadar formalitas pembuka shalat. Ia adalah kunci yang membuka gerbang kekhusyukan, sebuah pernyataan fundamental tentang siapa diri kita di hadapan Tuhan kita. Di dalamnya terkandung esensi dari ajaran Islam: tauhid, pujian, penyucian, penyerahan diri, dan permohonan ampun.
Mempelajari tulisan doa iftitah Arab, memahami artinya, dan merenungkan maknanya adalah sebuah investasi spiritual yang akan meningkatkan kualitas shalat kita. Dengan menghayatinya, takbiratul ihram tidak lagi hanya menjadi penanda dimulainya gerakan fisik, melainkan menjadi momen di mana kita benar-benar meninggalkan dunia di belakang kita dan menghadapkan seluruh jiwa raga kita kepada Rabb semesta alam. Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk dapat melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya.