Ayat Sajdah (آيَاتُ السُّجُودِ) adalah istilah yang merujuk kepada ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur'an yang, apabila dibaca atau didengar, menimbulkan kewajiban atau anjuran (tergantung madzhab) bagi seorang Muslim untuk melakukan Sujud Tilawah (sujud bacaan). Sujud Tilawah adalah bentuk ibadah yang sangat spesifik dan merupakan manifestasi langsung dari kepatuhan hamba kepada perintah dan keagungan Allah SWT.
Praktek Sujud Tilawah ini adalah respons segera terhadap seruan Allah dalam ayat-ayat tersebut, yang seringkali memuat kisah-kisah kaum terdahulu yang enggan bersujud, atau seruan universal kepada seluruh makhluk untuk tunduk kepada Penciptanya. Ketika seorang Muslim mencapai titik dalam bacaannya di mana seruan sujud tersebut termaktub, ia disunnahkan untuk segera meletakkan keningnya di atas tanah sebagai pengakuan atas kekuasaan Ilahi.
Dalam khazanah fikih Islam, jumlah Ayat Sajdah yang disepakati oleh mayoritas ulama adalah lima belas ayat, tersebar di berbagai surah, mulai dari Surah Al-A'raf hingga Surah Al-Alaq. Pemahaman mendalam tentang hukum, tata cara, serta hikmah di balik sujud ini menjadi kunci penting bagi setiap Muslim yang ingin menyempurnakan interaksi spiritualnya dengan Kitabullah.
Gambar 1: Posisi Sujud, sebagai respons terhadap Ayat Sajdah.
Hukum melaksanakan Sujud Tilawah telah menjadi topik pembahasan yang luas di antara para fuqaha. Mayoritas ulama menyepakati bahwa hukumnya adalah *Sunnah Muakkadah* (sangat dianjurkan), namun ada pula pendapat yang menyatakannya sebagai *Wajib* (Fardhu), terutama di kalangan ulama Mazhab Hanafi.
Meskipun tidak ada ayat yang secara eksplisit memerintahkan, "Apabila kalian membaca Ayat Sajdah, bersujudlah," namun ayat-ayat Sajdah itu sendiri berfungsi sebagai seruan. Misalnya firman Allah dalam Surah Al-Insyiqaq:
(وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ)
“Dan apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.” (QS. Al-Insyiqaq: 21). Ayat ini menyiratkan celaan bagi mereka yang enggan bersujud, yang kemudian dipahami sebagai anjuran kuat bagi orang-orang beriman untuk bersujud.
Banyak hadits yang menguatkan anjuran sujud ini, menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ sendiri melaksanakannya, bahkan kadang di tengah shalat. Salah satu hadits yang paling sering dikutip adalah:
Perbedaan pandangan ini sangat penting karena memengaruhi tata cara dan syarat pelaksanaan:
Meskipun terdapat perbedaan intensitas hukum, seluruh madzhab sepakat bahwa pelaksanaan sujud tilawah adalah ibadah yang mulia dan sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap Muslim.
Sujud Tilawah dapat dilakukan dalam dua kondisi utama: di dalam shalat (ketika menjadi imam, makmum, atau munfarid) dan di luar shalat (ketika membaca Al-Qur'an secara mandiri atau mendengarkannya).
Sebagaimana shalat, Sujud Tilawah yang dilakukan di luar shalat juga membutuhkan beberapa persyaratan yang disepakati oleh mayoritas ulama (kecuali Mazhab Hanafi yang sedikit berbeda pandangan terkait syarat thaharah):
Catatan penting: Mazhab Hanafi berpendapat bahwa sujud tilawah adalah bentuk *sujud syukr* (sujud syukur) dan *bukan* shalat, sehingga beberapa syarat (seperti thaharah) tidak mutlak wajib, meskipun dianjurkan. Namun, pendapat jumhur (Syafi'i, Maliki, Hanbali) menegaskan bahwa ia tergolong shalat dan memerlukan semua syarat shalat.
Ketika seseorang membaca Al-Qur'an dan mencapai Ayat Sajdah, ia melakukan langkah-langkah berikut:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى (Subhana Rabbiyal A'la) — (Dibaca tiga kali)
Atau doa khusus Sujud Tilawah yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ:
سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ، فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“Wajahku bersujud kepada Dzat yang menciptakannya, membentuk rupanya, membuka pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya. Maka Maha Suci Allah, sebaik-baik Pencipta.” (HR. Tirmidzi).
Jika Ayat Sajdah dibaca saat sedang shalat (baik shalat fardhu maupun sunnah), tata caranya lebih sederhana:
Terdapat perbedaan jumlah Ayat Sajdah di kalangan ulama. Jumhur (mayoritas) ulama, termasuk Imam Ahmad, Imam Syafi'i, dan Imam Abu Hanifah, serta pandangan Rasyidi (yang digunakan di banyak Mushaf standar) menetapkan jumlahnya adalah lima belas ayat. Sementara itu, Mazhab Maliki seringkali hanya mengakui sebelas Ayat Sajdah, tidak memasukkan empat ayat yang ada di akhir Al-Qur'an.
Memahami konteks dari setiap ayat sangat penting, karena setiap seruan sujud tersebut terikat pada makna keagungan Allah, penciptaan, dan keengganan makhluk durhaka.
Ayat Sajdah: Terletak di penghujung surah.
Konteks: Ayat ini menggambarkan keagungan para malaikat yang selalu bertasbih dan bersujud kepada Allah tanpa henti. Ketika seorang hamba membaca ayat ini, ia diingatkan untuk meniru ketaatan para malaikat dan menjauh dari sifat sombong iblis yang enggan bersujud.
Ayat Sajdah: Merupakan seruan sujud yang bersifat umum.
Konteks: Ayat ini menyatakan bahwa semua yang ada di langit dan di bumi, baik secara sukarela maupun terpaksa, bersujud kepada Allah, dan demikian pula bayangan mereka. Sujud ini adalah pengakuan bahwa semua makhluk tunduk pada hukum alam dan hukum syariat Allah, baik mereka menyadarinya atau tidak.
Ayat Sajdah: Menegaskan dominasi dan kekuasaan mutlak Allah.
Konteks: Allah menegaskan bahwa hanya kepada-Nyalah semua makhluk di langit dan di bumi bersujud. Ayat ini menolak segala bentuk penyembahan berhala dan mendorong tauhid murni. Sujud di sini menggarisbawahi keesaan rububiyah (ketuhanan) Allah.
Ayat Sajdah: Ayat yang memuji mereka yang mendapatkan ilmu dan beriman kepada Al-Qur'an.
Konteks: Disebutkan bagaimana para ulama yang telah dianugerahi ilmu terdahulu ketika mendengarkan Al-Qur'an, mereka jatuh tersungkur bersujud sambil menangis. Hal ini menunjukkan bahwa puncak dari ilmu adalah pengakuan diri sebagai hamba yang hina di hadapan Rabbul 'Alamin.
Ayat Sajdah: Menggambarkan kesalehan para Nabi dan Rasul.
Konteks: Ayat ini menyebutkan serangkaian Nabi dan Rasul dari keturunan Adam dan Nuh. Ketika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah Yang Maha Pengasih, mereka tersungkur sujud dan menangis. Sujud ini melambangkan kekaguman terhadap wahyu ilahi dan warisan ketakwaan para nabi.
Ayat Sajdah: Salah satu ayat yang paling jelas memerintahkan sujud.
Konteks: Ayat ini menyebutkan semua entitas alam – matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang, dan sebagian besar manusia – bersujud kepada Allah. Ini adalah ajakan untuk menyelaraskan diri dengan seluruh alam semesta dalam ketaatan kepada Sang Pencipta.
Ayat Sajdah: Ayat ini diperdebatkan dan hanya disepakati oleh Mazhab Syafi'i dan Hanbali.
Konteks: Ayat ini menutup surah Al-Hajj dengan seruan kepada orang beriman untuk rukuk, sujud, dan menyembah Tuhan mereka serta berbuat kebaikan agar beruntung. Karena perintah sujud muncul dua kali dalam satu surah, sujud kedua ini dikenal sebagai *Sajdah Syafi'i*.
Ayat Sajdah: Mengkritik kaum kafir yang menolak Rahman (Yang Maha Pengasih).
Konteks: Ketika diserukan kepada kaum musyrikin, "Sujudlah kalian kepada Ar-Rahman," mereka justru bertanya, "Siapakah Ar-Rahman itu?" Sujud di sini adalah penolakan terhadap keangkuhan dan pengakuan terhadap sifat-sifat kasih sayang Allah.
Ayat Sajdah: Bagian dari kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis.
Konteks: Ayat ini adalah ucapan burung Hud-hud yang melaporkan Balqis dan kaumnya menyembah matahari, padahal Allah adalah satu-satunya yang patut disembah dan Dia adalah Tuhan 'Arsy yang agung. Sujud ini adalah pengakuan terhadap ilmu dan kekuasaan Allah yang melampaui batas pemahaman manusia.
Ayat Sajdah: Ayat yang merupakan inti dan nama surah itu sendiri.
Konteks: Ayat ini memuji sifat orang-orang beriman sejati, yang jika dibacakan ayat-ayat Allah, mereka langsung bersujud, berzikir, dan tidak menyombongkan diri. Ayat ini sangat kuat menekankan pentingnya respons segera terhadap wahyu.
Ayat Sajdah: Terjadi dalam kisah Nabi Daud AS.
Konteks: Nabi Daud bersujud sebagai bentuk taubat dan penyesalan setelah ia menyadari kesalahannya dalam memutuskan perkara. Sujud ini dikategorikan sebagai *Sajdah Syukr* (sujud syukur) oleh sebagian ulama karena dilakukan sebagai bentuk taubat dan terima kasih atas pengampunan. Mazhab Hanafi dan Hanbali menganggapnya Sajdah Tilawah, sementara Syafi'i juga memasukkannya.
Ayat Sajdah: Menolak penyembahan benda langit.
Konteks: Ayat ini melarang manusia bersujud kepada matahari dan bulan, melainkan hanya kepada Allah yang menciptakannya. Ini adalah sujud pengesaan (tauhid) dan penolakan terhadap khurafat.
Ayat Sajdah: Ayat terakhir dari Surah An-Najm.
Konteks: Surah ini mengandung kisah Mi'raj dan penegasan kebenaran wahyu yang dibawa Rasulullah ﷺ. Ayat ini memerintahkan: "Maka sujudlah kalian kepada Allah dan sembahlah (Dia)." Sujud ini adalah yang pertama kali dilakukan oleh kaum Muslimin dan kaum Musyrikin secara bersamaan (karena kesaksian keagungan ayat) di masa awal Islam.
Ayat Sajdah: Ayat yang mencela mereka yang tidak bersujud.
Konteks: Setelah menjelaskan tentang hari Kiamat dan pembagian catatan amal, Allah bertanya mengapa orang-orang kafir tidak bersujud ketika Al-Qur'an dibacakan kepada mereka. Sujud di sini adalah wujud keimanan terhadap hari akhir.
Ayat Sajdah: Ayat terakhir dari surah ini.
Konteks: Surah ini berisi perintah shalat dan larangan tunduk pada ancaman orang kafir (Abu Jahal). Ayat ini menegaskan: "Sekali-kali janganlah kamu patuhi dia; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)." Sujud ini menjadi simbol penolakan terhadap tekanan duniawi dan mencari perlindungan Ilahi.
Gambar 2: Simbol Ayat Sajdah pada margin Al-Qur'an.
Fikih Sujud Tilawah tidak hanya mencakup tata cara dasar, tetapi juga membahas berbagai skenario khusus yang sering dihadapi oleh Muslim sehari-hari, seperti mendengarkan bacaan, membaca berulang kali, atau saat menjadi makmum.
Ada dua istilah dalam fikih terkait mendengar: *Sama’* (mendengar tanpa sengaja) dan *Istima’* (mendengarkan dengan sengaja).
Jika seseorang membaca Ayat Sajdah di masjid dan orang lain di rumah mendengarnya melalui pengeras suara, apakah pendengar wajib sujud?
Jumhur ulama kontemporer sepakat bahwa selama suara tersebut jelas dan niat bacaan ada, sujud tetap disunnahkan bagi pendengar. Ini berbeda dengan siaran langsung, di mana penonton televisi yang melihat orang bersujud tidak wajib ikut sujud karena terputusnya ‘majelis’ (tempat dan waktu) yang sama, kecuali jika mereka mendengarkan bacaan Al-Qur'an itu sendiri.
Bagaimana jika qari (pembaca) mengulang Ayat Sajdah yang sama berkali-kali dalam majelis yang sama?
Jika makmum mendengar imam membaca Ayat Sajdah, makmum wajib mengikuti sujud imam. Jika makmum tidak ikut sujud, shalatnya batal, karena wajib mengikuti semua gerakan imam yang termasuk rukun atau sunnah ab'adh. Jika imam tidak sujud, makmum tidak boleh sujud sendiri (kecuali jika ia berniat pisah dari imam, yang berpotensi membatalkan shalat berjamaah).
Sebaliknya, jika imam membaca Ayat Sajdah yang hukum sujudnya hanya Sunnah menurut madzhabnya (misalnya, Sajdah Shad), namun makmum berpendapat itu wajib, maka makmum tetap harus mengikuti imam untuk menjaga kesatuan shalat.
Sujud Tilawah bukan sekadar ritual mekanis, melainkan sebuah ibadah yang sarat makna spiritual dan mengandung keutamaan besar bagi pelakunya. Sujud ini berfungsi sebagai penguatan keimanan, pengakuan kehambaan, dan penjauh diri dari godaan syaitan.
Sujud adalah puncak dari kerendahan hati. Ketika seorang hamba bersujud karena Ayat Sajdah, ia menempatkan bagian tubuhnya yang paling mulia (wajah/kening) di tempat yang paling rendah (tanah). Ini adalah antitesis dari kesombongan yang menjangkiti Iblis, yang menolak perintah sujud kepada Adam.
Melalui sujud, kita menyatakan bahwa kita adalah hamba yang patuh, berbeda dengan orang-orang kafir yang dicela dalam Al-Qur'an karena enggan bersujud ketika wahyu Allah dibacakan.
Rasulullah ﷺ bersabda, "Saat yang paling dekat seorang hamba kepada Tuhannya adalah ketika ia sedang bersujud." (HR. Muslim). Sujud Tilawah memberikan kesempatan tambahan bagi hamba untuk meraih kedekatan spiritual ini, di luar shalat fardhu dan sunnah biasa.
Dalam hadits riwayat Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: "Jika anak Adam membaca Ayat Sajdah kemudian ia sujud, maka syaitan menjauh sambil menangis. Ia berkata, 'Celakalah aku! Anak Adam diperintah sujud, lalu ia sujud, maka baginya surga. Sedangkan aku diperintah sujud, lalu aku enggan, maka bagiku neraka.'" (HR. Muslim).
Setiap sujud tilawah yang dilakukan seorang Muslim adalah pukulan spiritual bagi Syaitan, karena Syaitan sangat menyesal atas keengganannya bersujud yang membuatnya terlaknat. Dengan bersujud, kita menegaskan bahwa kita berada di jalan ketaatan, bukan kesombongan Iblis.
Sujud tilawah, sebagai ibadah yang jarang dan terikat pada kondisi tertentu (bacaan Al-Qur'an), membawa pahala besar. Setiap sujud adalah cara Allah menghapus dosa kecil dan menaikkan derajat seorang hamba di sisi-Nya, sebagaimana disabdakan Nabi ﷺ mengenai sujud secara umum.
Ketika membaca Al-Qur'an, seorang Muslim tidak hanya sekadar melafazkan, tetapi juga berinteraksi dengan makna dan perintahnya. Ayat Sajdah adalah perintah aktif untuk merespons. Sujud Tilawah memastikan bahwa proses interaksi ini tidak hanya berhenti di lisan dan akal, tetapi melibatkan fisik dan spiritual, menciptakan pengalaman membaca Al-Qur'an yang holistik dan transformatif.
Untuk melengkapi pemahaman yang utuh mengenai Ayat Sajdah, perlu ditinjau lebih dalam mengenai perbedaan karakter sujud yang timbul dari perbedaan makna ayat itu sendiri, serta bagaimana pandangan madzhab memengaruhi kewajiban sujud.
Sebagian besar Ayat Sajdah (seperti An-Nahl, Fushshilat, dan Ar-Ra’d) muncul dalam konteks penegasan bahwa semua ciptaan Allah bersujud kepada-Nya. Sujud yang dilakukan oleh manusia di sini adalah upaya untuk menyelaraskan diri dengan ketaatan universal alam semesta. Ini adalah sujud pengesaan, di mana hamba mengakui ketiadaan daya di hadapan keperkasaan Allah.
Contohnya, dalam Surah Ar-Ra'd (13:15), frasa "dan bayangan mereka" bersujud, menunjukkan sujud yang bersifat paksaan (secara fitriyah), tunduk pada hukum alam. Sujud manusia adalah sujud pilihan, menempatkan kita di antara para malaikat dan benda-benda alam yang patuh, dan menjauhkan kita dari golongan yang menentang.
Dalam konteks Surah Al-Insyiqaq (84:21), celaan Allah sangat keras: "Dan apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud." Dalam tafsir, ini merujuk kepada orang-orang kafir yang hatinya tertutup. Namun, secara implisit, ayat ini juga menjadi peringatan bagi orang beriman agar tidak meniru sifat tersebut. Meninggalkan sujud tilawah secara rutin, meskipun hukumnya sunnah muakkadah, dapat menunjukkan adanya pengabaian terhadap seruan Kitabullah, dan ini termasuk hal yang dimakruhkan (dibenci) dalam Islam.
Jika seseorang membaca atau mendengar Ayat Sajdah namun tidak langsung bersujud, apakah ia boleh meng-qadha’ (mengganti) sujud tersebut di waktu yang lain?
Penting untuk membedakan dua jenis sujud di luar shalat ini:
Perbedaan ini menegaskan bahwa Sujud Tilawah memiliki kedudukan yang lebih formal dan terikat erat dengan kesucian dan rukun shalat, meskipun hanya berupa satu kali sujud.
Ayat Sajdah dan Sujud Tilawah yang mengikutinya merupakan bagian integral dari adab interaksi seorang Muslim dengan Al-Qur'an. Ini bukan hanya tentang memenuhi anjuran fikih, tetapi tentang membuka hati untuk merasakan getaran spiritual dari Firman Ilahi.
Dengan adanya lima belas seruan sujud yang tersebar di sepanjang Mushaf, umat Islam diingatkan berkali-kali tentang esensi penciptaan: ketaatan dan penghambaan total kepada Allah SWT. Sujud adalah bahasa universal kepatuhan yang dipahami oleh malaikat, tumbuhan, bintang, bahkan bayangan. Ketika kita membaca Ayat Sajdah, kita bergabung dalam paduan suara alam semesta yang memuji dan menyembah Yang Maha Pencipta.
Melaksanakan Sujud Tilawah, baik dalam shalat maupun di luar shalat, adalah kesempatan emas untuk meningkatkan takwa dan meraih kedekatan dengan Allah. Semoga setiap pembaca atau pendengar Ayat Sajdah senantiasa diberi taufik untuk segera merealisasikan seruan suci tersebut dalam bentuk sujud yang penuh keikhlasan dan kerendahan hati.