Mukadimah Surah Al-Qasas dan Kisah Qarun
Surah Al-Qasas (Kisah-kisah) adalah surah Makkiyah yang kaya akan narasi sejarah kenabian dan pelajaran moral, khususnya melalui kisah Nabi Musa AS. Namun, menjelang akhir surah, perhatian beralih kepada seorang tokoh yang mewakili kebalikan dari kerendahan hati dan kepatuhan: Qarun.
Qarun, yang dulunya adalah pengikut Musa, dicabut keberkahannya karena kesombongan dan keangkuhannya atas kekayaan melimpah yang dianugerahkan Allah SWT. Kisahnya menjadi panggung utama untuk memperkenalkan ayat yang sangat mendasar mengenai filosofi hidup seorang Mukmin—sebuah petunjuk yang merangkum keseluruhan tujuan penciptaan manusia di dunia ini. Ayat tersebut adalah Surah Al-Qasas, ayat 77.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Terjemahannya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Ayat ini adalah fondasi etika Islam, menawarkan empat pilar utama yang harus dipatuhi oleh setiap individu, terutama mereka yang dianugerahi kekayaan atau kekuasaan. Ini adalah koreksi tegas terhadap mentalitas Qarun yang hanya berorientasi pada duniawi, tetapi pada saat yang sama, ia menolak pandangan zuhud ekstrem yang mengabaikan kehidupan fisik sepenuhnya.
Pilar Pertama: Mengutamakan Negeri Akhirat (وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ)
Konsep Ibtighā' (Pencarian Intensif)
Kata kunci dalam segmen pertama ini adalah “Ibtighā'” (وَابْتَغِ), yang berarti mencari dengan sungguh-sungguh, berupaya keras, dan menjadikan sesuatu sebagai tujuan utama. Ayat ini memerintahkan kita untuk menjadikan kebahagiaan akhirat sebagai orientasi tertinggi dari segala sumber daya yang kita miliki. Segala sesuatu yang dianugerahkan Allah (kekayaan, kesehatan, waktu, kecerdasan, jabatan) harus dialihkan, dikonversi, dan diinvestasikan untuk mencapai ridha-Nya dan mendapatkan tempat terbaik di hari kemudian.
Ini bukan hanya anjuran untuk beribadah ritual (salat, puasa), tetapi sebuah paradigma hidup. Seorang pedagang harus berdagang dengan jujur demi akhirat. Seorang ilmuwan harus meneliti demi kemaslahatan umat dan mendekatkan diri pada kebenaran Ilahi. Kekuatan fisik harus digunakan untuk membantu sesama. Dengan kata lain, seluruh gerak dan diam kita adalah jembatan menuju akhirat.
Menggunakan Karunia Dunia untuk Investasi Abadi
Poin krusial di sini adalah frasa “fīmā ātāka Allāhu” (pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu). Ini menunjukkan bahwa dunia adalah modal yang diberikan oleh Pemilik sejati (Allah SWT) untuk diperdagangkan di pasar akhirat. Kekayaan itu sendiri netral. Yang menentukan nilainya adalah bagaimana ia digunakan.
- Jika harta digunakan untuk membangun masjid, menolong fakir miskin, atau membiayai dakwah, ia menjadi aset akhirat.
- Jika waktu digunakan untuk belajar agama atau berzikir, ia menjadi aset akhirat.
- Jika kesehatan digunakan untuk melaksanakan haji atau umrah, ia menjadi aset akhirat.
Jika Qarun memahami prinsip ini, kekayaannya yang luar biasa—yang kunci-kunci gudangnya saja memerlukan rombongan unta untuk membawanya—tentu akan menjadi timbangan amal yang berat, bukan sumber kehancuran. Kesalahan Qarun, dan kesalahan banyak manusia modern, adalah menjadikan modal itu sebagai tujuan, bukan alat.
Analisis Mendalam Prioritas Akhirat
Prioritas kepada akhirat menuntut adanya muhasabah (introspeksi) yang konstan. Setiap keputusan harus disaring melalui pertanyaan: “Apakah ini akan bermanfaat untuk kehidupan abadi saya?” Ibnu Katsir dan para mufassir lainnya menekankan bahwa perintah ini adalah landasan tauhid al-af'al (tauhid dalam perbuatan), di mana tindakan seseorang harus sejalan dengan pengakuan bahwa Allah adalah tujuan tertinggi.
Tanpa prioritas ini, manusia akan jatuh ke dalam hedonisme atau materialisme murni, yang merupakan inti dari perilaku Qarun. Materialisme menciptakan ilusi bahwa kepuasan dapat dicapai melalui penumpukan, padahal pengalaman spiritual dan janji surga adalah satu-satunya kepuasan yang benar-benar abadi. Inilah yang membedakan seorang Mukmin sejati dari orang yang lalai: orientasi hidupnya. Pencarian akhirat adalah komitmen seumur hidup yang melampaui kepentingan sesaat.
Pilar Kedua: Keseimbangan dan Hak Dunia (وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا)
Memahami Konsep 'Nasib' (Bagian) Dunia
Bagian kedua dari ayat 77 adalah penyeimbang spiritual. Setelah diperintahkan untuk fokus pada akhirat, Allah segera mengingatkan: “Dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia.” Ini adalah pernyataan yang menolak ekstremisme dalam beragama (ghuluw).
Para ulama tafsir memiliki beberapa pandangan mengenai arti ‘nasīb’ (bagian atau porsi) dunia ini:
- Porsi Kehidupan: Nasib dunia adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar manusia bisa bertahan hidup dan beribadah, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan istirahat yang cukup. Tanpa ini, seseorang tidak bisa efektif mencari akhirat.
- Porsi Kesehatan: Termasuk menikmati keindahan alam dan pasangan yang halal. Ini adalah penekanan bahwa Islam bukan agama yang mengebiri kesenangan hidup yang wajar dan halal.
- Porsi Amal Duniawi: Sebagian mufassir menafsirkannya sebagai kewajiban duniawi yang jika diabaikan dapat mengganggu ketertiban sosial, seperti mencari nafkah untuk keluarga.
Kritik terhadap Zuhud yang Berlebihan
Ayat ini secara halus mengkritik pandangan asketisme (zuhud) yang keliru, yaitu meninggalkan dunia secara total, mengasingkan diri, atau menyiksa diri. Islam mengajarkan bahwa dunia adalah ladang amal. Melupakan bagian dunia berarti gagal melaksanakan tanggung jawab yang justru akan dipertanyakan di akhirat.
Misalnya, jika seseorang menolak menikah atau menolak mencari nafkah hanya demi beribadah di masjid, ia telah melupakan bagiannya dari dunia dan melanggar hak-hak orang lain (pasangan, anak). Rasulullah SAW sendiri bersabda bahwa tidak ada kerahiban (asketisme) dalam Islam. Keseimbangan (tawāzun) adalah inti ajaran ini.
Harmoni Antara Materi dan Spiritual
Bagianmu dari dunia adalah juga kesempatanmu untuk beramal saleh. Kekuatan finansial di dunia memungkinkan seseorang membantu orang lain, mendirikan lembaga pendidikan, atau membiayai jihad. Jika semua Mukmin meninggalkan dunia dan kekayaan dikuasai oleh orang-orang yang tidak beriman, maka tujuan utama mencari akhirat melalui kekayaan itu akan terhambat.
Oleh karena itu, mencari kekayaan dengan cara yang halal, menikmati rezeki yang baik, dan menjaga penampilan yang rapi, semuanya termasuk dalam hak dunia yang tidak boleh diabaikan, selama tujuannya tetap untuk menopang kehidupan akhirat. Keseimbangan ini adalah rahasia kekuatan umat Islam sepanjang sejarah—mampu menjadi pemimpin dunia tanpa melupakan prioritas ukhrawi.
Ekstensi Konsep Keseimbangan (Tawāzun)
Konsep tawāzun yang terkandung dalam ayat ini adalah cermin dari fitrah manusia. Manusia adalah makhluk jasmani dan rohani. Keduanya memiliki hak. Jika hak jasmani diabaikan, rohani akan kesulitan berfungsi optimal. Jika hak rohani diabaikan, jasmani akan menjadi liar dan jauh dari petunjuk. Ayat 77 adalah manual untuk menjaga integritas jiwa yang utuh, di mana segala aktivitas, termasuk istirahat dan rekreasi yang halal, dihitung sebagai bagian dari upaya meraih ridha Allah.
Para mufassir kontemporer juga melihat ayat ini sebagai landasan bagi ekonomi Islam yang etis, di mana pertumbuhan dan kemakmuran materi harus berjalan seiring dengan keadilan sosial dan tujuan spiritual. Kekayaan harus berputar, tidak menumpuk, dan ia harus memberikan dampak positif, bukan hanya untuk pemiliknya tetapi bagi masyarakat luas.
Pilar Ketiga: Ihsan dan Resiproksitas Kebaikan (وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ)
Definisi Ihsan (Berbuat Baik Sempurna)
Bagian ketiga ayat ini adalah perintah sosial yang paling mendalam: “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” Kata kunci di sini adalah ‘Ahsin’ (berbuat baik), yang merupakan akar dari kata ‘Ihsan’. Ihsan bukan hanya sekadar berbuat baik, tetapi berbuat baik secara sempurna, melebihi kewajiban, dan dengan kesadaran bahwa Allah mengawasi.
Perintah Ihsan di sini diletakkan tepat setelah diskusi tentang kekayaan duniawi, menegaskan bahwa kekayaan bukanlah untuk disimpan atau disombongkan (seperti yang dilakukan Qarun), melainkan untuk disalurkan demi kebaikan orang lain.
Prinsip Resiproksitas (Sebagaimana Allah Telah Berbuat Baik)
Ihsan yang diperintahkan memiliki alasan: ia adalah cerminan dari kebaikan yang telah Allah berikan kepada kita. Allah telah memberi kita kehidupan, kesehatan, rezeki, petunjuk, dan karunia yang tak terhitung. Kita tidak akan pernah mampu membalas kebaikan Allah, tetapi kita diwajibkan untuk menirunya dalam skala manusiawi, yaitu dengan berbuat baik kepada makhluk-Nya.
Jika seseorang dianugerahi kekayaan, ia harus membalas kebaikan Allah itu dengan mengeluarkan zakat, sedekah, dan membantu orang miskin. Jika seseorang dianugerahi ilmu, ia harus membalasnya dengan mengajarkan ilmu tersebut. Jika seseorang dianugerahi kekuasaan, ia harus membalasnya dengan menegakkan keadilan.
Tiga Dimensi Ihsan dalam Ayat 77
- Ihsan kepada Diri Sendiri: Dengan menjaga diri dari dosa dan memastikan hak rohani dan jasmani terpenuhi.
- Ihsan kepada Sesama Manusia: Melalui sedekah, keramahan, dan pemenuhan hak-hak sosial (seperti silaturahmi).
- Ihsan kepada Lingkungan: Dengan tidak merusak alam, yang merupakan pintu masuk menuju pilar keempat.
Ayat ini mengajarkan bahwa kepemilikan bukanlah hak absolut, melainkan amanah. Kekuatan dan kekayaan yang dimiliki harus menjadi saluran rahmat Ilahi, bukan tembok pemisah antara si kaya dan si miskin. Qarun gagal total dalam pilar ini. Ketika ia dinasihati untuk berbuat baik dengan hartanya, ia justru menjawab bahwa kekayaannya diperoleh semata-mata karena ilmunya sendiri, sebuah bentuk pengingkaran terhadap kebaikan Allah (kafir bi ni'mah).
Pilar Keempat: Menjauhi Kerusakan (وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ)
Definisi dan Lingkup Fasād (Kerusakan)
Pilar penutup dan larangan utama dalam ayat 77 adalah: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Ini adalah klimaks dan inti dari kegagalan Qarun.
‘Fasād’ (kerusakan) adalah antonim dari ‘Ṣalāh’ (perbaikan atau kebaikan). Fasād mencakup segala tindakan yang merusak tatanan: merusak agama, moral, ekonomi, sosial, dan lingkungan alam. Kerusakan selalu dimulai dari penyalahgunaan amanah, yang dalam konteks Qarun adalah penyalahgunaan kekayaan.
Kerusakan Ekonomi dan Sosial
Dalam konteks ayat ini, kerusakan utama yang ditimbulkan Qarun adalah kerusakan ekonomi dan sosial. Kekayaan yang seharusnya beredar dan memberi manfaat, justru ditimbun (iktināz) dan digunakan untuk menindas. Penumpukan harta yang berlebihan, tanpa mengeluarkan hak fakir miskin (zakat), menciptakan kesenjangan yang parah. Kesenjangan ini melahirkan ketidakadilan, iri hati, dan akhirnya revolusi sosial—semuanya adalah Fasād.
Namun, Fasād memiliki makna yang lebih luas. Ia mencakup:
- Kerusakan Moral: Menyebarkan kemaksiatan, perzinahan, atau minuman keras.
- Kerusakan Politik: Korupsi, penindasan, dan penyalahgunaan kekuasaan.
- Kerusakan Lingkungan: Eksploitasi sumber daya alam secara serakah yang mengancam keseimbangan ekosistem.
Keterkaitan Antar Pilar
Pilar keempat ini berfungsi sebagai pengikat semua pilar sebelumnya. Jika seseorang melupakan akhirat, ia akan menggunakan dunia hanya untuk kepentingan egois, yang pasti akan berujung pada kerusakan. Jika ia mengabaikan hak dunia, ia akan menjadi beban masyarakat. Jika ia tidak berbuat Ihsan, ia akan menimbun kekayaan dan menciptakan ketidakadilan, yang merupakan benih Fasād.
Larangan ini sangat keras karena Allah SWT secara eksplisit menyatakan bahwa “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Ketidaksukaan Ilahi ini adalah penanda bahwa Fasād adalah dosa yang sangat besar, karena ia merusak tujuan penciptaan, yaitu menciptakan ketertiban (shalih) dan menyembah Allah.
Memperdalam Analisis: Integrasi Empat Pilar dalam Kehidupan Sehari-hari
1. Ayat 77 sebagai Piagam Ekonomi Islam
Dalam konteks ekonomi, Al Qasas 77 adalah rujukan utama yang mengatur hubungan antara kekayaan, pemiliknya, dan masyarakat. Ayat ini melarang kapitalisme liar yang hanya berorientasi pada profit, tetapi juga menolak kemiskinan sukarela yang mengebiri potensi produktif umat.
Kekayaan harus dicari (sebagai bagian dari nasib dunia), diinvestasikan (untuk akhirat), didistribusikan (melalui Ihsan), dan dipertahankan dari penyalahgunaan (dengan menghindari Fasād). Sistem Zakat dan Sedekah adalah manifestasi paling konkret dari Ihsan dan pencegahan Fasād. Zakat memastikan bahwa kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang kaya, melainkan mengalir ke lapisan masyarakat yang membutuhkan, memadamkan api kecemburuan sosial yang merupakan awal dari kerusakan.
2. Manajemen Waktu dan Sumber Daya
Penerapan ayat ini meluas hingga manajemen waktu. Waktu yang diberikan Allah harus dibagi secara adil: sebagian besar untuk ibadah dan persiapan akhirat; sebagian untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan duniawi; dan sebagian untuk berinteraksi sosial dan berbuat kebaikan. Keseimbangan ini mencegah burnout (kelelahan ekstrem) akibat terlalu fokus pada dunia, sekaligus mencegah kemalasan akibat salah kaprah dalam interpretasi zuhud.
3. Konsekuensi Mengabaikan Ayat 77
Kisah Qarun menjadi bukti nyata konsekuensi mengabaikan ajaran ini. Qarun sukses di pilar kedua (mendapatkan nasib dunia) namun gagal total di tiga pilar lainnya. Ia lupa bahwa kekayaan itu dari Allah (gagal di pilar pertama), ia sombong dan tidak mau berbuat baik (gagal di pilar ketiga), dan ia menggunakan hartanya untuk keangkuhan dan penindasan (melakukan Fasād, gagal di pilar keempat).
Akibatnya, Allah menghukumnya dengan cara yang sangat spesifik dan menghancurkan, menenggelamkannya beserta seluruh hartanya ke dalam bumi. Ini adalah pelajaran bahwa kekayaan yang diperoleh secara sah pun dapat menjadi malapetaka jika niat dan penggunaannya bertentangan dengan tujuan Ilahi.
4. Aspek Psikologis dan Spiritual
Secara psikologis, ayat 77 menawarkan kedamaian batin. Orang yang hanya mengejar duniawi akan selalu merasa kurang dan takut kehilangan (cinta duniawi yang berlebihan menciptakan kecemasan). Sebaliknya, orang yang menerapkan keseimbangan ini tahu bahwa tujuan utamanya sudah aman (akhirat), sementara kebutuhan duniawinya sudah diatur oleh Allah. Ini menciptakan ketenangan (thuma'ninah) yang merupakan kunci kebahagiaan sejati.
Ketika seseorang berbuat Ihsan (kebaikan) tanpa mengharapkan balasan, ia mengalami pemurnian jiwa (tazkiyatun nufs) yang secara otomatis menjauhkannya dari sifat Fasād, yaitu keegoisan dan keserakahan.
Tafsir Linguistik dan Teologi Ayat Al Qasas 77
Analisis Kata Kunci: Ibtighā' dan Nasīb
Para ahli bahasa Arab menekankan perbedaan intensitas antara kata ‘Ibtighā’ (pencarian akhirat) dan frasa ‘Lā tansā’ (jangan lupakan nasib dunia). Ibtighā’ menyiratkan aktivitas yang proaktif, bersemangat, dan menjadikan akhirat sebagai objek pencarian utama. Sedangkan ‘Lā tansā’ adalah perintah pasif, yaitu sekadar tidak melupakan atau mengabaikan hak dasar. Ini menunjukkan adanya hirarki yang jelas: akhirat adalah tujuan aktif, sementara dunia adalah alat yang wajib dijaga agar tujuan aktif tersebut bisa tercapai.
Jika Allah berfirman, “Carilah akhirat dan carilah dunia,” maka keduanya akan setara. Tetapi dengan perbedaan penggunaan kata kerja ini, Al-Qur'an menetapkan bahwa finalitas hidup adalah akhirat, sementara dunia hanyalah persinggahan yang hak-haknya harus dipenuhi secara wajar dan proporsional. Kesalahan fatal adalah ketika manusia membalikkan hirarki ini, menjadikan dunia sebagai objek Ibtighā’ dan akhirat hanya sebagai ‘nasīb’ yang sesekali diingat.
Konteks Ayat 77 dalam Surah Al-Qasas
Sebelum ayat 77, Allah menceritakan bagaimana Qarun diberi nasihat oleh kaumnya, yang berbunyi: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu bangga." (Qasas: 76). Nasihat kaumnya tersebut sangat mirip dengan isi ayat 77. Namun, Qarun menolak nasihat tersebut, yang menunjukkan bahwa ayat 77 adalah prinsip universal yang seharusnya ia terima, tetapi ia abaikan.
Nasihat ini tidak hanya ditujukan kepada Qarun tetapi kepada seluruh umat manusia yang cenderung terpedaya oleh harta. Pesan utamanya adalah bahwa aset yang kita miliki harus diolah secara spiritual. Jika tidak, aset tersebut akan menjadi liabilitas yang mematikan, seperti yang terjadi pada Qarun.
Ihsan dan Konsep Keadilan Sosial dalam Syariah
Pilar Ihsan (وَأَحْسِنْ) adalah perintah moral yang melampaui keadilan (‘adl). Keadilan menuntut seseorang memberikan hak yang setara, sedangkan Ihsan menuntut seseorang memberikan lebih dari hak yang wajib. Dalam Syariah, keadilan adalah fondasi hukum (Fiqh), sedangkan Ihsan adalah fondasi spiritual (Tasawuf).
Perintah berbuat baik ini adalah penjamin keberlanjutan sosial. Masyarakat yang hanya berpegang pada keadilan formal (hukum positif) tanpa adanya Ihsan (empati dan kemurahan hati) akan menjadi masyarakat yang dingin dan terpecah. Ihsan, yang didasarkan pada rasa syukur atas kebaikan Allah, menjamin adanya kehangatan sosial, filantropi, dan solidaritas sejati.
Perluasan Tafsir Fasād
Kerusakan (Fasād) seringkali ditafsirkan oleh para ulama sebagai manifestasi lahiriah dari kerusakan batin (nifaq atau syirik khafi). Orang yang batinnya rusak (misalnya, penuh kesombongan atau riya') akan memancarkan kerusakan dalam tindakannya di bumi. Sebaliknya, orang yang batinnya shalih akan memancarkan perbaikan (iṣlāḥ). Oleh karena itu, larangan Fasād adalah perintah untuk menjaga kebersihan hati, karena hanya hati yang bersih yang mampu menggunakan anugerah Allah untuk kebaikan akhirat.
Ayat 77 pada dasarnya adalah formula spiritual untuk mencapai status khairu ummah (umat terbaik) yang diperintahkan untuk mengajak kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah. Mustahil mencegah kemungkaran (Fasād) tanpa terlebih dahulu mengarahkan diri kepada akhirat dan berbuat Ihsan.
Kesimpulan Filosofis Ayat
Al Qasas 77 adalah manifestasi dari wasatiyyah (moderasi atau jalan tengah) yang menjadi ciri khas Islam. Ia menyeimbangkan ekstremitas materialisme (hidup hanya untuk dunia) dan ekstremitas asketisme (meninggalkan dunia). Ia menuntut umat Islam untuk menjadi proaktif dalam membangun peradaban materi, tetapi dengan tujuan spiritual yang tegas, sambil menjaga etika sosial yang tinggi. Ayat ini adalah cetak biru untuk menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan berorientasi pada nilai-nilai transcendental.
Kekuatan ayat ini terletak pada kemampuannya memberikan panduan yang lengkap:
- Arah (Akhirat)
- Sarana (Dunia yang halal)
- Metode (Ihsan)
- Jaminan Kualitas (Menjauhi Fasād)
Seluruh kisah Qarun di Surah Al-Qasas, yang diakhiri dengan peringatan keras akan kebinasaannya, semakin menguatkan urgensi penerapan Ayat 77 ini. Kekuatan dan kekayaan yang diperoleh dengan susah payah oleh Qarun, menjadi sebab kehancurannya karena ia gagal memahami bahwa semua itu adalah karunia yang harus diinvestasikan, bukan dipertuanagungkan.
Pelajaran yang paling berharga dari ayat ini adalah pengingat bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada akumulasi, tetapi pada distribusi dan penggunaan yang benar. Mencari akhirat melalui anugerah dunia adalah inti dari ibadah yang komprehensif (ibadah syumuliyah), di mana setiap tarikan napas dan setiap transaksi di pasar dapat dihitung sebagai amal saleh, asalkan didasarkan pada niat yang tulus dan diakhiri dengan perbuatan baik (Ihsan) yang menjauhkan dari kerusakan (Fasād). Ayat ini adalah warisan abadi yang memastikan kesejahteraan, baik di dunia yang fana maupun di akhirat yang kekal.
***
Refleksi Mendalam Terhadap Konsep Fasād di Era Modern
Ketika kita meninjau kembali larangan Fasād (kerusakan) dalam konteks zaman kontemporer, maknanya menjadi semakin mendalam dan relevan. Fasād tidak lagi terbatas pada penindasan fisik atau penimbunan harta, tetapi merambah ke dimensi-dimensi yang lebih halus dan global. Kerusakan di muka bumi saat ini dapat termanifestasi dalam bentuk Fasād Digital, Fasād Lingkungan, dan Fasād Struktural.
Fasād Lingkungan, misalnya, adalah hasil langsung dari lupa terhadap Ihsan dan terlalu fokus pada ‘nasib dunia’ tanpa mengindahkan hak akhirat. Ketika perusahaan atau negara mengeksploitasi hutan, mencemari air, dan memanaskan bumi demi keuntungan sesaat (nasīb min ad-dunyā), mereka secara fundamental melanggar prinsip Ihsan (berbuat baik kepada generasi mendatang) dan secara eksplisit melakukan Fasād. Bumi adalah amanah Allah, dan merusaknya adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah tersebut, yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban di Akhirat.
Fasād Struktural merujuk pada sistem dan kebijakan yang melegitimasi ketidakadilan, seperti korupsi institusional, kebijakan pajak yang memberatkan rakyat kecil, atau oligopoli yang mencekik persaingan sehat. Dalam pandangan Al Qasas 77, sistem semacam ini adalah puncak dari kegagalan untuk menerapkan Ihsan. Orang-orang yang berada di pucuk kekuasaan, yang telah diberikan anugerah Allah berupa jabatan dan pengaruh, malah menggunakan karunia tersebut untuk merusak, bukannya memperbaiki.
Mengatasi Godaan Qarunisme di Abad ke-21
Setiap orang, kaya atau miskin, memiliki Qarun kecil di dalam dirinya—suara yang membisikkan bahwa keberhasilan adalah murni hasil kecerdasan pribadi, dan kekayaan adalah hak mutlak tanpa kewajiban sosial. Ayat 77 berfungsi sebagai antivirus terhadap Qarunisme ini.
Kewajiban Ibtighā’ Ad-Dāral Ākhirah menuntut kita untuk menjadikan inovasi teknologi, manajemen keuangan, dan pendidikan sebagai jembatan menuju akhirat. Bagaimana seorang insinyur dapat menggunakan keahliannya untuk akhirat? Dengan merancang infrastruktur yang aman, etis, dan berkelanjutan, serta menolak proyek-proyek yang berpotensi menimbulkan kerusakan sosial atau lingkungan.
Bagian Nasīb min Ad-Dunyā juga relevan bagi kaum Muslim yang hidup di tengah masyarakat konsumtif. Ia mengingatkan bahwa menikmati makanan lezat, membeli pakaian yang layak, dan memiliki tempat tinggal yang nyaman bukanlah dosa, asalkan semua itu dilakukan dalam batas-batas halal, tidak berlebihan (isrāf), dan tidak mengorbankan kewajiban akhirat (seperti meninggalkan salat karena sibuk berbelanja).
Kajian Fiqh Prioritas (Fiqh Al-Awlawiyyat)
Ayat ini adalah fondasi bagi Fiqh Al-Awlawiyyat (Fiqh Prioritas), sebuah disiplin ilmu yang mengajarkan umat Islam untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang seharusnya. Prioritas utama adalah selalu mencari keridhaan Allah (Ibtighā' Akhirat). Prioritas kedua adalah menjaga stabilitas yang memungkinkan pencarian itu (Nasīb Dunia). Prioritas ketiga adalah menyempurnakan ibadah dan muamalah (Ihsan). Dan prioritas tertinggi dalam penghindaran adalah menjauhi segala hal yang menghancurkan tatanan (Fasād).
Dalam pengambilan keputusan sehari-hari, Fiqh Prioritas berdasarkan Ayat 77 akan memandu kita:
- Terkait Karir: Pilih pekerjaan yang tidak hanya mendatangkan uang (Nasīb), tetapi yang juga memungkinkan kita berbuat baik (Ihsan) dan tidak terlibat dalam praktik merusak (Fasād).
- Terkait Keluarga: Penuhi kebutuhan materi keluarga (Nasīb), sambil memastikan bahwa pendidikan spiritual (Ibtighā' Akhirat) adalah yang utama.
- Terkait Politik: Dukung pemimpin dan kebijakan yang pro-Ihsan (memperbaiki kondisi sosial) dan anti-Fasād (melawan korupsi dan ketidakadilan).
Urgensi Penerapan Ihsan dalam Politik Global
Jika kekuasaan dilihat sebagai ‘karunia dari Allah’ (ātāka Allāhu), maka para pemimpin dunia diwajibkan untuk berbuat Ihsan kepada rakyatnya dan negara-negara lain, meneladani kebaikan yang telah Allah berikan. Sebaliknya, penggunaan kekuasaan untuk menindas, menjajah, atau menimbun sumber daya global hanya untuk kepentingan sempit adalah Fasād di tingkat paling tinggi. Al-Qur'an secara tegas menetapkan bahwa kepemimpinan yang sah adalah yang bertujuan untuk perbaikan (iṣlāḥ), bukan perusakan (fasād). Ayat ini adalah seruan abadi menuju tata kelola global yang berbasis etika ketuhanan.
Dengan demikian, Al Qasas Ayat 77 bukan sekadar nasihat moral, tetapi sebuah kerangka kerja (framework) yang komprehensif untuk peradaban. Ia menuntut keterlibatan penuh dalam kehidupan duniawi (Nasīb), tetapi dengan mata yang selalu terarah pada horizon abadi (Akhirat), didorong oleh spirit kemurahan hati (Ihsan), dan dijaga oleh kehati-hatian terhadap segala bentuk kehancuran (Fasād). Ayat ini memastikan bahwa seorang Mukmin adalah agen perubahan yang membawa perbaikan di mana pun ia berada, membalikkan mentalitas destruktif yang diwakili oleh Qarun.
Kajian yang berlarut-larut mengenai setiap kata dalam ayat ini hanya menegaskan kedalaman dan universalitas pesannya. Kehidupan adalah sebuah seni menyeimbangkan, dan Al Qasas 77 adalah masterplan untuk menyeimbangkan dua alam yang saling tarik-menarik: dunia yang fana dan akhirat yang kekal.
Dalam setiap langkah, baik dalam transaksi keuangan terbesar hingga interaksi terkecil dengan tetangga, prinsip-prinsip ini harus menjadi pedoman. Kita harus selalu bertanya: Apakah tindakan ini mengantarkan saya pada Surga? Apakah ini melanggar hak saya yang sah? Apakah ini Ihsan bagi orang lain? Dan yang paling penting, apakah ini menjauhi segala bentuk Fasād di bumi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menentukan sejauh mana kita telah belajar dari kegagalan Qarun.