Panduan Lengkap Cara Adzan yang Benar Sesuai Sunnah Nabi Muhammad SAW

Pengeras Suara Adzan
Adzan: Panggilan Suci yang Menyatukan Umat

Pendahuluan: Urgensi dan Kedudukan Adzan dalam Syariat Islam

Adzan, secara bahasa berarti pengumuman atau pemberitahuan. Namun, dalam konteks syariat Islam, Adzan adalah seruan khusus yang disyariatkan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat fardhu kepada umat Islam dan mengajak mereka untuk segera menunaikan ibadah tersebut. Kedudukan Adzan sangat mulia, bahkan Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa seandainya manusia mengetahui pahala yang terkandung dalam Adzan dan barisan shaf pertama, niscaya mereka akan berebut mendapatkannya.

Memahami tata cara Adzan yang benar dan sesuai dengan tuntunan Sunnah adalah kewajiban bagi setiap muslim, terutama bagi mereka yang mengemban amanah sebagai Mu’adzin (orang yang mengumandangkan Adzan). Kesalahan dalam lafadz (ucapan), urutan, atau adab dapat mengurangi kesempurnaan ibadah ini. Artikel ini akan mengupas tuntas seluruh aspek yang berkaitan dengan Adzan, mulai dari sejarah, syarat sah, lafadz per lafadz, hingga etika yang wajib dipatuhi.

Adzan bukan sekadar serangkaian kalimat yang diucapkan, melainkan sebuah proklamasi tauhid yang agung, yang didalamnya terkandung pengakuan kebesaran Allah (Takbir), persaksian keesaan-Nya (Syahadat Tauhid), persaksian kenabian Muhammad (Syahadat Rasul), serta ajakan untuk meraih kemenangan hakiki (Hayya ‘alal Falah). Setiap kalimat adalah fondasi spiritual yang kuat.

Sejarah dan Pensyariatan Adzan

Pensyariatan Adzan terjadi pada periode awal di Madinah, setelah Rasulullah SAW hijrah. Pada saat itu, umat Islam telah menghadapi kesulitan dalam menentukan cara yang efektif untuk mengumpulkan jamaah saat waktu shalat tiba. Berbagai usulan sempat muncul, seperti menggunakan lonceng seperti umat Nasrani, atau terompet seperti umat Yahudi. Namun, Rasulullah menolak praktik-praktik tersebut karena ingin membedakan ciri khas ibadah umat Islam.

Mimpi Sahabat Abdullah bin Zaid

Menurut riwayat yang shahih, solusi mengenai panggilan shalat datang melalui wahyu yang disampaikan dalam bentuk mimpi kepada seorang sahabat mulia bernama Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi. Beliau bermimpi melihat seseorang mengajarkan lafadz-lafadz Adzan yang kini kita kenal. Keesokan harinya, Abdullah bin Zaid menghadap Rasulullah SAW dan menceritakan mimpinya.

Pada saat yang sama, sahabat Umar bin Khattab RA juga datang dan mengatakan bahwa beliau telah mengalami mimpi serupa. Rasulullah SAW kemudian membenarkan mimpi tersebut dan memerintahkan Abdullah bin Zaid untuk mengajarkan lafadz Adzan itu kepada Bilal bin Rabah RA, karena Bilal memiliki suara yang lantang dan merdu. Sejak saat itulah, Bilal menjadi Mu’adzin pertama dalam sejarah Islam.

Pensyariatan ini menunjukkan bahwa Adzan adalah ketentuan langsung dari Allah SWT dan Sunnah Rasul-Nya, menjadikannya bagian integral dari syiar Islam yang tidak dapat diubah-ubah susunan maupun lafadznya. Tujuan utamanya adalah menegakkan syiar Tauhid di tengah masyarakat dan memastikan bahwa tidak ada waktu shalat fardhu yang terlewatkan tanpa adanya panggilan resmi.

Syarat Sah Adzan dan Kriteria Mu’adzin

Agar Adzan dianggap sah dan memenuhi fungsinya secara syar’i, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, baik terkait waktu pelaksanaan maupun orang yang mengumandangkannya (Mu’adzin). Para ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) sepakat atas sebagian besar syarat ini, meskipun terdapat sedikit perbedaan pandangan minor.

Syarat-syarat Sahnya Adzan

  1. Masuk Waktu Shalat: Adzan hanya boleh dikumandangkan setelah dipastikan masuknya waktu shalat fardhu (Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya, Subuh). Adzan yang dikumandangkan sebelum waktunya tidak sah dan wajib diulangi ketika waktu telah tiba. Pengecualian adalah Adzan Subuh, di mana disunnahkan adanya dua Adzan (Adzan pertama untuk membangunkan orang, dan Adzan kedua saat waktu Shubuh telah benar-benar masuk).
  2. Berurutan (Tartib): Lafadz Adzan harus diucapkan secara berurutan, mulai dari Takbir hingga Tahlil (Laa ilaha illallah). Jika urutannya terbalik, Adzan tersebut tidak sah dan harus diulang.
  3. Bersambung (Muwalat): Lafadz-lafadz Adzan harus diucapkan tanpa jeda panjang yang memutuskan kesinambungan Adzan. Jeda yang terlalu lama (misalnya, pergi minum atau berbicara urusan duniawi) mengharuskan Adzan diulang dari awal.
  4. Jelas dan Keras (Jahar): Adzan harus diucapkan dengan suara yang lantang dan jelas agar dapat didengar oleh jamaah yang berada di sekitar, sehingga tujuan pemberitahuan tercapai.
  5. Dengan Bahasa Arab: Lafadz Adzan adalah ibadah murni (tauqifi) yang harus diucapkan dalam bahasa aslinya, yakni Arab. Terjemahan atau penggantian lafadz tidak diperbolehkan.
  6. Niat: Mu’adzin harus berniat untuk mengumandangkan Adzan sebagai panggilan shalat, bukan sekadar latihan vokal atau ucapan biasa.

Kriteria Ideal Seorang Mu’adzin

Meskipun Adzan sah dikumandangkan oleh siapapun yang memenuhi syarat dasar keislaman, disunnahkan bagi Mu’adzin untuk memiliki kriteria tambahan yang mencerminkan kesempurnaan ibadah ini:

Analisis Detail Lafadz Adzan (Menurut Mazhab Syafi'i dan Jumhur Ulama)

Lafadz Adzan yang paling umum digunakan dan sesuai dengan riwayat shahih yang banyak dipraktikkan (termasuk Mazhab Syafi'i) terdiri dari 15 kalimat, yang dikenal sebagai Adzan Bilali (Adzan yang dikumandangkan Bilal bin Rabah), tanpa Tarji’ (pengulangan syahadat secara pelan). Namun, kita juga akan membahas variasi Tarji’ yang dianut oleh Mazhab Maliki dan sebagian Hanbali.

Struktur Umum Adzan (15 Lafadz)

Berikut adalah rincian lafadz, pengulangan, dan makna spiritual dari setiap bagian Adzan:

1. Takbir Awal (Pengagungan Allah)

Lafadz (diulang 4 kali):

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ

(Allahu Akbar, Allahu Akbar)

Arti: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.

Analisis Fiqh dan Spiritual: Adzan dimulai dengan empat kali Takbir. Ini adalah fondasi dari seluruh panggilan. Dengan menyatakan kebesaran Allah (Akbar) sebanyak empat kali, Mu’adzin membersihkan hati pendengar dari segala bentuk kebesaran dan dominasi selain Allah. Ini merupakan pengumuman universal bahwa semua kegiatan duniawi harus berhenti sejenak karena panggilan dari Yang Maha Besar telah tiba. Takbir ini harus diucapkan dengan jelas, panjang, dan nada yang stabil, menunjukkan kekhidmatan dan ketegasan.

2. Syahadat Tauhid (Persaksian Keesaan)

Lafadz (diulang 2 kali):

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

(Asyhadu an laa ilaaha illallah)

Arti: Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah.

Analisis Fiqh dan Spiritual: Setelah menegaskan kebesaran Allah, Mu’adzin mengikrarkan Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah. Kalimat ini adalah inti dari seluruh ajaran Islam. Diulang dua kali untuk menekankan kepastian kesaksian tersebut. Dalam mazhab yang menggunakan Tarji’ (seperti Maliki), syahadat ini dibaca dua kali dengan suara pelan (sirr), dan kemudian diulang dua kali dengan suara keras (jahr) — namun dalam Adzan 15 kalimat, langsung dikumandangkan keras.

3. Syahadat Risalah (Persaksian Kenabian)

Lafadz (diulang 2 kali):

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ

(Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah)

Arti: Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Analisis Fiqh dan Spiritual: Kesaksian ini melengkapi kesaksian Tauhid. Tidak sempurna iman seseorang tanpa mengakui kenabian Muhammad SAW. Ini menegaskan bahwa jalan menuju shalat dan ibadah hanya melalui syariat yang beliau bawa. Pengulangannya dua kali menguatkan janji dan kesetiaan kepada risalah kenabian.

4. Hayya ‘ala Ash-Shalah (Panggilan Shalat)

Lafadz (diulang 2 kali):

حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ

(Hayya ‘ala ash-Shalaah)

Arti: Marilah menunaikan shalat.

Analisis Fiqh dan Spiritual: Ini adalah ajakan praktis. Setelah fondasi tauhid dan risalah diletakkan, Mu’adzin memanggil manusia untuk mewujudkan iman tersebut melalui tindakan ibadah yang paling utama, yaitu shalat. Disunnahkan bagi Mu’adzin untuk menolehkan wajah ke kanan saat mengucapkan kalimat ini, melambangkan ajakan kepada orang-orang yang berada di sisi kanan masjid atau arah kanan. Pengulangan menunjukkan urgensi.

5. Hayya ‘ala Al-Falah (Panggilan Kemenangan)

Lafadz (diulang 2 kali):

حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ

(Hayya ‘ala al-Falaah)

Arti: Marilah menuju kemenangan (kesuksesan/kebahagiaan).

Analisis Fiqh dan Spiritual: Kemenangan sejati dalam Islam bukanlah kekayaan materi, melainkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang dicapai melalui ketaatan (shalat). Kalimat ini adalah janji. Mu’adzin disunnahkan menolehkan wajah ke kiri saat mengucapkan kalimat ini. Ini menunjukkan bahwa shalat adalah kunci sukses, dan ajakan ini ditujukan kepada semua arah dan seluruh manusia.

Tambahan pada Adzan Subuh (Tatsawwub)

Hanya pada Adzan Subuh (setelah Hayya ‘ala Al-Falah), ditambahkan:

Lafadz (diulang 2 kali):

الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ

(Ash-shalaatu khayrun minan-naum)

Arti: Shalat itu lebih baik daripada tidur.

Analisis Fiqh: Tambahan ini disebut Tatsawwub. Disyariatkan untuk mengingatkan orang yang sedang terlelap di waktu Subuh bahwa ibadah jauh lebih berharga daripada istirahat. Ini adalah sunnah yang dikerjakan pada masa Rasulullah SAW dan diterapkan oleh mayoritas mazhab (terutama Syafi'i dan Hanbali).

6. Takbir Akhir (Penutup Pengagungan)

Lafadz (diulang 2 kali):

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ

(Allahu Akbar, Allahu Akbar)

Arti: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.

Analisis Fiqh dan Spiritual: Pengulangan Takbir di akhir mengokohkan kembali keyakinan yang telah diikrarkan. Panggilan dimulai dan diakhiri dengan penegasan keagungan Allah, memastikan bahwa shalat hanya didirikan untuk-Nya.

7. Tahlil (Penutup Kesaksian)

Lafadz (diulang 1 kali):

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

(Laa ilaaha illallah)

Arti: Tiada tuhan selain Allah.

Analisis Fiqh dan Spiritual: Ini adalah kalimat penutup Adzan, yang dibaca sekali saja. Ia merangkum seluruh esensi panggilan tersebut: tujuan akhir dari segala ibadah dan panggilan adalah penegasan murni akan keesaan Tuhan. Ini adalah penutup yang khusyuk dan tegas.

Menara Masjid
Adzan adalah syiar utama yang berasal dari menara masjid, mengundang umat untuk berhimpun.

Kajian Fiqh Mendalam: Perbedaan Mazhab Mengenai Adzan

Walaupun lafadz utama Adzan disepakati, terdapat perbedaan minor yang penting dalam jumlah pengulangan dan tata cara yang diamalkan oleh empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali). Memahami perbedaan ini penting untuk menghormati variasi praktik di berbagai wilayah Muslim.

Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi mengamalkan Adzan dengan 19 kalimat (termasuk Tarji’). Ciri khas Mazhab Hanafi adalah mengulangi Takbir awal sebanyak empat kali, namun Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul dibaca dua kali secara perlahan (Tarji') sebelum diulang dua kali secara keras.

Mazhab Maliki

Mazhab Maliki cenderung mengamalkan Adzan dengan 16 kalimat. Mereka hanya mengulang Takbir awal sebanyak dua kali, bukan empat kali. Namun, mereka menyertakan Tarji’ (syahadat dibaca empat kali, dua pelan dan dua keras).

Mazhab Syafi’i dan Hanbali (Mayoritas)

Mazhab Syafi’i dan sebagian besar Hanbali mengamalkan Adzan dengan 15 kalimat, tanpa Tarji’. Ini didasarkan pada riwayat Adzan Bilal yang dikumandangkan di hadapan Nabi SAW di Madinah, yang dianggap sebagai bentuk yang paling ringkas dan shahih.

Kesimpulan Fiqh: Mana yang Terbaik?

Semua bentuk Adzan yang berasal dari riwayat shahih adalah sah. Praktik di Indonesia umumnya mengikuti Mazhab Syafi’i, yaitu Adzan 15 kalimat tanpa Tarji’, namun menghormati variasi adalah bagian dari keluasan Fiqh Islam.

Hukum Adzan

Adzan untuk shalat fardhu yang dikerjakan secara berjamaah (terutama di masjid) adalah Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan) menurut mayoritas ulama. Bahkan, sebagian ulama Hanbali menganggapnya sebagai Fardhu Kifayah (kewajiban kolektif) bagi suatu komunitas Muslim, di mana jika tidak ada yang Adzan sama sekali, seluruh komunitas berdosa. Bagi shalat yang dilakukan sendirian atau shalat yang terlewat (qadha’), Adzan disunnahkan, namun tidak wajib.

Tata Cara Praktis Pelaksanaan Adzan yang Sempurna

1. Persiapan Mu’adzin

Mu’adzin wajib membersihkan niat, memastikan waktu shalat telah masuk, dan disunnahkan untuk berwudhu. Mu’adzin berdiri di tempat yang tinggi (jika memungkinkan) dan menghadap kiblat. Jika Adzan dikumandangkan menggunakan pengeras suara, Mu’adzin harus memastikan posisi mikrofon tepat.

2. Tata Cara Takbir Awal (Tartsil)

Adzan wajib dikumandangkan secara Tartsil, yaitu pelan, tenang, dan panjang, dengan menjaga panjang pendek (mad) huruf. Berbeda dengan Iqamah yang harus cepat (hadr). Mu’adzin memulai Takbir (Allah Hu Akbar) sebanyak empat kali dengan nada yang mantap.

3. Pindah Arah Saat Hayya’

Ini adalah Sunnah yang penting, disebut Tashwib atau Istidarah (berpaling). Saat mengucapkan “Hayya ‘ala ash-Shalah” Mu’adzin menolehkan kepala ke kanan, dan saat mengucapkan “Hayya ‘ala al-Falaah” Mu’adzin menolehkan kepala ke kiri. Tujuannya adalah agar suara dapat menjangkau orang-orang yang berada di sisi tersebut, meskipun di era pengeras suara, makna simbolisnya tetap dipertahankan.

4. Meletakkan Jari di Telinga (Tarbii’)

Disunnahkan bagi Mu’adzin untuk meletakkan jari telunjuk kedua tangan di lubang telinga. Praktik ini dikenal sebagai Tarbii’. Hikmahnya adalah membantu Mu’adzin mengeluarkan suara yang lebih keras dan lantang. Ini adalah sunnah yang dicontohkan Bilal.

5. Menyelesaikan dengan Tahlil

Setelah mengumandangkan Takbir akhir sebanyak dua kali, Mu’adzin menutup Adzan dengan satu kali lafadz Tahlil: “Laa ilaaha illallah” dengan nada yang lebih rendah, tenang, dan penuh penekanan, menandakan berakhirnya panggilan tersebut.

6. Tata Cara Adzan Qadha’ (Shalat yang Terlewat)

Jika seseorang ketinggalan beberapa shalat dan hendak meng-qadha’-nya secara berurutan, disunnahkan baginya untuk mengumandangkan Adzan sekali di awal, diikuti dengan Iqamah untuk setiap shalat yang di-qadha’ secara terpisah.

Waktu Shalat
Adzan menandakan batas waktu dimulainya ibadah wajib.

Adab dan Sunnah Bagi Pendengar Adzan

Pahala tidak hanya didapatkan oleh Mu’adzin, tetapi juga oleh setiap muslim yang mendengar dan merespons panggilan tersebut dengan benar. Etika yang harus dilakukan pendengar adalah:

1. Menirukan Lafadz Adzan (Ijabah)

Disunnahkan bagi pendengar untuk menjawab (menirukan) setiap kalimat Adzan yang diucapkan oleh Mu’adzin, kecuali pada dua kalimat berikut:

Menirukan lafadz Adzan adalah bentuk penerimaan undangan secara lisan dan merupakan sunnah yang sangat ditekankan, yang dapat menjadi sebab diampuninya dosa-dosa.

2. Bershalawat dan Berdoa Setelah Adzan

Setelah Adzan selesai dikumandangkan (yaitu setelah kalimat Tahlil), pendengar disunnahkan membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti dengan doa Adzan yang ma’tsur (bersumber dari Nabi SAW). Doa ini adalah salah satu doa yang paling dijanjikan terkabul oleh Allah SWT.

Lafadz Doa Setelah Adzan:

اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ، إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ.

(Allahumma Rabba haadzihid da'watit taammah, wash-shalaatil qaa'imah, aati Muhammadanil wasiilata wal fadhiilah, wab'atshu maqaamam mahmuudanil ladzii wa'adtah, innaka laa tukhliful mii’aad.)

Arti: Ya Allah, Tuhan pemilik panggilan yang sempurna ini dan shalat yang didirikan. Berikanlah kepada Muhammad al-Wasilah (tempat tertinggi di surga) dan al-Fadhilah (keutamaan), dan bangkitkanlah beliau di tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan. Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji.

Perbandingan Adzan dan Iqamah: Lafadz, Tujuan, dan Hukum

Adzan dan Iqamah seringkali disalahpahami sebagai hal yang sama, padahal keduanya memiliki perbedaan signifikan dalam jumlah lafadz, tata cara, dan tujuan.

Tujuan dan Kedudukan

Perbedaan Lafadz (Iqamah 11 Kalimat)

Lafadz Iqamah secara umum (Jumhur/Syafi’i) terdiri dari 11 kalimat, yang disebut Iqamah Mufradah (ganjil):

  1. Allah Hu Akbar (2 kali)
  2. Asyhadu an laa ilaaha illallah (1 kali)
  3. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (1 kali)
  4. Hayya ‘ala ash-Shalah (1 kali)
  5. Hayya ‘ala al-Falaah (1 kali)
  6. Qad Qaamati Ash-Shalah (2 kali) - Kalimat Tambahan
  7. Allah Hu Akbar (2 kali)
  8. Laa ilaaha illallah (1 kali)

Poin Penting: Qad Qaamati Ash-Shalah

Kalimat قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ (Qad Qaamati Ash-Shalah – Shalat telah didirikan) adalah ciri khas Iqamah. Ini dibaca dua kali (dalam mazhab Syafi’i). Kalimat ini menjadi penanda kesiapan shalat.

Perbedaan Tata Cara

Filosofi dan Intisari Spiritual di Balik Setiap Lafadz Adzan

Adzan adalah dzikir yang terstruktur dan terpadu. Agar pengamalan Adzan tidak hanya sekedar rutinitas lisan, penting bagi Mu’adzin dan pendengar untuk meresapi makna filosofis dari setiap komponennya:

Tauhid Mutlak (Allahu Akbar)

Takbir empat kali di awal adalah penegasan bahwa tidak ada musuh, harta, atau kesibukan yang lebih besar daripada panggilan Allah. Ini adalah pemutus dari hiruk pikuk duniawi menuju ketenangan ilahiah. Mu’adzin yang benar-benar memahami Takbir akan mengumandangkannya dengan otoritas dan keyakinan, bukan sekadar melodi.

Fondasi Kehidupan (Syahadatain)

Syahadat yang diucapkan di tengah Adzan adalah pengakuan bahwa shalat yang akan didirikan adalah berdasarkan petunjuk yang diterima dari Nabi Muhammad SAW. Jika kita bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, maka kita wajib mengikuti metode ibadah yang diajarkan oleh Rasul-Nya. Keterkaitan antara Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul adalah jaminan bahwa Islam adalah agama yang sempurna.

Peralihan dari Dunia ke Akhirat (Hayya ‘ala Ash-Shalah)

Ajakan untuk shalat adalah ajakan untuk meninggalkan sementara kehidupan yang fana dan memasuki komunikasi langsung dengan Sang Pencipta. Shalat disebut sebagai ‘Mi’raj’ (kenaikan) bagi orang Mukmin. Mu’adzin mengingatkan bahwa kesempatan untuk beribadah dan meraih ampunan mungkin tidak datang lagi di detik berikutnya.

Kunci Kesuksesan Abadi (Hayya ‘ala Al-Falah)

Al-Falah berarti kemenangan, kebahagiaan, dan keberuntungan. Ketika Mu’adzin menyeru, ia menawarkan jalan keluar dari kesengsaraan dunia dan akhirat. Ini menanamkan konsep dalam benak pendengar bahwa shalat adalah investasi terbaik dan sumber ketenangan tertinggi, melebihi keuntungan materi apapun.

Penutup dan Penguatan Pemahaman

Adzan merupakan rukun spiritual terpenting kedua setelah Syahadatain, dan ia adalah jembatan menuju shalat fardhu, tiang agama Islam. Kesempurnaan Adzan terletak pada ketulusan Mu’adzin, kejelasan lafadz (Tartsil), ketepatan waktu, dan kepatuhan terhadap sunnah-sunnah, seperti Tarbii’ (jari di telinga) dan Tashwib (menoleh saat Hayya').

Bagi umat Islam, mendengarkan Adzan adalah momen wajib hening, menirukan, dan merenungkan janji-janji yang terkandung di dalamnya. Dengan mengamalkan Adab Adzan, baik sebagai Mu’adzin maupun sebagai pendengar, kita telah memperkuat syiar Islam dan mempersiapkan diri untuk berdiri di hadapan Allah dalam shalat. Semoga Allah menerima setiap panggilan Adzan kita dan memudahkan langkah kita menuju masjid.

🏠 Kembali ke Homepage