Tradisi Kuliner Sunda yang Mendalam dan Penuh Makna
Ayam bekakak adalah salah satu mahakarya kuliner tradisional dari tanah Pasundan, Jawa Barat. Lebih dari sekadar hidangan ayam panggang biasa, bekakak memiliki dimensi sejarah, filosofi, dan budaya yang melekat erat pada kehidupan masyarakat Sunda. Ia bukan makanan sehari-hari, melainkan hidangan utama yang wajib hadir dalam berbagai upacara sakral dan perayaan besar, mulai dari pernikahan (hajatan), khitanan, hingga ritual syukuran atau ruwatan desa. Kehadirannya melambangkan kemakmuran, doa restu, dan harapan akan keselamatan.
Secara harfiah, istilah "bekakak" merujuk pada cara penyajian ayam yang utuh, dibelah (dipotong kupu-kupu atau butterfly cut) lalu dipanggang atau dibakar hingga matang. Ayam ini dibumbui dengan rempah-rempah khas Nusantara yang kaya, didominasi oleh santan kental, kunyit, bawang merah, dan cabai, menciptakan cita rasa gurih, pedas, manis, dan sedikit asam yang kompleks. Proses pembuatannya yang memakan waktu dan melibatkan teknik memasak berulang—mulai dari diungkep, dilumuri bumbu, hingga dipanggang—menegaskan statusnya sebagai hidangan istimewa yang memerlukan perhatian dan penghormatan.
Filosofi utama di balik penyajian bekakak adalah representasi dari persembahan terbaik. Ayam yang dipilih haruslah ayam jantan atau betina yang sehat dan ukurannya memadai, sering kali merupakan ayam kampung yang memiliki tekstur daging lebih padat dan rasa yang lebih otentik. Cara ayam ini diposisikan saat disajikan—biasanya dalam posisi duduk atau merangkak seolah-olah siap menyambut tamu—juga mengandung simbol penerimaan dan kehormatan. Memahami ayam bekakak berarti memahami akar budaya Sunda yang menjunjung tinggi tradisi, kebersamaan, dan rasa syukur.
Gambar: Representasi Visual Ayam Bekakak yang Telah Dibakar Sempurna.
Sejarah ayam bekakak tidak tercatat dalam kronik resmi seperti layaknya perjanjian atau undang-undang, namun ia hidup dalam memori kolektif dan tradisi lisan masyarakat Sunda yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kemunculannya erat kaitannya dengan ritual agraris dan praktik spiritual zaman dahulu, di mana persembahan hewan ternak yang utuh kepada leluhur atau dewa menjadi bagian integral dari sistem kepercayaan. Dalam konteks Sunda, ayam bekakak berevolusi menjadi simbol
Yang paling khas dari hidangan ini adalah cara penyajiannya yang dibelah lalu dibentangkan seolah-olah ayam tersebut sedang 'merangkak' atau 'siap berdiri'. Posisi ini, yang dikenal sebagai “posisi bekakak” atau “ngampar”, memiliki makna filosofis yang sangat kaya.
Dalam tradisi pernikahan Sunda, bekakak seringkali menjadi bagian dari ritual rebutan atau saling suap antara pengantin pria dan wanita. Hal ini bukan sekadar permainan, melainkan sebuah pertanda siapa di antara pasangan tersebut yang kelak akan memegang kendali atau 'rejeki' dalam rumah tangga mereka. Meskipun kini lebih banyak dilihat sebagai hiburan, akar filosofinya tetap kuat, yaitu harapan akan rezeki yang berlimpah dan keberkahan yang dibagi rata.
Ayam bekakak juga memainkan peran sentral dalam upacara ruwatan (penolak bala) atau syukuran desa. Dalam konteks ini, penggunaan bumbu kuning yang melimpah dan santan kental seringkali dikaitkan dengan harapan akan ‘cahaya’ atau ‘sinar’ keberkahan yang melindungi. Kunyit yang memberikan warna kuning cemerlang bukan hanya pewarna, tetapi juga rempah yang dipercaya memiliki khasiat penolak energi negatif dalam kepercayaan tradisional. Oleh karena itu, persiapan bekakak untuk upacara ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian, seringkali melibatkan sesepuh atau juru masak khusus yang mengerti pakem tradisi.
Pemilihan bahan baku, terutama santan, juga memiliki arti mendalam. Santan (sari pati kelapa) melambangkan kemakmuran dan kekayaan alam, karena kelapa adalah pohon kehidupan di daerah tropis. Jumlah bumbu yang banyak dan meresap sempurna ke dalam daging melambangkan harapan agar rezeki dan keberkahan yang diterima juga meresap secara menyeluruh dalam kehidupan yang merayakan.
Untuk menghasilkan ayam bekakak yang otentik, pemahaman mendalam tentang setiap komponen bahan adalah kunci. Kualitas bahan baku akan sangat menentukan tekstur daging dan kedalaman rasa bumbu yang meresap. Proses ini membutuhkan ayam yang tepat, bumbu dasar yang kompleks, dan penggunaan santan yang strategis.
Ayam yang paling dianjurkan untuk bekakak adalah Ayam Kampung (ayam jantan atau betina tua yang sudah cukup umur). Ayam kampung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan ayam ras broiler, terutama dalam konteks masakan tradisional yang membutuhkan proses ungkep panjang:
Berat ideal ayam biasanya berkisar antara 1,5 hingga 2 kg. Ayam yang terlalu kecil akan rentan kering saat dibakar, sementara ayam yang terlalu besar akan sulit dibumbui secara merata.
Inti dari rasa ayam bekakak terletak pada bumbu ungkepnya, yang merupakan variasi dari bumbu kuning khas Sunda namun diperkaya dengan santan. Bumbu ini haruslah berlimpah (medok) agar bisa meresap sempurna.
Santan kelapa adalah komponen pembeda utama bekakak dari ayam bakar biasa. Ia digunakan dua kali: pertama saat proses ungkep, dan kedua sebagai bahan pelumur saat pembakaran (sering dicampur dengan sisa bumbu dan sedikit madu/gula merah).
Memasak ayam bekakak memerlukan kesabaran dan urutan langkah yang tepat. Seluruh proses dibagi menjadi tiga fase kritis: persiapan (pembelahan), pengungkepan (pemasakan awal), dan pembakaran (finishing).
Ayam bekakak harus disajikan dalam keadaan utuh, sehingga teknik membelah sangat penting. Prosesnya adalah sebagai berikut:
Pengungkepan adalah tahap paling krusial, di mana bumbu meresap hingga ke tulang. Lamanya proses ungkep untuk ayam kampung tua bisa mencapai 1,5 hingga 2 jam.
Pembakaran (atau pemanggangan) memberikan aroma smokey (asap) yang khas dan tekstur kulit yang renyah dan karamelisasi.
Perbandingan metode ungkep ini penting untuk menentukan tingkat kelembutan dan retensi rasa. Banyak varian modern menggunakan pressure cooker untuk mempersingkat waktu ungkep, namun ini seringkali mengorbankan kedalaman bumbu yang biasanya dicapai melalui proses menyusutkan santan secara perlahan.
| Metode | Waktu Ungkep | Kelebihan | Kekurangan |
|---|---|---|---|
| Tradisional (Panci biasa) | 90 - 120 menit | Rasa bumbu maksimal, tekstur ayam utuh. | Memakan waktu lama, perlu pengawasan. |
| Presto (Pressure Cooker) | 30 - 45 menit | Daging sangat lembut (tulang lepas). | Rentan hancur saat dibakar, bumbu kurang medok. |
| Sous Vide (Modern) | 6 - 8 jam (suhu rendah) | Kelembaban daging terjaga 100%. | Membutuhkan pembakaran eksternal yang cepat untuk rasa asap. |
Meskipun ayam bekakak adalah hidangan khas Sunda secara umum, terdapat perbedaan halus dalam resep dan penyajiannya di berbagai wilayah Jawa Barat. Perbedaan ini seringkali dipengaruhi oleh ketersediaan bahan lokal, seperti tingkat kepedasan dan jenis santan yang digunakan.
Cianjur, sebagai salah satu lumbung padi dan pusat budaya Sunda, memiliki versi bekakak yang sangat kaya rasa. Bekakak Cianjur dikenal karena penggunaan santan yang sangat kental dan dimasak hingga bumbu benar-benar mengeluarkan minyak (pecah minyak). Bumbunya sangat medok dan berwarna kuning oranye cerah, menunjukkan kadar kunyit dan cabai yang seimbang. Di Cianjur, bumbu areh sisa ungkep seringkali disajikan terpisah sebagai sambal pendamping, atau disebut
Di wilayah Priangan (termasuk Bandung dan sekitarnya), ayam bekakak cenderung memiliki rasa yang sedikit lebih manis karena pengaruh kecap manis, terutama saat proses pembakaran. Meskipun tetap menggunakan bumbu kuning, proporsi gula merah dan kecap manisnya lebih tinggi. Versi Bandung ini lebih mudah diterima oleh lidah umum, menjadikannya populer di restoran-restoran perkotaan. Uniknya, di Bandung, bekakak sering disajikan dengan lalapan segar dan sambal terasi khas Sunda, yang memberikan kontras kesegaran.
Cirebon, sebagai daerah perbatasan dan pesisir, memiliki sedikit pengaruh dari budaya Jawa Tengah. Bekakak Cirebon mungkin menggunakan sedikit lebih banyak asam jawa atau air asem, dan kadang-kadang menambahkan terasi (pasta udang) dalam jumlah kecil ke dalam bumbu halusnya untuk memberikan rasa umami yang lebih kuat. Meskipun tidak se-pedas masakan Jawa Timur, bekakak Cirebon memiliki kompleksitas rasa yang unik antara gurih, asam, dan sedikit aroma laut.
Dalam kuliner modern, bekakak telah mengalami adaptasi untuk kemudahan konsumsi. Beberapa restoran menyajikan "Bekakak Fillet" yang hanya menggunakan bagian paha atas atau dada, menghilangkan kesulitan menyajikan ayam utuh. Ada pula fusion bekakak yang menggunakan teknik smoking (pengasapan) untuk memberikan aroma asap yang lebih terkontrol dibandingkan arang tradisional, atau bahkan bekakak vegetarian menggunakan jamur atau tahu yang dibentuk utuh dan dibumbui dengan bumbu bekakak yang sama. Meskipun jauh dari tradisi, adaptasi ini membantu melestarikan rasa bumbu bekakak kepada generasi baru.
Terlepas dari variasi regionalnya, semua jenis ayam bekakak menjunjung tinggi prinsip yang sama: bumbu harus meresap sempurna, tekstur daging harus empuk, dan penyajiannya harus tetap merepresentasikan keutuhan, meskipun dalam versi yang lebih kecil atau telah dimodifikasi. Kehadiran santan kental dan kombinasi rempah bumi tetap menjadi penentu keautentikan rasa.
Membuat ayam bekakak yang otentik, di mana dagingnya lembut hingga lepas dari tulang namun tetap utuh saat dihidangkan, memerlukan perhatian pada detail kecil. Berikut adalah teknik-teknik yang sering digunakan oleh juru masak tradisional Sunda.
Masalah terbesar saat membakar ayam utuh adalah potensi daging menjadi kering, terutama bagian dada. Kunci untuk mencegah ini adalah:
Agar bumbu meresap hingga ke tulang, tidak cukup hanya mengungkep lama. Kita harus membantu proses peresapan:
Karena ayam bekakak harus disajikan utuh, kehati-hatian saat mengungkep sangat penting, terutama jika menggunakan ayam kampung yang sudah sangat empuk.
Dengan menguasai teknik-teknik ini, juru masak tidak hanya menghasilkan ayam yang lezat, tetapi juga mempertahankan estetika penyajian bekakak yang sakral—utuh, merata, dan tampak dihormati.
Indonesia kaya akan hidangan ayam bakar, namun ayam bekakak memiliki ciri khas yang membedakannya secara signifikan dari hidangan ayam bakar populer lainnya seperti Ayam Taliwang dari Lombok, Ayam Betutu dari Bali, atau Ayam Bakar Kalasan dari Jawa Tengah. Perbedaan utamanya terletak pada penggunaan santan sebagai media ungkep utama dan filosofi penyajian utuhnya.
Ayam Taliwang (Lombok) dikenal karena kepedasannya yang ekstrem dan penggunaan bumbu kental berbasis cabai merah besar dan cabai rawit. Taliwang menggunakan ayam yang lebih muda dan kecil (ayam kampung muda) dan proses marinasi serta pembakarannya relatif cepat. Sementara bekakak menggunakan bumbu kuning santan yang gurih dan manis-pedas yang lebih seimbang, Taliwang murni fokus pada rasa pedas dan aroma segar dari jeruk limau. Bekakak disajikan utuh sebagai persembahan, Taliwang sering disajikan terbelah dua atau per potong untuk konsumsi cepat.
Ayam Betutu (Bali) adalah hidangan yang proses pembuatannya sama-sama memakan waktu lama, namun tekniknya berbeda. Betutu menggunakan bumbu dasar Bali (Bumbu Genep) yang dimasukkan ke dalam rongga perut ayam, kemudian ayam dibungkus daun pisang atau pelepah pinang, dan dipanggang atau dikubur dalam sekam api. Betutu fokus pada aroma herbal dan rasa rempah yang sangat intens (termasuk kencur dan terasi yang kuat), sementara bekakak fokus pada gurih santan yang kental dan lapisan karamelisasi dari gula merah saat dibakar. Betutu lebih berair (moist) karena dikukus/dipanggang tertutup, sementara bekakak sengaja dibuat semi-kering (areh) saat ungkep.
Ayam Bakar Kalasan (Yogyakarta) adalah yang paling mirip secara tampilan, namun berbeda pada bumbu ungkepnya. Kalasan menggunakan air kelapa (bukan santan kental) dan dominan rasa manis dan gurih, dengan sedikit bumbu kuning. Ayam Kalasan terkenal karena teknik ungkepnya yang menggunakan air kelapa dan gula merah yang membuat dagingnya sangat lembut dan manis. Bekakak, di sisi lain, menggunakan santan kental yang lebih kaya lemak, menghasilkan tekstur akhir yang lebih berminyak dan "basah" bumbu.
Perbedaan mendasar ini menegaskan bahwa ayam bekakak tidak hanya unik dari segi rasa—yang didominasi oleh kekayaan santan dan ketumbar—tetapi juga dari aspek penyajiannya yang harus utuh dan terbentang, sebagai bentuk penghormatan dan ritual yang sudah mendarah daging dalam tradisi Sunda.
Di luar fungsinya sebagai hidangan yang lezat, ayam bekakak berfungsi sebagai pusat perhatian dalam setiap jamuan. Cara hidangan ini disantap juga memiliki nilai-nilai budaya yang mendalam. Bekakak umumnya disajikan utuh di tengah meja besar atau nampan (dikelilingi nasi tumpeng atau nasi uduk) dan disantap secara beramai-ramai.
Dalam acara adat, bekakak tidak dipotong-potong di dapur. Ia dibawa utuh dan pemotongan atau pembagiannya seringkali dilakukan oleh sesepuh atau kepala keluarga di hadapan semua tamu. Pembagian ini bukan hanya soal distribusi makanan, tetapi juga simbol pembagian rezeki, tanggung jawab, dan berkah. Bagian kepala, leher, atau paha seringkali diberikan kepada tamu kehormatan atau anggota keluarga yang paling dituakan.
Ritual pembagian ini mengajarkan tentang hierarki, rasa hormat, dan kebersamaan. Setiap orang yang mendapat bagian ayam, meskipun hanya sedikit, berarti telah menerima restu dari acara yang diselenggarakan. Ini adalah praktik yang menguatkan ikatan sosial dan kekeluargaan yang mulai pudar di era modern.
Pembuatan ayam bekakak juga memiliki dampak ekonomi yang positif di pedesaan Sunda. Karena permintaan akan ayam kampung yang spesifik (berusia cukup dan sehat) tinggi menjelang musim hajatan, ini mendukung peternak lokal kecil. Bumbu-bumbu yang digunakan—kunyit, jahe, lengkuas—semuanya berasal dari rempah-rempah yang ditanam secara lokal, memperkuat rantai pangan daerah. Oleh karena itu, melestarikan resep ayam bekakak sama dengan melestarikan ekonomi kerakyatan dan pertanian lokal.
Pada akhirnya, ayam bekakak bukan sekadar olahan ayam. Ia adalah narasi tentang tanah, waktu, penghormatan, dan kehangatan keluarga. Ketika kita menyantap sepotong ayam bekakak, kita tidak hanya menikmati gurihnya santan dan pedasnya cabai, tetapi juga menelan sejarah dan filosofi ratusan tahun budaya Sunda yang kaya makna dan kearifan lokal. Tradisi ini akan terus hidup, selama masyarakat Sunda terus memegang teguh ritual syukuran dan hajatan, dan selama rempah-rempah dari bumi Parahyangan terus tumbuh subur.
Keberhasilan bekakak diukur dari tiga aspek sensorik:
Proses panjang pengungkepan dan pembakaran adalah investasi waktu yang menghasilkan tekstur tiga dimensi tersebut: luar yang renyah dan karamel, lapisan tengah yang kental bumbu, dan inti daging yang sangat lembut. Inilah yang membuat bekakak selalu menjadi primadona di setiap meja perayaan Sunda.
Untuk benar-benar mengapresiasi ayam bekakak, kita harus membedah peran setiap bumbu. Bumbu bekakak bukan sekadar adonan rempah; ia adalah matriks kimiawi yang bekerja sama untuk mengubah tekstur dan rasa ayam kampung yang keras menjadi hidangan yang lembut dan aromatik.
Kunyit mengandung senyawa curcumin yang tidak hanya memberikan warna, tetapi juga bertindak sebagai anti-inflamasi alami. Dalam masakan, kunyit berinteraksi dengan lemak santan untuk menghasilkan pigmen warna kuning keemasan yang stabil, yang sangat tahan terhadap panas tinggi saat dibakar. Tanpa kunyit, bekakak tidak akan memiliki tampilan yang ‘berkilau’ dan otentik.
Ketumbar (Coriander), yang digunakan dalam jumlah besar, mengandung minyak esensial yang sangat volatil. Minyak ini, bersama dengan jintan, memberikan
Jahe mengandung protease ringan yang membantu memecah protein daging ayam, bertindak sebagai agen pelunak alami, meskipun tidak sekuat papain. Lengkuas, selain memberikan aroma segar yang khas, memiliki struktur serat yang ketika dihaluskan akan membantu bumbu 'menempel' pada permukaan ayam dan mencegah santan pecah terlalu cepat saat diungkep. Penggunaan lengkuas dalam jumlah yang tepat memastikan bumbu tidak lari ke mana-mana saat proses ungkep berjalan.
Proses pengungkepan bekakak yang sempurna akan menghasilkan dua produk utama: daging ayam yang lembut dan bumbu kental yang disebut
Jika proses ungkep dihentikan terlalu cepat (misalnya, hanya 45 menit), areh yang dihasilkan akan terlalu encer, dan daging ayam kampung tidak akan mencapai tingkat kelembutan yang memuaskan. Idealnya, ketika Anda mencubit daging paha ayam yang sudah diungkep, harus ada sedikit perlawanan (tidak hancur total seperti presto), tetapi mudah ditarik dari tulang.
Penting untuk menggunakan gula aren asli, bukan gula merah tebu. Gula aren memiliki kadar molase (sisa hasil penyaringan) yang lebih tinggi, yang kaya akan mineral dan memberikan rasa karamel yang lebih kompleks dan sedikit smoky. Ketika gula aren ini dioleskan saat pembakaran, ia bereaksi dengan panas api (proses
Dengan memahami interaksi kompleks ini, memasak ayam bekakak bukan lagi sekadar mengikuti resep, melainkan melaksanakan sebuah ritual kimiawi dan tradisi yang menghasilkan rasa yang tak tertandingi. Keahlian sejati juru masak bekakak terletak pada kemampuannya mengontrol panas dan waktu agar semua reaksi kimiawi ini terjadi secara optimal.
Ayam bekakak adalah perwujudan sempurna dari kekayaan kuliner Indonesia, khususnya warisan adiluhung dari budaya Sunda. Ia melampaui definisi sederhana dari makanan; ia adalah simbol status sosial, penanda perayaan, dan media transmisi nilai-nilai luhur seperti rasa syukur, kebersamaan, dan penghormatan. Proses pembuatannya yang panjang dan detail—mulai dari memilih ayam kampung terbaik, menghaluskan bumbu kuning yang kompleks, mengungkep dalam santan kental hingga berjam-jam, hingga proses pembakaran yang menghasilkan karamelisasi sempurna—semuanya berkontribusi pada narasi budaya yang melekat.
Keutuhan penyajiannya, dalam posisi terbentang (bekakak), selalu mengingatkan kita pada pentingnya persembahan terbaik dan keutuhan dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam pernikahan, syukuran, maupun upacara adat lainnya. Di tengah arus modernisasi kuliner, ayam bekakak tetap teguh berdiri sebagai ikon masakan Sunda yang tidak tergantikan, sebuah warisan yang harus terus dijaga keaslian resep dan filosofinya agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Menikmati ayam bekakak berarti ikut merayakan keindahan dan kedalaman budaya Nusantara.