Al-Ma’idah 5:48: Al-Qur’an sebagai Konfirmasi dan Penjaga Wahyu

Analisis Mendalam tentang Konsep Muhaymin, Syir’ah, dan Minhāj

Surah Al-Ma’idah, yang merupakan salah satu surah Madaniyah yang diturunkan pada periode akhir risalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memuat banyak sekali penetapan hukum, etika hubungan antarumat, dan pembahasan mengenai Ahlul Kitab (Kaum Pemilik Kitab). Di antara ayat-ayat yang memiliki makna universal dan fundamental dalam memahami kedudukan Al-Qur’an adalah ayat ke-48.

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadapnya. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Dia hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 48)

Ayat ini sarat dengan doktrin inti Islam tentang wahyu, otoritas, pluralitas hukum, dan tujuan penciptaan. Terdapat tiga pilar utama yang terkandung di dalamnya: (1) Kedudukan Al-Qur’an sebagai pembenar dan penjaga wahyu sebelumnya (Muhaymin), (2) Konsep Syir’ah (aturan spesifik) dan Minhāj (metode atau jalan hidup), dan (3) Perintah untuk berlomba dalam kebaikan (Istibāq al-Khayrāt).

Representasi Kontinuitas dan Finalitas Wahyu Ilahi Sebuah ilustrasi yang menunjukkan tiga sumber cahaya yang menuju ke satu sumber cahaya yang lebih besar (Al-Qur'an), melambangkan konfirmasi dan penjagaan terhadap kitab-kitab sebelumnya. Taurat Injil Lainnya Al-Qur'an (Muhaymin)

Al-Qur'an sebagai penjaga dan pembenar (Muhaymin) wahyu-wahyu sebelumnya.

I. Al-Qur’an: Muṣaddiqan dan Muhayminan

Frasa kunci dalam ayat ini yang mendefinisikan hubungan Al-Qur’an dengan kitab-kitab samawi sebelumnya adalah muṣaddiqan limā bayna yadayhi mina al-kitābi wa muhayminan 'alayhi. Analisis mendalam terhadap kedua terminologi ini sangat penting untuk memahami posisi otoritatif Islam.

1. Muṣaddiqan (Sebagai Pembenar)

Kata muṣaddiqan berasal dari akar kata Ṣ-D-Q (صدق), yang berarti jujur, benar, dan membenarkan. Dalam konteks ini, Al-Qur’an membenarkan esensi dari wahyu yang diturunkan kepada para nabi terdahulu, seperti Taurat yang diturunkan kepada Musa dan Injil kepada Isa, serta lembaran-lembaran suhuf lainnya.

Pembenaran ini bukan berarti Al-Qur’an hanya mengulangi isinya, melainkan menguatkan prinsip-prinsip dasar yang fundamental, yaitu: Tauhid (Keesaan Allah), kenabian, dan Hari Pembalasan. Setiap wahyu yang diturunkan Allah memiliki tujuan yang sama: menuntun manusia kepada penyembahan hanya kepada-Nya.

Tindakan Al-Qur’an sebagai Muṣaddiq memiliki dimensi historis dan teologis. Secara historis, ia mengkonfirmasi bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah penerus sah dari rantai kenabian yang panjang, dan bahwa cerita-cerita yang ia sampaikan mengenai nabi-nabi terdahulu adalah benar. Secara teologis, ia menegaskan keaslian pesan inti monoteistik yang telah ada, sekaligus membersihkannya dari elemen-elemen distorsi, penambahan, atau pengurangan yang mungkin terjadi seiring berjalannya waktu oleh tangan manusia.

Konsep ini memperlihatkan kesatuan sumber wahyu (Allah Ta’ala), menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang terisolasi atau muncul tiba-tiba, melainkan merupakan penyempurnaan dari risalah yang sama, yang diwahyukan secara bertahap kepada umat manusia sepanjang sejarah peradaban. Al-Qur’an menjadi saksi atas kebenaran yang tersisa dalam kitab-kitab terdahulu dan memisahkan butir-butir kebenaran itu dari segala bentuk kekeliruan yang diselipkan.

2. Muhayminan (Sebagai Penjaga, Pengawas, dan Penentu Hukum Tertinggi)

Jika Muṣaddiqan adalah tentang konfirmasi, maka Muhayminan adalah tentang otoritas. Ini adalah kata kunci paling penting dalam ayat 5:48 dan memiliki makna yang kaya serta berlapis-lapis dalam tradisi tafsir. Kata Muhaymin (مهيمن) juga merupakan salah satu Asmaul Husna (Nama-nama Allah), yang berarti Maha Memelihara, Maha Mengawasi, atau Maha Pelindung.

Dalam konteks Al-Qur’an terhadap kitab-kitab sebelumnya, Muhayminan diinterpretasikan dalam tiga aspek utama oleh ulama salaf dan khalaf:

A. Muhaymin sebagai Al-Hāfiz (Pelindung/Pemelihara)

Al-Qur’an memelihara kebenaran esensial yang masih terkandung dalam kitab-kitab terdahulu. Meskipun kitab-kitab lain mungkin mengalami perubahan (tahrif) atau kehilangan, Al-Qur’an memastikan bahwa pesan universal tentang Tauhid tetap terjaga dan diabadikan dalam bentuk yang murni dan definitif. Ia menjadi tolak ukur abadi untuk menilai keabsahan setiap klaim yang berasal dari wahyu sebelumnya. Tanpa Al-Qur’an, kebenaran sejati dari Taurat dan Injil yang asli akan hilang sepenuhnya.

Bagi ulama seperti Ibnu Abbas dan Mujahid, Muhaymin sangat erat kaitannya dengan peran pengawasan. Al-Qur’an mengawasi, memverifikasi, dan mengesahkan bagian mana dari ajaran terdahulu yang masih valid dan sejalan dengan hukum Allah yang sempurna. Peran ini adalah sebuah fungsi protektif, menjaga inti sari agama dari kehancuran historis dan teologis.

B. Muhaymin sebagai Asy-Syāhid (Saksi/Juri)

Al-Qur’an bertindak sebagai saksi yang adil atas kitab-kitab sebelumnya. Ia menjadi juri yang menentukan mana yang benar-benar diturunkan oleh Allah dan mana yang merupakan interpretasi atau intervensi manusia. Ketika terjadi perselisihan atau ketidakjelasan dalam hukum terdahulu, Al-Qur’an memiliki otoritas final untuk memberikan keputusan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menempati posisi yudikatif tertinggi.

Interpretasi ini sangat relevan dalam dialog antaragama. Ketika Ahlul Kitab merujuk pada hukum mereka, Al-Qur’an hadir sebagai standar absolut. Nabi Muhammad ﷺ, sebagai pembawa Al-Qur’an, diperintahkan untuk menggunakan kitab ini sebagai standar hukum, bahkan ketika berhadapan dengan perselisihan Kaum Yahudi atau Nasrani, sebagaimana dijelaskan dalam konteks ayat-ayat sebelumnya dalam Surah Al-Ma’idah.

C. Muhaymin sebagai Nāsikh (Penentu Hukum Abrogasi)

Aspek yang paling otoritatif dari Muhaymin adalah perannya sebagai penentu hukum tertinggi yang mengesahkan (memvalidasi) atau membatalkan (mengabrogasi) ketentuan hukum tertentu yang terdapat dalam syariat sebelumnya. Ini adalah doktrin naskh (abrogasi) yang diterapkan secara eksternal. Syariat Nabi Muhammad ﷺ (yang diwakili oleh Al-Qur’an) secara otomatis menggantikan hukum-hukum ritual, sosial, atau perdata yang berlaku pada umat-umat terdahulu, meskipun ia membenarkan Tauhid mereka.

Misalnya, sementara hukum dasar tentang keadilan universal tetap berlaku, detail-detail Syari’ah seperti arah kiblat, tata cara salat, atau peraturan makanan tertentu bisa berubah. Al-Qur’an menjadi otoritas yang menetapkan versi hukum yang final dan berlaku universal hingga Hari Kiamat. Ini menegaskan bahwa otoritas Al-Qur’an berada di atas semua kitab lain yang mendahuluinya, menjadikannya standar baku bagi seluruh umat manusia.


II. Konsep Syir’ah dan Minhāj: Keanekaragaman dalam Tujuan Tunggal

Ayat 5:48 melanjutkan dengan sebuah pernyataan teologis yang mendalam mengenai pluralitas hukum: “Likuil ja’alnā minkum syir’atan wa minhājā.” (Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.)

1. Syir’ah (Syari’ah): Aturan Hukum yang Spesifik

Kata Syir’ah (شِرْعَة) atau Syari’ah secara harfiah berarti "tempat untuk minum" atau "jalan menuju air", yang melambangkan sumber kehidupan dan panduan yang jelas. Dalam terminologi agama, Syari’ah merujuk pada sekumpulan hukum praktis, peraturan, dan ritual yang spesifik yang ditetapkan Allah bagi suatu umat pada waktu tertentu.

Syari’ah mencakup detail-detail praktis ibadah dan muamalah (interaksi sosial). Contoh perbedaan Syari’ah meliputi:

Syari’ah berbeda dari satu nabi ke nabi lain karena disesuaikan dengan kebutuhan sosial, kapasitas, dan lingkungan zamannya. Namun, perlu ditekankan bahwa semua Syari’ah berasal dari sumber yang sama (Allah) dan memiliki tujuan inti yang sama: mencapai ketakwaan dan keadilan.

Perbedaan Syari’ah menunjukkan Hikmah Ilahi (Kearifan Tuhan). Allah tidak menetapkan satu set hukum yang kaku yang harus diterapkan sama persis di setiap zaman dan lokasi, melainkan memberikan kerangka dasar yang universal (Tauhid dan etika) sementara detail praktisnya fleksibel melalui suksesi wahyu kenabian, yang berpuncak pada Syari’ah Islam yang final.

2. Minhāj (Jalan atau Metode)

Kata Minhāj (مِنْهَاج) berarti jalan yang terang, metode, atau prosedur yang jelas. Jika Syir’ah berfokus pada isi hukum (aturan), Minhāj berfokus pada metode penerapannya, cara hidup, dan jalan moral yang harus ditempuh oleh umat tersebut.

Beberapa ulama tafsir membedakan keduanya dengan mengatakan: Minhāj adalah jalan luas yang diikuti oleh para nabi (seperti seruan pada akhlak mulia dan keadilan), sementara Syir’ah adalah hukum-hukum rinci yang khusus untuk umat tersebut. Meskipun demikian, dalam konteks ayat 5:48, keduanya bekerja sama, menunjukkan bahwa Allah tidak hanya memberikan aturan spesifik (Syir’ah) tetapi juga cara yang jelas dan mudah dipahami untuk menerapkan aturan tersebut (Minhāj) bagi setiap generasi.

Keseluruhan konsep Syir’ah dan Minhāj mengajarkan bahwa meskipun manifestasi hukumnya berbeda, tujuan spiritual dan moralnya tetap satu: mencapai keridaan Allah. Ini adalah fondasi teologis bagi keragaman dalam kesatuan, yang merupakan doktrin sentral dalam ayat ini.

III. Perintah Ilahi: Menetapkan Hukum dengan Wahyu

Setelah menetapkan Al-Qur’an sebagai Muhaymin, ayat tersebut langsung memberikan perintah tegas kepada Nabi Muhammad ﷺ: “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.”

1. Keharusan Menetapkan Hukum Berdasarkan Wahyu

Perintah ini adalah penekanan fundamental terhadap supremasi hukum Ilahi. Dalam konteks historis, Nabi Muhammad ﷺ sering kali menjadi penengah dalam perselisihan antara Kaum Muslimin dan Ahlul Kitab. Ayat ini menegaskan bahwa dalam setiap keputusan, standar tertinggi haruslah Al-Qur’an, bukan tradisi lokal atau keinginan (hawa nafsu) pihak-pihak yang bersengketa.

Penghakiman berdasarkan apa yang diturunkan Allah (Bimā anzala Allāh) menjamin keadilan yang mutlak. Hukum manusia, yang didasarkan pada spekulasi, kepentingan pribadi, atau bias temporal, pasti mengandung cacat dan ketidaksempurnaan. Hanya hukum yang berasal dari Zat Yang Maha Mengetahui yang dapat memberikan solusi yang adil dan langgeng.

Konsekuensi dari mengabaikan wahyu demi mengikuti hawa nafsu (أَهْوَاءَهُمْ - hawa nafsu mereka) adalah sangat serius. Hawa nafsu di sini tidak hanya merujuk pada keinginan pribadi, tetapi juga pada kecenderungan sosial, politik, atau tekanan kelompok yang ingin memutarbalikkan kebenaran demi keuntungan sesaat. Ayat ini mengajarkan bahwa pemimpin, hakim, dan setiap individu yang memegang otoritas harus memiliki integritas moral untuk menahan godaan mengikuti tren yang bertentangan dengan Al-Haqq (Kebenaran).

2. Hakikat Hawa Nafsu dan Kebenaran (Al-Haqq)

Pemisahan tajam antara Hawa Nafsu dan Al-Haqq adalah titik krusial. Al-Haqq, yang telah datang kepada Nabi Muhammad ﷺ dalam bentuk Al-Qur’an, adalah standar tunggal kebenaran. Mengikuti hawa nafsu, baik milik diri sendiri maupun orang lain, berarti menjauh dari standar ini.

Dalam konteks Syari’ah, perintah untuk memutuskan dengan Al-Qur’an menandai berakhirnya era hukum-hukum lokal dan regional, dan dimulainya era hukum yang berlaku universal. Meskipun Allah telah memberikan Syir’ah dan Minhāj yang beragam di masa lalu, Al-Qur’an sebagai Muhaymin kini menjadi satu-satunya Syari’ah yang valid untuk seluruh dunia.


IV. Ujian Keanekaragaman dan Perintah Berlomba dalam Kebaikan

Bagian terakhir dari ayat 5:48 memuat konsep teologis tentang mengapa Allah membiarkan adanya keragaman hukum, dan bagaimana manusia harus merespons keragaman tersebut.

1. Hikmah Dibalik Pluralitas: Ujian (Al-Ibtilā’)

Ayat tersebut menyatakan, “Walau syā’a Allāhu laja’alakum ummatan wāhidatan” (Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja). Ini adalah penegasan atas kekuasaan absolut Allah (Qudratullah). Allah mampu menciptakan seluruh manusia dengan satu bahasa, satu hukum, dan satu Syari’ah sejak awal waktu.

Namun, Dia memilih untuk tidak melakukannya, tetapi “lākin liyabluwakum fī mā ātākum” (tetapi Dia hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu). Keanekaragaman hukum, Syari’ah, bahasa, dan kemampuan adalah sarana ujian (Al-Ibtilā’).

Ujian ini berfokus pada beberapa hal:

  1. Ujian Ketaatan: Menguji apakah umat tersebut akan patuh pada Syari’ah yang diberikan kepada mereka, meskipun Syari’ah umat lain tampak berbeda atau lebih mudah.
  2. Ujian Penerimaan Otoritas: Menguji apakah Ahlul Kitab yang memiliki hukum terdahulu akan menerima otoritas Al-Qur’an sebagai Muhaymin yang membenarkan dan menggantikan hukum mereka.
  3. Ujian Persatuan di Tengah Perbedaan: Menguji apakah umat manusia dapat bersatu di bawah prinsip tauhid universal meskipun memiliki perbedaan dalam detail ritual.

Ujian ini menegaskan bahwa perbedaan Syari’ah pada masa lampau adalah bagian dari rencana Ilahi yang bijaksana, yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan Syari’ah yang sempurna dan final (Syari’ah Islam).

2. Perintah Universal: Istibāq al-Khayrāt (Berlomba dalam Kebaikan)

Karena perbedaan Syari’ah adalah sebuah ujian dan bukan alasan untuk permusuhan, Allah memberikan perintah universal yang berlaku bagi semua umat: “Fāstabiqū al-khayrāt” (Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan). Ini adalah respons yang harus diberikan oleh umat manusia terhadap realitas keanekaragaman.

Perintah ini mengalihkan fokus dari perselisihan teologis atau hukum (perbedaan Syari’ah) ke tindakan praktis yang bermanfaat dan universal (kebaikan). Daripada berdebat tentang detail Syari’ah yang telah diubah oleh Allah, manusia seharusnya berkompetisi dalam berbuat kebajikan, seperti memberikan manfaat kepada masyarakat, menegakkan keadilan, dan meningkatkan spiritualitas.

Berlomba dalam kebaikan berarti mengambil inisiatif proaktif untuk melakukan amal saleh. Ini menunjukkan bahwa nilai inti dari agama adalah kontribusi positif dan pengabdian kepada Allah, yang diekspresikan melalui pelayanan kepada sesama. Prinsip ini berfungsi sebagai jembatan yang mempersatukan umat manusia, terlepas dari perbedaan Syir’ah dan Minhāj mereka, karena kebaikan universal diakui oleh fitrah semua manusia.

Representasi Istibāq al-Khayrāt (Perlombaan dalam Kebaikan) Sebuah ilustrasi yang menunjukkan tiga jalur berbeda yang semuanya menuju ke tujuan yang sama (Puncak Kebaikan/Allah), melambangkan keragaman jalan Syari'ah namun kesatuan tujuan. Tujuan Akhir (Allah) Berlomba dalam Kebaikan

Prinsip Istibāq al-Khayrāt, fokus umat pada amal saleh meskipun terdapat perbedaan jalan Syari'ah.

V. Dimensi Eskatologis dan Pertanggungjawaban

Ayat ditutup dengan pengingat akan akhir dari perjalanan ini: “Ilā Allāhi marji’ukum jamī’an fayunabbi’ukum bimā kuntum fīhi takhtalifūn” (Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan).

Penutupan ini berfungsi sebagai penyeimbang teologis. Di dunia, Allah mengizinkan adanya perbedaan dan perselisihan (karena Dia ingin menguji). Namun, di akhirat, perselisihan tersebut akan diangkat, dan Allah akan memberikan penjelasan final atas semua perbedaan hukum, doktrin, dan interpretasi yang pernah ada di antara umat manusia.

Hal ini menghilangkan beban untuk menyelesaikan setiap perselisihan secara sempurna di dunia ini, karena pengadilan dan kebenaran akhir adalah milik Allah semata. Tugas manusia di dunia hanyalah mengikuti Syari’ah yang diwahyukan kepada mereka, mengakui otoritas Muhaymin (Al-Qur’an), dan berfokus pada perlombaan kebaikan, sambil menyerahkan hasil akhir dari perbedaan kepada Sang Pencipta.


VI. Elaborasi Kontekstual Lanjutan: Tafsir dan Aplikasi Kontemporer

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif terhadap Al-Ma'idah 5:48, kita harus menelaah bagaimana para mufasir besar, dari periode klasik hingga modern, menganalisis kedalaman ayat ini, terutama terkait dengan implikasi Syari’ah dan peran Muhaymin dalam konteks hukum internasional dan dialog antaragama.

1. Penafsiran Klasik tentang Otoritas Muhaymin

Para ulama klasik sangat fokus pada implikasi hukum dari kata Muhaymin. Imam Ath-Thabari (w. 310 H) dalam Jami’ al-Bayan, menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah ‘hakim’ atas kitab-kitab sebelumnya. Jika ada ajaran dalam Taurat atau Injil yang bertentangan dengan Al-Qur’an, maka Al-Qur’an-lah yang harus diikuti. Penekanan ini menetapkan Al-Qur’an bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai otoritas yang mengoreksi dan memfinalisasi.

Imam Al-Razi (w. 606 H) dalam Mafatih al-Ghayb, memperluas makna Muhaymin menjadi mencakup pengetahuan Allah yang menyeluruh. Karena Al-Qur’an berasal dari Allah yang Maha Mengawasi segala sesuatu (Muhaymin), maka kitab ini secara inheren memiliki keunggulan dan perlindungan dari kesalahan, yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab lain setelah periode nabi mereka. Al-Razi juga menekankan bahwa Muhaymin berarti Al-Qur’an menafsirkan yang samar (mutasyābih) dalam kitab sebelumnya dan menghilangkan kontradiksi yang muncul akibat distorsi.

Dari sudut pandang hukum, ini berarti setiap upaya untuk mengadopsi atau menerapkan hukum dari Taurat atau Injil harus melalui filter Al-Qur’an. Hukum apapun yang telah di-naskh (diabrogasi) oleh Al-Qur’an dianggap tidak lagi valid bagi umat Islam dan bagi semua yang tunduk pada Syari’ah Nabi Muhammad ﷺ.

2. Analisis Leksikal Syir’ah dan Minhāj

Perbedaan antara Syir’ah dan Minhāj sering diperdebatkan dalam tafsir. Ibnu Katsir (w. 774 H) cenderung mengartikan keduanya secara berdekatan, mungkin sebagai sinonim atau penekanan yang berulang untuk memperkuat makna 'jalan yang jelas'. Namun, penafsiran yang membedakan (Syir’ah = hukum, Minhāj = jalan hidup/metode) memberikan dimensi yang lebih kaya terhadap fleksibilitas Ilahi.

Dalam konteks modern, hal ini mengajarkan bahwa meskipun prinsip-prinsip Syari’ah (hukum utama) bersifat tetap, Minhāj (metode penerapannya, ijtihad, dan interpretasi) dapat beradaptasi dengan kondisi zaman, asalkan tidak melanggar batasan hukum dasar yang ditetapkan oleh Al-Qur’an sebagai Muhaymin.

3. Penolakan terhadap Ahwā’ (Hawa Nafsu) dalam Keputusan Hukum

Perintah untuk tidak mengikuti hawa nafsu adalah peringatan yang sangat kuat terhadap penyelewengan keadilan. Ayat ini secara eksplisit mengaitkan penyimpangan dari hukum Ilahi dengan godaan hawa nafsu. Dalam tradisi hukum Islam, hawa nafsu (Ahwā’) sering kali diidentifikasi sebagai sumber segala bentuk bid’ah (inovasi tercela) dan zhulm (kezaliman).

Ketika seorang hakim atau penguasa memutuskan perkara berdasarkan popularitas, tekanan politik, atau interpretasi yang longgar demi menyenangkan pihak tertentu, ia telah jatuh ke dalam perangkap Ahwā’. Ayat 5:48 menjadikan integritas dalam penetapan hukum sebagai bagian integral dari iman itu sendiri. Kehilangan integritas ini berarti meninggalkan Al-Haqq (Kebenaran) yang dibawa oleh Al-Qur’an.

VII. Kedalaman Teologis: Umat yang Berbeda Namun Satu Tujuan

Filosofi di balik frasa “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja)” adalah penegasan atas konsep Sunan Ilahiyah (Ketetapan Allah). Keragaman bukan hanya toleransi, melainkan sebuah desain kosmik yang disengaja. Desain ini bertujuan untuk menguji kesiapan manusia menerima dan mengaplikasikan Syari’ah mereka, sambil tetap menghormati tujuan utama agama.

1. Tujuan Umatan Wāhidatan (Satu Umat)

Jika Allah menciptakan semua orang sebagai satu umat (monolitik), tanpa perbedaan Syari’ah atau pandangan, maka kebebasan memilih (ikhtiyar) manusia akan hilang, dan demikian pula ujian ketaatan. Keragaman Syari’ah dan etnis memastikan bahwa ketaatan yang ditunjukkan adalah hasil dari pilihan sadar dan perjuangan (jihad an-nafs).

Meskipun manusia terbagi dalam Syir’ah dan Minhāj, mereka dipersatukan oleh Tauhid. Perintah untuk berlomba dalam kebaikan menunjukkan bahwa persatuan sejati tidak ditemukan dalam keseragaman ritual atau hukum, tetapi dalam kesamaan etos moral dan spiritual.

2. Istibāq al-Khayrāt sebagai Etika Universal

Perlombaan kebaikan adalah prinsip yang mengatasi semua perbedaan Syari’ah. Kebaikan (Khayrāt) mencakup keadilan sosial, empati, filantropi, dan perilaku etis. Ini adalah medan tempur spiritual di mana semua umat beragama dapat berpartisipasi tanpa menghilangkan identitas Syari’ah mereka.

Dalam konteks modern, Istibāq al-Khayrāt menjadi landasan bagi kerjasama antaragama dan antarbudaya. Daripada membuang energi untuk memperdebatkan perbedaan hukum yang telah diselesaikan oleh Al-Qur’an sebagai Muhaymin, umat manusia didorong untuk bekerja sama mengatasi masalah kemanusiaan yang lebih besar, seperti kemiskinan, penyakit, dan kebodohan. Fokus diarahkan pada buah dari iman (amal saleh), bukan hanya pada bentuk luarnya (ritual).


VIII. Al-Ma’idah 5:48 dan Struktur Epistemologi Islam

Ayat ini memiliki peran krusial dalam membentuk struktur epistemologi (teori pengetahuan) dalam Islam, khususnya yang berkaitan dengan sumber hukum dan otoritas pengetahuan agama.

1. Supremasi Al-Qur’an sebagai Sumber Pengetahuan Mutlak

Pernyataan bahwa Al-Qur’an adalah Muhayminan ‘alayhi menempatkannya sebagai standar kebenaran tertinggi (verifikasi dan falsifikasi) bagi semua pengetahuan agama yang mendahuluinya. Ini berarti, dalam hierarki sumber hukum (ushul fiqh), Al-Qur’an berada di puncak, diikuti oleh Sunnah Nabi Muhammad ﷺ yang berfungsi sebagai penjelas dan pelaksana Syari’ah yang dibawa Al-Qur’an.

Tidak ada tradisi, pemikiran filosofis, atau kitab samawi lain yang dapat menandingi atau mengungguli otoritas Al-Qur’an. Konsep ini adalah benteng pertahanan teologis terhadap sinkretisme yang mencoba mencampurkan ajaran Islam dengan doktrin agama lain tanpa melalui proses verifikasi Muhaymin.

2. Implikasi Terhadap Nubuwwah (Kenabian)

Ayat ini juga mengukuhkan kedudukan kenabian Muhammad ﷺ sebagai kenabian penutup (Khatamun Nabiyyin). Nabi Muhammad ﷺ tidak hanya sekadar mengulang pesan para nabi sebelumnya (Muṣaddiqan), tetapi juga membawa wahyu final yang mengawasi, menyempurnakan, dan menggantikan semua hukum praktis yang ada (Muhayminan).

Dengan kata lain, risalah Nabi Muhammad ﷺ bukanlah Syir’ah baru di antara Syir’ah-Syir’ah yang lain, melainkan Syari’ah universal dan abadi yang menggantikan semua Syari’ah sebelumnya, mengakhiri siklus periodik pergantian hukum. Inilah yang membedakan Islam sebagai agama final.

IX. Menggali Lebih Jauh Kedalaman Bahasa Arab dalam Ayat Ini

Analisis yang mendalam terhadap setiap kata kunci dalam Al-Ma’idah 5:48 menunjukkan kekayaan dan presisi bahasa Arab Al-Qur’an, yang tidak mungkin tertangkap sepenuhnya dalam satu terjemahan saja.

1. Analisis Kata 'Bi al-Haqq' (بِالْحَقِّ)

Frasa ‘Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran’ menggunakan kata Bi al-Haqq. Kata Al-Haqq (Kebenaran) dalam konteks Al-Qur’an memiliki makna ganda: (a) Kebenaran substansial (isi Al-Qur’an adalah benar dan nyata), dan (b) Kebenaran tujuan (Al-Qur’an diturunkan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran). Penyertaan Bi al-Haqq memperkuat status otoritatif Al-Qur’an: ia tidak hanya benar, tetapi ia adalah standar untuk semua kebenaran.

2. Perbedaan antara Al-Kitāb dan Kitāb

Ayat ini secara hati-hati membedakan antara Al-Qur’an (Al-Kitāb, menggunakan alif-lam, merujuk pada Kitab yang sudah pasti) dan Kitab-kitab sebelumnya (min al-kitābi, merujuk pada kategori umum kitab-kitab suci). Penggunaan terminologi yang spesifik ini menegaskan keunikan Al-Qur’an sebagai Kitab pamungkas yang harus dipegang teguh, berbanding lurus dengan statusnya sebagai Muhaymin.

3. Struktur Kontras dalam Ayat

Seluruh ayat ini dibangun di atas serangkaian kontras yang mendidik:

Struktur kontras ini adalah teknik retoris khas Al-Qur’an yang bertujuan untuk mengukuhkan ajaran dengan jelas, membagi hal yang benar dan salah, serta menyajikan pemahaman yang komprehensif tentang hubungan manusia dengan wahyu Ilahi.


X. Kesimpulan Akhir: Warisan Abadi Al-Ma’idah 5:48

Al-Ma’idah ayat 48 adalah salah satu landasan teologis terpenting dalam Islam. Ia tidak hanya mendefinisikan hubungan historis dan hukum antara Al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya, tetapi juga memberikan kerangka kerja universal untuk etika, pemerintahan, dan kehidupan spiritual.

Pelajaran utama yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:

  1. Otoritas Al-Qur’an Absolut: Sebagai Muhaymin, Al-Qur’an adalah sumber hukum tertinggi yang memelihara kebenaran inti semua risalah dan mengoreksi distorsi atau abrasi hukum yang terjadi sebelumnya.
  2. Keadilan dan Integritas Hukum: Kewajiban utama umat Islam adalah memutuskan perkara dan menjalani hidup berdasarkan hukum yang diturunkan Allah, menolak keras pengaruh hawa nafsu dan kepentingan duniawi.
  3. Tujuan di Balik Keragaman: Adanya Syir’ah dan Minhāj yang berbeda pada masa lalu adalah bagian dari rencana Ilahi untuk menguji umat manusia. Ujian ini berlanjut dengan Syari’ah Islam yang final.
  4. Fokus pada Kebaikan: Respons terhadap keragaman dan ujian ini bukanlah perselisihan yang sia-sia, melainkan perlombaan universal dalam melakukan kebaikan (Istibāq al-Khayrāt), yang merupakan wujud sejati dari pengabdian kepada Allah.

Ayat ini mengajarkan umat manusia bahwa meskipun jalan ritual dan hukum mungkin berbeda, tujuan akhir dari semua wahyu adalah satu: pengembalian kepada Allah (Marji’ukum jamī’an) dalam keadaan suci dan penuh amal saleh. Pemahaman yang mendalam terhadap Al-Ma’idah 5:48 memastikan bahwa umat Islam dapat memegang teguh keyakinan mereka, sambil tetap berinteraksi secara konstruktif dan etis dengan dunia yang beragam.

Al-Qur’an, sebagai Muhaymin, berdiri sebagai bukti abadi atas janji Allah untuk menjaga kebenaran, menuntut keadilan, dan memberikan jalan terang bagi setiap jiwa yang mencari petunjuk sejati. Ia adalah panduan, pelindung, dan penentu hukum tertinggi hingga Hari Kiamat. Ini adalah pesan dari ayat 48 Surah Al-Ma’idah yang menggema melintasi zaman dan peradaban.

Tugas kita, sebagai generasi penerus, adalah menginternalisasi perintah ini. Kita harus memastikan bahwa hidup kita dipandu oleh Al-Qur’an sebagai standar Muhaymin, menjadikannya hakim atas segala keputusan dan standar bagi semua tindakan. Kita harus menjauhkan diri dari godaan hawa nafsu yang berusaha merusak kemurnian Syari’ah Ilahi. Dan yang terpenting, kita harus aktif dan bersemangat dalam perlombaan kebaikan, karena pada akhirnya, semua akan dikembalikan kepada Sang Pencipta, yang akan mengungkapkan segala sesuatu yang pernah kita perselisihkan.

Kekuatan dan keagungan ayat ini terletak pada kemampuannya menyatukan sejarah kenabian, menetapkan kedaulatan hukum, dan memberikan etika praktis universal yang relevan bagi seluruh umat manusia, dahulu, kini, dan selamanya.

🏠 Kembali ke Homepage