Pedoman Abadi untuk Mengajak kepada Kebaikan
Dakwah, yang secara harfiah berarti 'mengajak', 'memanggil', atau 'menyeru', adalah jantung dari misi kenabian dan esensi eksistensi umat Islam. Ia merupakan tugas suci yang berkelanjutan, dimulai dari Nabi Adam AS hingga penutup para nabi, Muhammad SAW. Al-Qur'anul Karim menyediakan kerangka kerja yang sangat rinci, tidak hanya mengenai kewajiban dakwah, tetapi juga metodologi, etika, dan landasan spiritual yang harus dimiliki oleh para da'i.
Pemahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat tentang dakwah sangat penting agar praktik dakwah tidak menyimpang dari tujuan aslinya, yaitu menyeru kepada tauhid, memperbaiki akhlak, dan menciptakan masyarakat yang adil dan beradab (baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur). Melalui telaah ini, kita akan mengupas tuntas ayat-ayat kunci yang menjadi pondasi teologis dan praktis dalam upaya mengajak umat manusia menuju jalan Allah SWT.
Kewajiban dakwah bukanlah pilihan sekunder, melainkan mandat ilahi yang mengikat Ummatan Wasatan (umat pertengahan). Ayat yang paling fundamental dalam menetapkan status dan peran umat Islam adalah Surah Ali Imran, yang menekankan bahwa keberadaan umat ini terkait erat dengan fungsi menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma'ruf nahi munkar).
Ayat ini secara eksplisit menggunakan kata "وَلْتَكُن" (hendaklah ada), yang mengandung makna perintah (amr) wajib. Kewajiban dakwah ditetapkan sebagai Fardhu Kifayah, di mana harus ada sekelompok individu atau institusi dalam masyarakat yang secara khusus mengemban tugas dakwah dan pendidikan. Jika segolongan umat telah menjalankannya dengan baik, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Namun, jika tidak ada yang melaksanakan, maka seluruh umat berdosa.
Fungsi utama umat Islam, sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat terkait, adalah sebagai saksi atas kebenaran (syuhada’a ‘alan nas). Kesaksian ini diwujudkan melalui dakwah, yang melibatkan tiga dimensi utama:
Keberuntungan (al-muflihūn) yang dijanjikan Allah dalam ayat ini secara langsung dikaitkan dengan pelaksanaan peran ini. Tanpa fungsi dakwah, umat Islam kehilangan identitas dan mandat historis mereka, berpotensi jatuh ke dalam kemunduran spiritual dan sosial.
Ayat ini berfungsi sebagai kriteria pembeda. Gelar "umat terbaik" (khaira ummah) bukanlah gelar kehormatan yang diberikan secara otomatis berdasarkan ras atau keturunan, melainkan sebuah gelar fungsional. Selama umat Islam menjalankan fungsi dakwah (amar ma'ruf nahi munkar) dan menjaga keimanan yang murni, mereka berhak menyandang gelar tersebut. Ketika fungsi ini ditinggalkan, potensi keunggulan itu pun memudar. Tugas dakwah dengan demikian adalah prasyarat keberkahan, bukan sekadar pelengkap ajaran.
Ayat yang paling rinci dan fundamental dalam menetapkan metodologi dakwah adalah Surah An-Nahl. Ayat ini memberikan peta jalan yang komprehensif, mengajarkan bahwa keberhasilan dakwah tidak hanya ditentukan oleh substansi, tetapi juga oleh cara penyampaian. Inilah prinsip etika komunikasi Islam yang abadi.
Ayat ini adalah konstitusi dakwah. Kata "ادْعُ" (serulah) adalah perintah langsung kepada Nabi Muhammad SAW, dan melalui beliau, kepada seluruh umatnya, untuk menjalankan tugas dakwah. Ayat ini menetapkan tiga pilar metodologi yang harus digunakan secara situasional:
Hikmah adalah tingkat dakwah tertinggi. Para ulama tafsir mendefinisikannya sebagai meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam konteks dakwah, hikmah mencakup:
Hikmah mensyaratkan da’i harus cerdas, memahami psikologi manusia, dan mengetahui kondisi sosial audiensnya. Dakwah dengan hikmah ditujukan terutama kepada kalangan intelektual, cendekiawan, atau mereka yang membutuhkan penalaran mendalam sebelum menerima kebenaran.
Mau’izhah adalah nasihat, peringatan, atau ajaran yang menyentuh hati. Mau’izhah Al-Hasanah (pelajaran yang baik) adalah nasihat yang disampaikan dengan penuh kelembutan, ketulusan, dan kasih sayang, disertai contoh teladan yang nyata.
Metode ini efektif untuk audiens awam atau mereka yang lebih responsif terhadap pendekatan emosional dan spiritual, memotivasi mereka melalui kisah-kisah inspiratif dan peringatan akan konsekuensi perbuatan.
Mujadalah adalah debat atau diskusi. Ayat ini tidak melarang debat, tetapi mensyaratkan bahwa debat tersebut harus dilakukan 'dengan cara yang paling baik' (bi al-lati hiya ahsan).
Metode ini digunakan ketika berhadapan dengan kelompok yang memiliki keyakinan berbeda dan memerlukan sanggahan terhadap argumen-argumen mereka. Peringatan di akhir ayat ("Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui...") mengingatkan da'i bahwa hasil akhir hidayah adalah milik Allah, sehingga tugas da'i hanyalah menyampaikan dengan metode terbaik, bukan memaksakan hasil.
Keefektifan dakwah sangat ditentukan oleh karakter dan etika (akhlak) sang da'i. Al-Qur'an menekankan pentingnya kesabaran, kelembutan, dan kejujuran sebagai prasyarat wajib.
Ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk berdakwah kepada Firaun, sosok yang melampaui batas dan mengaku Tuhan, instruksi yang diberikan adalah pelajaran abadi mengenai kelembutan dalam dakwah.
Konsep "qaulan layyinan" (kata-kata yang lemah lembut) menjadi pedoman universal. Jika kelembutan dianjurkan kepada Firaun—personifikasi kezaliman dan kekufuran—maka kelembutan adalah keharusan mutlak ketika berdakwah kepada umat Islam atau kepada pihak lain yang tidak sekeras Firaun. Kelembutan membuka hati yang tertutup, sementara kekerasan hanya akan melahirkan penolakan dan perlawanan. Tujuan dari kelembutan ini adalah memberi peluang Firaun untuk "ingat atau takut" (yatadzakkaru aw yakhsya).
Ayat ini mengangkat derajat seorang da’i ke tingkatan tertinggi dalam hal perkataan. Dakwah yang efektif adalah perpaduan antara Seruan yang Benar (دعَا إِلَى اللَّهِ) dan Amal Saleh (عَمِلَ صَالِحًا). Ini menegaskan konsep dakwah bil hal (dakwah melalui perbuatan). Ucapan yang baik tanpa diiringi amal saleh akan terasa hampa dan munafik. Seorang da'i harus menjadi cerminan dari ajaran yang disampaikannya, memastikan bahwa perilakunya konsisten dengan prinsip-prinsip yang ia serukan.
Surah Al-Asr, meskipun pendek, sering disebut sebagai ringkasan komprehensif ajaran Islam, di mana unsur dakwah dan kesabaran menjadi inti untuk menghindari kerugian abadi.
Ayat ini menetapkan empat syarat keselamatan dari kerugian, dua di antaranya adalah praktik dakwah kolektif:
Ini menunjukkan bahwa dakwah adalah aktivitas yang melelahkan dan penuh tantangan. Kesabaran (ṣabr) mutlak diperlukan, baik sabar dalam menjalankan ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, maupun sabar dalam menghadapi kesulitan dan penolakan dari objek dakwah. Dakwah yang berhasil adalah yang berakar pada keteguhan hati.
Al-Qur'an juga memberikan panduan tegas mengenai batasan yang tidak boleh dilanggar oleh da'i, terutama dalam hal toleransi, keyakinan, dan penghinaan terhadap pihak lain.
Dakwah harus disampaikan, tetapi hasilnya tidak boleh dipaksakan. Al-Qur'an mengajarkan garis pemisah yang jelas antara prinsip tauhid dan keyakinan lainnya. Ini adalah prinsip toleransi dalam beragama.
Ayat ini menetapkan bahwa dalam hal keyakinan fundamental (akidah), tidak ada kompromi. Namun, penegasan ini disampaikan bukan untuk memicu permusuhan, melainkan untuk menetapkan batas-batas yang jelas (lakum dīnukum wa liya dīn). Da'i harus menyampaikan kebenaran dengan jelas, tetapi harus menghormati hak orang lain untuk memilih, karena hidayah adalah prerogatif Allah.
Dalam konteks mujadalah (debat), Al-Qur'an secara tegas melarang tindakan yang dapat memicu permusuhan balik, meskipun itu ditujukan kepada hal-hal yang dianggap sesat dalam pandangan Islam.
Ayat ini mengajarkan prinsip dakwah strategis: Sadd adz-Dzari’ah (menutup jalan yang dapat menyebabkan kemudaratan). Mencerca sesembahan orang lain akan memprovokasi mereka untuk mencerca Allah SWT sebagai balasan. Dakwah harus fokus pada penyampaian kebenaran Islam (tauhid), bukan pada penghinaan terhadap kebatilan orang lain, apalagi jika penghinaan itu kontraproduktif terhadap tujuan hidayah.
Al-Qur'an banyak menceritakan kisah para nabi, yang pada hakikatnya adalah narasi tentang dakwah. Kisah-kisah ini menegaskan bahwa metode dan tujuan dakwah adalah konsisten, meskipun situasinya berbeda.
Ayat ini secara eksplisit menjelaskan bahwa jalan Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya adalah jalan dakwah yang berdasarkan ilmu yang jelas (basirah).
Poin kunci dalam ayat ini adalah "على بَصِيرَةٍ" (atas dasar ilmu yang nyata/pandangan yang terang). Dakwah tidak boleh didasarkan pada perkiraan, dugaan, atau emosi yang tidak terkontrol. Da'i wajib memiliki ilmu yang kokoh mengenai akidah, syariat, dan kondisi objek dakwahnya. Basirah adalah lawan dari taqlid (ikut-ikutan buta); dakwah harus membangun keyakinan rasional dan spiritual yang teguh.
Kisah Musa AS berulang kali diangkat dalam Al-Qur'an sebagai contoh dakwah yang harus menghadapi kekuasaan tiranik. Ayat-ayat ini menunjukkan dukungan ilahi terhadap da'i yang ikhlas.
Pelajarannya adalah bahwa da’i, meskipun menghadapi tantangan seberat apapun (seperti Fir'aun), harus tetap yakin bahwa Allah senantiasa menyertai mereka. Rasa takut (khauf) harus diatasi dengan keyakinan (tawakkal) pada janji Allah. Dakwah, pada dasarnya, adalah tindakan keberanian dan penegasan kebenaran di tengah kezaliman.
Ayat-ayat Al-Qur'an juga menjelaskan bahwa dakwah memiliki sasaran yang luas, meliputi kaum kerabat, masyarakat terdekat, hingga umat manusia secara universal, dan tujuannya adalah mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya (min azh-zhulūmāti ila an-nūr).
Ini adalah deskripsi termasyhur tentang tujuan akhir dakwah dan wahyu: mentransformasi kehidupan manusia dari azh-zhulūmāt (bentuk jamak dari kegelapan, merujuk pada kebodohan, kekufuran, dan kezaliman) menjadi an-nūr (bentuk tunggal dari cahaya, merujuk pada tauhid dan petunjuk). Transformasi ini bersifat menyeluruh, meliputi individu, keluarga, dan struktur sosial. Da'i adalah agen perubahan yang membawa cahaya ilahi ke dalam kegelapan manusiawi.
Ayat ini menetapkan prinsip prioritas dakwah. Sebelum menyeru seluruh dunia, da'i wajib memastikan bahwa keluarganya, kerabatnya, dan komunitas terdekatnya telah menerima seruan dan petunjuk. Konsistensi antara dakwah publik dan kondisi keluarga adalah tolok ukur integritas seorang da'i. Seorang da'i tidak boleh menjadi pelita yang menerangi orang lain tetapi membakar dirinya dan keluarganya.
Meskipun ayat-ayat ini diturunkan lebih dari empat belas abad yang lalu, relevansinya tetap utuh, bahkan semakin mendesak di era modern yang kompleks, ditandai oleh disrupsi informasi, pluralitas budaya, dan tantangan sosial yang beragam.
Di era informasi saat ini, dakwah melalui hikmah harus diinterpretasikan sebagai dakwah yang didasarkan pada data, riset ilmiah, dan pemahaman mendalam tentang isu-isu kontemporer. Penyampaian harus disesuaikan dengan platform digital, menggunakan metode komunikasi visual yang efektif, ringkas, dan persuasif, bukan provokatif. Da'i modern harus menjadi pemikir kritis yang mampu menanggapi ateisme, sekularisme, dan isu-isu global dengan dalil yang kuat dan relevan.
Mau’izhah Hasanah saat ini harus diwujudkan dalam tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah sosial, bukan hanya ceramah di mimbar. Dakwah yang baik tercermin dalam advokasi keadilan, penanggulangan kemiskinan, perlindungan lingkungan, dan penegakan hak asasi manusia. Ketika da'i terlibat aktif dalam kebaikan nyata, nasihat lisan mereka akan memiliki bobot moral yang jauh lebih besar.
Mujadalah bi al-lati hiya ahsan sangat penting dalam dialog antar-iman dan diskusi filosofis di panggung global. Debat harus dilakukan dengan menghormati martabat manusia, menghindari stereotip, dan fokus pada nilai-nilai universal yang dapat diterima bersama (seperti keadilan, perdamaian, dan moralitas). Tujuan dari dialog ini adalah mencapai pemahaman bersama, bukan konversi paksa, sesuai dengan prinsip hidayah adalah milik Allah.
Kesabaran yang diamanahkan dalam Surah Al-Asr juga harus diterapkan dalam jangka waktu yang panjang. Da'wah bukanlah proyek instan, melainkan proses kultural dan peradaban yang membutuhkan ketekunan, konsistensi, dan kesiapan untuk menerima penolakan tanpa kehilangan semangat atau berpaling pada kekerasan.
Meskipun dakwah adalah tugas kolektif, Al-Qur'an mengingatkan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, selama mereka telah melakukan kewajiban dakwah sesuai kemampuan mereka.
Ayat ini sering disalahpahami sebagai alasan untuk meninggalkan dakwah. Padahal, para mufassir menjelaskan bahwa 'mendapat petunjuk' (ihtadaitum) di sini mencakup telah dilaksanakannya kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Jika seorang Muslim telah menjalankan kewajiban seruan dan perbaikan diri secara optimal, maka kesesatan orang lain tidak akan mengurangi pahala atau menyebabkan kerugian baginya di Akhirat. Ini adalah penenang bagi para da'i yang sering merasa frustrasi ketika seruan mereka tidak membuahkan hasil segera.
Ayat-ayat Al-Qur'an tentang dakwah membentuk sebuah sistem etika dan metodologi yang kokoh, yang menuntut integritas spiritual dan intelektual dari para pengembannya. Dakwah adalah manifestasi tertinggi dari iman dan amal saleh.
Kewajiban ini, yang berakar pada Surah Ali Imran [3]: 104, dioperasionalkan melalui tiga pilar Surah An-Nahl [16]: 125, dan dilindungi dari penyimpangan oleh etika kelembutan (Taha [20]: 44) dan larangan mencerca (Al-An'am [6]: 108). Semua ini harus dilakukan atas dasar ilmu yang nyata (basirah), sebagaimana diajarkan dalam Surah Yusuf [12]: 108.
Sejatinya, tugas dakwah adalah ibadah terpanjang dan paling menantang. Ia adalah pengorbanan masa, tenaga, pikiran, dan emosi untuk tujuan terbesar: mengeluarkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya Allah SWT. Setiap Muslim, dalam kapasitasnya masing-masing—sebagai orang tua, pendidik, profesional, atau warga negara—memiliki peran yang tidak terpisahkan dalam mengemban amanah agung ini.
Mengakhiri pembahasan mendalam ini, penting untuk diingat bahwa dakwah adalah janji abadi antara Allah dan hamba-Nya yang ikhlas. Barang siapa yang memilih jalan ini, ia telah memilih jalan yang paling mulia, jalan para nabi dan orang-orang yang beruntung di sisi Tuhan semesta alam.