Membedah Makna dan Ragam Bacaan Sebelum Adzan
Di banyak belahan dunia Islam, khususnya di Nusantara, ada sebuah tradisi spiritual yang begitu lekat di telinga dan hati. Beberapa saat sebelum kumandang adzan yang agung, sering kali terdengar lantunan syahdu dari pengeras suara masjid atau mushala. Lantunan ini bisa berupa shalawat, dzikir, puji-pujian, atau pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Inilah yang secara umum dikenal sebagai bacaan sebelum adzan. Praktik ini bukan sekadar pengisi waktu jeda, melainkan sebuah jembatan spiritual yang mempersiapkan jiwa untuk menyambut panggilan shalat.
Tradisi ini telah mengakar kuat, menjadi penanda waktu yang khas dan penyejuk kalbu bagi masyarakat sekitar. Suaranya yang merdu di keheningan fajar atau di tengah hiruk pikuk senja menjadi pengingat lembut akan kebesaran Sang Pencipta. Artikel ini akan mengupas secara mendalam tentang ragam bacaan sebelum adzan, menelusuri makna, landasan, serta dimensi spiritual dan sosial yang terkandung di dalamnya, sebagai sebuah kekayaan tradisi Islam yang patut dipahami dan dilestarikan.
Memahami Konteks: Antara Sunnah dan Tradisi Budaya
Penting untuk memahami posisi bacaan sebelum adzan dalam kerangka syariat Islam. Secara spesifik, tidak ditemukan dalil yang secara eksplisit memerintahkan atau mencontohkan bacaan-bacaan tertentu dengan pengeras suara persis sebelum adzan pada zaman Rasulullah ﷺ. Adzan itu sendiri adalah panggilan yang sudah baku lafaz dan waktunya. Oleh karena itu, para ulama mengkategorikan praktik ini bukan sebagai bagian dari syariat adzan itu sendiri, melainkan sebagai sebuah amalan baik yang berada di luarnya.
Praktik ini lebih tepat dipandang sebagai bagian dari 'urf (tradisi baik) atau yang oleh sebagian ulama disebut sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik). Selama isi bacaannya adalah hal-hal yang dianjurkan dalam Islam—seperti berdzikir, bershalawat, atau membaca Al-Qur'an—dan tujuannya mulia, yaitu untuk mengingatkan manusia kepada Allah dan mempersiapkan diri untuk shalat, maka praktik ini dianggap terpuji. Tujuannya adalah untuk memakmurkan masjid dan mengisi waktu luang sebelum shalat dengan amalan yang bermanfaat, bukan menambah-nambahi ritual adzan itu sendiri.
Tujuan utama dari lantunan ini adalah sebagai "panggilan pendahuluan" atau pengingat lembut bahwa waktu shalat akan segera tiba. Ia memberikan kesempatan bagi jamaah untuk bersiap-siap, berwudhu, dan melangkahkan kaki menuju masjid dengan hati yang lebih tenang dan fokus.
Di sinilah letak kearifan para ulama terdahulu di Nusantara. Mereka memahami bahwa syiar Islam dapat diperkuat melalui media budaya yang akrab dengan masyarakat. Lantunan puji-pujian dalam bahasa lokal, misalnya, menjadi cara efektif untuk menanamkan nilai-nilai tauhid dan akhlak dengan cara yang mudah diterima dan dihayati oleh berbagai lapisan masyarakat. Dengan demikian, bacaan sebelum adzan menjadi instrumen dakwah yang halus namun sangat berkesan.
Ragam Bacaan Populer Sebelum Adzan dan Maknanya
Terdapat berbagai jenis bacaan yang lazim dilantunkan sebelum adzan berkumandang. Masing-masing memiliki kekhasan, keindahan, dan kedalaman makna tersendiri. Berikut adalah beberapa di antaranya yang paling populer, khususnya di Indonesia.
1. Shalawat Tarhim: Gema Kerinduan kepada Sang Nabi
Shalawat Tarhim adalah salah satu bacaan sebelum adzan yang paling ikonik, terutama sebelum adzan Subuh. Suaranya yang mendayu-dayu dan penuh penghayatan mampu membangkitkan suasana spiritual yang mendalam di keheningan fajar. Shalawat ini digubah oleh Syekh Mahmud Khalil al-Hussary, seorang qari legendaris asal Mesir. Popularitasnya di Indonesia meroket berkat siaran Radio Republik Indonesia (RRI) pada masa lampau.
Teks, Transliterasi, dan Terjemahan Shalawat Tarhim:
الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ ۞ يَا نَاصِرَ الْهُدَى ۞ يَا خَيْرَ خَلْقِ اللهِ
الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ ۞ يَا نَاصِرَ الْحَقِّ يَا رَسُوْلَ اللهِ
الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ ۞ يَا مَنْ أَسْرَى بِكَ الْمُهَيْمِنُ لَيْلًا ۞ نِلْتَ مَا نِلْتَ وَالْأَنَامُ نِيَامُ
وَتَقَدَّمْتَ لِلصَّلَاةِ فَصَلَّى كُلُّ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَأَنْتَ الْإِمَامُ
وَعِنْدَ الْمُنْتَهَى رُفِعْتَ كَرِيْمًا ۞ وَسَمِعْتَ نِدَاءً عَلَيْكَ السَّلَامُ
يَا كَرِيْمَ الْأَخْلَاقِ ۞ يَا رَسُوْلَ اللهِ ۞ صَلَّى اللهُ عَلَيْكَ ۞ وَعَلَى آلِكَ وَأَصْحَابِكَ أَجْمَعِيْنَ
Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, Yâ nâshiral hudâ, Yâ khayra khalqillâh
Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, Yâ nâshiral haqqi, Yâ Rasûlallâh
Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, Yâ man asrâ bikal muhayminu laylan, nilta mâ nilta wal-anâmu niyâmu
Wa taqaddamta lish-shalâti fa shallâ, Kullu man fis-samâ-i wa antal imâmu
Wa ‘indal muntahâ rufi’ta karîman, Wa sami’ta nidâ-an ‘alaykas salâm
Yâ karîmal akhlâq, Yâ Rasûlallâh, Shallallâhu ‘alayka, Wa ‘alâ âlika wa ashhâbika ajma’în Artinya:
"Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu, duhai pemimpin para pejuang, ya Rasulullah."
"Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu, duhai penolong petunjuk ilahi, duhai makhluk yang terbaik."
"Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu, duhai penegak kebenaran, ya Rasulullah."
"Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu, wahai Yang Memperjalankanmu di malam hari, Dialah Yang Maha Melindungi. Engkau memperoleh apa yang kau peroleh sementara semua manusia tidur."
"Dan engkau maju untuk memimpin shalat, maka semua yang berada di langit turut shalat (di belakangmu) dan engkaulah imamnya."
"Dan di Sidratul Muntaha engkau diangkat dengan mulia, dan engkau mendengar seruan (dari Allah): 'Salam sejahtera untukmu'."
"Duhai yang paling mulia akhlaknya, ya Rasulullah. Semoga shalawat senantiasa tercurah padamu, keluargamu, dan seluruh sahabatmu."
Makna yang terkandung dalam Shalawat Tarhim sangatlah dalam. Ia bukan sekadar pujian, melainkan rekapitulasi singkat atas kemuliaan Rasulullah ﷺ. Bait-baitnya menyanjung peran beliau sebagai pemimpin, pembawa petunjuk, penegak kebenaran, dan puncaknya, mengisahkan peristiwa agung Isra' Mi'raj. Peristiwa di mana beliau diangkat ke langit tertinggi, memimpin para nabi dalam shalat, dan menerima salam langsung dari Allah SWT. Melantunkan dan mendengarkan Tarhim adalah cara untuk menyegarkan kembali ingatan dan kecintaan kita pada perjuangan dan kemuliaan Nabi Muhammad ﷺ.
2. Dzikir dan Tasbih: Mengagungkan Nama Allah
Bentuk lain dari bacaan sebelum adzan yang sangat umum adalah lantunan dzikir dan tasbih. Kalimat-kalimat thayyibah yang singkat namun padat makna ini sering diulang-ulang untuk menciptakan suasana meditatif dan khusyuk.
Contoh Lantunan Dzikir:
Kalimat ini dikenal sebagai Al-Baqiyatush Shalihat (amalan kekal yang saleh). Setiap frasanya memiliki makna yang agung:
- Tasbih (Subhanallah): Mensucikan Allah dari segala sifat kekurangan dan dari segala sesuatu yang tidak layak bagi keagungan-Nya.
- Tahmid (Alhamdulillah): Mengakui bahwa segala puji, syukur, dan sanjungan hanya milik Allah semata, atas segala nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga.
- Tahlil (La ilaha illallah): Penegasan pondasi utama akidah Islam, yaitu tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah. Ini adalah kalimat tauhid.
- Takbir (Allahu Akbar): Mengakui dan menyatakan bahwa Allah Maha Besar, lebih besar dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat.
Melantunkan dzikir ini sebelum adzan berfungsi sebagai peneguhan kembali iman di dalam hati dan pengingat bagi seluruh pendengar akan esensi ajaran Islam, yaitu pengagungan terhadap Allah SWT.
3. Istighfar: Permohonan Ampun di Waktu Mustajab
Waktu sebelum fajar (waktu sahur) adalah salah satu waktu yang paling mustajab untuk berdoa dan memohon ampunan. Al-Qur'an secara khusus memuji orang-orang yang beristighfar di waktu tersebut. Oleh karena itu, tidak jarang masjid-masjid melantunkan kalimat istighfar sebelum adzan Subuh.
Lantunan istighfar yang berulang-ulang adalah pengingat bagi diri sendiri dan orang lain akan fitrah manusia sebagai tempatnya salah dan lupa. Ia mengajak setiap jiwa untuk memulai hari dengan hati yang bersih, dengan memohon ampunan atas segala dosa dan kelalaian yang mungkin telah dilakukan. Ini adalah sebuah tindakan kerendahan hati di hadapan Sang Khalik, mengakui kelemahan diri dan kebesaran ampunan-Nya. Suara istighfar yang menggema di pagi buta adalah panggilan untuk introspeksi dan pertaubatan.
4. Puji-pujian (Nadham): Kearifan Lokal dalam Syair Islami
Di banyak daerah di Indonesia, terutama di pedesaan Jawa, terdapat tradisi melantunkan puji-pujian atau nadham (syair) dalam bahasa lokal sebelum adzan, khususnya sebelum Maghrib dan Isya. Syair-syair ini biasanya berisi nasihat keagamaan, ajaran akhlak, rukun iman, rukun Islam, atau kisah-kisah para nabi.
Contoh Puji-pujian Berbahasa Jawa:
Eling-eling siro manungso, temenono anggonmu ngajiArtinya:
Mumpung durung ketekanan, malaikat juru pati
Luwih loro luwih susah, rasane wong ning neroko
Klabang kores kalajengking, klabang geni ulo geni
"Ingatlah wahai manusia, bersungguh-sungguhlah dalam mengaji (belajar agama)."
"Selagi belum kedatangan, malaikat pencabut nyawa."
"Lebih sakit dan lebih susah, rasanya orang di neraka."
"Lipan, kalajengking, lipan api, dan ular api (siksaannya)."
Puji-pujian semacam ini adalah hasil dari dakwah para ulama masa lalu yang sangat bijaksana. Mereka 'menerjemahkan' ajaran-ajaran luhur Islam ke dalam bentuk syair yang mudah dihafal dan dipahami oleh masyarakat awam. Dengan menggunakan bahasa ibu, pesan-pesan moral dan akidah menjadi lebih meresap ke dalam sanubari. Tradisi ini adalah bukti nyata bagaimana Islam mampu berakulturasi secara harmonis dengan budaya lokal tanpa menghilangkan esensi ajarannya.
Dimensi Spiritual dan Manfaat Psikologis
Kehadiran bacaan sebelum adzan memberikan dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar penanda waktu. Ia memiliki dimensi spiritual dan manfaat psikologis yang mendalam, baik bagi individu maupun komunitas.
1. Persiapan Ruhani Menuju Shalat
Shalat adalah mi'raj (kenaikan) seorang mukmin, sebuah dialog suci dengan Allah. Untuk dapat merasakan kekhusyukan, diperlukan persiapan batin. Lantunan shalawat dan dzikir sebelum adzan berfungsi sebagai 'pemanasan' ruhani. Ia membantu mengalihkan fokus pikiran dari urusan duniawi yang melalaikan, menuju kesadaran akan kebesaran Allah. Hati yang tadinya keras karena kesibukan dunia, perlahan-lahan melunak dan siap untuk menghadap Sang Pencipta.
2. Menciptakan Lingkungan yang Religius
Suara-suara kebaikan yang terpancar dari masjid secara konsisten membantu membentuk atmosfer lingkungan yang religius. Anak-anak yang tumbuh dengan terbiasa mendengar lantunan ini akan memiliki keakraban dengan kalimat-kalimat thayyibah sejak dini. Bagi orang dewasa, suara ini menjadi pengingat konstan di tengah kesibukan, seolah-olah mengatakan, "Hentikan sejenak urusan duniamu, ingatlah Tuhanmu, waktu shalat akan segera tiba." Ini adalah syiar Islam yang damai dan menyejukkan.
3. Memberikan Ketenangan Jiwa (Efek Psikologis)
Dari sudut pandang psikologis, suara dengan ritme yang teratur dan nada yang lembut, seperti lantunan shalawat tarhim, memiliki efek menenangkan sistem saraf. Di tengah kebisingan dan stres kehidupan modern, suara ini menjadi semacam terapi audio yang membawa kedamaian. Ia bisa menurunkan tingkat kecemasan dan menciptakan perasaan aman dan tentram, terutama bagi mereka yang tinggal di sekitar masjid.
4. Menumbuhkan Cinta kepada Rasulullah ﷺ
Secara khusus, amalan bershalawat adalah perintah langsung dari Allah dalam Al-Qur'an. Dengan membiasakan melantunkan dan mendengarkan shalawat, rasa cinta (mahabbah) kepada Nabi Muhammad ﷺ akan tumbuh dan bersemi di dalam hati. Semakin sering seseorang mengingat dan menyebut nama beliau, semakin ia akan terdorong untuk meneladani akhlak dan mengikuti sunnahnya.
Adab dan Etika dalam Pelaksanaannya
Meskipun praktik bacaan sebelum adzan merupakan sebuah tradisi yang baik, pelaksanaannya perlu diiringi dengan adab dan etika. Tujuannya adalah agar syiar yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik oleh semua pihak dan tidak menimbulkan gangguan.
- Niat yang Ikhlas: Pelantun bacaan (muadzin atau marbot) hendaknya melakukannya dengan niat yang tulus untuk mengagungkan Allah dan mengingatkan sesama, bukan untuk pamer kemerduan suara.
- Volume Suara yang Bijak: Penggunaan pengeras suara harus diatur dengan bijaksana. Volumenya hendaknya cukup untuk menjangkau jamaah sekitar, namun tidak berlebihan hingga mengganggu orang yang sedang sakit, bayi yang sedang tidur, atau tetangga non-muslim. Kearifan dalam mengatur volume adalah cerminan dari akhlak Islam yang menghargai hak-hak orang lain.
- Pemilihan Waktu dan Durasi: Durasi pembacaan hendaknya tidak terlalu lama, umumnya berkisar antara 10 hingga 15 menit sebelum waktu adzan tiba. Ini memberikan jeda yang cukup bagi jamaah untuk bersiap tanpa harus menunggu terlalu lama.
- Kualitas Bacaan: Sebisa mungkin, bacaan dilantunkan dengan tartil (jelas dan benar makhrajnya), terutama jika yang dibaca adalah ayat Al-Qur'an. Bacaan yang baik akan lebih menyentuh hati pendengarnya.
Kesimpulan: Melodi Syahdu Pengetuk Pintu Hati
Bacaan sebelum adzan adalah sebuah mozaik indah dalam khazanah tradisi Islam di Nusantara. Ia adalah jalinan antara anjuran agama untuk senantiasa berdzikir dan bershalawat dengan kearifan budaya lokal untuk menyebarkan syiar. Lebih dari sekadar penanda waktu, ia adalah melodi syahdu yang berfungsi sebagai pengetuk pintu hati, mengajak setiap jiwa untuk sejenak berhenti dari hiruk pikuk dunia dan mempersiapkan diri untuk bermunajat kepada Rabb semesta alam.
Dari lantunan Shalawat Tarhim yang membangkitkan kerinduan pada Rasulullah ﷺ, hingga puji-pujian lokal yang menanamkan nasihat, setiap bait yang terdengar adalah pengingat akan kebesaran Allah dan panggilan menuju ketenangan spiritual. Selama dilaksanakan dengan adab yang baik dan niat yang lurus, tradisi ini akan terus menjadi sumber kesejukan, penanda identitas komunitas muslim, dan jembatan yang menghubungkan hati manusia dengan panggilan suci dari menara masjid.