Ilustrasi kaligrafi Al-Quran yang menyoroti bacaan gharib. بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ غ

Membedah Keindahan Bacaan Gharib dalam Al-Quran

Panduan Komprehensif untuk Memahami dan Mengamalkan Tajwid Istimewa

Pengantar: Mutiara Tersembunyi dalam Ilmu Tajwid

Al-Quran, kalamullah yang agung, diturunkan dengan keindahan bahasa dan kesempurnaan lafaz yang tiada tandingannya. Setiap huruf, harakat, dan cara pengucapannya mengandung hikmah dan keautentikan yang terjaga sejak zaman Rasulullah ﷺ hingga hari ini. Salah satu cabang ilmu yang memastikan kemurnian ini adalah Ilmu Tajwid, yaitu ilmu tentang cara membaca Al-Quran dengan baik dan benar, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Dalam samudra luas Ilmu Tajwid, terdapat sebuah pembahasan yang sangat menarik dan memerlukan perhatian khusus, yaitu tentang Bacaan Gharib. Secara harfiah, kata "gharib" (غَرِيْبٌ) berarti "asing", "aneh", atau "tersembunyi". Dalam konteks Ilmu Tajwid, Bacaan Gharib merujuk pada lafaz-lafaz atau kata-kata tertentu dalam Al-Quran yang memiliki cara baca yang tidak biasa, berbeda dari kaidah umum yang berlaku dalam tajwid. Keunikan ini bukan berarti sebuah kesalahan atau kecacatan, melainkan merupakan bagian dari riwayat bacaan (qira'at) yang mutawatir (bersambung sanadnya hingga Rasulullah ﷺ) dan sah.

Mempelajari Bacaan Gharib adalah sebuah keniscayaan bagi siapa pun yang ingin mencapai tingkatan itqan (kesempurnaan) dalam tilawah Al-Quran. Ia laksana menemukan mutiara-mutiara tersembunyi yang menambah kekaguman kita terhadap mukjizat Al-Quran. Bacaan-bacaan ini menunjukkan betapa kaya dan beragamnya dialek serta cara pengucapan bangsa Arab pada masa turunnya Al-Quran, yang semuanya diakomodasi oleh wahyu ilahi. Oleh karena itu, memahami dan mampu mempraktikkan bacaan ini dengan benar adalah bagian dari menjaga amanah ilmiah dan kesucian Al-Quran.

Penting untuk ditekankan bahwa Bacaan Gharib tidak bisa dipelajari secara otodidak hanya melalui buku atau artikel. Ia wajib dipelajari melalui metode talaqqi dan musyafahah, yaitu belajar langsung berhadapan dengan seorang guru yang memiliki sanad keilmuan yang jelas dan bersambung. Guru akan mendemonstrasikan cara pengucapan yang tepat, dan murid akan menirukannya hingga benar. Artikel ini berfungsi sebagai panduan teoretis untuk memperkenalkan, menjelaskan, dan memetakan jenis-jenis Bacaan Gharib yang ada, sebagai bekal awal sebelum mendalaminya bersama guru yang ahli.

1. Imalah (إِمَالَة)

Imalah adalah salah satu jenis bacaan gharib yang paling terkenal. Secara bahasa, imalah berarti "memiringkan" atau "mencondongkan". Dalam istilah tajwid, Imalah adalah memiringkan bunyi harakat Fathah (a) ke arah bunyi harakat Kasrah (i), atau memiringkan bunyi huruf Alif (aa) ke arah bunyi huruf Ya' (ii). Hasilnya adalah suara vokal yang berada di antara 'a' dan 'i', mirip dengan pengucapan vokal 'e' pada kata "sate" atau "lele" dalam bahasa Indonesia.

Dalam riwayat Hafs dari 'Ashim melalui jalur Asy-Syathibiyyah (jalur yang paling umum digunakan di Indonesia dan mayoritas dunia Islam), bacaan Imalah hanya terdapat pada satu tempat di seluruh Al-Quran.

Lokasi dan Cara Baca Imalah

Satu-satunya lafaz yang dibaca dengan Imalah dalam riwayat Hafs 'an 'Ashim adalah pada kata مَجْر۪ىٰهَا dalam Surah Hud, ayat 41.

وَقَالَ ٱرْكَبُوا۟ فِيهَا بِسْمِ ٱللَّهِ مَجْر۪ىٰهَا وَمُرْسَىٰهَآ ۚ إِنَّ رَبِّى لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ

Wa qālarkabū fīhā bismillāhi majrēhā wa mursāhā, inna rabbī lagafūrur raḥīm.

"Dan Nuh berkata: 'Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.' Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Fokus kita adalah pada kata مَجْر۪ىٰهَا. Perhatikan tanda belah ketupat kecil (◊) di bawah huruf Ra' (ر). Tanda inilah yang dalam Mushaf Standar Indonesia menunjukkan adanya bacaan Imalah. Huruf Ra' pada kata tersebut seharusnya berharakat fathah, sehingga normalnya dibaca "majraahaa". Namun, karena adanya riwayat Imalah, maka bunyi fathah pada Ra' dan bunyi Alif setelahnya "dimiringkan" menjadi "majrēhā".

Cara mempraktikkannya:

  1. Posisikan mulut seperti saat akan mengucapkan Fathah (terbuka vertikal).
  2. Alihkan posisi mulut secara perlahan ke arah posisi Kasrah (sedikit tersenyum atau merendahkan rahang bawah) tanpa menutup sempurna seperti saat mengucapkan kasrah murni.
  3. Suara yang keluar adalah perpaduan antara 'a' dan 'i', yaitu 'e'.
  4. Hindari membacanya menjadi kasrah murni ("majriihaa") atau seperti fathah biasa ("majraahaa"). Suaranya harus berada tepat di tengah-tengah.
Hikmah adanya bacaan Imalah di sini sering dikaitkan untuk menunjukkan kesesuaian bunyi dengan huruf Ya' (ي) yang menjadi asal dari Alif Layyinah (ىٰ) pada kata tersebut (asal katanya dari جَرَى - يَجْرِيْ), sehingga pengucapannya lebih ringan dan fasih bagi sebagian lidah Arab kuno.

2. Isymam (إِشْمَام)

Isymam adalah bacaan gharib yang unik karena melibatkan gerakan bibir tanpa menghasilkan suara. Secara bahasa, isymam berarti "mencampurkan" atau "memberi isyarat". Dalam istilah tajwid, Isymam adalah memonyongkan atau mencucukan kedua bibir ke depan—seperti saat hendak mengucapkan huruf berharakat Dammah (u)—tepat setelah mensukunkan huruf terakhir pada sebuah kata, sebagai isyarat bahwa huruf tersebut aslinya berharakat Dammah. Gerakan bibir ini dilakukan tanpa mengeluarkan suara 'u' sama sekali.

Isymam hanya bisa dilihat dan tidak bisa didengar. Oleh karena itu, ia hanya dapat dipelajari dengan benar melalui musyafahah (bertatap muka langsung) dengan guru. Jika seseorang membaca Al-Quran sendirian, Isymam tidak akan tampak. Namun, jika dibaca di hadapan orang lain, terutama bagi mereka yang mengerti tajwid, gerakan bibir tersebut akan terlihat.

Lokasi dan Cara Baca Isymam

Sama seperti Imalah, dalam riwayat Hafs 'an 'Ashim, Isymam juga hanya terdapat pada satu tempat di seluruh Al-Quran, yaitu pada kata لَا تَأْمَ۫نَّا dalam Surah Yusuf, ayat 11.

قَالُوا۟ يَٰٓأَبَانَا مَا لَكَ لَا تَأْمَ۫نَّا عَلَىٰ يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُۥ لَنَٰصِحُونَ

Qālū yā abānā mā laka lā ta'mannā 'alā yūsufa wa innā lahū lanāṣiḥūn.

"Mereka berkata: 'Wahai ayah kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya.'"

Kata لَا تَأْمَ۫نَّا aslinya terdiri dari dua kata: lā ta'manu-nā (لَا تَأْمَنُنَا). Huruf Nun yang pertama berharakat dammah dan Nun yang kedua berharakat fathah. Karena pertemuan dua huruf yang sama (Nun), maka terjadilah proses idgham. Nun pertama dileburkan ke Nun kedua, sehingga menjadi satu Nun yang bertasydid (لَا تَأْمَنَّا). Untuk memberikan isyarat bahwa Nun pertama yang dilebur itu aslinya berharakat Dammah, maka diaplikasikanlah bacaan Isymam.

Cara mempraktikkannya:

  1. Ucapkan kata "ta'man-" dengan mensukunkan Nun pertama dan menahannya dalam posisi ghunnah (dengung) karena adanya tasydid.
  2. Saat ghunnah sedang berlangsung, monyongkan kedua bibir ke depan dengan cepat, seolah-olah akan mengucapkan vokal 'u'. Gerakan ini dilakukan tanpa suara.
  3. Segera setelah memonyongkan bibir, kembalikan bibir ke posisi normal untuk mengucapkan bagian akhir kata, yaitu "-naa".
  4. Seluruh proses ini (ghunnah, gerakan bibir, dan pelafalan akhir) terjadi dalam satu alur yang mulus dan tidak terputus.
Selain dengan Isymam, kata ini juga boleh dibaca dengan cara Raum atau Ikhtilas, yaitu membaca harakat Dammah pada Nun pertama dengan sangat cepat (seperti sepertiga harakat), sehingga terdengar samar-samar. Namun, bacaan dengan Isymam lebih masyhur dan diutamakan.

3. Saktah (سَكْتَة)

Saktah secara bahasa berarti "diam". Dalam istilah tajwid, Saktah adalah berhenti sejenak pada suatu kata di dalam Al-Quran selama sekitar dua harakat (satu alif) tanpa mengambil napas, kemudian melanjutkan bacaan. Tujuan dari Saktah adalah untuk memisahkan dua kata atau dua makna agar tidak tercampur dan tidak menimbulkan kesalahpahaman bagi pendengar.

Penting untuk membedakan Saktah dengan Waqaf (berhenti). Saat Waqaf, kita berhenti dan dianjurkan (bahkan wajib) untuk mengambil napas sebelum melanjutkan. Sebaliknya, saat Saktah, kita berhenti sejenak namun dilarang mengambil napas. Napas harus ditahan selama jeda singkat tersebut.

Lokasi Wajib Saktah

Dalam riwayat Hafs 'an 'Ashim, terdapat empat tempat di mana Saktah wajib dilakukan. Tanda Saktah dalam mushaf biasanya ditulis dengan huruf Sin kecil (س) di atas kata tempat berhenti.

1. Surah Al-Kahfi, di akhir ayat 1

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ﴿١﴾ قَيِّمًا...﴿٢﴾

...wa lam yaj'al lahụ 'iwajā. (saktah) Qayyiman...

"...dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; (1) (tetapi Dia menurunkannya) sebagai bimbingan yang lurus..." (2)

Pembaca berhenti pada kata عِوَجَا tanpa mengambil napas, lalu langsung melanjutkan ke kata قَيِّمًا. Hikmah saktah di sini adalah untuk menegaskan bahwa Al-Quran itu tidak bengkok, melainkan sangat lurus. Jika dibaca sambung tanpa saktah ('iwajan qayyiman), bisa menimbulkan persepsi bahwa "kebengkokan yang lurus", sebuah makna yang kontradiktif.

2. Surah Yasin, ayat 52

قَالُوا۟ يَٰوَيْلَنَا مَنۢ بَعَثَنَا مِن مَّرْقَدِنَا ۜ ۗ هَٰذَا مَا وَعَدَ ٱلرَّحْمَٰنُ...

...mim marqadinā. (saktah) Hāżā mā wa'adar-raḥmān...

"...dari tempat tidur (kubur) kami? (saktah) Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah..."

Pembaca berhenti pada kata مَّرْقَدِنَا tanpa mengambil napas, lalu melanjutkan ke هَٰذَا. Hikmahnya adalah untuk memisahkan ucapan orang-orang kafir yang penuh penyesalan ("Siapakah yang membangkitkan kami?") dari jawaban yang datang setelahnya ("Inilah yang dijanjikan..."). Tanpa saktah, kedua kalimat itu bisa terdengar seolah-olah satu kesatuan ucapan dari orang kafir.

3. Surah Al-Qiyamah, ayat 27

وَقِيلَ مَنْ ۜ رَاقٍ

Wa qīla man. (saktah) rāq.

"dan dikatakan (kepadanya): 'Siapakah yang dapat menyembuhkan?'"

Pembaca berhenti pada kata مَنْ tanpa mengambil napas, lalu melanjutkan ke رَاقٍ. Hikmah saktah di sini adalah untuk menghindari terjadinya hukum Idgham Bighunnah. Jika dibaca washal (sambung) tanpa saktah, maka Nun sukun akan bertemu Ra' dan menjadi Idgham Bilaghunnah, sehingga dibaca "marraaq". Padahal, makna yang dimaksud adalah "man" (siapa) dan "raqin" (yang menyembuhkan), dua kata terpisah. Saktah menjaga kejelasan makna dari setiap kata.

4. Surah Al-Muthaffifin, ayat 14

كَلَّا ۖ بَلْ ۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

Kallā bal. (saktah) rāna 'alā qulụbihim mā kānụ yaksibụn.

"Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka."

Pembaca berhenti pada kata بَلْ tanpa mengambil napas, lalu melanjutkan ke رَانَ. Sama seperti pada Surah Al-Qiyamah, hikmah saktah di sini adalah untuk mencegah terjadinya idgham. Lam sukun bertemu Ra' adalah kasus idgham mutaqaribain. Jika dibaca sambung tanpa saktah, akan menjadi "barraana", yang bisa mengubah makna. Saktah memisahkan kata "bal" (bahkan/tetapi) dari "raana" (telah menutupi), menjaga keutuhan makna masing-masing.

4. Tashil (تَسْهِيْل)

Tashil secara bahasa berarti "memudahkan" atau "meringankan". Dalam istilah tajwid, Tashil adalah membaca Hamzah kedua dari dua Hamzah yang berurutan dengan suara yang ringan, yaitu antara bunyi Hamzah (ء) dan bunyi Alif (ا). Suara yang dihasilkan tidak seperti Hamzah yang jelas (dengan hentakan pita suara), namun juga bukan seperti Alif yang panjang. Ia adalah suara vokal yang lembut dan mengalir di antara keduanya.

Mempraktikkan Tashil memerlukan bimbingan guru karena sensitivitas suaranya. Kesalahan umum adalah membacanya menjadi huruf 'H' atau menghilangkannya sama sekali. Suara Tashil yang benar adalah dengan mengucapkan Hamzah pertama secara jelas (tahqiq), lalu mengendurkan pangkal tenggorokan saat mengucapkan Hamzah kedua sehingga suaranya menjadi ringan.

Lokasi dan Cara Baca Tashil

Dalam riwayat Hafs 'an 'Ashim, bacaan Tashil hanya terdapat pada satu tempat di seluruh Al-Quran, yaitu pada kata ءَا۬عْجَمِىٌّ dalam Surah Fussilat, ayat 44.

وَلَوْ جَعَلْنَٰهُ قُرْءَانًا أَعْجَمِيًّا لَّقَالُوا۟ لَوْلَا فُصِّلَتْ ءَايَٰتُهُۥٓ ۖ ءَا۬عْجَمِىٌّ وَعَرَبِىٌّ...

...a-a'jamiyyun wa 'arabiyy... (dibaca dengan Tashil pada Hamzah kedua)

"...Patutkah (Al Quran) dalam bahasa selain bahasa Arab sedang (rasul adalah) orang Arab?..."

Kata ءَا۬عْجَمِىٌّ terdiri dari dua Hamzah Qath' yang bertemu dalam satu kata. Hamzah pertama adalah Hamzatul Istifham (Hamzah untuk bertanya) yang selalu berharakat Fathah. Hamzah kedua adalah bagian dari kata 'Ajamiy (orang non-Arab). Menurut kaidah riwayat Hafs, pertemuan dua Hamzah seperti ini dibaca dengan mentashilkan (meringankan) Hamzah yang kedua.

Cara mempraktikkannya:

  1. Ucapkan Hamzah pertama (ءَ) dengan jelas dan tegas (tahqiq).
  2. Langsung setelah itu, ucapkan Hamzah kedua dengan suara yang dilembutkan. Bayangkan suaranya berada di tengah-tengah antara 'A' dan 'HA'. Posisikan organ bicara seolah-olah akan mengucapkan Hamzah, tetapi jangan hentakkan pita suara sepenuhnya.
  3. Hasilnya adalah bunyi seperti "A-(ha)-'jamiyyun", di mana suara "(ha)" sangat ringan dan hampir tidak terdengar, hanya sebagai transisi yang melembutkan.
Selain pada kata ini, Tashil juga bisa diterapkan pada tiga kata lain yang memiliki pola serupa (ءَآلذَّكَرَيْنِ, ءَآللهُ, ءَآلْـَٰٔنَ), namun pada kata-kata tersebut, cara baca yang lebih diutamakan adalah Ibdal (mengganti hamzah kedua dengan Alif dan memanjangkannya 6 harakat), yang akan dibahas nanti.

5. Naql (نَقْل)

Naql secara bahasa berarti "memindahkan". Dalam istilah tajwid, Naql adalah memindahkan harakat huruf Hamzah ke huruf sukun sebelumnya, kemudian huruf Hamzah itu sendiri dihilangkan (dibuang) dari bacaan. Praktik ini bertujuan untuk memudahkan pengucapan dan menyambungkan dua kata dengan lebih lancar.

Lokasi dan Cara Baca Naql

Dalam riwayat Hafs 'an 'Ashim, bacaan Naql hanya terjadi pada satu tempat, yaitu saat kata بِئْسَ bertemu dengan ٱلِٱسْمُ dalam Surah Al-Hujurat, ayat 11.

...وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ...

...bi'sa lismul-fusūqu ba'dal-īmān...

"...Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman..."

Mari kita urai proses Naql pada frasa بِئْسَ ٱلِٱسْمُ:

  1. Bentuk aslinya adalah "bi'sa al-ismu".
  2. Saat dibaca sambung (washal), Hamzah washal pada kata ٱلِٱسْمُ gugur. Sehingga menjadi "bi'sa lismu". Namun, ini menghasilkan pertemuan dua sukun (Lam sukun pada "al" dan Sin sukun pada "ismu"), yang sulit diucapkan.
  3. Untuk mengatasinya, Hamzah washal pada kata ٱلِٱسْمُ diberi harakat kasrah, menjadi "bi'sa l-ismu".
  4. Di sinilah kaidah Naql berlaku. Harakat Kasrah (i) pada Hamzah washal (اِ) dipindahkan ke huruf Lam (ل) sukun yang ada sebelumnya.
  5. Setelah harakatnya dipindahkan, huruf Hamzah washal itu sendiri dihilangkan dari bacaan.
  6. Hasil akhirnya, Lam yang tadinya sukun menjadi berharakat kasrah, dan bacaannya menjadi "bi'sa-lismu".
Jadi, yang diucapkan bukan "bi'sal ismu" atau "bi'sa ismu", melainkan "bi'salismu" secara bersambung, seolah-olah Lam berharakat kasrah adalah bagian dari kata pertama. Praktik ini membuat aliran bacaan menjadi lebih halus dan sesuai dengan kebiasaan lisan Arab.

6. Mengutamakan Shad (ص) atau Sin (س)

Dalam beberapa kata di Al-Quran, terdapat keraguan dalam penulisan atau riwayat pengucapan antara huruf Shad (ص) dan Sin (س). Mushaf Utsmani terkadang menulisnya dengan huruf Shad, namun di atasnya diberi tanda huruf Sin kecil (س), atau sebaliknya. Ini menandakan bahwa kata tersebut bisa dibaca dengan dua cara, atau salah satunya lebih utama.

A. Kata يَبْصُۜطُ dan بَصْۜطَةً

Pada dua kata ini, huruf aslinya ditulis dengan Shad (ص) tetapi di atasnya terdapat tanda Sin kecil (س). Ini menunjukkan bahwa bacaan dengan huruf Sin (س) lebih utama dan lebih masyhur, meskipun membaca dengan Shad (ص) juga diperbolehkan.

1. Surah Al-Baqarah, ayat 245

...وَٱللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۜطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

...wallāhu yaqbiḍu wa yabsuṭu...

"...Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan."

Pada kata وَيَبْصُۜطُ, cara baca yang diutamakan adalah dengan mengganti Shad menjadi Sin murni, sehingga dibaca "wayabsuthu". Sifat isti'la' (terangkatnya pangkal lidah) yang ada pada Shad dihilangkan.

2. Surah Al-A'raf, ayat 69

...وَزَادَكُمْ فِى ٱلْخَلْقِ بَصْۜطَةً...

...wa zādakum fil-khalqi basṭah...

"...dan Allah telah melebihkan kamu dalam kekuatan tubuh dan perawakan."

Sama seperti contoh sebelumnya, pada kata بَصْۜطَةً, cara baca yang lebih utama adalah dengan Sin murni, yaitu "basthotan".

B. Kata ٱلْمُصَيْطِرُونَ

Sebaliknya, pada kata ini, huruf aslinya ditulis dengan Sin (س) tetapi di atasnya diberi tanda Shad kecil (ص). Ini menandakan bahwa bacaan dengan huruf Shad (ص) lebih utama.

Surah At-Tur, ayat 37

أَمْ عِندَهُمْ خَزَآئِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمُ ٱلْمُصَيْطِرُونَ

...am humul-muṣaiṭirūn.

"Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau merekakah yang berkuasa?"

Pada kata ٱلْمُصَيْطِرُونَ, cara baca yang diutamakan adalah dengan mengganti Sin menjadi Shad murni, sehingga dibaca "al-mushaithiruun". Sifat isti'la' pada Shad harus dijaga. Membacanya dengan Sin ("al-musaythiruun") juga diperbolehkan namun tidak seutama bacaan dengan Shad.

C. Kata بِمُصَيْطِرٍ

Kasus ini berbeda. Dalam Surah Al-Ghasyiyah, ayat 22, kata بِمُصَيْطِرٍ ditulis dengan Shad (ص) dan tidak ada tanda Sin di atasnya. Ini berarti ia wajib dibaca dengan Shad (ص) murni menurut riwayat Hafs 'an 'Ashim. Tidak ada pilihan lain.

7. Nun Wiqayah atau Nun 'Iwadh

Nun Wiqayah (disebut juga Nun 'Iwadh) adalah huruf Nun kecil berharakat kasrah (نِ) yang ditambahkan di antara dua kata dalam kondisi tertentu untuk mencegah pertemuan dua sukun dan menjaga keaslian harakat kata sebelumnya. Wiqayah berarti "penjagaan" karena ia berfungsi menjaga harakat asli.

Kaidah ini paling sering muncul ketika Tanwin (ـًـــٍـــٌ) bertemu dengan Hamzah washal. Secara aturan, ketika tanwin bertemu Hamzah washal, Nun sukun yang terkandung dalam tanwin akan dibaca dengan harakat kasrah. Dalam penulisan mushaf, ini sering kali ditandai dengan munculnya Nun Wiqayah kecil.

Contoh Lokasi dan Cara Baca Nun Wiqayah

1. Surah Al-Jumu'ah, ayat 11

وَإِذَا رَأَوْا۟ تِجَٰرَةً أَوْ لَهْوًا ٱنفَضُّوٓا۟ إِلَيْهَا

...tijāratan aw lahwan-infaddū ilaihā...

"Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya..."

Pada frasa لَهْوًا ٱنفَضُّوٓا۟, tanwin fathah pada kata lahwan bertemu dengan Hamzah washal pada kata infaddū. Maka, dibacalah dengan menambahkan bunyi "ni" di antara keduanya, menjadi "lahwaninfaddū".

2. Surah Al-Muzzammil, ayat 18

ٱلسَّمَآءُ مُنفَطِرٌۢ بِهِۦ ۚ كَانَ وَعْدُهُۥ مَفْعُولًا

as-samā'u munfaṭirun-bih...

"Langit(pun) menjadi pecah belah pada hari itu. Adalah janji-Nya itu pasti terlaksana."

Pada frasa مُنفَطِرٌۢ بِهِۦ, tanwin dammah pada kata munfathirun bertemu dengan huruf Ba' yang seharusnya menjadi Iqlab. Namun karena setelahnya ada huruf sukun (dalam bacaan washal), maka tanwin tersebut dibaca dengan Nun Wiqayah, menjadi "munfathirunibih". Tanda mim kecil (Iqlab) tetap ada sebagai penanda asal hukumnya.

Penutup: Jalan Menuju Kesempurnaan Tilawah

Mendalami Bacaan Gharib adalah sebuah perjalanan yang memperkaya pemahaman dan kecintaan kita kepada Al-Quran. Ia membukakan mata kita pada detail-detail linguistik dan historis yang luar biasa, yang semuanya terjaga dengan sempurna melalui transmisi lisan dari generasi ke generasi. Bacaan-bacaan seperti Imalah, Isymam, Saktah, Tashil, dan Naql bukan sekadar variasi unik, melainkan bagian tak terpisahkan dari wahyu yang diturunkan.

Setiap kaidah gharib yang kita pelajari mengingatkan kita akan pentingnya peran seorang guru dalam mempelajari Al-Quran. Keunikan cara bacanya tidak mungkin dikuasai hanya dengan teori, melainkan harus dengan pendengaran, penglihatan, dan koreksi langsung dari seorang yang ahli. Inilah esensi dari sanad keilmuan dalam Islam, sebuah rantai emas yang menghubungkan kita langsung dengan lisan mulia Rasulullah ﷺ.

Semoga panduan ini menjadi langkah awal yang bermanfaat bagi para pembaca untuk lebih mengenal dan termotivasi untuk mempelajari Bacaan Gharib. Teruslah mencari ilmu, duduk di hadapan para guru, dan berusahalah untuk membaca Kalamullah dengan cara terbaik, karena sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya. Dengan menyempurnakan tajwid dan memahami keunikan bacaannya, kita tidak hanya memperindah lantunan kita, tetapi juga menjaga warisan suci yang telah diamanahkan kepada kita.

🏠 Kembali ke Homepage