Kekhusyukan dalam Solat Witir
Solat Witir adalah ibadah sunnah yang sangat ditekankan (Sunnah Muakkadah) dalam Islam. Ia memiliki posisi istimewa, sering disebut sebagai penutup dari rangkaian solat malam (Qiyamul Lail). Artikel ini akan membahas secara mendalam segala aspek terkait bacaan dan tata cara Solat Witir, mulai dari ketentuan raka’at, surah yang disunnahkan, hingga pembahasan tuntas mengenai Du’a Qunut Witir dan zikir penutup setelah salam.
Mengetahui bacaan yang tepat, baik bacaan wajib di dalam solat maupun du’a khusus setelahnya, adalah kunci untuk meraih kesempurnaan dan pahala maksimal dari ibadah Witir. Pemahaman ini sangat penting, terutama bagi mereka yang rutin melaksanakan solat malam, baik di bulan Ramadan (sebagai penutup Tarawih) maupun di malam-malam biasa.
Secara bahasa, ‘witir’ berarti ganjil. Oleh karena itu, solat ini harus dilaksanakan dalam jumlah raka’at yang ganjil. Para ulama sepakat mengenai keutamaan Witir, meskipun terdapat sedikit perbedaan pandangan hukum di antara mazhab:
Waktu pelaksanaan Solat Witir dimulai setelah Solat Isya dan berakhir sebelum masuknya waktu Solat Subuh. Batasan waktu ini didasarkan pada sabda Rasulullah ﷺ:
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kalian sebuah solat yang lebih baik bagi kalian daripada unta merah, yaitu Solat Witir. Waktunya adalah antara Solat Isya’ hingga terbit fajar.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Para ulama menyarankan agar umat Islam menjadikannya solat penutup malamnya. Jika seseorang yakin akan terbangun di akhir malam (sepertiga malam terakhir), maka lebih utama menunda Witir. Namun, jika khawatir tidak bangun, maka lebih baik melaksanakan Witir setelah Solat Isya dan Solat Sunnah lainnya.
Solat Witir dapat dilaksanakan dengan minimal satu raka’at, dan maksimal sebelas raka’at. Cara yang paling umum dan disunnahkan adalah tiga raka’at. Berikut adalah beberapa metode pelaksanaannya, yang semuanya sahih berdasarkan sunnah:
Terdapat dua cara dalam melaksanakan tiga raka’at:
Bagi mereka yang ingin memperpanjang Qiyamul Lail, Witir bisa dilaksanakan 5, 7, atau 9 raka’at secara bersambung (tanpa Tasyahud kecuali pada raka’at terakhir). Ini memberikan kekhusyukan yang lebih mendalam dalam bacaan.
Meskipun sah membaca surah apa pun setelah Al-Fatihah, Rasulullah ﷺ secara konsisten membaca tiga surah tertentu dalam Solat Witir tiga raka’at, menjadikannya sunnah yang sangat dianjurkan (Sunnah Haiah).
Pada raka’at pertama, setelah membaca Surah Al-Fatihah, disunnahkan membaca Surah Al-A’la. Surah ini memuji kebesaran Allah dan mengingatkan tentang penciptaan serta akhirat.
Pada raka’at kedua, setelah Al-Fatihah, dibaca Surah Al-Kafirun. Surah ini menekankan pada penegasan tauhid dan pemurnian akidah, serta pembedaan jelas antara ibadah seorang Muslim dengan ibadah kaum musyrikin.
Pada raka’at terakhir (raka’at ganjil penutup), disunnahkan menggabungkan Surah Al-Ikhlas dengan dua surah pelindung (Mu’awwidzatain), yaitu Al-Falaq dan An-Nas. Ini adalah sunnah yang sangat kuat, sering dipraktikkan oleh Nabi ﷺ.
Penggabungan ketiga surah ini pada raka’at terakhir Witir bertujuan untuk menutup ibadah malam dengan permohonan perlindungan total kepada Allah SWT dari segala keburukan dan godaan.
Salah satu bacaan paling khas dan penting dalam Solat Witir adalah Du’a Qunut. Qunut Witir disunnahkan dalam mazhab Syafi’i dan Maliki (khususnya pada separuh akhir Ramadan), namun disunnahkan sepanjang tahun dalam mazhab Hanbali, dan dianjurkan pada semua raka’at ganjil menurut sebagian ulama.
Du’a Qunut Witir dilaksanakan pada raka’at terakhir, setelah bangun dari ruku’ (i’tidal). Terdapat beberapa riwayat mengenai kapan Qunut ini dilaksanakan. Dalam konteks Witir, mayoritas ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa Qunut dilakukan setelah ruku’ pada raka’at terakhir, seperti Qunut Subuh, namun hanya dilakukan pada separuh terakhir bulan Ramadan.
Lafadz Qunut Witir yang paling masyhur dan disunnahkan adalah yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada cucunya, Hasan bin Ali r.a. Du'a ini mencakup permohonan hidayah, kesehatan, keberkahan, perlindungan, dan pengakuan akan kebesaran Allah.
Du'a Qunut yang Penuh Makna
Beberapa ulama dan imam di Indonesia, khususnya saat Solat Witir berjamaah di Ramadan, sering menambahkan beberapa du’a lain setelah Qunut standar untuk melengkapi permohonan. Penambahan ini bersifat sunnah (mustahabb) dan tidak mengurangi keabsahan Qunut utama.
Jika solat dilakukan secara berjamaah, imam disunnahkan mengubah du’a dari bentuk tunggal menjadi bentuk jamak. Misalnya, dari (اهْدِنِي - berilah aku petunjuk) menjadi (اهْدِنَا - berilah kami petunjuk).
Dalam Mazhab Syafi’i, Qunut Witir memiliki ketentuan waktu yang spesifik, yang berbeda dengan Qunut Subuh. Perbedaan ini sering menjadi fokus kajian fiqh bagi umat Islam di Nusantara:
Namun, perlu dicatat bahwa Mazhab Hanbali menyunnahkan Qunut Witir sepanjang tahun. Oleh karena itu, jika seorang Muslim melaksanakan Qunut Witir di luar Ramadan, ia dapat merujuk pada pandangan ini, yang memberikan keluasan dalam beribadah, meskipun di Indonesia mayoritas mengikuti pendapat Syafi’i terkait batasan waktu Ramadan.
Kesempurnaan du’a ini terletak pada kerendahan hati saat memohon petunjuk (hidayah) dan keridaan (tawalli), serta pengakuan bahwa tidak ada kekuasaan di atas kekuasaan Allah (فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ).
Penggalan 1: Permohonan Hidayah dan Kesehatan
Penggalan ini menunjukkan bahwa kita tidak memohon hidayah atau kesehatan secara mandiri, melainkan meminta untuk dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang telah menerima karunia tersebut. Ini adalah adab dalam berdo’a, mengakui bahwa karunia tersebut murni berasal dari kehendak Allah.
Penggalan 2: Berkah dan Perlindungan
Bagian ini sangat penting karena memohon berkah (penambahan kebaikan) pada segala yang telah diberikan, dan meminta perlindungan dari takdir yang buruk (syarri maa qadhait). Ini adalah pengakuan atas takdir (Qada’ dan Qadar) dan memohon agar takdir buruk tersebut tidak menimpa diri kita, sebuah sunnah Nabi ﷺ.
Penggalan 3: Pengakuan Ketuhanan dan Kemuliaan
Penutup du’a ini adalah pujian dan pengakuan tauhid murni. Frasa “لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ” (tidak akan hina orang yang Engkau cintai) memberikan kepastian dan harapan bagi orang yang berdoa, bahwa kemuliaan sejati datang dari perwalian (kecintaan) Allah semata.
Saat Du’a Qunut, disunnahkan mengangkat kedua telapak tangan setinggi dada, dengan telapak tangan menghadap ke atas, sebagai tanda kerendahan dan permohonan. Tangan diangkat setelah takbir (takbir i’tidal) dan sebelum membaca Qunut. Disunnahkan pula bagi makmum untuk mengamini du’a imam (mengucapkan *Aamiin*) setelah setiap kalimat du’a yang diucapkan imam.
Jika seseorang solat Witir sendirian, ia membaca seluruh du’a tersebut dalam bentuk tunggal dan tidak perlu mengamini.
Untuk memastikan semua bacaan dilakukan pada tempatnya, berikut adalah rincian tata cara 3 raka’at dengan pemisahan 2 raka’at pertama (Solat Syafa') dan 1 raka’at penutup (Solat Witir), yang disunnahkan untuk dilakukan terpisah.
Kesempurnaan Witir juga terletak pada kualitas bacaan dalam gerakan solat. Jangan abaikan bacaan tasbih wajib ini:
Minimal satu kali, disunnahkan tiga kali atau lebih:
Setelah mengucapkan *Sami’allaahu liman hamidah* (bagi imam/munfarid):
Minimal satu kali, disunnahkan tiga kali atau lebih:
Setelah menunaikan salam penutup dari Solat Witir, terdapat zikir dan du’a khusus yang sangat ditekankan, menunjukkan penutupan ibadah malam secara sempurna.
Setelah salam, disunnahkan membaca tasbih berikut sebanyak tiga kali. Ini adalah sunnah yang dikuatkan oleh banyak hadis, seringkali dilakukan dengan suara sedikit dikeraskan pada kali ketiga.
Pada bacaan yang ketiga, disunnahkan untuk menarik suara lebih panjang (mad) dan meninggikannya. Dalam riwayat hadis, setelah tasbih ini, Rasulullah ﷺ juga menambahkan:
Setelah tasbih khusus tersebut, seorang Muslim dianjurkan untuk melanjutkan dengan istighfar (permohonan ampun) dan du’a, karena setiap ibadah tidak luput dari kekurangan.
Salah satu du’a penutup yang masyhur adalah permohonan keridaan dan perlindungan dari siksa-Nya:
Setiap bacaan dalam Solat Witir memiliki sandaran kuat dalam hadis. Memahami hadis ini memperkuat keyakinan kita bahwa kita mengikuti sunnah Nabi ﷺ secara detail.
Aisyah r.a. berkata: "Sesungguhnya Rasulullah ﷺ biasa melaksanakan Solat Witir dengan tiga raka’at. Beliau membaca pada raka’at pertama: سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى (Al-A’la), pada raka’at kedua: قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (Al-Kafirun), dan pada raka’at ketiga: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (Al-Ikhlas) dan المعوذتين (Al-Mu’awwidzatain).” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).
Penekanan pada surah-surah ini adalah untuk memadukan tauhid (Al-Ikhlas), penegasan akidah (Al-Kafirun), dan pengagungan Allah (Al-A’la), menutupnya dengan permohonan perlindungan (Al-Mu’awwidzatain).
Dari Hasan bin Ali r.a., ia berkata: "Rasulullah ﷺ mengajariku beberapa kalimat untuk diucapkan dalam Qunut Witir, yaitu: اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ..." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i).
Ini adalah dasar hukum primer untuk Du’a Qunut Witir, menegaskan bahwa du’a ini diajarkan langsung oleh Nabi ﷺ sebagai bagian dari Witir.
Dari Ubay bin Ka’ab r.a., ia berkata: “Apabila Rasulullah ﷺ mengucapkan salam dalam Witir, beliau membaca: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ tiga kali, dan mengeraskan suaranya pada kali yang ketiga.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
Penambahan kalimat “رَبِّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ” juga disebutkan dalam riwayat lain, yang menegaskan kesempurnaan zikir penutup ini. Zikir ini berfungsi sebagai transisi dari ibadah solat menuju keadaan zikir bebas sebelum tidur.
Ketika Solat Witir dilakukan secara berjamaah, terutama di bulan Ramadan, peran imam dan makmum dalam melaksanakan Qunut menjadi sangat spesifik. Kesalahan dalam mengikuti du’a dapat mengurangi kekhusyukan dan kesempurnaan ibadah.
Imam bertanggung jawab memimpin du’a. Ada dua poin penting bagi imam:
Makmum memiliki dua opsi selama imam membaca Qunut:
Saat imam mencapai bagian pujian (تسبيح/ta'alait), makmum tidak perlu mengamini, melainkan ikut memuji (misalnya mengucapkan *Subhaanaka* atau *Maha Suci Engkau*).
Rasulullah ﷺ sangat menekankan Solat Witir hingga dalam beberapa riwayat, beliau bersabda bahwa Witir adalah hak bagi setiap Muslim. Anjuran ini menunjukkan betapa besar pahala yang terkandung di dalamnya, terutama karena Witir adalah penutup ibadah malam.
Salah satu keutamaan utama Witir adalah fungsinya sebagai penutup. Nabi ﷺ bersabda:
“Jadikanlah akhir solat kalian di malam hari adalah Witir.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ini berarti, setelah Witir, seorang Muslim sebaiknya tidak melaksanakan solat sunnah lain hingga masuk waktu Subuh. Namun, jika setelah Witir ia ternyata terbangun dan ingin solat Tahajjud lagi, ia diperbolehkan solat tanpa perlu mengulangi Witir. Solat Witir yang pertama sudah sah sebagai penutup malamnya.
Para ulama sepakat bahwa Witir yang paling sempurna adalah tiga raka’at dengan dua salam, memisahkan Syafa’ (dua raka’at) dan Witir (satu raka’at). Namun, Witir lima, tujuh, sembilan, dan sebelas raka’at yang dilakukan dengan satu salam (kecuali tasyahud akhir) juga memiliki keutamaan tersendiri, karena mencerminkan konsistensi dalam Qiyamul Lail.
Apapun jumlah raka’at yang dipilih, konsistensi dalam menjaga kualitas bacaan (Surah Al-A’la, Al-Kafirun, Al-Ikhlas, dan Qunut) adalah kunci utama. Bacaan yang dibawakan dengan pemahaman, kekhusyukan, dan tartil (membaca secara perlahan dan benar) akan meningkatkan nilai ibadah Witir di sisi Allah SWT.
Setiap muslim dianjurkan untuk menjadikan Solat Witir sebagai rutinitas yang tidak ditinggalkan, sebagai wujud syukur atas kesempatan hidup hingga malam hari, dan sebagai permohonan ampunan serta petunjuk sebelum menutup hari dengan tidur. Pemandu bacaan ini diharapkan dapat membantu kaum muslimin melaksanakan ibadah Witir dengan tata cara dan bacaan yang paling sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad ﷺ.
***
***
Mengingat betapa sentralnya Du’a Qunut dalam Solat Witir, kami akan mengulang dan mendalami kembali setiap komponen du’a ini, memastikan pembaca dapat menghafal dan memahaminya secara menyeluruh, baik secara lafadz maupun makna. Pengulangan ini juga bertujuan untuk memperkuat hafalan bagi mereka yang baru mempelajari Qunut.
Pembukaan du’a Qunut, اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ (Allahummahdinii fiiman hadaiit), adalah intisari dari setiap permohonan. Kita meminta hidayah yang berkelanjutan, bukan sekadar hidayah sementara, melainkan hidayah yang mengantar kita menuju jalan orang-orang yang telah diridhai-Nya.
Makna mendalam: Pengakuan bahwa hidayah adalah pemberian eksklusif dari Allah, dan kita memohon agar dimasukkan ke dalam kelompok yang terpilih tersebut.
Lafadz kesehatan atau keselamatan: وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ (Wa 'aafinii fiiman 'aafait). Kesehatan (Al-'aafiyah) di sini tidak hanya merujuk pada kesehatan fisik, tetapi juga keselamatan dari fitnah dunia, fitnah kubur, dan fitnah akhirat. Ini adalah permintaan komprehensif.
Makna mendalam: Permintaan akan keselamatan menyeluruh di dunia dan akhirat, termasuk penjagaan dari penyakit hati dan ruhani.
Permintaan akan perwalian atau kepemimpinan ilahi: وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ (Wa tawallanii fiiman tawallait). Ini berarti memohon agar Allah menjadi pelindung, penolong, dan pembimbing kita, melepaskan diri dari perlindungan selain Dia.
Makna mendalam: Permohonan untuk mendapatkan penjagaan dan petunjuk langsung dari Allah, menjauhkan diri dari kesalahan dan kesesatan.
Permintaan akan berkah: وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ (Wa baariklii fiimaa a'thait). Berkah adalah kebaikan yang bertambah dan menetap. Kita tidak hanya meminta banyak harta atau umur, tetapi meminta agar apa pun yang telah diberikan Allah (sedikit atau banyak) memiliki manfaat yang langgeng.
Makna mendalam: Fokus pada kualitas hidup, bukan hanya kuantitas. Memohon agar waktu, rezeki, dan amal memiliki nilai yang tinggi di sisi-Nya.
Perlindungan dari takdir buruk: وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ (Wa qinii syarra maa qadhait). Ini adalah salah satu bukti sahnya memohon perubahan atau perlindungan dari takdir yang buruk. Dalam Islam, du’a dapat mengubah atau meringankan takdir yang telah ditetapkan.
Makna mendalam: Pengakuan penuh atas takdir Allah, namun sekaligus memohon perlindungan dari keburukan takdir tersebut.
Bagian penutup: فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ. Ini adalah pengakuan mutlak bahwa Allah adalah Penguasa tunggal yang keputusannya tidak dapat dibatalkan atau ditentang oleh siapapun. Pengakuan ini memperkuat keimanan sebelum mengakhiri du’a.
Makna mendalam: Penegasan bahwa segala kemuliaan dan kehinaan berada di tangan Allah. Tidak ada satupun musuh yang mampu mengalahkan hamba yang dicintai-Nya.
Selain tiga raka’at, Solat Witir juga sering dilakukan lima, tujuh, atau sembilan raka’at secara berturut-turut. Metode ini dikenal sebagai *al-Wasl* (menyambung). Penting untuk mengetahui bagaimana bacaan Qunut dan Surah tetap diterapkan pada metode yang lebih panjang ini.
Dalam Witir lima atau tujuh raka’at, semua raka’at dilakukan tanpa Tasyahud Awal. Tasyahud hanya dilakukan pada raka’at terakhir (kelima atau ketujuh) sebelum salam. Tata cara ini diambil dari praktik Nabi ﷺ, yang menunjukkan bahwa niat solat Witir adalah satu kesatuan, bukan Solat Sunnah yang terpisah-pisah.
Penerapan Bacaan Surah:
Penerapan Qunut: Du’a Qunut tetap hanya dibaca pada raka’at terakhir (kelima atau ketujuh) setelah i’tidal. Meskipun jumlah raka’atnya banyak, Qunut tetap berfungsi sebagai penutup permohonan solat malam.
Witir sembilan raka’at memiliki kekhususan: dilakukan secara bersambung, tetapi disunnahkan Tasyahud Awal pada raka’at kedelapan. Setelah tasyahud kedelapan, makmum atau munfarid berdiri tanpa salam, melanjutkan ke raka’at kesembilan, kemudian Tasyahud Akhir, dan salam. Bacaan Surah dan Qunut tetap pada posisi yang sama, yakni Qunut pada raka’at kesembilan setelah i’tidal.
Kesimpulannya, dalam setiap format Solat Witir, bacaan-bacaan khusus yang disunnahkan (Al-A’la, Al-Kafirun, Al-Ikhlas/Mu’awwidzatain) selalu ditempatkan pada tiga raka’at terakhir sebelum penutupan, dan Du’a Qunut selalu menjadi bacaan klimaks sebelum salam penutup Witir.