Pengenalan Adzan dan Pentingnya Menjawab Panggilan Allah
Adzan, seruan suci yang dikumandangkan lima kali sehari dari menara-menara masjid, bukanlah sekadar pengumuman waktu shalat. Ia adalah panggilan universal yang sarat makna, sebuah deklarasi tauhid, dan undangan langsung dari Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya untuk menunaikan kewajiban terbesar setelah syahadat.
Bagi seorang Muslim yang beriman, mendengar adzan adalah momen sakral yang menuntut perhatian dan respons khusus. Respon atau ‘membalas’ adzan (disebut juga *muqabalah al-Adzan*) merupakan salah satu sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan) yang memiliki keutamaan luar biasa. Mengapa kita perlu membalas adzan? Karena hal ini adalah bentuk pengakuan dan penegasan kita terhadap apa yang sedang diserukan oleh muadzin.
Hukum Membalas Adzan
Para ulama sepakat bahwa mendengarkan adzan dan membalasnya hukumnya adalah *sunnah muakkadah*, sebuah tindakan yang sangat dianjurkan dan jika ditinggalkan tanpa alasan syar'i, dapat mengurangi kesempurnaan ibadah seseorang, meskipun tidak sampai pada tingkatan dosa. Namun, beberapa ulama, khususnya dalam Mazhab Zhahiri, memandangnya sebagai kewajiban mutlak (*wajib*).
Dasar hukum utama untuk membalas adzan bersumber dari sabda Rasulullah SAW: "Apabila kalian mendengar seruan (azan), maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh muadzin." (HR. Bukhari dan Muslim).
Perintah ini bersifat umum dan mencakup mayoritas kalimat adzan. Ketaatan terhadap sunnah ini adalah manifestasi cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW dan jalan tercepat untuk mendapatkan syafaatnya di hari kiamat, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti dalam pembahasan doa setelah adzan.
Tata Cara Lengkap Membalas Setiap Kalimat Adzan
Membalas adzan tidak dilakukan dengan diam atau mengucap istighfar, melainkan dengan menirukan ucapan muadzin. Namun, terdapat dua pengecualian penting yang harus diperhatikan agar balasan kita sesuai dengan Sunnah Nabi SAW.
1. Kalimat Pembukaan dan Penegasan Tauhid (Kalimat Pertama hingga Keempat)
Kalimat-kalimat ini adalah deklarasi kebesaran Allah dan kesaksian atas keesaan-Nya. Kita wajib mengulanginya sama persis seperti yang diucapkan muadzin.
Muadzin Mengucapkan:
Transliterasi: *Allahu Akbar, Allahu Akbar*
Arti: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.
Balasan Anda:
Ucapkan kembali kalimat yang sama persis:
Muadzin Mengucapkan:
Transliterasi: *Asyhadu an laa ilaaha illallah*
Arti: Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah.
Balasan Anda:
Ucapkan kembali kalimat yang sama persis:
Muadzin Mengucapkan:
Transliterasi: *Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah*
Arti: Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Balasan Anda:
Ucapkan kembali kalimat yang sama persis:
2. Pengecualian Pertama: Kalimat Ajakan Shalat dan Kebaikan
Ini adalah titik di mana balasan berbeda. Ketika muadzin mengajak kita untuk shalat dan meraih kemenangan, kita tidak mengulanginya, melainkan menyatakan penyerahan diri dan pengakuan bahwa kekuatan hanya milik Allah SWT.
Muadzin Mengucapkan:
Transliterasi: *Hayya ‘alas-Shalah*
Arti: Marilah menunaikan shalat.
Balasan Anda (Wajib Berbeda):
Ucapkan kalimat pengakuan tiada daya upaya:
Transliterasi: *Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah*
Arti: Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.
Muadzin Mengucapkan:
Transliterasi: *Hayya ‘alal-Falah*
Arti: Marilah menuju kemenangan/kesuksesan.
Balasan Anda (Wajib Berbeda):
Ucapkan kembali kalimat penyerahan diri yang sama:
Transliterasi: *Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah*
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa hikmah dari mengganti ucapan ini adalah karena kalimat 'Hayya 'alas-Shalah' adalah ajakan. Maka, orang yang menjawab dengan penyerahan diri kepada Allah (La hawla...) menunjukkan bahwa ia tidak mampu memenuhi ajakan tersebut kecuali dengan izin dan pertolongan-Nya. Ini adalah pelajaran tauhid yang mendalam.
3. Kalimat Penutup Adzan (Kalimat Terakhir)
Setelah ajakan shalat dan kemenangan, muadzin kembali menegaskan tauhid dan kebesaran Allah.
Muadzin Mengucapkan:
Transliterasi: *Allahu Akbar, Allahu Akbar* (Sekali atau Dua Kali, tergantung kebiasaan)
Arti: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.
Balasan Anda:
Ucapkan kembali kalimat yang sama persis:
Muadzin Mengucapkan:
Transliterasi: *Laa ilaaha illallaah*
Arti: Tiada Tuhan selain Allah.
Balasan Anda:
Ucapkan kembali kalimat yang sama persis, sebagai penutup balasan adzan:
Pengecualian Kedua: Tambahan pada Adzan Subuh (Fajr)
Adzan Subuh memiliki satu kalimat tambahan yang tidak ada pada shalat lainnya. Kalimat ini sering disebut *at-Tatswib*, yang berarti "kembali" (kembali menyeru). Ini adalah pernyataan bahwa shalat lebih utama daripada tidur.
Muadzin Mengucapkan (Hanya pada Adzan Subuh):
Transliterasi: *As-Shalatu khairum minan-naum*
Arti: Shalat itu lebih baik daripada tidur.
Balasan Anda:
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, namun pendapat yang paling kuat dan diamalkan mayoritas ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah adalah dengan membalasnya sama persis:
Catatan Tambahan: Ada pendapat lain yang menyunnahkan menjawab dengan: *Shadaqta wa bararta* (Engkau benar dan engkau berbuat kebaikan), namun peniruan lafadznya lebih didukung oleh keumuman hadits Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, tata cara membalas adzan Subuh mengikuti pola umum, ditambah dengan menirukan kalimat *As-Shalatu khairum minan-naum*.
Doa Setelah Adzan: Puncak Keutamaan dan Harapan Syafaat
Setelah selesai membalas seluruh kalimat adzan, sunnah tidak berhenti di situ. Langkah selanjutnya yang paling penting adalah membaca doa khusus yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Langkah-Langkah Setelah Adzan Berakhir
- Membaca Syahadat: Setelah muadzin mengucapkan 'Laa ilaaha illallah' yang terakhir, disunnahkan bagi pendengar untuk segera membaca dua kalimat syahadat, ditambah dengan pengakuan bahwa Allah adalah Rabbnya dan Islam adalah agamanya.
- Bershalawat: Kemudian, bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, misalnya dengan Shalawat Ibrahimiyyah (seperti dalam shalat) atau shalawat ringkas: *Allahumma shalli ‘ala Muhammad*.
- Membaca Doa Al-Wasilah: Inilah inti dari amalan setelah adzan, doa yang menjamin syafaat Rasulullah SAW.
Lafadz Doa Al-Wasilah
Doa ini dikenal sebagai doa yang meminta kepada Allah agar Rasulullah SAW diberikan kedudukan istimewa (*Al-Wasilah*) dan derajat terpuji (*Al-Maqamam Mahmuda*).
Transliterasi: *Allaahumma Rabba haadzihid-da’watit-taammah, wash-shalaatil-qaa’imah, aati Muhammadanil-wasiilata wal-fadhiilah, wab’atshu maqoomam mahmuudanil-ladzii wa’adtah, [innaka laa tukhliful-mii’aad].*
Arti: Ya Allah, Rabb pemilik seruan yang sempurna ini (adzan) dan shalat yang didirikan. Berikanlah kepada Muhammad al-Wasilah (kedudukan yang tinggi) dan al-Fadhilah (keutamaan), dan bangkitkanlah beliau pada kedudukan yang terpuji (Al-Maqamam Mahmuda) yang telah Engkau janjikan kepadanya, [Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji].
Perlu dicatat bahwa tambahan kalimat *‘Innaka laa tukhliful-mii’aad’* (Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji) diperselisihkan keshahihannya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tambahan ini tidak terdapat dalam riwayat Bukhari yang paling sahih. Oleh karena itu, dianjurkan untuk membacanya tanpa tambahan tersebut, meskipun jika ditambahkan, hal itu tetap mengandung makna yang baik.
Keutamaan Doa Al-Wasilah
Keutamaan membaca doa ini sangat besar, sebagaimana sabda Nabi SAW:
"Barangsiapa yang ketika selesai adzan mengucapkan (doa Al-Wasilah), maka ia berhak mendapatkan syafaatku pada Hari Kiamat." (HR. Al-Bukhari, No. 614)
Syafaat adalah pertolongan yang sangat dibutuhkan oleh setiap manusia di Padang Mahsyar. Doa ini adalah salah satu amalan ringan namun berkah yang dijamin akan membawa kita pada pertolongan Nabi SAW di hari perhitungan. Membacanya menunjukkan pengakuan kita atas kedudukan mulia Rasulullah SAW.
Keutamaan Spiritual dan Dampak Mendalam Membalas Adzan
Praktik membalas adzan bukan sekadar ritual lisan, melainkan sebuah latihan spiritual yang membentuk karakter keimanan seorang Muslim. Keutamaan-keutamaan yang dijanjikan syariat bagi mereka yang konsisten mengamalkannya sangatlah besar.
1. Mendapat Ampunan Dosa
Selain menjamin syafaat, membalas adzan dengan tulus juga merupakan sarana penghapusan dosa. Hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA, Nabi SAW bersabda:
“Barangsiapa yang ketika mendengar muadzin mengucapkan: Asyhadu an laa ilaaha illallah wahdahu laa syarikalah, wa anna Muhammadan abduhu wa Rasuluh, radhiitu billahi Rabba, wa bi Muhammadin Rasuula, wa bil Islaami diina (Aku bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Aku ridha Allah sebagai Rabbku, Muhammad sebagai Rasulku, dan Islam sebagai agamaku), maka diampuni dosanya.” (HR. Muslim, No. 386)
Amalan ini dilakukan setelah muadzin menyelesaikan kalimat syahadat (*Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah*), sebelum masuk ke kalimat *Hayya ‘alas-Shalah*. Ini adalah tambahan amalan yang sangat dianjurkan untuk mendapatkan ampunan instan saat mendengarkan seruan ilahi.
2. Diijabah Doanya
Momen antara adzan dan iqamah adalah salah satu waktu terbaik (*mustajab*) bagi doa. Namun, proses membalas adzan itu sendiri juga merupakan sebab dikabulkannya doa.
"Ucapkanlah seperti yang diucapkan muadzin. Jika telah selesai, berdoalah, niscaya akan dikabulkan." (HR. Abu Dawud, No. 523)
Ini mengajarkan kita bahwa membalas adzan adalah kunci pembuka bagi terkabulnya hajat kita. Setelah selesai menjawab adzan dan membaca doa Al-Wasilah, seorang Muslim harus memanfaatkan jeda beberapa saat untuk memanjatkan doa pribadi, memohon kebaikan dunia dan akhirat, karena saat itu adalah waktu emas yang tidak boleh disia-siakan.
3. Persiapan Mental Menuju Shalat
Dari sudut pandang psikologis dan spiritual, proses menjawab adzan adalah transisi yang lembut dari urusan duniawi menuju kesadaran akan panggilan akhirat. Dengan mengulang setiap kalimat, seorang Muslim menginternalisasi makna tauhid, syahadat, dan kebesaran Allah, sehingga hati dan pikirannya menjadi lebih siap untuk berdiri di hadapan Sang Pencipta dalam shalat.
4. Kesaksian bagi Muadzin dan Pendengar
Terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa suara muadzin didengar oleh segala sesuatu: jin, manusia, dan benda mati. Dan pada hari kiamat, mereka semua akan menjadi saksi bagi muadzin. Bagi pendengar yang menjawab adzan, ia juga menegaskan kesaksiannya, sehingga menjadi bagian dari barisan yang bersaksi atas kebenaran tauhid yang dikumandangkan.
Adab dan Etika Ketika Mendengarkan Adzan
Membalas adzan hanyalah salah satu aspek dari adab yang harus kita jaga. Selain membalas dengan lisan, terdapat adab-adab lain yang menunjukkan penghormatan kita terhadap panggilan suci ini.
Wajib Diam dan Mendengarkan
Ketika adzan berkumandang, seorang Muslim wajib menghentikan segala aktivitas yang tidak mendesak, termasuk berbicara, makan, minum, dan bahkan membaca Al-Qur'an atau dzikir lainnya. Fokus utama saat itu adalah mendengarkan dan membalas adzan.
Berbicara atau sibuk dengan hal duniawi saat adzan berlangsung dianggap sebagai tindakan yang kurang beradab terhadap seruan Allah. Meskipun ini tidak haram, hal ini menghilangkan pahala besar yang bisa didapatkan melalui perhatian penuh (*khusyu’*) dan balasan lisan yang sesuai sunnah.
Tidak Mengganggu Balasan Adzan
Jika seseorang sedang dalam shalat, ia tidak boleh membalas adzan. Shalat adalah ibadah yang lebih utama dan membalas adzan di tengah shalat akan membatalkan konsentrasi, atau bahkan membatalkan shalat itu sendiri jika dilakukan dengan gerakan lisan yang berlebihan.
Namun, jika seseorang sedang membaca Al-Qur'an atau melakukan dzikir non-wajib, ia harus menghentikannya sejenak dan beralih untuk menjawab adzan. Setelah adzan selesai, ia bisa melanjutkan kembali dzikirnya.
Memastikan Urutan Balasan
Penting untuk membalas adzan secara berurutan, kalimat per kalimat, mengikuti jeda yang diambil oleh muadzin. Jangan membalas kalimat adzan secara tergesa-gesa, atau menggabungkan dua balasan menjadi satu. Menghargai jeda muadzin adalah bagian dari adab mendengarkan.
Perbedaan Cara Membalas Adzan dan Iqamah
Iqamah adalah seruan kedua yang menandakan dimulainya shalat berjamaah. Meskipun memiliki lafadz yang mirip dengan adzan, terdapat perbedaan signifikan dalam cara meresponsnya, terutama karena iqamah mengandung kalimat tambahan dan tujuannya adalah segera memulai shalat.
Kalimat Tambahan pada Iqamah
Iqamah memiliki kalimat unik yang tidak ada dalam adzan, yaitu:
Muqim (Orang yang mengumandangkan Iqamah) Mengucapkan:
Transliterasi: *Qad qaamatis-shalaah*
Arti: Shalat akan segera didirikan.
Balasan Anda (Wajib Berbeda):
Ketika mendengar kalimat ini, balasan yang dianjurkan sesuai Sunnah adalah:
Transliterasi: *Aqaamahallahu wa adaamahaa*
Arti: Semoga Allah menegakkan dan mengekalkannya (shalat itu).
Dasar Dalil: Balasan ini diriwayatkan dalam Hadits Abu Dawud (No. 528) meskipun terdapat sedikit perbedaan pandangan ulama mengenai kekuatan hadits tersebut. Namun, inilah yang banyak diamalkan dalam Mazhab Syafi’i.
Aturan Umum Balasan Iqamah
Untuk kalimat Iqamah lainnya (Allahu Akbar, Asyhadu an laa ilaaha illallaah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah), kita membalasnya sama persis seperti pada adzan. Demikian pula, saat muqim mengucapkan *Hayya ‘alas-Shalah* dan *Hayya ‘alal-Falah*, kita tetap membalasnya dengan *Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah*.
Perbedaan penting lainnya adalah tidak ada Doa Al-Wasilah (doa khusus setelah adzan) yang dibaca setelah iqamah selesai. Setelah iqamah, fokus langsung beralih ke persiapan shalat, yaitu merapikan shaf dan bertakbiratul ihram mengikuti imam.
Landasan Syar’i dan Telaah Hadits Mengenai Balasan Adzan
Semua tata cara membalas adzan yang telah dijelaskan di atas didasarkan pada Hadits-Hadits Shahih yang menjadi pondasi utama hukum Islam. Memahami konteks hadits ini akan menguatkan keyakinan kita dalam melaksanakan sunnah ini.
Hadits Induk dari Abdullah bin Amr bin Ash
Hadits paling fundamental yang mengatur tata cara umum balasan adzan adalah dari Abdullah bin Amr bin Ash RA:
"Jika kalian mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah kepadaku, karena siapa yang bershalawat kepadaku sekali, Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mohonlah kepada Allah al-wasilah untukku, karena al-wasilah adalah kedudukan di surga yang hanya layak bagi satu hamba Allah. Aku berharap akulah hamba itu. Barangsiapa yang memohon untukku al-wasilah, maka ia berhak mendapatkan syafaatku." (HR. Muslim, No. 384)
Hadits ini secara eksplisit memuat tiga langkah utama dalam merespons adzan:
- Mengulang ucapan muadzin (kecuali dua kalimat ajakan).
- Bershalawat kepada Nabi SAW.
- Membaca Doa Al-Wasilah.
Hadits ini juga menjelaskan bahwa perintah untuk mengulang ucapan muadzin adalah perintah umum yang mencakup hampir seluruh kalimat adzan, memvalidasi tindakan kita dalam mengulang *Allahu Akbar* dan syahadat.
Hadits Jabir dan Bukti Pengampunan
Hadits Jabir bin Abdillah RA menekankan keutamaan doa setelah adzan, yang kita kenal sebagai Doa Al-Wasilah. Hadits inilah yang menjamin hak syafaat bagi pembacanya. Keutamaan ini begitu besar sehingga para ulama menekankan pentingnya tidak pernah melewatkan doa ini setelah adzan.
Sementara itu, hadits dari Umar bin Khattab RA juga memperkuat keutamaan tersebut, di mana beliau menyatakan ridha dan iman kepada Allah setelah mendengar syahadat, yang berujung pada janji ampunan dosa. Para ulama fiqih menggabungkan semua riwayat ini untuk membentuk panduan lengkap:
- Saat Syahadat: Mengulang syahadat, lalu segera mengucapkan deklarasi ridha (Radhiitu billahi Rabba...).
- Saat Ajakan: Mengucapkan *Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah*.
- Setelah Adzan Selesai: Shalawat, lalu Doa Al-Wasilah.
Integrasi dari riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa syariat Islam telah menyediakan serangkaian amalan berurutan yang sempurna, memastikan bahwa setiap jeda dan setiap kalimat adzan diisi dengan dzikir dan doa yang paling utama.
Penerapan Balasan Adzan dalam Kehidupan Sehari-hari
Konsistensi adalah kunci dalam menjalankan Sunnah. Menjadikan balasan adzan sebagai kebiasaan sehari-hari membutuhkan kesadaran dan disiplin, terutama di tengah kesibukan.
Adzan di Tempat Ramai
Bagaimana jika kita berada di tempat umum, seperti pasar, kantor, atau kendaraan, dan adzan berkumandang? Kewajiban mendengarkan dan membalas tetap berlaku. Meskipun mungkin kita tidak dapat bersuara keras karena khawatir mengganggu orang lain, kita tetap diwajibkan membalasnya dalam hati atau dengan suara lirih (sirr). Yang terpenting adalah hati dan lisan kita berinteraksi dengan panggilan tersebut.
Melewatkan Adzan Karena Tidur atau Lupa
Jika seseorang tertidur atau lupa membalas adzan hingga adzan selesai, ia tidak perlu mengqadha (mengganti) balasan adzan tersebut, karena balasan adzan adalah amalan yang terikat pada waktunya. Namun, ia harus berusaha keras untuk tidak mengulanginya di waktu shalat berikutnya, mengingat betapa besarnya pahala yang terlewatkan.
Prioritas Antara Membaca Al-Qur'an dan Membalas Adzan
Ketika seseorang sedang membaca Al-Qur'an (yang merupakan ibadah mulia) dan adzan berkumandang, ulama sepakat bahwa ia harus menghentikan bacaan Al-Qur'annya dan mendengarkan serta membalas adzan. Ini menunjukkan bahwa penghormatan terhadap panggilan shalat yang merupakan *rukun* Islam lebih diutamakan daripada ibadah sunnah lainnya yang sedang dilakukan.
Interaksi dengan adzan adalah manifestasi nyata dari ketundukan seorang hamba. Setiap kali muadzin menyerukan, "Allahu Akbar," itu adalah pengingat bahwa tidak ada urusan dunia yang lebih besar daripada panggilan tersebut. Ketika kita menjawabnya, kita mengokohkan kembali janji kita untuk memprioritaskan akhirat di atas dunia.
Tinjauan Mendalam Pandangan Empat Mazhab Mengenai Balasan Adzan
Meskipun dasar hukumnya sama-sama diambil dari hadits Nabi SAW, terdapat sedikit perbedaan penekanan dan praktik di antara empat mazhab fiqih besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) terkait detail balasan adzan, terutama pada bagian pengecualian dan tambahan.
Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi sangat menekankan pentingnya membalas adzan, bahkan memandangnya mendekati wajib (*wajib kifayah* bagi yang mendengar). Dalam hal balasan, mereka setuju bahwa:
- Kalimat ajakan (*Hayya ‘alas-Shalah* dan *Hayya ‘alal-Falah*) dibalas dengan *Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah*.
- Untuk adzan Subuh (*As-Shalatu khairum minan-naum*), mereka cenderung menyunnahkan balasan: *Shadaqta wa bararta* (Engkau benar dan Engkau berbuat kebaikan), atau bahkan mengulang lafazd yang sama.
- Mereka juga menyepakati bahwa doa setelah adzan adalah sunnah yang sangat ditekankan.
Penekanan utama dalam mazhab ini adalah kedisiplinan total dalam mendengarkan, di mana segala bentuk ucapan selain balasan adzan harus dihentikan.
Mazhab Maliki
Imam Malik RA dan pengikutnya juga menganggap membalas adzan sebagai sunnah muakkadah. Dalam praktik:
- Mereka sangat ketat dalam mengikuti hadits, sehingga menganjurkan pengulangan ucapan muadzin pada sebagian besar kalimat.
- Mengenai balasan *Hayya ‘alas-Shalah*, mereka sepakat dengan *Laa hawla...*.
- Mazhab Maliki terkadang cenderung tidak memasukkan tambahan Syahadat dan ridha (Radhiitu billahi Rabba...) setelah Syahadat muadzin, fokus pada pengulangan lisan muadzin dan kemudian langsung shalawat serta doa Al-Wasilah setelah adzan berakhir.
Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i adalah mazhab yang paling banyak diikuti di Indonesia dan memiliki panduan yang paling detail dan terstruktur dalam menggabungkan semua hadits sahih terkait balasan adzan. Panduan yang dijelaskan dalam artikel ini (mengulang syahadat lalu deklarasi ridha, shalawat, dan doa Al-Wasilah) sebagian besar didasarkan pada tata cara Mazhab Syafi’i dan Hanbali:
- Mengulang lafazd yang sama, kecuali pada *Hayya ‘alas-Shalah* dan *Hayya ‘alal-Falah* (dibalas *Laa hawla...*).
- Menambahkan deklarasi ridha (Radhiitu billahi Rabba...) setelah kalimat syahadat muadzin.
- Pada adzan Subuh, mereka cenderung membalas *As-Shalatu khairum minan-naum* sama persis seperti muadzin.
- Mereka juga sangat menekankan balasan iqamah: *Aqaamahallahu wa adaamahaa*.
Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali (Imam Ahmad bin Hanbal) memiliki pandangan yang hampir serupa dengan Syafi'i. Mereka sangat fokus pada riwayat yang shahih:
- Sama persis dalam hal pengulangan dan penggunaan *Laa hawla...*.
- Mereka juga menegaskan keutamaan membaca deklarasi ridha dan ampunan setelah syahadat.
- Mereka sangat menekankan bahwa doa Al-Wasilah setelah adzan adalah jalan menuju syafaat Nabi SAW.
Kesimpulan Fiqih: Meskipun ada sedikit perbedaan nuansa (seperti balasan untuk adzan Subuh atau balasan iqamah), semua mazhab sepakat pada inti utama, yaitu: mengulang mayoritas kalimat adzan, mengganti *Hayya 'ala* dengan *Laa hawla...*, bershalawat, dan membaca doa Al-Wasilah. Konsistensi dalam memegang salah satu panduan yang sahih adalah yang terpenting.
Refleksi Spiritual: Adzan sebagai Kontemplasi Tauhid
Membalas adzan jauh melampaui gerakan lisan; ini adalah latihan spiritual yang mendorong kontemplasi mendalam mengenai hakikat keberadaan kita sebagai hamba Allah. Adzan adalah miniatur dari lima prinsip tauhid yang harus dihidupi setiap hari.
1. Pengakuan Eksistensi Ilahi (*Allahu Akbar*)
Ketika muadzin menyerukan *Allahu Akbar* (Allah Maha Besar), dan kita mengulanginya, kita secara sadar menempatkan segala masalah, pekerjaan, dan kekhawatiran duniawi di bawah kebesaran-Nya. Ini adalah tindakan merendahkan diri, mengakui bahwa tidak ada kekuatan atau kekuasaan yang bisa menandingi Sang Pencipta. Pengulangan ini membersihkan pikiran dari kesombongan dan ketergantungan pada materi.
2. Penegasan Keesaan (*Laa Ilaaha Illallaah*)
Pernyataan tauhid adalah jantung adzan. Ketika kita mengulanginya, kita memperbaharui janji kita untuk tidak menyekutukan Allah SWT dengan apapun. Ini adalah sumpah setia yang diucapkan lima kali sehari, memperkuat fondasi keimanan agar tidak goyah oleh godaan atau keraguan.
3. Penerimaan Risalah Kenabian (*Muhammadar Rasulullah*)
Mengakui kenabian Muhammad SAW adalah komitmen untuk mengikuti Sunnah-nya. Ini bukan hanya pengakuan sejarah, tetapi pengakuan bahwa jalan hidup yang diajarkan oleh Rasulullah adalah jalan yang paling benar dan paling mendekatkan kita kepada Allah. Balasan kita menegaskan kesiapan kita untuk mengikuti petunjuk ilahi yang dibawa oleh beliau.
4. Kesadaran akan Keterbatasan Diri (*Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah*)
Inilah momen terpenting dalam balasan adzan. Ketika muadzin mengajak, kita menjawab dengan penyerahan diri total. Mengucapkan *Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah* (Tiada daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah) adalah pengakuan akan kelemahan diri. Kita mengakui bahwa kita hanya mampu shalat, hanya mampu menuju kemenangan, hanya jika Allah mengizinkan dan menolong kita. Ini adalah inti dari tawakkal (penyerahan diri).
5. Harapan dan Syafaat (*Al-Wasilah*)
Doa Al-Wasilah adalah puncak dari respons kita. Kita memohonkan kedudukan tertinggi bagi Rasulullah SAW, dan sebagai imbalannya, kita dijamin mendapatkan syafaatnya. Ini menciptakan hubungan timbal balik antara umat dan nabinya: kita menghormati kedudukan beliau, dan beliau menolong kita di hari yang paling genting.
Dengan demikian, membalas adzan adalah sebuah perjalanan kontemplatif singkat selama kurang lebih lima menit, yang menyegarkan kembali iman, memperkuat tauhid, dan menjamin pahala yang tak terhingga.
Kesimpulan dan Ajakan Beramal
Membalas adzan adalah sunnah yang mudah diamalkan, tetapi seringkali diabaikan karena kesibukan atau ketidaktahuan. Ia adalah jembatan penghubung antara dunia fana dan janji surga, hanya dengan beberapa kalimat ringan yang diucapkan lima kali dalam sehari. Keutamaan yang dijanjikan—ampunan dosa, terkabulnya doa, dan yang paling mulia, Syafaat Rasulullah SAW—adalah motivasi terbesar bagi setiap Muslim yang mendambakan kebahagiaan abadi.
Mari kita jadikan panggilan adzan bukan sekadar suara latar, melainkan momen istimewa untuk menghentikan sejenak urusan dunia, menanggapi panggilan Ilahi dengan penuh kesadaran, dan mengamalkan seluruh tata cara membalas adzan, mulai dari pengulangan lafadz, pengucapan *Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah*, hingga penutup yang mustajab dengan shalawat dan Doa Al-Wasilah.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita taufik dan kekuatan untuk menghidupkan setiap sunnah Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan kita sehari-hari.