Memahami Doa At Tahiyat Awal: Bacaan, Makna, dan Hikmahnya
Sholat adalah tiang agama, sebuah jembatan dialog antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Setiap gerakan dan ucapan di dalamnya bukanlah sekadar ritual kosong, melainkan rangkaian makna mendalam yang membawa ketenangan dan kekhusyukan. Salah satu rukun qauli (ucapan) yang paling penting dalam sholat adalah bacaan tasyahud atau tahiyat. Duduk tahiyat, khususnya tahiyat awal, menjadi momen istimewa di mana seorang Muslim mengulang kembali ikrar agung yang pernah diucapkan dalam peristiwa Mi'raj. Memahami setiap kata dalam doa at tahiyat awal adalah kunci untuk membuka pintu kekhusyukan dan merasakan esensi sejati dari ibadah sholat.
Artikel ini akan mengupas tuntas bacaan doa at tahiyat awal, mulai dari lafaznya yang shahih berdasarkan riwayat yang kuat, terjemahan kata per kata, hingga penyelaman makna (tadabbur) yang terkandung di dalamnya. Dengan pemahaman yang komprehensif, diharapkan setiap duduk tasyahud kita menjadi lebih bermakna dan berdampak pada kualitas spiritualitas kita secara keseluruhan.
Bacaan Lengkap Doa At Tahiyat Awal
Bacaan tahiyat memiliki beberapa versi riwayat dari para sahabat Nabi Muhammad SAW. Salah satu yang paling populer dan dianggap paling shahih (muttafaqun 'alaih, disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim) adalah riwayat dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu. Inilah bacaan yang akan kita bahas secara mendalam.
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Attahiyyaatu lillaahi wash sholawaatu wath thoyyibaat. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rohmatullaahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin. Asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh.
"Segala penghormatan, segala ibadah sholat, dan segala kebaikan hanyalah milik Allah. Semoga keselamatan tercurah atasmu wahai Nabi, beserta rahmat dan keberkahan-Nya. Semoga keselamatan tercurah atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya."
Setelah membaca kalimat syahadat tersebut, dalam mazhab Syafi'i dan Hanbali, disunnahkan untuk melanjutkan dengan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, meskipun dalam bentuk yang lebih ringkas dibandingkan tahiyat akhir.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa muhammad.
"Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada junjungan kami Nabi Muhammad."
Tadabbur dan Penyelaman Makna Kalimat Demi Kalimat
Untuk mencapai kekhusyukan, marilah kita bedah dan renungkan makna yang terkandung dalam setiap frasa agung ini.
1. التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ (Attahiyyaatu lillaahi)
Artinya: "Segala penghormatan hanyalah milik Allah."
Kata "At-Tahiyyat" (التَّحِيَّاتُ) adalah bentuk jamak dari kata "tahiyyah" (تَحِيَّة), yang berasal dari akar kata "hayah" (حَيَاة) yang berarti kehidupan. Secara harfiah, "tahiyyah" adalah ucapan salam yang mendoakan kehidupan, keabadian, dan keselamatan. Pada zaman dahulu, ungkapan ini digunakan untuk menyapa para raja dan penguasa dengan kalimat seperti "semoga raja hidup abadi" atau "semoga kekuasaanmu langgeng."
Namun, Islam datang untuk meluruskan konsep ini. Dalam bacaan sholat, kita menegaskan bahwa segala bentuk penghormatan agung, pujian yang menyiratkan kekekalan, kekuasaan mutlak, dan kesempurnaan kehidupan, hanyalah milik Allah semata. Tidak ada makhluk yang pantas menerima penghormatan semacam ini. Ini adalah bentuk penegasan tauhid yang paling murni, di mana kita mengembalikan semua bentuk pengagungan kepada sumbernya yang hakiki, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ketika kita mengucapkan "Attahiyyaatu lillaahi," kita sedang menanggalkan segala bentuk pengkultusan kepada makhluk dan memfokuskan seluruh jiwa raga kita untuk mengagungkan Allah Yang Maha Hidup dan Maha Abadi.
2. وَالصَّلَوَاتُ (Wash sholawaatu)
Artinya: "dan segala ibadah sholat (hanya untuk Allah)."
Kata "Ash-Shalawat" (الصَّلَوَاتُ) adalah bentuk jamak dari "sholah" (صَلَاة). Maknanya sangat luas. Ia bisa berarti doa, rahmat, pujian, dan secara spesifik merujuk pada ibadah sholat yang kita kerjakan. Dengan menyambungkan frasa ini setelah "Attahiyyaatu lillaahi," kita menegaskan bahwa tidak hanya pujian dan penghormatan, tetapi juga segala bentuk ibadah ritual, terutama sholat yang merupakan ibadah fisik dan spiritual terpenting, hanya ditujukan kepada Allah.
Ini adalah deklarasi anti-kemusyrikan. Kita menyatakan bahwa sholat kita, rukuk kita, sujud kita, dan doa-doa kita tidak pernah ditujukan kepada nabi, wali, malaikat, atau makhluk apapun selain Allah. Kalimat ini membersihkan niat kita, memastikan bahwa seluruh energi ibadah kita murni tercurah kepada-Nya. Ini adalah pengingat bahwa tujuan utama dari sholat lima waktu dan semua ibadah lainnya adalah untuk menyembah dan mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Esa.
3. وَالطَّيِّبَاتُ (Wath thoyyibaat)
Artinya: "dan segala kebaikan (hanya milik Allah)."
Kata "Ath-Thoyyibat" (الطَّيِّبَاتُ) adalah jamak dari "thoyyib" (طَيِّب), yang berarti baik, suci, bersih, dan layak. Dalam konteks ini, "Ath-Thoyyibat" mencakup segala sesuatu yang baik, meliputi:
- Ucapan yang baik: Dzikir, tasbih, tahmid, tahlil, pembacaan Al-Qur'an, dan semua perkataan yang mengandung kebenaran dan kebajikan.
- Perbuatan yang baik: Sedekah, menolong sesama, berbakti kepada orang tua, dan semua amal shalih yang diridhai-Nya.
- Sifat-sifat yang baik: Ikhlas, sabar, syukur, tawadhu, dan akhlak mulia lainnya.
- Harta yang baik: Rezeki yang halal dan suci.
Dengan mengucapkan "wath thoyyibaat," kita mengakui dua hal penting. Pertama, bahwa Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik-baik saja. Ibadah kita tidak akan diterima jika dicampuri dengan riya', kesombongan, atau berasal dari sumber yang haram. Kedua, kita mengakui bahwa sumber segala kebaikan adalah Allah. Semua perbuatan baik yang mampu kita lakukan sejatinya adalah taufik dan hidayah dari-Nya. Maka, segala pujian atas kebaikan tersebut layak dikembalikan kepada-Nya.
4. السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ (Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rohmatullaahi wa barokaatuh)
Artinya: "Semoga keselamatan tercurah atasmu wahai Nabi, beserta rahmat dan keberkahan-Nya."
Setelah tiga frasa pertama yang berfokus pada pengagungan Allah (Hablum minallah), fokus doa bergeser. Kalimat ini adalah salam penghormatan langsung kepada sosok sentral dalam risalah Islam, Nabi Muhammad SAW. Sejarah di balik kalimat ini sangat indah. Diriwayatkan bahwa bacaan tahiyat ini adalah transkrip dialog yang terjadi saat peristiwa Isra' Mi'raj. Ketika Nabi Muhammad SAW "bertemu" dengan Allah, beliau mengucapkan, "Attahiyyaatu lillaahi wash sholawaatu wath thoyyibaat." Allah kemudian membalasnya dengan, "Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rohmatullaahi wa barokaatuh."
Setiap kali kita membaca kalimat ini dalam sholat, kita seolah-olah sedang mengulang kembali momen agung tersebut. Kita mengirimkan doa keselamatan (As-Salam), rahmat (kasih sayang), dan barakah (keberkahan yang melimpah dan terus bertambah) kepada beliau. Ini adalah bentuk cinta, hormat, dan pengakuan kita atas jasa-jasa beliau yang tak terhingga dalam menyampaikan risalah Islam kepada kita. Meskipun beliau telah wafat, salam ini tetap kita ucapkan sebagai tanda ikatan spiritual yang tak terputus antara umat dengan nabinya.
5. السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ (Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin)
Artinya: "Semoga keselamatan tercurah atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih."
Mendengar salam yang ditujukan khusus untuknya, Nabi Muhammad SAW menunjukkan betapa luhur akhlaknya. Beliau tidak ingin kebaikan itu hanya untuk dirinya sendiri. Beliau pun menyambung, "Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin." Beliau langsung menyertakan "kami" (dirinya dan umatnya) dan seluruh hamba Allah yang shalih dalam doa keselamatan tersebut.
Kalimat ini mengajarkan kita tentang solidaritas dan ukhuwah islamiyah yang universal. Saat kita mengucapkannya, kita mendoakan keselamatan untuk:
- 'Alainaa (atas kami): Diri kita sendiri yang sedang sholat, dan juga bisa diartikan kaum muslimin secara umum.
- 'Alaa 'ibaadillaahish shoolihiin (atas hamba-hamba Allah yang shalih): Doa ini mencakup semua hamba Allah yang taat, baik yang masih hidup maupun yang telah tiada. Termasuk di dalamnya adalah para nabi, para malaikat, para sahabat, para ulama, dan setiap orang beriman di seluruh penjuru bumi dan di sepanjang zaman.
Nabi bersabda, "Jika seorang hamba mengucapkan kalimat ini, maka doa tersebut akan mengenai setiap hamba yang shalih di langit dan di bumi." (HR. Bukhari). Betapa indahnya, dalam setiap sholat, kita saling terhubung dan saling mendoakan dengan jutaan bahkan miliaran saudara seiman kita di seluruh dunia.
6. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (Asyhadu an laa ilaaha illallaah)
Artinya: "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah."
Ini adalah puncak dari tahiyat, yaitu kalimat persaksian atau syahadat. Setelah mengagungkan Allah dan mendoakan Nabi serta hamba-hamba shalih, kita sampai pada inti ajaran Islam: Tauhid. Kata "Asyhadu" (أَشْهَدُ) bukan sekadar berarti "aku mengetahui" atau "aku meyakini." Ia berasal dari kata "syahida" yang berarti menyaksikan. Artinya, persaksian ini harus lahir dari keyakinan yang begitu kuat seolah-olah kita menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Keyakinan ini harus terpatri dalam hati, terucap oleh lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan.
Kalimat "Laa ilaaha illallaah" (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ) adalah kalimat negasi dan afirmasi. "Laa ilaaha" (tidak ada tuhan) meniadakan segala bentuk sesembahan, tuhan-tuhan palsu, baik itu berhala, hawa nafsu, jabatan, harta, maupun makhluk lainnya. Kemudian diikuti "illallaah" (kecuali Allah), yang menetapkan bahwa satu-satunya yang berhak disembah, ditaati, dan dicintai secara mutlak hanyalah Allah. Mengucapkan kalimat ini dalam sholat adalah memperbarui janji setia kita, me-reset kembali orientasi hidup kita hanya untuk Allah.
7. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ (Wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh)
Artinya: "dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya."
Syahadat tauhid tidak akan lengkap tanpa syahadat rasul. Persaksian ini memiliki dua komponen penting:
- 'Abduhu (عَبْدُهُ) - Hamba-Nya: Penyebutan status "hamba" sebelum "utusan" adalah hal yang sangat signifikan. Ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW, semulia apapun kedudukannya, tetaplah seorang manusia, seorang hamba Allah. Ini untuk mencegah pengkultusan dan pendewaan terhadap beliau, seperti yang terjadi pada umat-umat sebelumnya. Beliau makan, minum, tidur, dan wafat seperti manusia lainnya. Menegaskan statusnya sebagai hamba menjaga kemurnian tauhid kita.
- Rosuuluh (رَسُولُهُ) - Utusan-Nya: Setelah menegaskan kemanusiaannya, kita mengakui kerasulannya. Konsekuensi dari persaksian ini adalah kita wajib membenarkan semua yang beliau sampaikan, menaati semua perintahnya, menjauhi semua larangannya, dan beribadah kepada Allah sesuai dengan syariat yang beliau ajarkan. Kita tidak boleh menambah-nambahi atau mengurangi ajaran agama yang telah sempurna disampaikannya.
Kedua kalimat syahadat ini adalah fondasi keislaman seseorang. Mengucapkannya di setiap tahiyat adalah cara kita untuk terus menerus merevitalisasi dan mengokohkan fondasi iman kita.
Hukum Tahiyat Awal dan Konsekuensi Jika Terlupa
Dalam fikih Islam, para ulama memiliki pandangan yang berbeda mengenai hukum duduk dan membaca tahiyat awal. Memahami perbedaan ini penting untuk menambah wawasan keislaman kita.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, termasuk dari mazhab Syafi'i dan Hanbali, hukum tahiyat awal adalah sunnah mu'akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) atau bagian dari ab'adhus shalat. Artinya, ia bukanlah rukun sholat. Jika seseorang sengaja meninggalkannya, sholatnya tetap sah namun ia kehilangan keutamaan yang besar. Namun, jika ia terlupa atau tidak sengaja meninggalkannya dan sudah terlanjur berdiri sempurna untuk rakaat ketiga, maka ia tidak perlu kembali duduk. Sebagai gantinya, ia disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi sebelum salam.
Sementara itu, menurut mazhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, hukum tahiyat awal adalah wajib. Wajib di sini berbeda dengan rukun. Jika ditinggalkan karena lupa, sholat tidak batal, tetapi wajib diganti dengan sujud sahwi. Jika ditinggalkan dengan sengaja, maka sholatnya batal dan harus diulang.
Perbedaan ini menunjukkan keluasan dalam khazanah fikih Islam. Sikap yang paling bijak adalah senantiasa berusaha untuk tidak meninggalkannya, karena ia merupakan bagian penting dari sholat yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jika terlupa, maka melakukan sujud sahwi adalah solusi yang telah diajarkan untuk menyempurnakan kekurangan dalam sholat kita.
Kesimpulan: Dialog Agung di Penghujung Rakaat
Doa at tahiyat awal bukanlah sekadar bacaan hafalan yang diucapkan tanpa makna. Ia adalah sebuah dialog agung yang merangkum seluruh esensi ajaran Islam. Dimulai dengan pengagungan total kepada Allah, dilanjutkan dengan salam cinta kepada sang pembawa risalah, Nabi Muhammad SAW, disusul dengan doa universal untuk diri sendiri dan seluruh orang shalih, dan diakhiri dengan pembaruan ikrar syahadat yang menjadi pilar keimanan.
Setiap duduk di antara dua rakaat adalah kesempatan emas untuk meresapi kembali perjalanan spiritual ini. Dengan memahami setiap katanya, kita tidak lagi hanya "membaca" tahiyat, tetapi kita "mengalami" tahiyat. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita taufik untuk dapat melaksanakan sholat dengan khusyuk, memahami setiap bacaannya, dan menjadikan sholat sebagai penyejuk hati serta cahaya dalam kehidupan kita. Aamiin.