Keutamaan Doa Al Ikhlas: Menyelami Samudra Tauhid Murni

Fondasi Kehidupan Spiritual yang Hakiki

Simbol Keikhlasan Representasi visual dari kesatuan dan kemurnian tauhid, terinspirasi oleh kaligrafi Arab. IKHLAS

Simbol kemurnian Tauhid dan sentralitas Ikhlas.

I. Pintu Gerbang Keikhlasan: Definisi dan Kedudukannya

Ikhlas bukanlah sekadar kata sifat yang menghiasi lisan, melainkan sebuah kondisi spiritual tertinggi yang menjadi ruh bagi setiap amal perbuatan seorang hamba. Dalam bahasa Arab, kata ‘Ikhlas’ berasal dari akar kata *khalasa*, yang berarti memurnikan, membersihkan, atau mengeluarkan sesuatu dari campuran. Secara terminologi syariat, ikhlas berarti memurnikan niat dalam beribadah hanya ditujukan kepada Allah SWT, tanpa menyertakan pamrih duniawi, pujian manusia, atau keinginan untuk dihormati.

Prinsip ikhlas adalah pilar fundamental yang menopang seluruh bangunan agama Islam. Tanpa ikhlas, amal sebesar apapun akan gugur nilainya, sebagaimana debu yang bertebaran. Ikhlas adalah syarat diterimanya amal, di samping syarat kesesuaian dengan syariat (ittiba’ sunnah). Keduanya, niat murni dan cara yang benar, harus berjalan beriringan. Jika satu hilang, maka amal menjadi sia-sia. Inilah yang menjadikan pembahasan mengenai ‘Doa Al Ikhlas’ tidak hanya sebatas ritualistik, namun penyelaman mendalam terhadap esensi Tauhid itu sendiri.

Doa yang dimaksud dalam konteks ini adalah penginternalisasian makna mendalam dari Surah Al Ikhlas, yang merupakan manifesto paling ringkas dan padat mengenai keesaan Allah. Surah ini adalah jantung Tauhid, menjadikannya kunci utama untuk mencapai keikhlasan sejati. Ketika seseorang menghayati makna Surah Al Ikhlas, ia secara otomatis memohon kepada Allah agar dirinya dijauhkan dari syirik dalam segala bentuknya—baik syirik besar maupun syirik yang lebih tersembunyi, yaitu *riya'* (pamer) dan *sum’ah* (mencari popularitas).

II. Surah Al Ikhlas: Teks dan Manifestasi Keesaan

Surah Al Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad) adalah salah satu surah terpendek dalam Al-Quran, terdiri dari empat ayat yang memiliki bobot makna yang sangat besar. Dikenal pula sebagai Surah At-Tauhid, ia merupakan jawaban definitif atas pertanyaan tentang hakikat Tuhan yang sering diajukan oleh kaum musyrikin Mekkah dan Yahudi kepada Rasulullah SAW.

Teks Surah Al Ikhlas (Mishaf Madinah)

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
١. قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ
1. Katakanlah (Muhammad), "Dialah Allah, Yang Maha Esa."
٢. ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
٣. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
3. (Dia) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
٤. وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌ
4. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.

Setiap kata dalam surah ini adalah pernyataan tegas tentang keunikan dan kesempurnaan sifat-sifat Allah. Menghayati doa ini berarti mengucapkan sumpah setia untuk tidak pernah menyandingkan apapun dengan Dzat Yang Maha Tunggal.

2.1. Ayat Pertama: Qul Huwallahu Ahad (Keesaan Mutlak)

Kata ‘Ahad’ memiliki makna yang lebih dalam daripada ‘Wahid’ (Satu). Wahid dapat digunakan untuk menunjukkan angka satu yang bisa diikuti oleh angka dua atau tiga. Sementara ‘Ahad’ menunjukkan kemutlakan, tidak ada duanya, tidak ada tandingannya, dan tidak dapat dibagi-bagi. Keesaan Allah di sini adalah keesaan Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan Perbuatan-Nya. Ini adalah inti dari Tauhid Uluhiyah (Keesaan dalam penyembahan).

Pengakuan ini menuntut agar seluruh pergerakan hati dan anggota badan hanya diarahkan kepada-Nya. Ikhlas lahir dari pengakuan ‘Ahad’ ini. Jika hamba meyakini bahwa hanya Allah yang Ahad, maka ia akan membersihkan niatnya dari berbagai tuhan semu—baik berupa harta, jabatan, pujian, atau manusia—yang bisa mencemari amalnya.

2.2. Ayat Kedua: Allahush Shamad (Sandaran Abadi)

Kata ‘Ash-Shamad’ memiliki beberapa tafsiran yang saling melengkapi, semuanya menunjukkan kesempurnaan Allah. Makna yang paling umum adalah: Tuhan yang menjadi sandaran (tempat bergantung) bagi segala sesuatu, sementara Dia sendiri tidak membutuhkan apapun. Makna lainnya adalah: Tuhan yang Maha Sempurna, tidak berongga, dan tidak memiliki kekurangan.

Ketika seorang hamba membaca dan menghayati ‘Allahush Shamad’, ia menyadari bahwa seluruh kebutuhannya, baik rezeki, kesehatan, pertolongan, maupun ampunan, hanya berasal dari satu sumber. Kesadaran ini membuahkan ketenangan hati dan keikhlasan. Mengapa seseorang harus mencari pujian dari manusia jika ia mengetahui bahwa Allah, Sang Ash-Shamad, adalah satu-satunya Zat yang mampu memberikan manfaat abadi?

2.3. Ayat Ketiga: Lam Yalid Wa Lam Yuulad (Bukan Permulaan dan Bukan Akhir)

Ayat ini menolak konsep ketuhanan yang memiliki keturunan atau yang dilahirkan, membantah klaim trinitas dan politeisme. Sifat ini menekankan keabadian dan keazalian Allah. Dia ada tanpa permulaan dan tanpa akhir. Sifat ini sangat penting dalam menegaskan Tauhid Rububiyah (Keesaan dalam penciptaan dan pemeliharaan).

Kelahiran dan keturunan adalah sifat makhluk yang menunjukkan keterbatasan, kebutuhan, dan fana. Allah terlepas dari semua itu. Menginternalisasi ayat ini dalam doa Al Ikhlas memperkuat keyakinan bahwa sumber kekuatan dan pertolongan adalah Dzat yang tidak tunduk pada hukum waktu dan materi.

2.4. Ayat Keempat: Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad (Tiada Satupun Setara)

‘Kufuwan Ahad’ berarti tidak ada satupun yang setara, sebanding, atau mirip dengan Allah, baik dalam Dzat-Nya, Nama-nama-Nya, Sifat-sifat-Nya, maupun Perbuatan-Nya. Ayat ini adalah penutup yang sempurna, menegaskan kembali kemutlakan Tauhid Asma wa Sifat.

Penyelaman terhadap ayat ini mencegah hati terjerumus dalam *tasybih* (menyerupakan Allah dengan makhluk) atau *ta'thil* (meniadakan sifat Allah). Keikhlasan yang hakiki hanya dapat dicapai ketika seorang hamba meyakini sepenuhnya bahwa Tuhannya unik dalam segala aspek, sehingga penyembahan yang diberikan haruslah murni dan unik pula.

III. Keutamaan Surah Al Ikhlas: Bobot Sepertiga Al-Quran

Salah satu aspek paling menakjubkan dari ‘Doa Al Ikhlas’ adalah kedudukannya yang istimewa di sisi syariat. Rasulullah SAW bersabda bahwa Surah Al Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Quran. Kedudukan ini bukan sekadar metafora, melainkan sebuah pengakuan atas keagungan dan kekayaan makna teologis yang terkandung di dalamnya.

3.1. Makna Keutamaan Sepertiga Al-Quran

Para ulama tafsir menjelaskan mengapa Surah Al Ikhlas dianugerahi bobot sepertiga Al-Quran. Mereka berpendapat bahwa secara umum, kandungan Al-Quran dapat dibagi menjadi tiga pilar utama:

  1. Tauhid (Keesaan Allah): Pembahasan mengenai Dzat, Nama, dan Sifat Allah.
  2. Hukum-Hukum (Syariat dan Muamalah): Perintah, larangan, dan aturan hidup.
  3. Kisah-Kisah (Sejarah dan Peringatan): Kisah para nabi, umat terdahulu, dan gambaran akhirat.

Surah Al Ikhlas secara padat dan sempurna mencakup seluruh pilar Tauhid. Barang siapa memahami dan mengamalkan surah ini, seolah-olah ia telah menguasai sepertiga dari seluruh ilmu yang dibawa oleh Al-Quran. Keutamaan ini mendorong seorang mukmin untuk senantiasa mengulanginya, menjadikannya bagian dari doa dan zikir harian.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah meriwayatkan bahwa ada seorang sahabat yang sangat mencintai Surah Al Ikhlas, dan ia senantiasa membacanya di setiap rakaat shalatnya. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab: “Karena surah ini menceritakan tentang sifat-sifat Ar-Rahman (Allah), dan aku suka membacanya.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Cintamu kepadanya akan memasukkanmu ke dalam surga.” (HR. Tirmidzi).

3.2. Fungsi Sebagai Ruqyah dan Perlindungan

Selain keutamaan teologis, Surah Al Ikhlas bersama dengan Al-Falaq dan An-Nas (Al-Mu’awwidzatain) memiliki fungsi praktis sebagai benteng perlindungan (ruqyah). Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk membaca ketiga surah ini setiap pagi, sore, dan sebelum tidur, meniupkannya ke tangan lalu mengusapkan ke seluruh tubuh.

Perlindungan ini bersifat komprehensif: melindungi dari sihir, kejahatan makhluk, dan yang paling penting, melindungi dari bisikan setan yang mendorong kepada *riya'* atau hilangnya keikhlasan. Keikhlasan sejati adalah benteng terkuat melawan segala bentuk kejahatan batin dan lahiriah.

IV. Ikhlas Sebagai Doa: Mengubah Surah Menjadi Permohonan Hati

Mengapa kita menyebutnya ‘Doa Al Ikhlas’? Karena ketika seorang hamba membaca dan merenungkan Surah Al Ikhlas, ia sedang mengajukan permohonan spiritual tertinggi. Doa ini bukan hanya permintaan lisan, tetapi deklarasi filosofis tentang siapa Allah dan siapa diri kita sebagai hamba. Inti dari doa ini adalah memohon tiga hal esensial:

4.1. Memohon Penguatan Tauhid Uluhiyah

Setiap ucapan ‘Qul Huwallahu Ahad’ adalah doa agar Allah menguatkan Tauhid Uluhiyah kita, yaitu kemurnian dalam penyembahan. Kita memohon agar Allah membersihkan hati dari segala bentuk ibadah yang bercabang, memastikan bahwa setiap gerakan shalat, puasa, dan zakat hanya ditujukan kepada-Nya. Ini adalah doa untuk istiqamah di atas jalan *Lailaha Illallah*.

4.2. Memohon Kesadaran Ash-Shamad (Ketergantungan Total)

Ketika kita mengakui ‘Allahush Shamad’, kita berdoa agar Allah menjadikan hati kita bergantung total hanya kepada-Nya, bukan kepada sebab-sebab duniawi. Dalam kehidupan modern, ketergantungan ini sering kali bergeser kepada harta, jabatan, atau bahkan validasi media sosial. Doa Al Ikhlas berfungsi sebagai pengingat: Ya Allah, Engkaulah satu-satunya sandaran, jangan biarkan hati ini tersesat mencari sandaran yang fana.

4.3. Memohon Perlindungan dari Syirik Khafi (Riya' dan Sum'ah)

Ancaman terbesar bagi keikhlasan bukanlah syirik besar, melainkan *syirik khafi* (syirik tersembunyi), yaitu riya' (pamer) dan sum'ah (mencari ketenaran). Syirik khafi sangat halus, ia dapat menyusup ke dalam amal saleh tanpa disadari, merusaknya dari dalam. Rasulullah SAW bersabda bahwa syirik khafi lebih tersembunyi daripada jejak semut hitam di atas batu hitam pada malam yang gelap gulita.

Doa Al Ikhlas, dengan penekanan pada keesaan dan ketidakbutuhan Allah, secara otomatis menjadi tameng terhadap riya'. Jika kita meyakini bahwa hanya Allah yang tidak butuh pujian dan hanya Dia yang melihat segala sesuatu, maka pujian manusia menjadi tidak relevan. Inilah praktik doa keikhlasan yang paling mendasar.

Permohonan Spesifik Terkait Ikhlas: Doa yang sering diucapkan para salaf untuk memohon perlindungan dari riya' setelah beramal adalah: "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku ketahui, dan aku memohon ampunan kepada-Mu atas perbuatan syirik yang tidak aku ketahui." Doa ini merupakan pelengkap sempurna bagi penghayatan Surah Al Ikhlas.

V. Menginternalisasi Prinsip Ikhlas dalam Setiap Ibadah

Keikhlasan bukanlah sekadar teori teologis; ia harus diterjemahkan menjadi praktik hidup sehari-hari. Implementasi "Doa Al Ikhlas" berarti menjalankan seluruh rukun Islam dengan niat yang murni.

5.1. Ikhlas dalam Shalat

Shalat adalah mi’raj seorang mukmin. Namun, shalat adalah ladang subur bagi riya'. Orang mungkin memperpanjang shalatnya ketika dilihat orang lain, atau memperbaiki bacaan hanya karena ada pendengar. Ikhlas dalam shalat menuntut kesadaran penuh bahwa kita sedang berdiri di hadapan Ash-Shamad, Dzat yang melihat isi hati dan tidak terpengaruh oleh penampilan luar.

Penerapan praktisnya adalah menjaga kualitas shalat, baik saat sendiri (shalat malam) maupun saat berjamaah. Jika kualitas shalat tidak berubah dalam kedua kondisi tersebut, maka ia telah mencapai derajat keikhlasan yang lebih tinggi dalam shalatnya.

5.2. Ikhlas dalam Sedekah dan Zakat

Harta adalah ujian terbesar. Ikhlas dalam sedekah adalah memberikan tanpa berharap pengembalian, ucapan terima kasih, atau pengakuan. Nabi Yusuf AS adalah contoh sempurna dari ikhlas, di mana ia memilih penjara daripada godaan duniawi, menunjukkan kemurnian niatnya hanya kepada Allah. Dalam konteks sedekah, ini berarti menyembunyikan amal kebaikan sebisa mungkin, sesuai ajaran Rasulullah SAW: "Tangan kanan memberi, tangan kiri tidak mengetahui."

Namun, terkadang menampakkan sedekah diperbolehkan jika tujuannya adalah memotivasi orang lain, asalkan niat pribadi pemberi tetap murni demi Allah. Batasan tipis antara motivasi orang lain dan mencari pujian adalah medan pertempuran bagi keikhlasan.

5.3. Ikhlas dalam Ilmu dan Berdakwah

Ilmu adalah pedang bermata dua. Menuntut ilmu semata-mata untuk mendapat gelar, jabatan, atau debat, adalah pintu masuk riya'. Ikhlas dalam ilmu adalah belajar untuk menghilangkan kebodohan diri sendiri dan kebodohan orang lain, semata-mata untuk menegakkan agama Allah.

Berdakwah yang ikhlas berarti menyampaikan kebenaran tanpa takut kehilangan popularitas atau penghasilan. Da'i yang ikhlas tidak mengharapkan bayaran dari manusia, karena pahala mereka ada di sisi Ash-Shamad.

5.4. Ikhlas dalam Muamalah dan Pekerjaan Duniawi

Ikhlas tidak hanya terbatas pada ibadah ritual. Setiap pekerjaan duniawi dapat diubah menjadi ibadah jika dilandasi niat yang benar. Seorang pedagang yang ikhlas tidak akan mengurangi timbangan dan mencari rezeki halal demi menafkahi keluarga (sebagai bentuk ibadah kepada Allah). Seorang profesional yang ikhlas akan memberikan kualitas kerja terbaiknya meskipun tidak diawasi atasan, karena ia tahu Allah adalah pengawas sejati.

Inilah puncak dari 'Doa Al Ikhlas': menjadikan seluruh hidup, dari tidur hingga bangun, dari bekerja hingga beristirahat, sebagai manifestasi ketaatan yang murni hanya kepada Allah, Dzat Yang Maha Esa.

VI. Perjuangan Abadi: Tantangan Menjaga Keikhlasan

Keikhlasan adalah permata yang sangat berharga dan sulit dijaga. Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata: "Tidak ada sesuatu yang lebih sulit aku obati selain niatku, karena ia senantiasa berbolak-balik." Tantangan menjaga keikhlasan datang dari tiga sumber utama:

6.1. Godaan Nafsu dan Ego Diri (Ujub)

Setelah berhasil melawan riya' (ingin dilihat orang), tantangan berikutnya adalah *ujub* (kagum pada diri sendiri). Ujub adalah syirik yang terjadi antara hamba dan Allah. Ketika seseorang merasa bahwa amalnya luar biasa, ia mulai bergantung pada amalnya itu, bukan pada Rahmat Allah. Doa Al Ikhlas (Allahush Shamad) mengajarkan bahwa amal kita hanyalah sebutir pasir, dan ketergantungan sejati harus tetap pada keagungan Allah.

6.2. Pujian dan Celaan Manusia

Orang yang ikhlas tidak terpengaruh oleh pujian atau celaan manusia. Pujian tidak membuatnya terbang, dan celaan tidak membuatnya runtuh. Hatinya terikat pada timbangan Allah. Jika ia dipuji, ia berdoa agar pujian itu tidak menjadi ujian. Jika dicela, ia bersabar karena celaan itu tidak mengurangi pahalanya di sisi Allah, selama ia berada di atas kebenaran.

6.3. Memperbarui Niat (Tajdidun Niyyah)

Keikhlasan bukanlah status permanen, melainkan proses yang harus diperbarui setiap saat. Setiap kali memulai amal baru, bahkan di tengah-tengah amal, seorang mukmin harus memeriksa kembali hatinya. Apakah niatnya masih murni? Apakah ada benih riya' yang mulai tumbuh? Proses ‘tajdidun niyyah’ ini adalah praktik harian dari Doa Al Ikhlas.

Para ulama salaf mengajarkan bahwa jika riya' muncul di tengah-tengah amal, seseorang harus segera bertaubat dan melanjutkan amal tersebut dengan menguatkan niat kembali. Jika amal itu dapat disembunyikan, maka sembunyikanlah, sebagai terapi untuk melawan virus riya'.

6.3.1. Penjagaan Hati dari Bisikan Riya'

Salah satu strategi untuk menjaga hati adalah dengan merenungkan sifat *Al-Malik* (Raja) dan *Al-Quddus* (Maha Suci). Ketika kita memahami bahwa Allah adalah Raja yang memiliki segalanya dan Dia Maha Suci dari kekurangan, kita akan malu mencari perhatian dari hamba yang fakir. Doa Al Ikhlas adalah pengakuan yang konsisten bahwa hanya Allah, Dzat yang tiada tandingan (*Kufuwan Ahad*), yang layak menerima dedikasi penuh.

Penyelidikan hati ini harus dilakukan secara terus-menerus. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menekankan bahwa amal tanpa ikhlas seperti musafir yang membawa kantong berisi pasir; berat, melelahkan, tetapi tidak membawa manfaat di akhir perjalanan. Sedangkan amal yang ikhlas, meskipun sedikit, akan menjadi cahaya penolong di hari perhitungan.

VII. Zikir dan Doa Pelengkap Prinsip Al Ikhlas

Untuk mengamalkan spirit Surah Al Ikhlas secara paripurna, kita dianjurkan untuk menggabungkannya dengan zikir dan doa yang menguatkan Tauhid dan memohon perlindungan dari musuh utama ikhlas: riya'.

7.1. Mengamalkan Al Mu’awwidzatain

Pengamalan rutin Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Nas setiap pagi, sore, dan sebelum tidur, tidak hanya melindungi fisik dari kejahatan, tetapi juga melindungi batin dari penyakit hati. Surah Al Ikhlas membersihkan Tauhid (internal), sementara Al Falaq dan An Nas melindungi dari kejahatan luar (makhluk dan sihir) dan kejahatan batin (bisikan setan).

Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan amalan ini, terutama setelah terjadi percobaan sihir terhadap beliau. Ini menunjukkan bahwa pertahanan spiritual, yang berawal dari keikhlasan Tauhid, adalah kunci keselamatan.

7.2. Doa Perlindungan Syirik yang Tidak Diketahui

Doa ini merupakan manifestasi kerendahan hati dan pengakuan bahwa manusia mudah terjerumus dalam kesalahan halus:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ.
“Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik kepada-Mu dalam keadaan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampun kepada-Mu atas perbuatan syirik yang tidak aku ketahui.”

Doa ini mencerminkan puncak kewaspadaan seorang *mukhlas* (orang yang ikhlas). Ia tahu bahwa meskipun ia berusaha memurnikan niatnya, setan dan nafsunya bisa menyelinap tanpa ia sadari. Dengan memohon ampunan atas syirik yang tersembunyi, ia kembali menegaskan prinsip ‘Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad’—tidak ada yang setara, bahkan dalam penyembahan itu sendiri.

7.3. Memperbanyak Zikir Tauhid

Pengulangan zikir tauhid seperti *La Ilaha Illallah* dan *Subhanallahil Adzim* berfungsi sebagai penguat fondasi Ikhlas. Semakin sering seorang hamba mengingatkan dirinya akan keesaan Allah, semakin kokoh niatnya untuk beramal hanya demi ridha-Nya. Ini adalah latihan spiritual yang berkelanjutan untuk memastikan bahwa Al Ikhlas (pemurnian) selalu menjadi inti dari keberadaan kita.

Mengamalkan zikir ini adalah praktik langsung dari ayat ‘Qul Huwallahu Ahad’. Setiap tarikan nafas dan detak jantung digunakan untuk menolak segala bentuk ketuhanan selain Allah dan mengesakan-Nya sepenuhnya. Ini adalah jalan menuju hati yang tenang, di mana keikhlasan bersemayam dengan damai, bebas dari gejolak riya' dan pamer.

Keikhlasan sejati menuntut kesabaran yang luar biasa. Para ulama bahkan mengatakan bahwa menjaga keikhlasan pada satu amal lebih sulit daripada melakukan 100 amal. Hal ini disebabkan karena niat senantiasa berubah seiring perubahan kondisi hati, lingkungan, dan bisikan setan. Oleh karena itu, ‘Doa Al Ikhlas’ adalah doa yang harus dihidupkan, direnungkan, dan diperjuangkan setiap waktu, dari matahari terbit hingga terbenam, dan dari buaian hingga liang lahat. Hanya dengan pemurnian niat inilah amal kita memiliki peluang untuk diangkat dan diterima oleh Dzat Yang Maha Tunggal, Ash-Shamad.

VIII. Penutup: Buah Manis Keikhlasan

Perjalanan memahami dan mengamalkan ‘Doa Al Ikhlas’ adalah perjalanan menuju pemurnian diri. Ia adalah kurikulum abadi yang mengajarkan bahwa kualitas amal lebih penting daripada kuantitasnya, dan bahwa niat adalah penentu utama nasib suatu perbuatan. Surah Al Ikhlas adalah harta karun Tauhid yang diberikan kepada umat Muhammad SAW, sebuah formula sempurna yang menjelaskan hakikat Ilahiah.

Seorang hamba yang telah mencapai derajat *mukhlas* (orang yang dimurnikan oleh Allah) akan merasakan buah-buah manis keikhlasan, di antaranya: ketenangan batin karena tidak bergantung pada penilaian manusia, keberkahan yang mengalir dalam hidupnya, dan yang paling utama, janji surga dari Rasulullah SAW bagi mereka yang mencintai surah ini karena ia menjelaskan tentang sifat-sifat Tuhan mereka.

Marilah kita senantiasa memohon kepada Allah SWT agar membersihkan niat kita, menjadikan setiap langkah kita, setiap kata kita, dan setiap hembusan nafas kita sebagai bentuk penyembahan yang murni hanya kepada-Nya. Semoga kita semua dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang ikhlas (Al-Mukhlasin).

“Tidak ada yang lebih dicintai Allah selain orang yang ikhlas.”

🏠 Kembali ke Homepage