Panduan Lengkap Bacaan Iqomah dan Maknanya
Ilustrasi siluet masjid sebagai simbol panggilan shalat.
Dalam khazanah Islam, seruan untuk melaksanakan ibadah shalat merupakan salah satu syiar yang paling agung. Terdapat dua jenis seruan utama: Adzan dan Iqomah. Jika Adzan berfungsi sebagai panggilan umum yang menandakan masuknya waktu shalat, maka bacaan iqomah adalah seruan khusus yang menandakan bahwa shalat berjamaah akan segera dimulai. Iqomah adalah penanda terakhir, garis batas antara persiapan dan pelaksanaan, antara dunia dan penghadapan langsung kepada Sang Pencipta.
Memahami bacaan iqomah, tidak hanya sebatas melafalkan kalimat-kalimatnya, tetapi juga meresapi setiap makna yang terkandung di dalamnya, adalah sebuah langkah penting untuk meningkatkan kekhusyukan dan kesadaran dalam shalat. Artikel ini akan mengupas secara tuntas dan mendalam mengenai bacaan iqomah, mulai dari lafadznya yang shahih, terjemahannya, hingga makna spiritual, hukum, dan sejarahnya dalam peradaban Islam.
Bacaan Iqomah Lengkap: Arab, Latin, dan Artinya
Lafadz iqomah pada dasarnya sangat mirip dengan lafadz adzan. Perbedaannya terletak pada pengulangan kalimat dan penambahan satu frasa khusus yang menegaskan bahwa shalat akan segera didirikan. Berikut adalah bacaan iqomah yang paling umum digunakan oleh mayoritas umat Islam (jumhur ulama), berdasarkan hadits-hadits yang shahih.
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ
Allāhu Akbar, Allāhu Akbar
"Allah Maha Besar, Allah Maha Besar"
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ
Asyhadu an lā ilāha illallāh
"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah"
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Asyhadu anna Muhammadan Rasūlullāh
"Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah"
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
Hayya ‘alash-shalāh
"Marilah mendirikan shalat"
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
Hayya ‘alal-falāh
"Marilah menuju kemenangan"
قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ
Qad qāmatish-shalāh, Qad qāmatish-shalāh
"Sungguh, shalat akan segera didirikan, Sungguh, shalat akan segera didirikan"
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ
Allāhu Akbar, Allāhu Akbar
"Allah Maha Besar, Allah Maha Besar"
لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ
Lā ilāha illallāh
"Tiada Tuhan selain Allah"
Perbedaan mendasar dengan adzan adalah bahwa setiap kalimat dalam iqomah diucapkan satu kali, kecuali takbir pertama (Allahu Akbar) dan frasa "Qad qāmatish-shalāh" yang diucapkan dua kali. Kecepatan pengucapannya pun lebih cepat dibandingkan dengan adzan yang dilantunkan dengan tempo yang lebih lambat dan panjang.
Menyelami Makna di Balik Setiap Lafadz Iqomah
Iqomah bukan sekadar pemberitahuan teknis. Setiap frasa di dalamnya adalah pengingat agung yang berfungsi untuk memfokuskan hati dan pikiran jamaah sebelum memulai shalat. Mari kita bedah makna yang lebih dalam dari setiap kalimatnya.
1. اَللهُ أَكْبَرُ (Allāhu Akbar) - Allah Maha Besar
Iqomah dimulai dan diakhiri dengan takbir, sebuah penegasan tentang kebesaran Allah. Ketika seruan ini dikumandangkan, ia berfungsi sebagai pengingat terakhir bagi setiap jamaah untuk meninggalkan segala urusan duniawi. Pekerjaan, kekhawatiran, kesenangan, dan segala hal yang menyibukkan pikiran harus segera dikecilkan dan diletakkan di belakang. Yang ada di hadapan kita saat ini adalah Dzat Yang Maha Besar, yang kebesaran-Nya melampaui segala sesuatu. Ini adalah transisi mental, dari alam materi ke alam spiritual, dari kesibukan fana menuju keabadian.
2. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ (Asyhadu an lā ilāha illallāh) - Aku Bersaksi Tiada Tuhan Selain Allah
Ini adalah inti dari ajaran Islam, kalimat tauhid. Mengucapkannya kembali sesaat sebelum shalat adalah pembaruan ikrar. Kita menegaskan kembali kepada diri sendiri bahwa satu-satunya tujuan ibadah kita, satu-satunya yang berhak disembah, ditaati, dan dimintai pertolongan hanyalah Allah. Kesaksian ini membersihkan niat, memastikan bahwa shalat yang akan kita dirikan murni karena-Nya, bukan karena ingin dilihat orang (riya') atau karena kebiasaan semata.
3. أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ (Asyhadu anna Muhammadan Rasūlullāh) - Aku Bersaksi Muhammad adalah Utusan Allah
Setelah mengikrarkan tauhid kepada Allah, kita mengikrarkan kesaksian atas kerasulan Nabi Muhammad SAW. Ini adalah pengakuan bahwa tata cara shalat yang akan kita laksanakan adalah warisan dari beliau. Kita shalat sebagaimana beliau mencontohkan. Kalimat ini menghubungkan kita secara spiritual dengan sanad (rantai) ajaran yang tak terputus hingga kepada Rasulullah. Ini adalah penegasan bahwa ibadah kita memiliki landasan yang kokoh, bukan ritual yang diciptakan tanpa dasar.
4. حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ (Hayya ‘alash-shalāh) - Marilah Mendirikan Shalat
Seruan ini adalah panggilan yang sangat langsung dan tegas. Jika pada adzan seruan ini mengajak orang-orang yang masih jauh untuk datang ke masjid, pada iqomah seruan ini ditujukan kepada mereka yang sudah berada di dalam shaf (barisan). "Marilah," bukan lagi "datanglah". Ini adalah komando untuk segera memfokuskan diri, meluruskan barisan, dan bersiap secara fisik dan mental. Ini adalah momen di mana semua percakapan harus berhenti dan semua fokus tertuju pada shalat yang akan dimulai.
5. حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ (Hayya ‘alal-falāh) - Marilah Menuju Kemenangan
Kemenangan (al-Falah) yang dimaksud di sini adalah kemenangan hakiki. Bukan kemenangan dalam perlombaan duniawi, tetapi kemenangan atas hawa nafsu, kemenangan dari godaan setan, kemenangan berupa ketenangan jiwa, dan puncaknya adalah kemenangan meraih ridha Allah dan surga-Nya. Iqomah mengingatkan kita bahwa shalat adalah jalan utama menuju kemenangan sejati. Setiap gerakan dan bacaan dalam shalat adalah langkah-langkah kita di jalan kemenangan tersebut.
6. قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ (Qad qāmatish-shalāh) - Sungguh, Shalat Akan Segera Didirikan
Inilah kalimat pembeda utama antara adzan dan iqomah. "Qad" dalam bahasa Arab memberikan penekanan yang kuat, yang berarti "sungguh telah" atau "benar-benar akan". Pengulangannya sebanyak dua kali semakin mempertegas urgensinya. Ini adalah pemberitahuan final. Tidak ada lagi waktu untuk menunda. Pintu komunikasi dengan Allah akan segera dibuka. Imam akan segera mengangkat takbir, dan perjalanan mi'raj seorang mukmin akan dimulai. Kalimat ini menciptakan atmosfer kesigapan dan antisipasi yang khusyuk.
7. لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ (Lā ilāha illallāh) - Tiada Tuhan Selain Allah
Iqomah ditutup dengan kalimat tauhid, sama seperti pembukaannya. Ini membingkai seluruh persiapan shalat dalam kerangka tauhid. Kita memulai persiapan dengan mengingat kebesaran Allah dan kesaksian tauhid, dan kita mengakhiri persiapan ini dengan penegasan kembali tauhid. Shalat yang akan kita dirikan adalah manifestasi praktis dari kalimat agung ini. Seluruh hidup dan mati seorang muslim harus berporos pada "Lā ilāha illallāh".
Hukum dan Kedudukan Iqomah dalam Fiqih Islam
Para ulama dari berbagai mazhab sepakat mengenai pentingnya iqomah, meskipun terdapat sedikit perbedaan dalam menentukan status hukumnya secara spesifik.
Secara umum, hukum mengumandangkan iqomah untuk shalat fardhu (wajib) adalah Sunnah Mu'akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) bagi laki-laki, baik saat shalat berjamaah maupun shalat sendirian (munfarid).
Sunnah Mu'akkadah berarti amalan ini secara konsisten dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat, dan sangat dianjurkan untuk tidak meninggalkannya tanpa uzur (alasan yang dibenarkan syariat). Meninggalkannya secara sengaja dianggap sebagai perbuatan makruh (dibenci).
Beberapa ulama, terutama dari kalangan Mazhab Hanbali, bahkan berpendapat bahwa hukumnya adalah Fardhu Kifayah. Artinya, jika dalam suatu komunitas Muslim tidak ada satu pun yang mengumandangkan iqomah untuk shalat berjamaah, maka seluruh komunitas tersebut menanggung dosa. Namun, jika sudah ada satu orang (muadzin atau lainnya) yang melakukannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lain.
Dalil yang menjadi landasan pensyariatan iqomah sangat banyak, di antaranya adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu:
"Bilal diperintahkan untuk menggenapkan (kalimat) adzan dan mengganjilkan (kalimat) iqamah, kecuali lafadz 'qad qamatish shalah'." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjelaskan salah satu perbedaan teknis antara adzan (di mana lafaznya diulang dua kali atau empat kali) dan iqomah (di mana lafaznya diucapkan sekali), sekaligus menjadi bukti kuat bahwa iqomah adalah bagian dari syariat yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW.
Perbedaan Mendasar Antara Adzan dan Iqomah
Meskipun lafadznya hampir identik, adzan dan iqomah memiliki fungsi, cara pelaksanaan, dan beberapa hukum yang berbeda. Memahami perbedaan ini penting untuk mengerti peran masing-masing dalam syiar shalat.
- Tujuan dan Fungsi:
- Adzan: Panggilan umum untuk memberitahukan bahwa waktu shalat telah tiba. Tujuannya adalah memanggil umat Islam di sekitar masjid untuk datang dan melaksanakan shalat berjamaah.
- Iqomah: Panggilan khusus untuk memberitahukan bahwa shalat berjamaah akan segera dimulai. Tujuannya adalah untuk memberi isyarat kepada jamaah yang sudah hadir agar merapikan shaf dan bersiap untuk takbiratul ihram bersama imam.
- Tempo dan Irama:
- Adzan: Dilantunkan dengan tempo yang lambat, tenang (tartil), dan suara yang dipanjangkan pada beberapa lafadz untuk memastikan jangkauannya luas dan terdengar jelas dari kejauhan.
- Iqomah: Diucapkan dengan tempo yang lebih cepat (hadr) dan bersambung, karena ditujukan untuk jamaah yang sudah berada di lokasi.
- Jumlah Lafadz:
- Adzan: Kebanyakan lafadznya diucapkan dua kali (seperti syahadatain) atau empat kali (seperti takbir di awal).
- Iqomah: Mayoritas lafadznya diucapkan satu kali, kecuali takbir di awal dan akhir, serta lafadz "Qad qāmatish-shalāh".
- Lafadz Khusus:
- Adzan: Pada adzan Subuh, terdapat tambahan lafadz "As-shalātu khairum minan-naūm" (Shalat itu lebih baik daripada tidur).
- Iqomah: Terdapat lafadz khusus "Qad qāmatish-shalāh" (Sungguh, shalat akan segera didirikan) yang tidak ada dalam adzan.
- Adab Saat Mendengar:
- Adzan: Disunnahkan untuk menjawab setiap kalimat adzan dengan lafadz yang sama, kecuali pada "Hayya 'alash-shalāh" dan "Hayya 'alal-falāh" yang dijawab dengan "Lā hawla wa lā quwwata illā billāh". Setelahnya, dianjurkan membaca doa setelah adzan.
- Iqomah: Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian berpendapat disunnahkan menjawab seperti adzan. Pendapat lain menyatakan cukup mendengarkan dengan khusyuk. Ketika muadzin mengucapkan "Qad qāmatish-shalāh", sebagian ulama menganjurkan untuk menjawab dengan "Aqāmahallāhu wa adāmahā" (Semoga Allah mendirikannya dan mengekalkannya).
Sejarah Pensyariatan Iqomah: Sebuah Petunjuk Lewat Mimpi
Kisah ditetapkannya adzan dan iqomah sebagai panggilan shalat adalah salah satu peristiwa yang sangat indah dalam sejarah awal Islam di Madinah. Pada masa awal, belum ada cara standar untuk memanggil kaum muslimin berkumpul untuk shalat. Rasulullah SAW bermusyawarah dengan para sahabatnya untuk mencari solusi.
Beberapa usulan muncul. Ada yang mengusulkan menggunakan lonceng seperti kaum Nasrani, ada yang menyarankan meniup terompet seperti kaum Yahudi, dan ada pula yang mengusulkan menyalakan api di tempat tinggi. Namun, Rasulullah SAW belum merasa sreg dengan usulan-usulan tersebut karena menyerupai tradisi umat lain.
Pada suatu malam, seorang sahabat mulia bernama Abdullah bin Zaid radhiyallahu 'anhu bermimpi. Dalam mimpinya, ia bertemu dengan seorang pria yang mengenakan dua helai pakaian hijau sambil membawa lonceng. Abdullah bin Zaid berniat membeli lonceng itu untuk memanggil orang shalat. Namun, pria itu berkata, "Maukah kuajarkan kepadamu sesuatu yang lebih baik dari ini?" Abdullah bin Zaid pun mengiyakan. Pria itu kemudian mengajarkan kalimat-kalimat adzan.
Keesokan paginya, Abdullah bin Zaid segera menghadap Rasulullah SAW dan menceritakan mimpinya. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya ini adalah mimpi yang benar, insya Allah." Beliau kemudian memerintahkan Abdullah bin Zaid untuk mengajarkan kalimat-kalimat tersebut kepada Bilal bin Rabah, karena suara Bilal lebih lantang dan merdu. Saat Bilal mengumandangkan adzan, Umar bin Khattab yang sedang berada di rumahnya mendengarnya. Ia pun bergegas keluar menemui Rasulullah dan berkata, "Demi Allah, aku pun bermimpi melihat hal yang serupa." Hal ini semakin menguatkan bahwa petunjuk tersebut datangnya dari Allah SWT.
Dalam riwayat yang sama dan riwayat lainnya, dijelaskan pula bahwa setelah mengajarkan kalimat adzan, diajarkan pula kalimat-kalimat iqomah yang diucapkan dengan lebih cepat dan lafadznya diganjilkan. Sejak saat itulah, adzan dan iqomah menjadi syiar resmi umat Islam untuk panggilan shalat, sebuah tradisi agung yang terus dilestarikan di seluruh penjuru dunia hingga hari ini.
Adab dan Tata Cara Terkait Iqomah
Pelaksanaan iqomah juga diiringi dengan beberapa adab dan aturan yang perlu diperhatikan untuk menjaga kesempurnaan syiar ini.
Siapa yang Berhak Mengumandangkan Iqomah?
Secara umum, orang yang mengumandangkan adzan (muadzin) adalah orang yang paling utama untuk mengumandangkan iqomah. Hal ini didasarkan pada prinsip "siapa yang memulai, dia yang menyelesaikan". Namun, ini bukanlah sebuah keharusan. Jika muadzin berhalangan, orang lain bisa menggantikannya, atau imam dapat menunjuk seseorang untuk melakukannya. Yang terpenting, orang yang mengumandangkan iqomah haruslah seorang Muslim, laki-laki, baligh (atau mumayyiz), dan mengerti lafadz-lafadznya dengan benar.
Kapan Waktu yang Tepat untuk Iqomah?
Iqomah dikumandangkan setelah jeda waktu yang cukup antara adzan dan pelaksanaan shalat. Jeda ini memberikan kesempatan bagi jamaah untuk melaksanakan shalat sunnah qabliyah (sebelum shalat fardhu), berwudhu, atau bagi mereka yang masih dalam perjalanan untuk sampai ke masjid. Waktu dimulainya iqomah biasanya ditentukan oleh imam. Ketika imam sudah siap di mihrab dan memerintahkan untuk iqomah, maka muadzin akan segera mengumandangkannya.
Apa yang Dilakukan Jamaah Saat Mendengar Iqomah?
Ketika iqomah mulai dikumandangkan, ini adalah isyarat bagi seluruh jamaah untuk segera bangkit (jika sedang duduk) dan mulai meluruskan serta merapatkan shaf. Tidak dianjurkan untuk melakukan aktivitas lain, seperti shalat sunnah atau berbincang-bincang. Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya meluruskan shaf.
Beliau bersabda, "Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan shalat." (HR. Muslim)
Proses meluruskan shaf ini—tumit sejajar dengan tumit, bahu bertemu dengan bahu—adalah bagian tak terpisahkan dari persiapan shalat berjamaah yang ditandai oleh iqomah. Ini adalah simbol kesatuan, kedisiplinan, dan kesetaraan umat Islam di hadapan Allah.
Iqomah bagi Wanita dan Shalat Sendirian
Apakah wanita perlu iqomah? Mayoritas ulama berpendapat bahwa iqomah tidak disyariatkan bagi wanita. Shalat mereka, baik sendiri maupun berjamaah sesama wanita, tidak memerlukan adzan maupun iqomah. Namun, jika mereka melakukannya dengan suara pelan yang hanya terdengar di kalangan mereka sendiri, sebagian ulama memperbolehkannya.
Bagaimana dengan laki-laki yang shalat sendirian (munfarid)? Sangat dianjurkan (sunnah) baginya untuk tetap mengumandangkan iqomah untuk dirinya sendiri sebelum memulai shalat fardhu. Ini berdasarkan keumuman dalil-dalil tentang iqomah dan untuk menjaga syiar shalat meskipun sedang tidak berjamaah.
Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Seruan
Bacaan iqomah adalah sebuah jembatan agung yang menghubungkan seorang hamba dengan Tuhannya. Ia bukanlah sekadar formalitas atau penanda waktu, melainkan sebuah deklarasi iman yang komprehensif, diucapkan sesaat sebelum momen paling intim antara manusia dan Sang Khaliq. Dari pekik takbir yang mengagungkan Allah dan mengecilkan dunia, hingga syahadat yang memurnikan niat, seruan menuju shalat dan kemenangan, penegasan bahwa ibadah akan segera tegak, dan ditutup dengan kalimat tauhid yang menjadi poros kehidupan.
Dengan memahami setiap lafadz, meresapi maknanya, dan mengamalkan adab-adab yang menyertainya, iqomah akan berubah dari rutinitas yang terdengar di telinga menjadi getaran yang terasa di dalam jiwa. Ia adalah alarm terakhir yang membangunkan kesadaran kita, mengumpulkan fokus kita, dan mempersiapkan ruh kita untuk menghadap Rabb semesta alam dengan penuh kekhusyukan dan penghambaan.