Surah Az-Zariyat, yang dinamai dari ‘angin yang menerbangkan’, adalah salah satu surah Makkiyah yang diturunkan pada periode awal kenabian. Surah ini memiliki penekanan kuat pada isu-isu fundamental akidah: hari kebangkitan, keesaan Allah, dan yang paling krusial, ketetapan Ilahi atas segala urusan alam semesta, termasuk masalah rezeki. Di antara ayat-ayatnya yang paling mendalam dan sering direnungkan adalah Az Zariyat ayat 22, sebuah deklarasi singkat namun menyeluruh mengenai sumber kehidupan dan kepastian janji akhirat.
Ayat ini berfungsi sebagai poros yang menghubungkan antara kehidupan duniawi dan dimensi ghaib (tidak terlihat). Ia memberikan ketenangan bagi jiwa yang gelisah tentang masa depan dan kebutuhan materi, sekaligus memberikan peringatan tegas mengenai pertanggungjawaban di hari yang dijanjikan. Untuk memahami cakupan maknanya yang luar biasa, kita harus menelusuri setiap lafadznya, mengaitkannya dengan prinsip-prinsip tauhid, dan menganalisis bagaimana ia mempengaruhi cara seorang mukmin menjalani kehidupan sehari-hari.
Ayat yang ringkas ini terdiri dari dua bagian utama, yang dipisahkan oleh kata sambung 'wa' (dan). Kedua bagian ini sejatinya merupakan dua sisi dari satu koin: kepastian materi (rezeki) dan kepastian spiritual/akhirat (janji). Pemahaman yang benar terhadap ayat ini adalah kunci untuk menyeimbangkan antara upaya duniawi (ikhtiar) dan penyerahan diri (tawakkal).
Frasa ini merupakan pusat dari ketenangan hati seorang mukmin. Mengapa Allah menisbatkan rezeki, yang tampak sebagai sesuatu yang sangat material dan duniawi, kepada as-samaa' (langit)? Para mufassir (ahli tafsir) menawarkan beberapa dimensi interpretasi yang semuanya saling menguatkan, bukan bertentangan.
Interpretasi yang paling lugas dan terlihat jelas adalah bahwa langit merupakan gudang penyimpanan segala sesuatu yang memungkinkan kehidupan di bumi. Air hujan, sumber utama kehidupan flora, fauna, dan manusia, secara hakiki berasal dari langit. Allah menjadikan awan sebagai penampung, dan air hujan yang turun adalah manifestasi paling konkret dari rezeki yang dikirimkan dari atas. Tanpa air hujan, tidak ada pertanian, tidak ada air minum, dan tidak ada kehidupan yang berkelanjutan. Ayat ini mengingatkan manusia bahwa bahkan ketika mereka bekerja keras di ladang atau tambang, keberhasilan hasil kerja mereka tetap bergantung pada 'input' mendasar yang dikontrol dari dimensi yang lebih tinggi.
Selain air, langit juga merupakan sumber energi kosmik, seperti sinar matahari, yang vital untuk fotosintesis dan rantai makanan. Dengan demikian, rezeki di sini dipahami secara luas sebagai semua elemen alam yang mendukung eksistensi manusia dan makhluk hidup lainnya, yang mekanisme dasarnya diatur oleh sistem langit.
Dimensi tafsir yang lebih dalam mengacu pada konsep Lauhul Mahfuz (Lembaran yang Terpelihara). Langit seringkali dihubungkan dengan tempat segala takdir, ketetapan, dan ketentuan Ilahi dicatat sebelum ia dimanifestasikan di bumi. Para mufassir seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi menekankan bahwa rezeki setiap individu, baik itu harta, kesehatan, jodoh, atau umur, telah ditetapkan dan dicatat secara rinci di sisi Allah, yang tempatnya di atas langit (Arsy). Ayat ini menegaskan kepastian mutlak: rezeki Anda sudah ada ketentuannya, sudah tertulis. Ini bukanlah janji yang mungkin dipenuhi, melainkan sebuah fakta yang sudah diselesaikan.
Pemahaman ini memiliki implikasi psikologis yang besar: ketika seseorang mencari rezeki, ia tidak mencari sesuatu yang belum ada; ia hanya berusaha menarik ke dirinya apa yang telah ditakdirkan untuknya. Kepercayaan pada aspek Wa fis samaa'i rizqukum ini menghilangkan rasa takut akan kefakiran dan membebaskan hati dari kekhawatiran yang berlebihan terhadap materi duniawi. Usaha (ikhtiar) tetap wajib, tetapi hasil akhir dikembalikan kepada Ketetapan Langit.
Rezeki tidak selalu harus berbentuk uang atau makanan. Rezeki terbesar bagi seorang mukmin adalah hidayah, ilmu yang bermanfaat, keimanan yang kokoh, dan ketenangan jiwa. Rezeki spiritual ini, yaitu wahyu dan petunjuk dari Allah, juga turun dari langit melalui para malaikat kepada para nabi. Dalam konteks ini, 'langit' adalah metafora untuk asal-usul Ilahi dan transenden dari segala berkah, baik yang fisik maupun yang non-fisik.
Kesehatan adalah rezeki. Waktu luang adalah rezeki. Istri yang salehah atau anak-anak yang berbakti adalah rezeki. Semua itu, dalam esensinya, adalah pemberian dari Dzat Yang Maha Tinggi, yang memiliki kontrol penuh atas dimensi langit dan bumi. Maka, pencarian rezeki harus mencakup pencarian berkah spiritual, sebagaimana pentingnya mencari kebutuhan materi.
Bagian kedua ayat ini mengalihkan fokus dari kebutuhan duniawi ke dimensi akhirat. Jika rezeki di langit menjamin kelangsungan hidup di dunia, maka janji di langit menjamin kepastian pertanggungjawaban dan balasan di akhirat. Apa yang dijanjikan (maa tuu'aduun) mencakup spektrum yang luas:
Surah Az-Zariyat secara keseluruhan sangat fokus pada penegasan Hari Kiamat, yang mana kaum musyrikin Makkah sering meragukannya. Janji yang terbesar adalah bahwa semua manusia akan dibangkitkan, dihisab, dan diberi balasan sesuai amal perbuatan mereka. Ayat 22 ini secara tegas menyatakan bahwa janji tersebut, termasuk kapan Kiamat terjadi dan bagaimana prosesnya, adalah ketetapan yang telah tertulis di Lauhul Mahfuz—ia adalah kepastian dari langit.
Janji yang dimaksud juga mencakup surga (Jannah) bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta neraka (Nar) bagi mereka yang kufur dan zalim. Sebagaimana rezeki sudah ditetapkan, balasan atas amal perbuatan pun sudah ditetapkan. Kepastian ini seharusnya menjadi motivasi terbesar bagi seorang mukmin. Jika rezeki sudah dijamin, maka energi harus dicurahkan untuk memastikan bahwa 'janji' yang didapatkan adalah janji kebaikan (surga), bukan janji siksaan (neraka).
Penyatuan rezeki dunia dan janji akhirat dalam satu ayat tunggal (Az Zariyat 22) bukanlah kebetulan. Allah menghubungkan keduanya untuk menunjukkan bahwa sebagaimana kita bekerja keras untuk mendapatkan rezeki yang sudah tertulis di langit, kita juga harus bekerja keras untuk mendapatkan balasan yang sudah dijanjikan di langit. Ini adalah ajakan untuk tidak menjadi budak duniawi saja. Kepercayaan pada rezeki yang pasti seharusnya meringankan beban dunia dan memfokuskan kembali tujuan hidup pada persiapan menuju akhirat.
Pemahaman mendalam terhadap Az Zariyat ayat 22 memiliki konsekuensi langsung pada akhlak, etika kerja, dan mentalitas seorang Muslim. Ini adalah ayat yang mengajarkan kemandirian dari manusia lain dan ketergantungan total kepada Allah, Dzat yang mengendalikan sistem kosmik.
Ayat ini adalah fondasi utama bagi konsep Tawakkal (penyerahan diri penuh kepada Allah). Ketika seseorang menyadari bahwa rezekinya sudah tertulis di langit, ia akan berusaha dengan maksimal (ikhtiar), tetapi hatinya tidak akan bergantung pada hasil usahanya, pada bosnya, atau pada kekuatan pasar. Ketergantungan hati hanya pada Sang Pemberi Rezeki. Ini membedakan antara tawakkal yang benar dan fatalisme (kepasrahan tanpa usaha).
Apabila seseorang telah berusaha namun gagal, ia tidak akan merasa frustrasi yang mendalam karena ia tahu bahwa apa yang ditakdirkan belum datang. Apabila ia berhasil, ia tidak akan sombong, karena ia tahu bahwa kesuksesan itu hanyalah manifestasi dari ketetapan yang telah turun dari langit. Ayat ini membangun mentalitas pekerja keras yang optimis dan pada saat yang sama, mentalitas hamba yang bersyukur dan pasrah.
Keseimbangan antara ikhtiar dan tawakkal sering kali disalahpahami. Orang mungkin berpikir, jika rezeki sudah tertulis, mengapa harus bekerja? Jawaban syariat adalah, bekerja (ikhtiar) adalah bagian dari takdir yang Allah tetapkan sebagai syarat manifestasi rezeki tersebut. Allah menjanjikan hasilnya, namun kita diwajibkan melakukan prosesnya. Seorang petani tidak akan mendapatkan hasil panen hanya dengan menatap langit, meskipun hujan turun dari langit. Ia harus menanam benih, yang merupakan usaha minimal yang menghubungkannya dengan rezeki Ilahi.
Pemahaman bahwa rezeki berasal dari langit dan telah ditetapkan juga menumbuhkan sikap kedermawanan dan kemurahan hati. Jika rezeki itu mutlak milik Allah dan hanya dititipkan kepada kita sesuai ketetapan-Nya, maka sebagian dari rezeki itu pastilah hak orang lain (zakat, sedekah). Orang yang yakin pada Az Zariyat ayat 22 tidak akan takut memberi, karena ia tahu bahwa apa yang ia berikan tidak akan mengurangi ketetapan rezekinya. Justru, kedermawanan menjadi salah satu kunci untuk membuka pintu-pintu rezeki baru, sebagaimana dijanjikan dalam banyak ayat dan hadits.
Ketakutan akan kemiskinan (khasyatul imlaaq) adalah perangkap setan. Ayat ini adalah penangkal racun ketakutan tersebut. Jika kita merasa rezeki kita berkurang setelah bersedekah, hal itu adalah ilusi, karena sumber rezeki kita tidak bergantung pada jumlah uang di dompet kita saat ini, melainkan pada ketetapan yang tak terbatas yang ada di langit.
Para ulama tafsir sering membahas bagaimana perilaku manusia dapat mempengaruhi manifestasi rezeki yang telah ditetapkan. Meskipun ketetapan rezeki adalah pasti, ada mekanisme di mana rezeki tersebut bisa diperluas (dilapangkan) atau disempitkan berdasarkan amal perbuatan manusia. Hal ini tidak berarti Allah mengubah ketetapan-Nya, melainkan bahwa Allah telah menetapkan pahala dan ujian yang terhubung dengan amal kita.
Salah satu koneksi paling kuat antara ketaatan dan rezeki adalah melalui Istighfar. Dalam Surah Nuh, Nabi Nuh menyerukan kepada kaumnya untuk memohon ampunan agar Allah menurunkan hujan yang deras (sebagai simbol rezeki) dan memberikan harta benda serta anak-anak. Ini menunjukkan bahwa dosa dan maksiat dapat menjadi penghalang bagi keberkahan rezeki, sementara istighfar dapat membersihkan penghalang tersebut, memungkinkan rezeki yang telah ditetapkan di langit turun dengan deras.
Ayat ini mengajarkan bahwa jika kita merasa rezeki kita seret, mungkin bukan karena ikhtiar kita kurang, melainkan karena ada hambatan spiritual yang perlu diatasi melalui taubat dan pembersihan jiwa. Kualitas hubungan kita dengan 'Langit' (Allah) sangat menentukan kualitas rezeki yang kita terima di 'Bumi'.
Selain istighfar, syukur adalah mekanisme ilahi yang paling efektif untuk meluaskan rezeki. Allah berfirman: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu..." (QS. Ibrahim: 7). Syukur adalah pengakuan bahwa segala rezeki, sekecil apa pun, adalah karunia dari langit. Orang yang bersyukur tidak hanya bersyukur atas rezeki materi yang besar, tetapi juga atas rezeki non-materi seperti kesehatan, iman, dan keamanan.
Keyakinan pada Az Zariyat ayat 22 mendorong syukur yang mendalam. Bagaimana mungkin seseorang tidak bersyukur jika ia tahu bahwa semua yang ia miliki, bahkan kemampuan untuk bernapas, adalah bagian dari ketetapan rezeki yang dikirimkan langsung dari sumber tertinggi? Syukur mengubah rezeki yang mungkin tampak sedikit menjadi berkah yang besar (barakah), sementara kufur nikmat dapat menghilangkan berkah, bahkan pada rezeki yang melimpah.
Untuk memahami sepenuhnya urgensi ayat ini, kita harus kembali ke paruh kedua: wa maa tuu'aduun. Kepastian janji akhirat ini adalah penyeimbang spiritual. Jika rezeki dunia dijamin, maka janji akhirat juga dijamin kepastiannya. Kepastian ini menuntut pertanggungjawaban.
Ketika manusia terlalu fokus pada mencari rezeki (yang sudah pasti), ia berisiko melupakan janji (yang menuntut persiapan). Ayat ini berfungsi sebagai peringatan konstan: rezeki adalah sarana, bukan tujuan. Tujuan akhir adalah memastikan bahwa janji yang menunggu kita di akhirat adalah janji kebahagiaan abadi.
Jika semua waktu dan energi dihabiskan untuk mengejar rezeki material, maka persiapan untuk janji akhirat akan terbengkalai. Seorang mukmin sejati menggunakan rezeki yang ditetapkan oleh langit untuk berinvestasi pada janji yang ditetapkan oleh langit. Harta yang didapat dengan susah payah digunakan untuk jalan Allah, menjadikannya jembatan menuju Jannah.
Janji yang akan dipenuhi pada hari akhir adalah manifestasi dari keadilan Allah yang absolut. Di dunia, seringkali kita melihat ketidakadilan: orang zalim makmur, sementara orang saleh menderita kefakiran. Namun, kepastian janji yang ada di langit menjamin bahwa setiap perbuatan akan dihitung dan dibalas dengan setimpal. Orang yang menderita di dunia akan mendapatkan ganti rugi di akhirat, dan orang yang menikmati kemewahan haram akan dimintai pertanggungjawaban yang berat.
Inilah yang memberikan kekuatan pada umat beriman untuk tetap teguh di atas kebenaran, bahkan di tengah kesulitan. Mereka tahu bahwa rezeki mereka di dunia mungkin tampak kecil, tetapi rezeki dan balasan mereka di akhirat, yang telah dijanjikan dan dicatat di langit, adalah abadi dan tak terbatas.
Di era modern, konsep rezeki sering kali terbatas pada gaji bulanan, investasi, atau kekayaan digital. Namun, Az Zariyat ayat 22 memaksa kita untuk kembali pada makna rezeki yang lebih luas dan fundamental. Globalisasi dan ekonomi yang kompleks mungkin membuat rezeki terasa semakin tidak pasti, tetapi ayat ini menanamkan kembali rasa aman yang mendasar.
Salah satu rezeki terbesar yang sering terabaikan di zaman modern adalah kesehatan dan kesejahteraan mental. Langit yang mengatur siklus alam juga mengatur keseimbangan kimiawi dalam tubuh kita. Kesehatan adalah rezeki yang harus disyukuri. Ketika seseorang mengalami gangguan mental atau penyakit, ia harus ingat bahwa penyembuhan dan ketenangan juga merupakan rezeki yang dikendalikan oleh Langit.
Keyakinan bahwa rezeki itu datang dari Allah memberikan ketenangan yang vital. Kekhawatiran yang berlebihan tentang masa depan finansial sering kali menyebabkan kecemasan dan stres. Dengan berpegang teguh pada janji Az Zariyat 22, seorang mukmin dapat melepaskan beban kecemasan, menyerahkan hasil kepada Allah, dan fokus pada upaya terbaik yang bisa ia lakukan saat ini.
Bahkan penemuan ilmiah modern tentang siklus hidrologi, atmosfer, dan sistem tata surya memperkuat makna "di langit terdapat rezekimu." Ilmu pengetahuan menunjukkan betapa rumitnya sistem yang harus bekerja dengan sempurna—mulai dari jarak matahari, komposisi atmosfer, hingga proses penguapan dan kondensasi—agar setetes air hujan dapat turun ke bumi dan menumbuhkan makanan. Kesempurnaan sistem kosmik ini adalah bukti nyata akan ketetapan dan kontrol Ilahi atas segala rezeki. Rezeki bukan hasil dari kebetulan, melainkan hasil dari perhitungan dan ketetapan langit yang maha akurat.
Az Zariyat ayat 22 bukan sekadar informasi teologis; ia adalah panduan hidup praktis. Ayat ini memerintahkan kita untuk hidup dengan kemuliaan dan ketenangan. Kemuliaan karena kita tidak perlu merendahkan diri kepada makhluk demi rezeki yang sudah ditetapkan. Ketenangan karena kita tahu bahwa hari akhir, yang merupakan tujuan utama kita, juga sudah pasti datang.
Jika kita dapat menginternalisasi makna bahwa rezeki kita sudah tercatat di Lauhul Mahfuz di atas langit, kita akan terbebas dari sifat serakah, iri hati, dan persaingan tidak sehat dalam urusan dunia. Kita akan lebih fokus pada ketaatan, istighfar, dan rasa syukur. Kita akan melihat setiap pencapaian, setiap suap makanan, setiap hirupan udara segar, sebagai manifestasi langsung dari karunia Langit.
Ayat ini mengajak kita untuk melihat ke atas—bukan untuk mencari rezeki secara fisik, melainkan untuk mengingat Sumber dan Pengendali hakiki dari segala sesuatu. Rezeki yang ada di bumi ini hanyalah pantulan dari ketetapan yang telah sempurna di dimensi langit. Dan yang lebih penting lagi, janji akhirat yang menanti adalah motivator terbesar bagi setiap nafas dan langkah yang kita ambil di dunia ini. Dengan memahami Az Zariyat ayat 22, seorang mukmin menemukan pijakan spiritual yang kokoh, di mana kekhawatiran duniawi mengecil dan harapan akan janji Ilahi membesar, menuntunnya menuju kehidupan yang penuh berkah dan bermakna.
Kajian mendalam terhadap frasa "Wa fis samaa'i rizqukum" ini harus terus-menerus dilakukan oleh setiap individu. Ketika krisis ekonomi melanda, ketika pekerjaan hilang, atau ketika ujian hidup datang dalam bentuk kekurangan materi, ayat ini hadir sebagai pelipur lara dan pengingat akan keagungan Allah. Rezeki datang dari tempat yang tidak disangka-sangka (min haitsu laa yahtasib), dan tempat tidak terduga tersebut adalah manifestasi dari ketetapan yang telah lama tersimpan di dimensi langit yang mulia.
Lebih jauh lagi, pemaknaan terhadap rezeki yang diturunkan dari langit mencakup pula hikmah di balik musibah. Terkadang, "rezeki" yang diturunkan dari langit bukanlah berupa kelimpahan materi, melainkan berupa ujian dan cobaan. Ujian itu sendiri, bagi seorang mukmin yang sabar, adalah rezeki spiritual karena ia meningkatkan derajat dan membersihkan dosa-dosa. Dengan demikian, rezeki dalam pandangan Islam adalah segala sesuatu yang Allah berikan kepada hamba-Nya, baik berupa kenikmatan, ilmu, kesehatan, maupun kesempatan untuk bersabar dan bertaubat. Semua itu ditetapkan dari Langit.
Penting untuk menggarisbawahi bahwa penekanan pada "Langit" sebagai sumber tidak meniadakan peran bumi. Bumi adalah tempat manifestasi dan ladang amal. Langit menetapkan, Bumi menjalankan. Jika Langit telah menetapkan rezeki bagi 7 miliar manusia, maka sistem bumi (ekonomi, alam, biologi) akan bergerak sesuai skenario tersebut. Kegagalan atau kesuksesan yang kita lihat di dunia adalah bagian dari pelaksanaan skenario Ilahi yang kompleks, yang intinya sudah ditetapkan di atas sana. Kita diwajibkan untuk berinteraksi dengan bumi, berupaya, menanam, berdagang, dan membangun, tetapi dengan kesadaran penuh bahwa hasil akhir sepenuhnya dikontrol oleh otoritas Langit.
Hubungan antara rezeki dan janji (maa tuu'aduun) juga mendorong adanya standar moral yang tinggi dalam mencari penghidupan. Seseorang yang percaya bahwa rezekinya sudah dijamin tidak perlu mengambil jalan pintas haram, korupsi, atau menipu. Mengapa harus mencuri atau berbuat curang demi sesuatu yang sudah pasti akan datang kepadanya dengan cara yang telah Allah tentukan? Mencari rezeki dengan cara yang haram berarti meragukan ketetapan Allah yang ada di langit dan mempertaruhkan janji akhirat yang kekal. Ini adalah pertukaran yang sangat merugikan.
Oleh karena itu, Az Zariyat 22 merupakan ayat yang memberikan fondasi bagi ekonomi Islam: rezeki dijamin, tetapi cara mendapatkannya harus suci. Ini menjamin kestabilan moral dan etika dalam transaksi. Kekayaan yang didapatkan dengan cara yang bersih adalah berkah, dan ini dijamin oleh Allah melalui ketetapan-Nya di Lauhul Mahfuz. Keyakinan ini memimpin umat untuk berpegangan pada prinsip kejujuran, bahkan ketika kejujuran tampaknya merugikan secara materi dalam jangka pendek.
Dalam konteks modern yang penuh dengan ketidakpastian politik dan ekonomi, ayat ini memberikan jangkar spiritual yang tak tergoyahkan. Setiap kali kita membaca berita tentang resesi, inflasi, atau bencana alam, ingatan kita harus kembali pada satu sumber: Allah, melalui ketetapan di langit, adalah Penjamin Rezeki. Ketetapan ini tidak dipengaruhi oleh fluktuasi pasar saham atau keputusan pemerintah mana pun. Ini adalah ketetapan yang bersifat mutlak dan abadi.
Lebih jauh lagi, tafsir mendalam tentang Az Zariyat ayat 22 juga menyentuh isu keadilan sosial. Jika rezeki setiap individu telah ditentukan, maka tugas manusia, yang merupakan khalifah di bumi, adalah memastikan distribusi rezeki tersebut berjalan lancar. Meskipun Allah telah menetapkan jumlah rezeki global, keadilan distribusi adalah tanggung jawab manusia. Ketika terjadi ketimpangan ekstrem, ini sering kali merupakan hasil dari keserakahan manusia yang melanggar batasan-batasan Ilahi, yang pada gilirannya mengganggu manifestasi rezeki yang telah ditetapkan secara sempurna dari langit.
Pengajaran mendasar dari ayat ini adalah bahwa kita harus menuntut pertanggungjawaban dari diri kita sendiri, bukan dari Allah, mengenai bagaimana kita menyikapi rezeki yang telah diberikan. Apakah kita bersyukur? Apakah kita membaginya? Apakah kita menggunakannya untuk berbuat maksiat atau untuk ketaatan? Pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan apakah kita layak menerima 'janji' kebaikan di hari akhir.
Refleksi berkelanjutan atas ayat ini akan menghasilkan jiwa yang tenang, tidak terburu-buru dalam mengejar dunia, tetapi juga tidak pasif dalam beramal. Aktivitas duniawi dilakukan sebagai ibadah, dengan kesadaran bahwa segala sesuatu—dari hujan yang membasahi bumi hingga ilmu yang mencerahkan hati—adalah bagian dari rezeki agung yang telah diatur oleh Penguasa Langit. Dan kepastian janji akhirat adalah motivasi tertinggi untuk menjaga integritas dalam setiap upaya mencari rezeki tersebut, memastikan bahwa setiap hasil yang diperoleh membawa berkah menuju kebahagiaan abadi.
Inti dari pesan Az Zariyat ayat 22 adalah: Percayalah pada Langit untuk rezekimu di dunia, dan persiapkan dirimu untuk Janji Langit di akhirat. Ini adalah formula ringkas menuju kesuksesan sejati di kedua alam, memberikan pedoman yang jelas bahwa hidup adalah keseimbangan antara mencari kebutuhan fisik yang sudah terjamin dan berinvestasi pada kebutuhan spiritual yang menuntut persiapan tanpa henti.
Setiap orang memiliki takdir rezekinya sendiri yang telah ditentukan sebelum ia diciptakan. Tidak ada satu pun makhluk yang dapat mengambil rezeki milik makhluk lain, dan tidak ada satu pun makhluk yang dapat mencegah rezeki yang telah Allah tetapkan untuknya. Keyakinan ini, yang bersumber dari Lauhul Mahfuz di atas langit, seharusnya menjadi sumber kekuatan tak terbatas bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan hidup. Baik dalam kondisi lapang maupun sempit, rezeki dari Langit pasti akan menemukan jalannya kepada kita, sesuai waktu dan cara yang telah Allah putuskan. Fokus kita hanyalah satu: memastikan bahwa kita menggunakan rezeki tersebut sebagai bekal untuk memenuhi Janji Langit yang lebih besar.
Dalam memahami keluasan konsep rezeki, kita juga mencakup rezeki berupa waktu. Waktu yang Allah anugerahkan kepada kita setiap hari adalah rezeki. Bagaimana kita mengelola rezeki waktu ini akan menentukan kesiapan kita menghadapi "maa tuu'aduun". Jika kita menyia-nyiakan waktu yang merupakan rezeki dari Langit, maka kita telah menyia-nyiakan kesempatan untuk mempersiapkan diri menghadapi janji yang telah ditetapkan di Langit. Oleh karena itu, rezeki dan waktu adalah dua mata uang yang harus diinvestasikan secara bijaksana untuk mendapatkan keuntungan abadi di akhirat.
Tafsir mengenai Az Zariyat ayat 22 ini terus berulang dalam literatur Islam karena relevansinya yang tak lekang oleh zaman. Kekhawatiran manusia terhadap materi adalah konstan, dan janji Ilahi untuk menyediakan kebutuhan itu juga konstan. Setiap kali hati mulai cemas, setiap kali pikiran mulai dihantui ketakutan finansial, seorang mukmin diajak untuk mengangkat pandangan—baik secara harfiah maupun metaforis—menuju Langit, mengingat kembali bahwa segala persediaan sudah diatur dan ditetapkan di sana. Tugas kita hanya berupaya dengan cara yang paling diridhai, dan sisanya diserahkan kepada ketetapan Yang Maha Mengetahui.
Kembali kepada lafadz "Wa fis samaa'i rizqukum wa maa tuu'aduun", kita menyadari bahwa ayat ini adalah kompas moral. Ia mencegah kita dari keserakahan yang tidak perlu, karena apa yang ditakdirkan untuk kita tidak akan pernah meleset. Ia mendorong kita pada ketaatan yang tulus, karena janji balasan (Surga atau Neraka) adalah sebuah kepastian yang tak terhindarkan. Dengan hidup di bawah naungan keyakinan ini, seorang Muslim mencapai puncak kemerdekaan spiritual: merdeka dari rasa takut terhadap manusia dan merdeka dari rasa cemas terhadap masa depan duniawi.
Inilah kekuatan mendalam dari Az Zariyat Ayat 22. Ia bukan hanya ayat tentang meteorologi atau ekonomi, melainkan ayat tentang tauhid, ketenangan, dan tujuan hidup. Ia adalah jaminan dari Allah bahwa Dia akan mencukupi kebutuhan hamba-Nya di dunia (rezeki), asalkan hamba tersebut mempersiapkan diri untuk memenuhi tuntutan janji di akhirat (maa tuu'aduun). Semoga kita semua termasuk hamba yang teguh dalam keyakinan ini, memanfaatkan rezeki untuk mencapai janji kebahagiaan abadi.