Memahami Makna dan Ragam Bacaan Setelah Ruku (I'tidal) dalam Shalat

Ilustrasi posisi I'tidal dalam shalat Sebuah gambar siluet orang berdiri tegak dengan tangan di samping, menggambarkan posisi i'tidal setelah ruku.

Ilustrasi posisi I'tidal, berdiri tegak setelah ruku.

Shalat adalah tiang agama, sebuah interaksi sakral antara seorang hamba dengan Tuhannya. Setiap gerakan dan ucapan di dalamnya memiliki makna yang mendalam dan landasan syar'i yang kokoh. Salah satu rukun fi'li (rukun perbuatan) yang krusial dalam shalat adalah i'tidal, yaitu gerakan bangkit dari ruku dan berdiri tegak lurus. Momen ini bukan sekadar transisi menuju sujud, melainkan sebuah jeda penuh penghayatan yang diisi dengan zikir dan pujian agung kepada Allah SWT. Memahami bacaan setelah ruku secara komprehensif, mulai dari yang paling dasar hingga doa-doa tambahan yang diajarkan Rasulullah SAW, dapat meningkatkan kualitas dan kekhusyukan shalat kita secara signifikan.

I'tidal seringkali menjadi bagian shalat yang terlewatkan kekhusyukannya. Banyak orang melakukannya dengan tergesa-gesa, tanpa meluruskan punggung dengan sempurna atau tanpa meresapi makna bacaan di dalamnya. Padahal, Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya tuma'ninah (tenang dan diam sejenak) dalam setiap rukun shalat, termasuk i'tidal. Dalam momen inilah seorang hamba memuji Allah Yang Maha Mendengar, mengakui segala pujian hanya milik-Nya, dan menambahkan sanjungan-sanjungan lain yang menggambarkan kebesaran-Nya.

Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai aspek terkait bacaan setelah ruku. Kita akan menjelajahi bacaan-bacaan pokok yang diucapkan oleh imam, makmum, dan orang yang shalat sendiri (munfarid). Lebih jauh lagi, kita akan menyelami lautan doa dan zikir tambahan yang diriwayatkan dalam hadis-hadis shahih, lengkap dengan teks Arab, transliterasi, terjemahan, serta penjelasan makna yang terkandung di dalamnya. Pembahasan mengenai hukum fiqih terkait bacaan-bacaan ini menurut pandangan para ulama mazhab juga akan disajikan untuk memberikan wawasan yang lebih utuh. Tujuannya adalah agar setiap muslim dapat melaksanakan i'tidal dengan ilmu, kesadaran, dan kekhusyukan yang maksimal, menjadikan setiap shalat sebagai pengalaman spiritual yang lebih bermakna.

Kedudukan I'tidal dan Tuma'ninah di Dalamnya

Sebelum membahas bacaannya, penting untuk memahami terlebih dahulu kedudukan i'tidal itu sendiri dalam struktur shalat. Para ulama dari empat mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) sepakat bahwa i'tidal adalah salah satu rukun shalat. Artinya, shalat tidak sah tanpanya. Meninggalkan i'tidal dengan sengaja atau karena lupa tanpa mengulanginya akan membatalkan shalat tersebut.

Dasar dari kewajiban ini adalah hadis yang sangat terkenal, dikenal sebagai "hadis al-musi' shalatuhu" (hadis tentang orang yang shalatnya buruk). Dalam hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim, seorang sahabat masuk masjid dan melaksanakan shalat, namun Rasulullah SAW menyuruhnya untuk mengulangi shalatnya sebanyak tiga kali karena dianggap belum shalat. Kemudian, Rasulullah SAW mengajarkannya cara shalat yang benar, dan salah satu petunjuk beliau adalah:

"...Kemudian rukuklah sampai engkau tuma'ninah dalam keadaan ruku. Lalu bangkitlah (dari ruku) hingga engkau berdiri lurus (i'tidal). Kemudian sujudlah sampai engkau tuma'ninah dalam keadaan sujud..."

Perintah "hingga engkau berdiri lurus" (حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا) menunjukkan bahwa i'tidal bukan sekadar gerakan lewat, melainkan sebuah posisi berdiri yang sempurna, di mana tulang punggung kembali ke posisi tegaknya. Aspek krusial lainnya yang menyertai i'tidal adalah tuma'ninah. Tuma'ninah secara bahasa berarti ketenangan. Dalam konteks shalat, ia berarti diamnya seluruh anggota badan setelah bergerak, meskipun hanya sejenak, kira-kira selama waktu yang cukup untuk mengucapkan "Subhanallah". Mayoritas ulama (Jumhur) dari mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa tuma'ninah dalam setiap rukun fi'li, termasuk i'tidal, adalah rukun shalat. Shalat tanpa tuma'ninah dianggap tidak sah. Ini adalah pelajaran penting dari hadis orang yang shalatnya buruk tadi, di mana inti kesalahannya adalah tidak adanya tuma'ninah dalam gerakannya.

Bacaan Pokok Saat Bangkit dari Ruku

Gerakan bangkit dari ruku diiringi dengan sebuah zikir khusus yang menandai dimulainya i'tidal. Zikir ini disebut tasmi'. Setelah berdiri tegak dalam posisi i'tidal, zikir lain yang disebut tahmid diucapkan.

1. Bacaan Tasmi': Sami'allahu liman hamidah

Ini adalah bacaan yang diucapkan saat proses bangkit dari posisi ruku menuju posisi berdiri tegak. Bacaan ini disunnahkan untuk dibaca oleh imam dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Adapun makmum, menurut pendapat yang paling kuat, tidak membacanya dan langsung membaca tahmid saat berdiri.

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

Sami'allāhu liman hamidah.

"Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya."

Makna Mendalam di Balik Kalimat "Sami'allahu liman hamidah":

Kalimat ini bukanlah sekadar pemberitahuan, melainkan sebuah pernyataan agung yang sarat makna. Kata sami'a (mendengar) di sini bukan hanya dalam arti pendengaran biasa, tetapi mencakup makna ijabah (mengabulkan), menerima, dan meridhai. Ketika seorang hamba memuji Allah (hamidah), Allah tidak hanya mendengar pujian itu, tetapi Allah meresponsnya dengan penerimaan, rahmat, dan pahala. Ini adalah dialog yang luar biasa. Saat kita membungkuk dalam ruku seraya mengagungkan-Nya dengan "Subhana Rabbiyal 'Azhim", lalu kita bangkit seraya menyatakan bahwa Allah mendengar pujian kita, ini membangun sebuah kesadaran bahwa ibadah kita tidak sia-sia. Setiap pujian, setiap tasbih, didengar dan dihargai oleh Sang Pencipta.

Ini juga mengajarkan kita tentang hakikat pujian. Kita memuji Allah bukan karena Dia butuh pujian kita, melainkan karena Dia-lah satu-satunya yang berhak atas segala pujian. Dengan memuji-Nya, kita mengakui keagungan, kebaikan, dan kesempurnaan-Nya. Dan sebagai balasannya, Allah "mendengar" kita, yang berarti Dia memperhatikan kita. Sungguh sebuah motivasi yang luar biasa untuk senantiasa membasahi lisan dengan pujian kepada-Nya, baik di dalam maupun di luar shalat.

Bacaan Pokok Saat Berdiri Tegak (Tahmid)

Setelah badan berdiri tegak lurus dengan tuma'ninah, bacaan berikutnya adalah tahmid. Bacaan ini diucapkan oleh semua yang shalat: imam, makmum, maupun munfarid. Bagi imam dan munfarid, ini adalah bacaan lanjutan setelah tasmi'. Bagi makmum, ini adalah bacaan utama mereka saat i'tidal.

Terdapat beberapa variasi lafal tahmid yang semuanya shahih berasal dari Rasulullah SAW. Mengamalkan lafal-lafal ini secara bergantian adalah bagian dari menghidupkan sunnah dan dapat membantu menambah kekhusyukan. Berikut adalah empat variasi utama:

Variasi Pertama: Rabbana lakal hamd

Ini adalah versi yang paling ringkas dan sangat umum diamalkan. Berdasarkan hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah SAW bersabda:

"Jika imam mengucapkan 'Sami'allahu liman hamidah', maka ucapkanlah 'Rabbana lakal hamd'." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ

Rabbanā lakal hamd.

"Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala puji."

Variasi Kedua: Rabbana wa lakal hamd

Versi ini menambahkan huruf 'wa' (dan) sebelum 'lakal hamd'. Penambahan ini memiliki makna penekanan dan penyambungan. Seolah-olah kita berkata, "Wahai Tuhan kami, (kami menjawab seruan-Mu) dan bagi-Mu lah segala puji." Ini adalah versi yang juga sangat populer dan memiliki landasan hadis yang kuat.

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

Rabbanā wa lakal hamd.

"Wahai Tuhan kami, dan bagi-Mu lah segala puji."

Variasi Ketiga: Allahumma Rabbana lakal hamd

Versi ini menambahkan panggilan "Allahumma" di awal. "Allahumma" adalah bentuk panggilan kepada Allah yang berarti "Ya Allah". Ini menambahkan nuansa doa dan permohonan yang lebih personal dalam pujian tersebut.

اللَّهُمَّ رَبَّnَا لَكَ الْحَمْدُ

Allāhumma Rabbanā lakal hamd.

"Ya Allah, Tuhan kami, bagi-Mu lah segala puji."

Variasi Keempat: Allahumma Rabbana wa lakal hamd

Ini adalah versi yang paling lengkap dari keempat variasi dasar ini, menggabungkan panggilan "Allahumma" dan huruf 'wa'. Ini mencakup semua keutamaan dari lafal-lafal sebelumnya.

اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

Allāhumma Rabbanā wa lakal hamd.

"Ya Allah, Tuhan kami, dan bagi-Mu lah segala puji."

Keempat variasi ini semuanya otentik dan boleh diamalkan. Seorang muslim bisa memilih salah satunya untuk dibaca secara konsisten, atau lebih baik lagi, membacanya secara bergantian di shalat yang berbeda-beda untuk menghidupkan sunnah Nabi SAW secara lebih menyeluruh.

Bacaan Tambahan (Sunnah) Setelah Tahmid Pokok

Setelah membaca salah satu dari empat lafal tahmid di atas, terdapat beberapa doa dan pujian tambahan yang sangat dianjurkan (sunnah mu'akkadah) untuk dibaca. Membaca zikir-zikir tambahan ini akan memperpanjang durasi i'tidal, meningkatkan kualitas tuma'ninah, dan tentu saja menambah pundi-pundi pahala. Inilah kesempatan emas untuk memuji Allah dengan pujian yang diajarkan langsung oleh lisan mulia Rasulullah SAW atau yang diakui oleh beliau.

1. Pujian yang Memenuhi Langit dan Bumi

Ini adalah tambahan yang paling masyhur dan sering digabungkan setelah bacaan tahmid. Pujian ini menggambarkan betapa agungnya pujian kita kepada Allah, seolah-olah pujian tersebut begitu besar hingga memenuhi seluruh jagat raya.

مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ، وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ

Mil'as-samāwāti wa mil'al-ardhi, wa mil'a mā syi'ta min syai'in ba'du.

"(Pujian) sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki setelah itu."

Penjelasan Makna:

2. Pujian yang Diperebutkan Para Malaikat

Ada sebuah kisah indah di balik salah satu bacaan i'tidal. Suatu ketika, Rasulullah SAW shalat berjamaah. Saat bangkit dari ruku dan mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah", seorang sahabat di belakang beliau menambahkan sebuah kalimat pujian yang spontan. Setelah shalat, Rasulullah SAW bertanya siapa yang mengucapkannya. Sahabat tersebut (Rifa'ah bin Rafi') mengaku. Maka Rasulullah SAW bersabda bahwa beliau melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama mencatat pujian tersebut. Pujian itu adalah:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

Rabbanā wa lakal hamd, hamdan katsīran thayyiban mubārakan fīh.

"Wahai Tuhan kami, dan bagi-Mu lah segala puji, pujian yang banyak, yang baik, dan yang diberkahi di dalamnya."

Penjelasan Makna:

Kisah di balik doa ini memberikan pelajaran berharga bahwa pintu ijtihad dalam membuat lafal pujian (selama maknanya benar) terbuka, dan Allah sangat menghargai pujian tulus yang datang dari hati hamba-Nya. Namun, karena lafal ini telah mendapat pengakuan (taqrir) dari Nabi, ia menjadi bagian dari sunnah yang dianjurkan untuk kita amalkan.

3. Pujian untuk Yang Maha Berhak Dipuji (Ahlus Tsana' wal Majd)

Ini adalah bacaan lain yang lebih panjang dan sarat dengan pengagungan. Biasanya dibaca setelah menggabungkan tahmid dengan pujian sepenuh langit dan bumi. Doa ini menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak atas segala sanjungan dan kemuliaan.

أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Ahlas-tsanā'i wal-majdi, aḥaqqu mā qālal-'abdu, wa kullunā laka 'abdun. Allāhumma lā māni'a limā a'ṭaita, wa lā mu'ṭiya limā mana'ta, wa lā yanfa'u dzal-jaddi minkal-jadd.

"(Engkau) Yang Maha Berhak atas segala sanjungan dan kemuliaan. Itulah ucapan yang paling benar yang diucapkan seorang hamba, dan kami semua adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau tahan, dan tidak bermanfaat kekayaan (atau kekuasaan) seseorang dari (siksa)-Mu."

Penjelasan Makna:

4. Bacaan I'tidal dalam Shalat Malam (Tahajjud)

Rasulullah SAW seringkali memanjangkan i'tidal beliau dalam shalat malam hingga durasinya hampir sama dengan ruku' beliau. Dalam i'tidal yang panjang ini, beliau membaca zikir-zikir khusus, salah satunya adalah pengulangan pujian.

Dari Hudzaifah radhiyallahu 'anhu, ia menceritakan pengalamannya shalat malam bersama Nabi. Ketika bangkit dari ruku, Nabi berdiri sangat lama, hampir sama dengan lamanya beliau ruku. Beliau membaca:

لِرَبِّيَ الْحَمْدُ، لِرَبِّيَ الْحَمْدُ

Li Rabbiyal hamd, li Rabbiyal hamd.

"Untuk Tuhanku segala puji, untuk Tuhanku segala puji."

Beliau mengulang-ulang kalimat ini hingga durasi berdirinya hampir sama dengan ruku'nya yang juga sangat panjang. Ini mengajarkan kita bahwa pengulangan zikir dengan penuh penghayatan adalah salah satu cara untuk mencapai kekhusyukan dan memperlama ibadah kita di hadapan Allah.

Hukum Fiqih Seputar Bacaan I'tidal

Setelah mengetahui ragam bacaannya, penting juga untuk memahami status hukum dari masing-masing bacaan tersebut menurut pandangan para ulama. Terdapat sedikit perbedaan pendapat (khilafiyah) di antara mazhab-mazhab fiqih.

Hukum Membaca Tasmi' (Sami'allahu liman hamidah)

Hukum Membaca Tahmid (Rabbana wa lakal hamd dan variasinya)

Sebagai langkah kehati-hatian (ihtiyath), seorang muslim hendaknya tidak pernah meninggalkan bacaan tasmi' (saat shalat sendiri atau menjadi imam) dan tahmid (dalam semua kondisi), karena ini adalah bagian tak terpisahkan dari shalat yang dicontohkan Rasulullah SAW dan terdapat perdebatan kuat mengenai kewajibannya.

Hukum Bacaan-bacaan Tambahan

Adapun semua bacaan tambahan setelah tahmid pokok, seperti "Mil'as-samawati...", "Hamdan katsiran...", dan "Ahlas-tsana'i...", para ulama sepakat bahwa hukumnya adalah sunnah. Dianjurkan untuk dibaca guna menyempurnakan shalat dan menambah pahala, tetapi jika tidak dibaca, shalat tetap sah dan tidak memerlukan sujud sahwi.

Kesalahan Umum yang Terjadi Saat I'tidal

Untuk menyempurnakan ibadah kita, selain mengetahui yang benar, kita juga perlu mengenali kesalahan-kesalahan umum yang sering terjadi agar dapat menghindarinya. Beberapa kesalahan terkait i'tidal antara lain:

  1. Tidak Tuma'ninah: Ini adalah kesalahan paling fatal dan paling umum. Banyak orang bangkit dari ruku hanya sekilas lalu langsung turun untuk sujud. Gerakan seperti ini menyerupai gerakan mematuk ayam, yang dicela keras oleh Nabi SAW. I'tidal yang benar menuntut badan untuk berdiri tegak sempurna dan diam sejenak sebelum bergerak lagi.
  2. Punggung Tidak Lurus Sempurna: Sebagian orang bangkit dari ruku namun punggungnya masih sedikit membungkuk. I'tidal yang sempurna adalah saat tulang punggung kembali ke posisi normalnya seperti saat berdiri biasa.
  3. Salah Membaca Zikir: Terkadang karena kurang fokus, seorang makmum ikut mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah" bersama imam. Yang benar bagi makmum adalah langsung mengucapkan "Rabbana wa lakal hamd".
  4. Meninggalkan Bacaan Sama Sekali: Baik tasmi' maupun tahmid, meskipun ada perbedaan pendapat tentang hukumnya, meninggalkannya adalah sebuah kekurangan dalam shalat dan kehilangan pahala yang besar.
  5. Mengangkat Tangan Tidak Sesuai Sunnah: Mengangkat tangan saat bangkit dari ruku (takbir intiqal) adalah sunnah. Namun, ada yang melakukannya dengan cara yang kurang tepat, misalnya mengangkatnya setelah sempurna berdiri. Yang sesuai sunnah adalah mulai mengangkat tangan bersamaan dengan gerakan bangkit dari ruku.

Penutup: Menghayati Momen I'tidal

I'tidal bukanlah sekadar jeda atau rukun transisi. Ia adalah sebuah pos penting dalam perjalanan shalat. Saat kita bangkit dari posisi ruku yang penuh ketundukan, kita berdiri tegak seraya memuji Allah Yang Maha Mendengar. Ini adalah momen pengakuan bahwa setelah ketundukan (ruku), datanglah pujian dan rasa syukur. Dialog "Sami'allahu liman hamidah" dan "Rabbana wa lakal hamd" adalah bukti interaksi langsung antara hamba dan Rabb-nya.

Dengan mempelajari dan mengamalkan berbagai bacaan setelah ruku yang telah diajarkan, kita membuka pintu untuk memperkaya shalat kita. Kita tidak lagi terpaku pada satu bacaan rutin, tetapi bisa menyelami samudra pujian yang luas. Membaca "Mil'as-samawati wal ardh" akan membuat kita merenungkan kebesaran alam semesta. Membaca "Hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih" akan mengingatkan kita pada kemurahan Allah yang membuat para malaikat-Nya berlomba mencatat amal kita. Dan membaca "La mani'a lima a'thaita..." akan mengokohkan pilar tauhid di dalam dada kita.

Marilah kita bertekad untuk memperbaiki kualitas i'tidal kita. Lakukanlah dengan tuma'ninah, luruskan punggung dengan sempurna, dan basahi lisan dengan zikir dan pujian yang agung. Semoga Allah SWT menerima shalat kita dan menjadikannya sebagai penyejuk mata dan penenang jiwa, sebagaimana ia menjadi penyejuk mata bagi teladan kita, Rasulullah Muhammad SAW.

🏠 Kembali ke Homepage