Pendahuluan: Keagungan Surah Al-Kahfi
Surah Al-Kahfi, yang berarti 'Gua', adalah surah ke-18 dalam Al-Qur'an. Surah Makkiyah ini memiliki posisi yang sangat penting dalam ajaran Islam, bukan hanya karena ia mengisahkan beberapa cerita luar biasa — Ashabul Kahfi (Penghuni Gua), kisah Nabi Musa dan Khidir, serta kisah Dzulqarnain — tetapi juga karena ia berfungsi sebagai benteng spiritual bagi seorang Muslim.
Empat kisah utama dalam surah ini secara kolektif membahas empat jenis fitnah (ujian) terbesar yang akan dihadapi manusia dalam kehidupan: fitnah agama (diwakili oleh Ashabul Kahfi), fitnah harta (Kisah dua pemilik kebun), fitnah ilmu (Kisah Musa dan Khidir), dan fitnah kekuasaan (Kisah Dzulqarnain).
Namun, inti dan pondasi dari semua ajaran ini terkandung dalam sepuluh ayat pertama. Sepuluh ayat inilah yang secara spesifik ditekankan oleh Rasulullah ﷺ sebagai perlindungan dari fitnah terbesar di akhir zaman, yaitu fitnah Dajjal. Memahami secara mendalam ayat 1 sampai 10 adalah langkah krusial untuk mengokohkan tauhid dan kesiapan menghadapi ujian dunia.
(Ilustrasi SVG: Cahaya Ilahi yang memancar dari kegelapan (gua), melambangkan petunjuk Al-Qur'an.)
Keutamaan Khusus Ayat 1-10
Banyak hadis sahih yang menekankan manfaat membaca sepuluh ayat pertama ini. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barangsiapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari Surah Al-Kahfi, dia akan dilindungi dari (fitnah) Dajjal." (HR. Muslim).
Perlindungan ini tidak hanya didapatkan melalui hafalan lisan semata, tetapi juga melalui penghayatan makna yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat ini memberikan peta jalan yang jelas mengenai hakikat ketuhanan, kekuasaan Allah, dan peringatan akan tipu daya dunia yang menyesatkan.
Tafsir Ayat 1-2: Puji dan Kesempurnaan Kitab
قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا
Penjelasan Mendalam Ayat 1: Pujian dan Keterlurusan Al-Qur'an
Ayat ini dibuka dengan Alhamdulillāh (Segala puji bagi Allah). Ini adalah kunci utama surah ini, mengarahkan hati manusia untuk menyadari bahwa segala keagungan dan kesempurnaan hanya milik Allah. Konteks pujian ini secara spesifik ditujukan karena Allah telah menurunkan Al-Kitāb (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad ﷺ).
Poin krusial di sini adalah frasa: وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا (dan Dia tidak menjadikan padanya sedikit pun kebengkokan). Kata ‘Iwajā (kebengkokan) menunjukkan bahwa Al-Qur'an bebas dari segala kontradiksi, kekeliruan, kekurangan, atau kebatilan. Ini adalah jaminan ilahi atas kemurnian dan kesahihan wahyu. Al-Qur'an adalah petunjuk yang sempurna, tidak bengkok dalam hukumnya, maupun dalam kisah-kisahnya.
Analisis Bahasa dan Tauhid dalam ‘Iwajā
Dalam bahasa Arab, terdapat dua kata yang mirip: ‘Iwaj (dengan kasrah pada ‘ain) dan ‘Auj (dengan fathah pada ‘ain). ‘Auj sering digunakan untuk kebengkokan yang terlihat (misalnya pada sebatang kayu). Sementara ‘Iwaj digunakan untuk kebengkokan yang bersifat maknawi atau spiritual, seperti pada perilaku atau pemikiran. Penggunaan kata ‘Iwajā di sini menegaskan bahwa Al-Qur'an sempurna baik secara lahiriah (struktur bahasa dan hukum) maupun batiniah (prinsip-prinsip aqidah dan tauhid). Jika petunjuk itu bengkok, ia akan menyesatkan. Karena Al-Qur'an lurus, ia menjamin keselamatan bagi yang mengikutinya.
Fitnah Dajjal, sebagai fitnah terbesar, adalah inti dari kebengkokan dan tipu daya. Dengan menegaskan bahwa Al-Qur'an itu lurus, Allah memberikan perlindungan logis: petunjuk yang lurus akan selalu menyelamatkan dari tipu daya yang bengkok.
Penjelasan Mendalam Ayat 2: Qayyimā, Inzār, dan Tabshīr
Kata قَيِّمًا (Qayyimā) berarti ‘lurus’ dan juga ‘penjaga’ atau ‘pemelihara’. Al-Qur'an adalah kitab yang lurus, yang membimbing manusia kepada jalan yang paling benar. Ia juga adalah pemelihara kebenaran. Tanpa Al-Qur'an, manusia pasti akan menyimpang.
Tujuan utama diturunkannya Kitab ini diungkapkan melalui dua peran utama (fungsi risalah):
- Liyundzira Ba’san Shadīdan (Untuk memperingatkan siksa yang sangat pedih). Ini adalah peran Inzār (peringatan). Peringatan ini datang min ladunhū (dari sisi-Nya), menunjukkan bahwa siksa itu adalah kebenaran mutlak yang tidak dapat dibantah, langsung dari Sumber Kekuasaan.
- Wa Yubashshirul Mu’minīna (Dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin). Ini adalah peran Tabshīr (kabar gembira). Balasan yang baik (Ajran Hasanā) yang dijanjikan adalah Surga Jannah.
Kesempurnaan Al-Qur'an terletak pada keseimbangan antara peringatan (Khauf) dan harapan (Rajā’), yang merupakan tiang penyangga ibadah seorang mukmin.
Tafsir Ayat 3-5: Keabadian Balasan dan Peringatan Keras
وَيُنْذِرَ الَّذِينَ قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا ۙ
مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِآبَائِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ ۚ إِنْ يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا
Ayat 3: Kekekalan Balasan Baik
Ayat 3 memberikan detail dari Ajran Hasanā (balasan baik) yang disebutkan di ayat sebelumnya: مَاكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya). Penekanan pada kata Abadā (selamanya) menanamkan motivasi mendalam bagi orang beriman. Kenikmatan Surga bukanlah sementara, melainkan kekal abadi, nilai terbesar dari semua pahala.
Ayat 4-5: Inti Fitnah: Klaim Ketuhanan
Ayat 4 dan 5 mengalihkan fokus dari kabar gembira kepada peringatan keras. Peringatan ini secara spesifik ditujukan kepada mereka yang menyimpang dari Tauhid, khususnya kaum yang menyatakan bahwa Allah memiliki anak (merujuk kepada kaum Nasrani dan polytheis Arab).
Ayat ini secara langsung menyerang akar dari fitnah terbesar: penyimpangan dalam akidah. Jika seseorang meyakini bahwa Allah memiliki anak, ia telah meruntuhkan konsep keesaan (Tauhid) yang mutlak. Inilah yang menjadi landasan bagi semua fitnah lainnya, termasuk fitnah kekuasaan, harta, dan bahkan Dajjal, yang pada intinya akan mengklaim ketuhanan.
Kritik Terhadap Klaim Tanpa Ilmu
Allah SWT menanggapi klaim ini dengan keras dalam firman-Nya: مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِآبَائِهِمْ (Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, begitu pula nenek moyang mereka). Ini adalah kritik fundamental terhadap taklid buta dan keyakinan yang tidak didasarkan pada bukti, akal sehat, atau wahyu yang otentik.
Klaim bahwa Allah memiliki anak adalah klaim teologis terbesar, namun mereka mengatakannya tanpa dasar ilmu sedikit pun. Klaim ini datang hanya dari dugaan, mitologi, atau tradisi yang diwariskan tanpa verifikasi.
Besarnya Perkataan Dusta (Kaburat Kalimah)
Puncaknya adalah frasa: كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ (Alangkah keji/besarnya perkataan yang keluar dari mulut mereka). Kata Kaburat (menjadi besar/keji) menunjukkan betapa seriusnya pernyataan syirik ini di mata Allah. Itu bukan sekadar kesalahan kecil, melainkan penghinaan terbesar terhadap keagungan Allah Yang Maha Esa.
Dinyatakan bahwa ucapan itu hanya dusta (إِلَّا كَذِبًا). Klaim ketuhanan Dajjal di akhir zaman juga merupakan dusta terbesar yang pernah diucapkan manusia. Ayat-ayat ini mempersenjatai orang beriman dengan prinsip tauhid yang murni, sehingga ketika fitnah klaim ketuhanan muncul, fondasi iman mereka tidak akan goyah.
Tafsir Ayat 6-8: Kesedihan Nabi dan Hakikat Dunia
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۙ
وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا
Ayat 6: Kasih Sayang Nabi Muhammad ﷺ
Ayat ini memberikan penghiburan kepada Rasulullah ﷺ. Frasa فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ (Maka barangkali engkau akan membinasakan dirimu) menunjukkan betapa sedih dan khawatirnya Nabi terhadap orang-orang kafir yang menolak wahyu. Beliau begitu bersemangat agar umatnya mendapat petunjuk, hingga kekafiran mereka menyakitinya secara fisik dan mental.
Allah mengingatkan Nabi bahwa tugasnya hanyalah menyampaikan, bukan memaksa mereka beriman. Ayat ini berfungsi sebagai pelajaran bagi setiap dai dan Muslim: kesedihan yang berlebihan atas penolakan petunjuk tidak diperlukan, karena hidayah adalah hak mutlak Allah.
Ayat 7: Hakikat Perhiasan Dunia (Zīnah)
Ayat ini adalah kunci utama dalam memahami fitnah harta dan dunia, yang juga merupakan salah satu fitnah utama Dajjal.
Allah menegaskan: إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ (Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami uji mereka). Segala sesuatu yang indah, mewah, dan menarik di bumi (harta, jabatan, pasangan, keturunan) hanyalah perhiasan (Zīnah) yang bersifat sementara.
Tujuan dari perhiasan itu hanyalah satu: لنَبْلُوَهُمْ (untuk menguji mereka). Ujian tersebut adalah untuk melihat أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا (siapakah di antaranya yang terbaik amalnya). Nilai seseorang di sisi Allah bukan pada seberapa banyak ia mengumpulkan perhiasan, melainkan pada kualitas amal perbuatannya.
Konteks dengan Fitnah Dajjal
Dajjal akan muncul dengan membawa fitnah kekayaan dan kemakmuran palsu. Ia akan memerintahkan langit untuk hujan dan bumi untuk menumbuhkan tanaman. Orang yang terpesona oleh perhiasan dunia akan mudah tunduk pada Dajjal. Ayat 7 mengajarkan bahwa kekayaan duniawi hanyalah alat ujian. Dengan menghayati ayat ini, hati seorang Muslim menjadi kebal terhadap pesona dunia yang menipu.
Ayat 8: Kehancuran Abadi (Sa’īdan Juruzā)
Ayat 8 memberikan perspektif yang bertolak belakang dengan Ayat 7: وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا (Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya tandus dan gersang).
Semua perhiasan yang disebutkan di ayat sebelumnya akan lenyap. Sa’īdan Juruzā adalah tanah yang gersang, tandus, dan tidak menghasilkan apa-apa. Ini adalah gambaran hari Kiamat dan kehancuran total. Pesannya jelas: jika perhiasan dunia akan musnah, mengapa kita menaruh harapan abadi padanya?
Ayat ini adalah penawar dari fitnah dunia. Ia mengajarkan Zuhud (tidak melekat pada dunia) dan mengingatkan bahwa investasi sejati adalah pada amal saleh yang kekal.
Tafsir Ayat 9-10: Kisah Ashabul Kahfi sebagai Tanda
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
Ayat 9: Perkenalan kepada Tanda Kebesaran (Āyāt)
Ayat ini berfungsi sebagai jembatan menuju kisah utama dalam surah, Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) dan Ar-Raqim (pelat batu yang mencatat nama mereka, menurut sebagian mufassir). Allah bertanya kepada Nabi (dan juga kepada kita): Apakah kisah mereka adalah satu-satunya tanda kebesaran yang menakjubkan?
Jawabannya tersirat adalah ‘tidak’. Seluruh alam semesta dan Al-Qur'an itu sendiri adalah tanda-tanda yang jauh lebih besar dan menakjubkan. Kisah Ashabul Kahfi hanyalah salah satu contoh bagaimana Allah melindungi hamba-Nya yang berpegang teguh pada tauhid dari fitnah agama. Meskipun kisah mereka luar biasa, mukjizat perlindungan Al-Qur'an (Ayat 1-2) jauh lebih mendasar.
Ayat 10: Inti Doa Perlindungan (Rahmah dan Rushdā)
Ayat 10 mencatat momen ketika sekelompok pemuda (al-fityah) mencari perlindungan di dalam gua. Hal yang paling penting di sini adalah doa yang mereka panjatkan, yang menjadi model doa perlindungan dari segala fitnah:
رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
"Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)."
Doa ini memohon dua hal penting dari Allah min ladunk (dari sisi-Mu, menunjukkan permohonan yang spesifik dan langsung dari Allah):
- Rahmah (Kasih sayang): Mereka meminta perlindungan fisik, emosional, dan spiritual dalam situasi yang sangat genting (melarikan diri dari raja yang zalim). Rahmat Allah adalah pelindung utama.
- Rushdā (Petunjuk yang lurus): Mereka meminta bimbingan yang benar agar keputusan yang mereka ambil (bersembunyi) adalah keputusan yang diridhai Allah dan membawa mereka kepada kesuksesan di dunia dan akhirat.
Permintaan akan Rushdā (petunjuk yang lurus) ini sangat relevan. Fitnah selalu disertai kebingungan. Ketika Dajjal muncul, ia akan membalikkan kebenaran dan kebatilan. Orang yang memegang teguh petunjuk lurus (Rushdā) yang dimohonkan ini tidak akan tertipu oleh kebatilan yang disajikan sebagai kebenaran.
Pendalaman Tematik dan Linguistik Al Kahfi 1-10
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu membedah lebih dalam korelasi antara sepuluh ayat ini dan bagaimana ia bekerja sebagai pertahanan spiritual terhadap Dajjal.
1. Tauhid Mutlak (Melawan Klaim Ketuhanan Dajjal)
Ayat 1 dibuka dengan Alhamdulillah, Ayat 4 dan 5 menutup pintu terhadap segala klaim ketuhanan palsu. Dajjal akan mengklaim sebagai Tuhan. Bagi yang menghayati Ayat 1-5, klaim itu akan tampak sebagai Kaburat Kalimah (perkataan yang sangat keji) dan Kadzibā (dusta) yang dilarang keras oleh Al-Qur'an.
Pentingnya Tauhid murni: Fitnah terbesar selalu berakar pada syirik. Dengan berulang kali mengulang tafsir Ayat 4 dan 5, seorang mukmin melatih dirinya untuk menolak premis utama yang akan dibawa oleh Dajjal: bahwa ada tuhan selain Allah.
2. Hakikat Dunia yang Fana (Melawan Fitnah Harta Dajjal)
Ayat 7 dan 8 menyediakan pemahaman esensial tentang Zīnah (perhiasan dunia). Dunia adalah ujian, bukan tujuan. Ketika Dajjal memegang kunci kekayaan, memerintahkan kekeringan, dan membagi kemakmuran kepada pengikutnya, orang yang memahami Ayat 7 akan sadar bahwa semua itu adalah ilusi yang pada akhirnya akan menjadi Sa’īdan Juruzā (tanah gersang).
Kajian Kata Kunci: Qayyimā vs ‘Iwajā
Keterhubungan antara Ayat 1 dan Ayat 10 sangat mendalam. Ayat 1 menggambarkan Al-Qur'an sebagai Qayyimā (lurus dan penopang). Ayat 10 adalah doa Ashabul Kahfi yang memohon Rushdā (petunjuk yang lurus). Keduanya, Qayyim dan Rushd, memiliki akar makna yang sama, yaitu kelurusan dan kebenaran mutlak.
Ketika seorang mukmin memegang Al-Qur'an yang Qayyimā, ia telah memiliki peta jalan yang lurus. Ketika ia menghadapi fitnah, ia memohon Rushdā agar ia tidak menyimpang dari peta tersebut. Ini adalah pertahanan ganda: memiliki Kitab yang lurus dan memohon bimbingan lurus dari-Nya.
3. Peran Kenabian dan Peringatan (Inzār dan Tabshīr)
Ayat 2 dan 6 menggarisbawahi peran Nabi Muhammad ﷺ. Beliau diutus untuk memperingatkan (Inzār) tentang siksa pedih (bagi yang menyekutukan Allah, seperti di Ayat 4) dan memberi kabar gembira (Tabshīr) tentang balasan kekal (Ayat 3).
Ayat 6 menunjukkan betapa berharganya pesan ini bagi Rasulullah, hingga beliau hampir membinasakan diri karena sedih melihat penolakan. Ini mengajarkan pentingnya menyampaikan kebenaran ini kepada orang lain, meskipun responsnya sulit.
Manfaat Spiritual dan Praktis Mengamalkan Ayat 1-10
Penghayatan sepuluh ayat pertama Al-Kahfi bukan sekadar latihan menghafal, tetapi merupakan pengembangan sistem kekebalan spiritual yang terdiri dari lima pilar utama:
Pilar 1: Fondasi Tauhid yang Kokoh
Pengulangan penolakan terhadap klaim bahwa Allah memiliki anak (Ayat 4-5) membersihkan hati dari segala bentuk syirik. Dalam dunia modern, syirik muncul dalam bentuk memuja materi, idolatri selebriti, atau menuhankan ideologi manusia. Ayat-ayat ini memastikan bahwa Allah adalah satu-satunya sumber kekuasaan dan petunjuk.
Pilar 2: Persepsi yang Benar tentang Dunia
Ayat 7 dan 8 menempatkan dunia (Zīnah) pada posisi yang seharusnya: sebagai panggung ujian, bukan rumah yang kekal. Ini melawan materialisme dan ambisi duniawi yang berlebihan, yang seringkali menjadi pintu masuk fitnah.
Pilar 3: Kesadaran akan Akhirat yang Abadi
Penekanan pada kekekalan balasan (Mākihtīna Fīhi Abadā - Ayat 3) mengalihkan fokus dari keuntungan jangka pendek duniawi ke ganjaran jangka panjang Akhirat. Hal ini memberikan motivasi untuk beramal saleh (Ahsanu ‘Amalā) meskipun harus berkorban di dunia.
Pilar 4: Memohon Petunjuk Lurus (Rushdā)
Doa Ashabul Kahfi (Ayat 10) adalah blueprint untuk mengatasi setiap kebingungan. Di era informasi yang membanjiri dan menyesatkan, kemampuan untuk memohon dan menerima Rushdā adalah keterampilan bertahan hidup spiritual yang paling penting.
Pilar 5: Memahami Kesempurnaan Al-Qur'an
Keyakinan bahwa Al-Qur'an tidak memiliki kebengkokan (‘Iwajā - Ayat 1) dan merupakan bimbingan yang lurus (Qayyimā - Ayat 2) menghilangkan keraguan terhadap wahyu. Ini melindungi seorang Muslim dari ideologi-ideologi kontemporer yang berusaha mendiskreditkan otoritas Al-Qur'an atau mencari petunjuk di luar batas-batasnya.
Mengulang-ulang pembacaan dan penghayatan ayat-ayat ini setiap hari, atau khususnya pada hari Jumat, adalah praktik yang memelihara kekebalan spiritual, memastikan bahwa fondasi iman selalu diperbarui dan siap menghadapi guncangan fitnah, baik yang kecil maupun yang besar di akhir zaman.
Elaborasi Mengenai Perlindungan dari Dajjal
Mengapa sepuluh ayat ini secara spesifik melindungi dari Dajjal? Karena Dajjal akan menguji manusia pada empat bidang utama yang ditangani Al-Kahfi:
- Fitnah Tauhid: Dajjal mengklaim ketuhanan. Ayat 1-5 adalah penolakan tegas terhadap klaim ini.
- Fitnah Duniawi: Dajjal membawa kekayaan dan kemakmuran palsu. Ayat 7-8 mengajarkan bahwa semua itu adalah perhiasan yang akan musnah.
- Fitnah Kebingungan: Dajjal memutarbalikkan kebenaran. Ayat 1 dan 10 memastikan bahwa petunjuk Allah adalah satu-satunya sumber kelurusan (Qayyimā dan Rushdā).
Dengan menghafal dan memahami ayat-ayat ini, seorang Muslim tidak hanya memiliki kunci untuk membuka surah tersebut, tetapi juga memegang kunci untuk mengunci pintu hati dari tipuan Dajjal.
Implikasi Lebih Lanjut dalam Kehidupan Sehari-hari
Pelajaran dari Al-Kahfi 1-10 dapat diterapkan dalam setiap aspek kehidupan. Ketika dihadapkan pada godaan untuk berbuat curang demi harta (melanggar Ayat 7 dan 8), atau ketika meragukan kebenaran ajaran Islam di tengah derasnya serangan ideologi sekuler (melanggar Ayat 1 dan 2), seorang mukmin harus kembali pada prinsip-prinsip ini.
Tafsir ini berfungsi sebagai pengingat bahwa tujuan hidup adalah pengujian (Ibtilā’) untuk menghasilkan amal terbaik (Ahsanu ‘Amalā), dan bukan untuk mengejar perhiasan fana yang akan sirna menjadi tanah gersang.
Kesimpulan dari sepuluh ayat ini adalah pengukuhan terhadap kesempurnaan Al-Qur'an sebagai panduan, keesaan Allah yang absolut, dan sifat sementara dari kehidupan duniawi. Ketiga elemen ini adalah benteng yang tidak akan pernah runtuh di hadapan fitnah apapun.
Melalui kajian yang mendalam ini, diharapkan setiap Muslim dapat meningkatkan kualitas penghayatan terhadap sepuluh ayat agung ini, menjadikannya bukan sekadar bacaan rutin, tetapi tameng spiritual yang melindungi hati dan akal dari segala bentuk penyimpangan. Ini adalah pondasi kuat sebelum memasuki kisah-kisah fitnah yang lebih kompleks di bagian-bagian surah Al-Kahfi berikutnya.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita rahmat-Nya dan petunjuk yang lurus (Rushdā) dalam setiap urusan kita, sebagaimana permohonan tulus dari para pemuda Ashabul Kahfi.