Surah Al-Baqarah ayat 185 adalah intisari, titik puncak, dan pembeda utama dalam rangkaian hukum-hukum puasa yang dijelaskan dalam ayat-ayat sebelumnya (183 dan 184). Jika ayat 183 menetapkan kewajiban puasa untuk mencapai takwa, dan ayat 184 menjelaskan detail pengecualian dan fidyah, maka ayat 185 menegaskan urgensi waktu dan makna terdalam dari bulan yang dipilih ini. Ayat ini bukan sekadar penetapan waktu, melainkan sebuah deklarasi historis dan spiritual yang menghubungkan ibadah fisik (puasa) dengan manifestasi petunjuk ilahi (Al-Qur’an).
Artinya: "(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur."
Ayat ini dibuka dengan frasa شَهْرُ رَمَضَانَ (Syahru Ramadhan), yang secara eksplisit menyebut nama bulan suci ini, sebuah kehormatan yang tidak diberikan kepada bulan-bulan lain dalam Al-Qur’an terkait penetapan ibadah wajib. Penetapan Ramadhan sebagai bulan puasa memiliki korelasi langsung dengan peristiwa agung yang terjadi di dalamnya: turunnya Al-Qur’an. Ini menggeser fokus dari sekadar menahan diri (lapar dan dahaga) menuju pemahaman mendalam tentang hubungan antara ibadah puasa dan wahyu.
Ramadhan adalah waktu yang dipilih Allah sebagai momentum paling signifikan dalam sejarah spiritualitas manusia. Bukan karena keindahan alamnya, melainkan karena ia menjadi wadah bagi turunnya petunjuk universal. Para mufasir menjelaskan bahwa penetapan ini menunjukkan superioritas waktu atas dasar peristiwa spiritual yang terjadi di dalamnya. Puasa di Ramadhan adalah peringatan abadi akan permulaan wahyu yang mengubah wajah dunia, dari kegelapan menuju cahaya, dari kebodohan (jahiliyah) menuju ilmu (ma’rifah).
Frasa ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ menimbulkan dua penafsiran utama terkait mekanisme turunnya wahyu:
1. Nuzul Ibtidā’ī (Permulaan): Ini merujuk pada turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad ﷺ di Gua Hira, yang terjadi pada malam Lailatul Qadar, yang termasuk dalam bulan Ramadhan. Ini adalah awal dari proses kenabian dan pengiriman risalah secara bertahap (munajjaman).
2. Nuzul Jumlahtan Wāhidatan (Keseluruhan): Berdasarkan riwayat yang masyhur, Al-Qur’an diturunkan secara utuh dari *Lauhul Mahfuzh* (Arasy) ke *Baitul Izzah* (Langit Dunia) pada Lailatul Qadar di bulan Ramadhan. Dari Baitul Izzah, barulah Al-Qur’an diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad ﷺ selama 23 tahun. Dengan demikian, Ramadhan adalah bulan di mana kitab suci itu mulai mengambil tempatnya di dimensi eksistensi yang lebih rendah, menjadikannya siap diakses oleh manusia.
Hubungan antara puasa dan Al-Qur’an adalah simbiotik. Puasa membersihkan hati dan jiwa, menjadikannya reseptif terhadap cahaya dan petunjuk Al-Qur’an. Tanpa pembersihan spiritual yang ditawarkan Ramadhan, pemahaman yang mendalam terhadap wahyu akan sulit tercapai.
Ayat 185 tidak hanya menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan, tetapi juga menjelaskan tiga peran vitalnya, yang merupakan inti dari risalah Ilahi: sebagai Petunjuk (Hudan), sebagai Penjelasan (Bayyināt), dan sebagai Pembeda (Al-Furqān). Ketiga fungsi ini menjamin bahwa Al-Qur’an adalah panduan yang lengkap dan komprehensif untuk setiap zaman dan tempat.
Istilah هُدًى لِّلنَّاسِ adalah pernyataan universalitas Al-Qur’an. Petunjuk ini tidak terbatas pada komunitas Muslim atau bangsa tertentu, melainkan ditujukan kepada seluruh umat manusia tanpa memandang ras, bahasa, atau status sosial. Petunjuk ini bersifat menyeluruh, mencakup setiap aspek kehidupan, mulai dari hubungan vertikal (dengan Allah) hingga hubungan horizontal (dengan sesama makhluk).
Hidayah dalam konteks ini adalah arahan yang membimbing manusia menuju kebenaran absolut, kebahagiaan sejati, dan keselamatan abadi. Hidayah yang dibawa Al-Qur’an meliputi:
Puasa berfungsi sebagai pelatihan intensif untuk menginternalisasi hidayah. Ketika seseorang menahan diri dari kebutuhan dasar (makan, minum), fokus spiritualnya meningkat, dan ia menjadi lebih peka terhadap ayat-ayat Allah. Ramadhan, oleh karena itu, adalah bulan di mana manusia diharapkan melakukan refreshing total terhadap orientasi hidupnya, menyelaraskan kembali tujuan pribadinya dengan tujuan Ilahi yang ditetapkan dalam Al-Qur’an. Tanpa komitmen terhadap pembacaan, perenungan, dan pengamalan Al-Qur’an, puasa Ramadhan hanya akan menjadi rutinitas fisik tanpa substansi spiritual yang transformatif.
Ayat ini melanjutkan dengan وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ, yang berarti Al-Qur’an tidak hanya memberikan petunjuk garis besar, tetapi juga menyajikan penjelasan yang jelas (bayyināt) dan bukti-bukti nyata (mukjizat) yang membenarkan petunjuk itu sendiri. Ini memastikan bahwa petunjuk Al-Qur’an bukanlah doktrin yang kabur, tetapi sistem yang didukung oleh logika, bukti historis, dan keajaiban alam.
Bayyināt berarti Al-Qur’an menjelaskan hukum-hukum dengan detail yang memadai. Dalam konteks puasa, ayat-ayat sebelumnya telah memberikan kejelasan tentang siapa yang wajib puasa, kapan harus berpuasa, dan pengecualiannya. Penjelasan ini menghilangkan kebingungan dan memastikan bahwa implementasi petunjuk dapat dilakukan secara praktis oleh manusia dalam berbagai kondisi kehidupan mereka.
Kata *Bayyināt* juga merujuk pada aspek kemukjizatan Al-Qur’an (I’jaz). Kejelasan Al-Qur’an bukan hanya dalam tata bahasanya yang sempurna, tetapi juga dalam kebenaran yang dikandungnya, baik itu terkait prediksi masa depan, sains, atau konsistensi internalnya selama 23 tahun penurunan wahyu. Bukti-bukti ini menegaskan bahwa sumber petunjuk ini adalah Ilahi, bukan berasal dari pikiran manusia.
Fungsi ketiga, وَٱلْفُرْقَانِ, adalah puncak dari proses hidayah. *Al-Furqān* secara harfiah berarti pembeda atau kriteria. Al-Qur’an adalah alat yang dengannya seseorang dapat membedakan antara kebenaran (al-haq) dan kebatilan (al-batil), antara yang baik dan yang buruk, antara jalan keselamatan dan jalan kesesatan.
Dalam kehidupan modern yang kompleks, manusia sering dihadapkan pada kaburnya batas antara hak dan batil. Di sinilah peran Al-Qur’an sebagai Al-Furqan menjadi sangat krusial. Ia menyediakan standar etika dan moral yang tidak berubah, sebuah kompas yang stabil di tengah gejolak perubahan sosial dan filosofis. Tanpa Furqan, manusia cenderung membuat kebenaran berdasarkan kepentingan pribadi atau tren sesaat.
Puasa, dengan disiplin dan pengendalian dirinya, melatih jiwa untuk mengembangkan kemampuan Furqan. Ketika hawa nafsu dikendalikan, akal dan hati menjadi lebih jernih, memungkinkan individu untuk membuat keputusan yang lebih etis dan berlandaskan wahyu. Ramadhan adalah laboratorium di mana Muslim mengasah kriteria pembeda ini, sehingga ketika mereka kembali ke sebelas bulan lainnya, mereka membawa kejernihan pandangan yang diperoleh dari pelatihan spiritual ini.
Integrasi dari tiga fungsi ini—Hidayah (arah umum), Bayyināt (penjelasan rinci), dan Furqan (kriteria pembeda)—menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya panduan yang menjamin manusia tidak tersesat di dunia maupun di akhirat. Petunjuk ini, yang diturunkan di bulan Ramadhan, mewajibkan respons fisik berupa puasa.
Setelah menjelaskan keutamaan Ramadhan dan peran Al-Qur’an, ayat 185 beralih kepada penetapan hukum (tasyri') yang eksplisit:
Artinya: "Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu..."
Frasa فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ (barangsiapa yang menyaksikan bulan) memiliki makna ganda:
1. Melihat Hilal (Awal Bulan): Ini adalah makna leksikal yang mengaitkan ibadah puasa dengan penampakan bulan baru Ramadhan, menandai dimulainya kewajiban. Ini menekankan pentingnya penetapan waktu yang berdasarkan kalender qamariah.
2. Hadir di Tempat Tinggal: Ini adalah makna fikih yang merujuk pada seseorang yang berada dalam keadaan mukim (tidak bepergian) dan sehat (tidak sakit) saat bulan Ramadhan tiba. Orang yang mukim dan sehat wajib melaksanakan puasa pada saat itu juga (adan), tidak boleh menundanya.
Perintah فَلْيَصُمْهُ (maka hendaklah ia berpuasa) menggunakan bentuk perintah (fi'l amr) yang tegas, mengukuhkan status puasa Ramadhan sebagai kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar bagi mereka yang memenuhi syarat.
Ayat ini kemudian menegaskan kembali pengecualian yang telah disebutkan secara umum dalam ayat 184: sakit atau dalam perjalanan (safar). Bagi mereka yang termasuk dalam kategori ini, mereka diizinkan untuk berbuka, namun mereka memiliki kewajiban untuk menggantinya فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ (sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain).
Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang dapat diperburuk oleh puasa, atau yang penyembuhannya akan tertunda, atau sakit yang menyebabkan kesulitan yang tidak tertahankan. Ini menunjukkan betapa Islam menempatkan kesejahteraan dan kesehatan fisik sebagai prioritas yang sejalan dengan ibadah.
Para ulama menetapkan batasan jarak tertentu untuk safar yang membolehkan berbuka (umumnya jarak yang memungkinkan shalat qasar). Namun, hikmah di baliknya adalah menghilangkan kesulitan yang muncul selama perjalanan, termasuk kelelahan fisik dan kesulitan dalam mempertahankan rutinitas ibadah lainnya.
Kewajiban mengqadha’ (mengganti) menegaskan bahwa meskipun keringanan diberikan, kewajiban total hari puasa Ramadhan tetap harus dipenuhi. Ini menjaga kesetaraan spiritual; orang yang sakit atau bepergian tidak kehilangan pahala total ibadah, mereka hanya menunda pelaksanaannya. Mereka mengganti hari per hari (min ayyāmin ukhar), memastikan bahwa hitungan bilangan ibadah (jumlah hari) tetap sempurna.
Bagian terindah dan paling menenangkan dari ayat 185 adalah penegasan hikmah di balik seluruh rangkaian hukum puasa, yang tercantum dalam kalimat:
Artinya: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu."
Pernyataan ini adalah sebuah kaidah agung dalam syariat Islam (القاعدة التيسيرية). Allah menetapkan hukum bukan untuk menyulitkan, menyiksa, atau membebani manusia di luar batas kemampuannya. Keringanan (rukhsah) yang diberikan kepada orang sakit dan musafir adalah bukti konkret dari kehendak Allah untuk memberikan kemudahan (yusr).
Ayat ini berfungsi sebagai penyeimbang bagi semangat beribadah yang berlebihan. Meskipun puasa adalah ibadah wajib, pelaksanaan yang merusak kesehatan atau menimbulkan kesulitan luar biasa yang dapat dihindari adalah bertentangan dengan tujuan syariat itu sendiri. Kemudahan ini memastikan bahwa ibadah dapat dipertahankan secara berkelanjutan oleh seluruh umat, dalam setiap kondisi dan situasi kehidupan.
Prinsip *Yusr* (kemudahan) ini melahirkan banyak kaidah fikih, termasuk kaidah: "Kesulitan itu menarik kemudahan" (*al-masyaqqah tajlibu at-taysīr*). Dalam konteks Ramadhan, jika seseorang merasa puasa akan membahayakan nyawanya (misalnya, sakit kronis atau hamil/menyusui yang dikhawatirkan membahayakan bayi), syariat memberikan jalan keluar, baik melalui qadha atau fidyah. Ini menunjukkan bahwa syariat Allah dibangun di atas landasan rahmat dan kepedulian terhadap hamba-Nya.
Kehendak Allah akan kemudahan ini adalah elemen kunci yang membedakan syariat Islam. Ini membongkar anggapan bahwa ibadah harus selalu identik dengan penderitaan fisik yang ekstrem. Sebaliknya, puasa adalah ujian pengendalian diri yang terukur dan realistis.
Bagian penutup ayat 185 memberikan tiga tujuan akhir dari seluruh proses puasa dan keringanan:
Artinya: "Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur."
Tujuan pertama adalah memastikan penyelesaian jumlah hari puasa (وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ), baik dengan puasa adan selama Ramadhan atau dengan qadha setelahnya. Ini menekankan pentingnya ketepatan dan tanggung jawab dalam memenuhi kewajiban yang ditetapkan Allah. Penyempurnaan bilangan ini melambangkan kesempurnaan kepatuhan seorang hamba terhadap perintah Ilahi, menjaga integritas ibadah.
Tujuan kedua adalah mengagungkan Allah (وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ). Ini adalah ekspresi takbir (Allahu Akbar) yang sering diucapkan pada malam Idul Fitri hingga pelaksanaannya. Mengagungkan Allah bukan hanya ritual lisan, tetapi pengakuan dalam hati bahwa hanya Allah yang Maha Besar, dan petunjuk yang diberikan-Nya (Al-Qur'an dan syariat puasa) adalah karunia yang sangat besar.
Pengagungan ini dilakukan عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ, yakni karena Allah telah memberikan hidayah. Ini kembali menghubungkan puasa (ibadah fisik) dengan Al-Qur’an (hidayah intelektual/spiritual). Puasa adalah ungkapan rasa syukur atas petunjuk yang telah membebaskan manusia dari kegelapan dan kebingungan. Ibadah puasa mengajarkan bahwa keagungan sejati terletak pada kepatuhan terhadap wahyu Ilahi.
Tujuan pamungkas dari seluruh rangkaian syariat puasa adalah mencapai syukur. Bersyukur adalah menyadari dan menggunakan setiap nikmat yang diberikan Allah sesuai dengan kehendak pemberi nikmat. Dalam konteks ayat ini, nikmat terbesar adalah Al-Qur’an dan syariat yang mudah (yusr).
Puasa melatih manusia untuk menghargai nikmat yang sering terabaikan: makanan, minuman, dan kesehatan. Dengan merasakan sedikit lapar dan dahaga, rasa syukur terhadap rezeki yang rutin akan meningkat. Syukur ini harus diwujudkan bukan hanya di bulan Ramadhan, tetapi diterjemahkan menjadi perilaku yang konsisten dengan petunjuk Al-Qur’an sepanjang tahun.
Karena ayat 185 secara tegas menyebut Al-Qur’an sebagai Al-Furqan, penting untuk mengulas bagaimana kriteria pembeda ini relevan dan beroperasi dalam kompleksitas masyarakat modern. Al-Furqan adalah senjata intelektual dan spiritual yang melindungi umat dari relativisme moral dan kebingungan nilai.
Al-Furqan membedakan antara hawa nafsu dan akal sehat yang dibimbing wahyu. Dalam kehidupan pribadi, ini berarti mampu membedakan:
Puasa, yang mengajarkan pengekangan diri dari yang halal (makan dan minum di siang hari), secara tidak langsung melatih jiwa untuk lebih mudah menahan diri dari yang haram di luar Ramadhan. Pengendalian perut dan syahwat adalah langkah awal untuk menguasai pemikiran dan tindakan, yang pada akhirnya mempertajam Al-Furqan pribadi.
Secara sosial, Al-Qur’an berfungsi sebagai pembeda antara keadilan dan tirani. Syariat yang diturunkan oleh Al-Qur’an menyediakan prinsip-prinsip universal yang dapat digunakan untuk menilai sistem sosial, ekonomi, dan politik.
Misalnya, Furqan memungkinkan umat untuk membedakan antara:
Jika Ramadhan berhasil menanamkan ketaqwaan (sebagaimana tujuan ayat 183), maka hasil dari ketaqwaan itu haruslah berupa keberanian moral untuk menerapkan Furqan dalam kehidupan bermasyarakat, menegakkan yang hak, dan menolak yang batil, bahkan ketika itu sulit dilakukan.
Di era informasi, Al-Furqan sangat diperlukan untuk membedakan antara ilmu yang bermanfaat dan spekulasi yang menyesatkan. Al-Qur’an mengajarkan prinsip dasar epistemologi: bahwa sumber pengetahuan tertinggi berasal dari Allah. Dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai titik referensi, umat dapat menyaring banjir informasi dan ideologi yang bertentangan dengan fitrah manusia dan tauhid.
Kemampuan membedakan ini bukan sekadar dogma, melainkan hasil dari pengkajian mendalam terhadap wahyu. Inilah mengapa bulan Ramadhan didedikasikan untuk peningkatan interaksi dengan Al-Qur’an—agar Al-Furqan menjadi bagian integral dari cara berpikir seorang Muslim.
Klausa يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ (Allah menghendaki kemudahan bagimu) adalah kunci untuk memahami filsafat hukum Islam. Ini adalah sebuah afirmasi terhadap kemanusiaan dan kapasitas terbatas hamba. Ayat ini memastikan bahwa syariat tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi rantai yang mengekang, melainkan tali panduan yang menyelamatkan.
Prinsip kemudahan ini meluas melampaui sekadar puasa orang sakit atau musafir. Ini mencakup seluruh aspek ibadah:
Semua rukhshah (keringanan) ini berakar pada prinsip yang ditegaskan di ayat 185. Ini mengajarkan bahwa Allah memahami kesulitan yang dialami manusia dan telah menyediakan mekanisme untuk menjaga keseimbangan antara kewajiban ilahi dan kemampuan fisik serta psikologis manusia.
Ayat 185 adalah peringatan tegas terhadap *ghuluw* (ekstremisme atau berlebihan) dalam agama. Jika Allah telah menghendaki kemudahan (yusr), maka menimpakan kesukaran ('usr) atas diri sendiri, padahal ada rukhshah, adalah tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Misalnya, seorang musafir yang dengan sengaja tetap berpuasa meskipun puasa akan melemahkannya dan mengganggu perjalanannya, padahal ia diizinkan berbuka dan mengqadha, ia telah menolak kemudahan yang diberikan Allah.
Keseimbangan ini mengajarkan hikmah: ibadah yang paling dicintai Allah adalah yang berkelanjutan, yang dapat dilakukan dengan penuh keikhlasan tanpa merusak diri. Ramadhan mengajarkan disiplin, tetapi disiplin itu harus didasarkan pada kasih sayang dan rahmat Allah.
Ramadhan adalah bulan di mana Al-Qur’an turun sebagai pembebasan bagi jiwa. Puasa, sebagai respons terhadap wahyu, adalah mekanisme pembebasan diri dari tirani kebutuhan fisik yang mendesak.
Manusia modern sering kali didikte oleh kebutuhan konsumsi dan kenikmatan instan. Puasa menantang dominasi ini. Dengan menahan makan, minum, dan hubungan suami istri di siang hari, puasa menegaskan bahwa manusia bukanlah budak dari perut atau syahwatnya. Ada kehendak yang lebih tinggi, yang dikendalikan oleh akal dan hati, yang mampu menahan kenikmatan yang halal sekalipun demi tujuan spiritual yang lebih besar.
Kemenangan atas hawa nafsu ini adalah prasyarat untuk dapat menerima dan mengamalkan Al-Qur’an sebagai Hudan dan Furqan. Bagaimana seseorang bisa membedakan kebenaran (Furqan) jika ia bahkan tidak mampu mengendalikan dorongan biologisnya sendiri?
Puasa memberikan perspektif baru tentang penderitaan orang lain. Lapar sesaat yang dialami orang kaya di Ramadhan menumbuhkan empati terhadap lapar permanen yang dirasakan orang miskin. Hubungan ini kemudian diperkuat melalui kewajiban zakat fitrah, yang memastikan bahwa akhir dari bulan puasa diiringi dengan tindakan nyata untuk membantu mereka yang membutuhkan. Rasa syukur (لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ) yang dicari pada akhir ayat 185, tidak hanya bersifat personal tetapi juga harus terwujud dalam solidaritas sosial.
Ramadhan mengajarkan bahwa nikmat Al-Qur’an dan nikmat rezeki adalah satu paket. Bersyukur atas petunjuk Allah (Hudan) harus diiringi dengan praktik keadilan sosial yang diajarkan dalam petunjuk itu sendiri.
Perintah untuk mengagungkan Allah (وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ) pada penutupan ibadah Ramadhan adalah momen yang sangat sarat makna. Ia menandai transisi dari bulan ketaqwaan yang intensif menuju fase implementasi hasil pelatihan.
Mengagungkan Allah pada Idul Fitri adalah pengakuan terbuka bahwa keberhasilan dalam puasa bukan karena kekuatan individu, melainkan karena taufiq dan hidayah Allah. Takbir menjadi proklamasi bahwa setelah sebulan penuh menahan diri dan merenungi wahyu, umat telah mendapatkan kejelasan (Furqan) dan sekarang kembali kepada fitrah yang suci, merayakan kemenangan spiritual.
Takbir adalah ucapan yang menghilangkan kesombongan dan keangkuhan. Ini mengingatkan Muslim bahwa sehebat apapun pencapaian spiritual mereka selama Ramadhan, keagungan sejati hanyalah milik Allah. Takbir adalah puncak dari rasa syukur atas petunjuk yang telah memungkinkan mereka menyelesaikan kewajiban puasa (menukmilul iddah) dan mencapai derajat takwa.
Ayat 185 menetapkan standar kehidupan Muslim. Keberadaan Al-Qur’an sebagai Furqan adalah permanen, tidak hanya musiman. Oleh karena itu, tujuan Ramadhan adalah mentransformasi disiplin temporer menjadi gaya hidup permanen. Sikap syukur, pengendalian diri, dan penggunaan Al-Furqan harus dibawa keluar dari bulan Ramadhan ke dalam sebelas bulan berikutnya. Jika interaksi dengan Al-Qur’an berhenti setelah Ramadhan, maka tujuan mendalam dari ayat 185—yaitu untuk mendapatkan Hudan dan Furqan yang berkelanjutan—akan gagal dicapai.
Ramadhan adalah sekolah, dan Al-Qur’an adalah kurikulumnya. Lulusan sekolah ini adalah mereka yang mampu menggunakan Furqan di setiap persimpangan hidup, membedakan yang hak dari yang batil, dan menjalani hidup di bawah naungan kemudahan (yusr) yang dihendaki Allah.
***
Penyebutan Al-Qur’an sebagai *Hudan lin-Nās* dalam ayat 185 memiliki implikasi yang sangat luas terhadap cara seorang individu Muslim membangun kerangka spiritualnya. Hidayah bukanlah sebuah titik, melainkan sebuah proses yang berkelanjutan. Ramadhan adalah katalisator yang mempercepat proses rekonstruksi batin ini, di mana Al-Qur’an menjadi cetak biru utama.
Al-Qur’an sering digambarkan sebagai cahaya (*nūr*). Dalam kegelapan, cahaya tidak hanya menunjukkan jalan, tetapi juga menyingkap apa yang ada di sekitarnya. Puasa membantu menyingkirkan "debu" hati yang menghalangi masuknya cahaya Al-Qur’an. Lapar dan haus membersihkan fokus, memungkinkan mata hati melihat ayat-ayat Allah—baik yang tertulis (ayat Qur’aniyyah) maupun yang terhampar di alam semesta (ayat kawniyyah)—dengan kejernihan yang baru.
Tanpa cahaya Hidayah ini, manusia berjalan dalam keraguan (syakk). Ramadhan adalah bulan di mana Allah secara intensif menawarkan Hidayah-Nya melalui interaksi yang diperdalam dengan wahyu. Jika seseorang gagal memanfaatkan Ramadhan untuk memperbaiki hubungannya dengan Al-Qur’an, ia seolah menolak cahaya di saat kegelapan paling pekat.
Hidayah Al-Qur’an berpusat pada Tauhid (keesaan Allah). Puasa adalah praktik Tauhid murni. Ketika seseorang menahan diri, ia melakukannya karena satu perintah saja: perintah dari Allah. Tidak ada pengawasan manusia; ia hanya disaksikan oleh Allah. Tindakan menahan diri yang dilakukan secara rahasia ini, yang dilakukan dari fajar hingga senja, adalah penegasan tertinggi dari *Ikhlas* (ketulusan) dan *Raqabah* (kesadaran bahwa Allah mengawasi).
Kesadaran Tauhid yang diperkuat inilah yang menjadi landasan bagi Furqan. Seseorang dapat membedakan yang hak dan yang batil karena ia telah membedakan yang patut disembah (Allah) dari segala yang palsu atau fana.
Jika kewajiban *falyaṣumh* (hendaklah ia berpuasa) berakhir setelah 29 atau 30 hari, maka kewajiban untuk hidup di bawah naungan *Hudan* dan *Furqan* tidak pernah berakhir. Kemenangan sejati Ramadhan adalah ketika kebiasaan baik—seperti tilawah harian, qiyamul lail, dan kontrol lisan—dilanjutkan di bulan-bulan lainnya.
Para ulama menasihatkan bahwa salah satu tanda diterimanya Ramadhan adalah adanya perubahan permanen dan peningkatan ketaatan setelahnya. Jika Ramadhan hanya menjadi jeda tahunan dari kemaksiatan tanpa membawa perubahan struktural pada penggunaan Furqan, maka puasa tersebut hanya mencapai aspek *al-'iddah* (hitungan hari) tanpa menyentuh aspek *al-hidayah* (petunjuk abadi).
Prinsip kemudahan (Yusr) yang ditekankan dalam ayat 185 adalah salah satu fitur paling revolusioner dari syariat Islam, terutama dalam kaitannya dengan kesehatan mental dan spiritual umat. Ini adalah antidot terhadap keputusasaan dan rasa bersalah yang tidak perlu.
Dalam syariat sebelum Islam, beban keagamaan sering kali berat dan tidak fleksibel. Ayat ini membatalkan tradisi keagamaan yang kaku. Syariat Islam datang untuk mengangkat belenggu dan beban yang memberatkan, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-A'raf ayat 157. Dalam konteks Ramadhan, ini berarti Allah tidak ingin puasa menjadi hukuman atau penyiksaan, tetapi alat pembersihan yang dapat diakses oleh semua, terlepas dari kondisi fisik mereka.
Allah tidak menghendaki kesulitan (wa lā yurīdu bikumul-'usr). Kesulitan di sini bukan merujuk pada rasa lapar dan haus biasa yang memang bagian dari esensi puasa, tetapi kesulitan ekstrem yang melampaui kemampuan manusia normal (*al-masyaqqah al-hārījah*). Kesulitan ini bisa berupa risiko kematian, komplikasi penyakit, atau bahaya bagi jiwa (misalnya, bagi wanita hamil atau menyusui).
Prinsip Yusr ini memastikan bahwa syariat selalu rasional dan manusiawi. Fiqih Islam, yang tumbuh dari ayat ini, memiliki mekanisme yang sangat canggih untuk mengatasi keadaan darurat, kebutuhan khusus, dan situasi yang memaksa. Ini menjadikan Islam agama yang relevan dan praktis bagi setiap generasi dan peradaban.
Kemudahan ini juga memiliki dimensi psikologis. Mengetahui bahwa Allah memberikan rukhshah menghilangkan stres dan kecemasan yang mungkin dirasakan oleh individu yang sakit atau lemah. Ini adalah bentuk rahmat yang menumbuhkan ketenangan (*sakinah*). Ketika seorang Muslim tahu bahwa ia tidak akan dihukum karena memanfaatkan keringanan yang diberikan oleh Allah, ia dapat melaksanakan kewajiban lainnya dengan hati yang damai dan pikiran yang jernih, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas ibadahnya secara keseluruhan.
Penutup ayat 185, وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (agar kamu bersyukur), bukanlah sekadar kata penutup yang indah, melainkan perintah untuk menghubungkan ibadah dengan kesadaran akan nikmat Ilahi. Syukur di sini terkait erat dengan hidayah yang telah diberikan.
Manusia cenderung menganggap hukum sebagai beban. Namun, Al-Qur’an mengajarkan bahwa hukum (syariat) itu sendiri adalah nikmat yang patut disyukuri. Mengapa? Karena syariat, melalui puasa, mengarahkan manusia kepada tujuan tertinggi (takwa) dan memastikan kebahagiaan abadi. Tanpa hukum yang jelas, manusia akan tersesat dalam hukum rimba atau kekacauan moral. Syukur atas syariat adalah pengakuan bahwa kepatuhan membawa kebaikan.
Dalam banyak ayat Al-Qur’an, tujuan akhir dari perintah seringkali adalah *Tasyakur* (bersyukur). Syukur ini adalah pengakuan yang mendalam dan aktif. Ini bukan hanya ucapan lisan (al-hamdulillah), tetapi juga implementasi amal (syukur bi al-arkān).
Dalam konteks Ramadhan:
Dengan demikian, Al-Baqarah 185 menyimpulkan bahwa puasa adalah mekanisme yang dirancang secara sempurna oleh Allah untuk menghasilkan manusia yang utuh: memiliki kejelasan moral (Furqan), bimbingan spiritual (Hudan), disiplin diri, dan hati yang selalu berterima kasih kepada Pencipta.
Surah Al-Baqarah ayat 185 berdiri sebagai piagam spiritual bagi umat Islam. Ia merangkum seluruh esensi ibadah puasa dan tujuannya yang lebih besar. Ayat ini mengajarkan bahwa Ramadhan bukanlah sekadar bulan pengekangan diri, melainkan musim perayaan wahyu yang paling agung.
Hubungan antara Ramadhan dan Al-Qur’an bersifat tak terpisahkan. Puasa membersihkan wadah, dan Al-Qur’an mengisi wadah itu dengan cahaya petunjuk. Tanpa puasa, hati mungkin terlalu keruh untuk menerima wahyu; tanpa wahyu, puasa hanya menjadi penahanan fisik yang sia-sia.
Ayat ini memberikan harapan melalui prinsip Yusr, menuntut tanggung jawab melalui kewajiban al-'iddah, dan menyempurnakan ibadah dengan kesadaran dan Tasyakur. Dengan merenungkan kedalaman ayat 185, seorang Muslim diarahkan untuk melihat puasa bukan sebagai hukuman, tetapi sebagai karunia yang mengangkat derajatnya dan memberinya kemampuan untuk membedakan kebenaran di dunia yang semakin bising dan penuh keraguan.
Keseimbangan antara tuntutan fisik yang ketat dan prinsip kemudahan yang lembut, antara kewajiban yang spesifik dan tujuan spiritual yang universal, adalah bukti keagungan syariat. Puasa Ramadhan adalah pelatihan tahunan untuk menyempurnakan Al-Furqan dalam diri, memastikan bahwa petunjuk yang diturunkan di bulan suci ini akan membimbing setiap langkah kehidupan, sehingga di akhir perjalanan, hamba dapat kembali kepada-Nya dalam keadaan bersyukur dan mendapatkan keselamatan abadi.