AL-BAQARAH AYAT 42: LARANGAN MENCAMPUR DAN MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

Simbol Mencampur Kebenaran Ilustrasi dua bentuk yang saling tumpang tindih, satu putih terang (Kebenaran) dan satu abu-abu keruh (Kebatilan), menunjukkan kebenaran yang dikaburkan atau disembunyikan. الحق

Teks Suci dan Terjemahannya

Ayat ke-42 dari Surah Al-Baqarah merupakan salah satu fondasi etika intelektual dan spiritual dalam Islam. Ayat ini secara tegas melarang praktik manipulasi informasi dan penutupan fakta yang esensial. Secara harfiah, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Transliterasi: Wa lā talbisul-ḥaqqa bil-bāṭili wa taktumul-ḥaqqa wa antum ta‘lamūn.

Terjemahan (Kementerian Agama RI): “Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.”

Analisis Linguistik dan Terminologi Kunci

Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah tiga konsep utama yang dilarang dan satu kondisi yang menyertainya:

1. Larangan Pertama: La Talbisu (Jangan Kamu Campur Adukkan)

Kata talbisu berasal dari akar kata labasa (لَبَسَ) yang berarti mencampur, mengaburkan, atau membuat bingung. Kata ini berbeda dengan khalaṭa (mencampur fisik). Talbis merujuk pada pencampuran yang bertujuan untuk mengaburkan batasan, sehingga audiens tidak dapat membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Dalam konteks doktrinal, talbisul-haqqi bil-bāṭili adalah tindakan memasukkan sedikit kebohongan atau interpretasi palsu ke dalam sejumlah besar kebenaran, menghasilkan ramuan yang menyesatkan.

Pencampuran ini menciptakan ilusi kebenaran. Orang yang melakukan *talbis* sering menggunakan argumentasi yang sangat logis di permukaan, diselingi dengan fakta yang benar, namun disimpulkan pada premis palsu. Ini adalah metode yang sangat efektif untuk menyesatkan karena ia tidak sepenuhnya menolak kebenaran, melainkan hanya merusaknya dari dalam. Ibnu Taimiyah, dalam analisisnya tentang penyimpangan, menekankan bahwa *talbis* adalah strategi utama kaum munafik dan mereka yang berhati sakit, yang ingin menyesatkan umat tanpa tampak secara eksplisit menentang wahyu.

Akar Filosofis Talbis

Dalam ilmu kalam dan ushul fiqh, *talbis* dianggap sebagai tindakan yang merusak fondasi ilmu. Ketika seseorang mencampurkan dua hal, kebenaran (al-Haqq) dan kebatilan (al-Batil), ia merampas hak orang lain untuk membuat keputusan yang berdasarkan pengetahuan yang murni. Ini bukan sekadar kesalahan, tetapi sebuah manipulasi yang disengaja. Talbis menciptakan zona abu-abu yang berbahaya, di mana kebenaran yang absolut (seperti tauhid atau kenabian Muhammad ﷺ) dibungkus dengan keraguan-keraguan kecil yang lama kelamaan menghancurkan keyakinan.

Tingkat bahaya *talbis* lebih tinggi daripada kebohongan murni (kadhib) karena kebohongan murni mudah dikenali dan ditolak. *Talbis*, sebaliknya, menyamar sebagai kebijaksanaan atau pengetahuan yang mendalam, sehingga lebih mudah diterima oleh pikiran yang tidak kritis. Mencampur adukkan ayat-ayat suci dengan interpretasi yang didorong oleh hawa nafsu atau kepentingan duniawi adalah bentuk *talbis* yang paling parah.

2. Larangan Kedua: Wa Taktumūl-Ḥaqqa (Dan Kamu Sembunyikan Kebenaran)

Kata taktumū berasal dari akar kata katama (كَتَمَ) yang berarti menyembunyikan, merahasiakan, atau menahan. Ini adalah larangan yang berbeda dari talbis, meskipun sering terjadi secara bersamaan. Jika talbis adalah tindakan aktif mengaburkan, kitmānul-ḥaqq adalah tindakan pasif menahan informasi vital.

Dalam konteks historis ayat ini—yang ditujukan kepada Bani Israel di Madinah—larangan ini sangat spesifik: mereka dilarang menyembunyikan kebenaran yang tertulis dalam kitab suci mereka (Taurat dan Injil) mengenai ciri-ciri Nabi Muhammad ﷺ dan keharusan mengikutinya. Mereka memiliki pengetahuan, tetapi mereka menahannya karena takut kehilangan kekuasaan, status sosial, atau keuntungan ekonomi yang mereka nikmati sebagai pemegang otoritas agama.

Perbedaan Talbis dan Kitman

Keduanya sama-sama merusak. Orang yang melakukan talbis adalah pembual yang membuat ilusi, sementara orang yang melakukan kitman adalah penjaga gerbang yang korup, menahan kunci yang dibutuhkan orang lain untuk mencapai keselamatan.

3. Objek Sentral: Al-Haqq (Kebenaran) dan Al-Bāṭil (Kebatilan)

Al-Haqq adalah kebenaran yang mutlak, yang bersumber dari Allah, meliputi wahyu, ajaran tauhid, dan hukum-hukum syariat. Al-Batil adalah lawannya—kepalsuan, dusta, syirik, dan segala sesuatu yang bertentangan dengan fitrah dan wahyu. Tujuan ayat ini adalah menjaga kemurnian Al-Haqq agar tidak terkontaminasi oleh Al-Batil, baik melalui pencampuran maupun penahanan.

4. Kondisi yang Menyertai: Wa Antum Ta‘lamūn (Sedangkan Kamu Mengetahuinya)

Frasa ini menunjukkan tingkat dosa yang sangat tinggi. Larangan ini ditujukan kepada orang-orang yang berilmu (ulamā, pendeta, atau cendekiawan). Menyembunyikan atau mencampur kebenaran karena ketidaktahuan adalah kesalahan, tetapi menyembunyikan kebenaran *sedangkan kamu mengetahuinya* adalah dosa besar (karena didasarkan pada kesombongan, kedengkian, atau kepentingan duniawi). Ini adalah pengkhianatan terhadap amanah ilmu.

Tafsir Klasik: Konteks Bani Israel dan Amanah Ilmu

Mayoritas mufassir klasik (seperti Imam At-Tabari, Ibnu Kathir, dan Al-Qurtubi) sepakat bahwa sasaran utama ayat ini, ketika diturunkan di Madinah, adalah para ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang hidup di sekitar Nabi Muhammad ﷺ. Mereka secara khusus dituduh melanggar perjanjian dengan Allah dengan cara:

1. Ibnu Katsir: Fokus pada Nubuat

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ‘Al-Haqq’ yang dimaksud di sini secara spesifik adalah pengakuan terhadap kenabian Muhammad ﷺ dan sifat-sifatnya yang tertulis jelas dalam Taurat dan Injil. Ketika Nabi ﷺ datang, para pemimpin Yahudi Madinah menghadapi dilema: jika mereka mengakui Nabi, mereka akan kehilangan posisi keagamaan dan keuntungan materi. Oleh karena itu, mereka mencampur adukkan ajaran (talbis) dengan mengubah interpretasi teks suci, dan mereka menyembunyikan (kitman) bagian-bagian yang jelas merujuk kepada Nabi Islam.

Contoh nyata dari *talbis* mereka adalah ketika mereka mengakui bahwa Muhammad adalah seorang Nabi, tetapi mereka mengklaim bahwa kenabiannya hanya ditujukan kepada bangsa Arab, bukan kepada mereka. Ini adalah pencampuran: mengambil fakta kenabian (Al-Haqq) tetapi menambahkan batasan palsu (Al-Batil).

2. Imam At-Tabari: Cakupan yang Lebih Luas

Meskipun mengakui konteks historis Bani Israel, Imam At-Tabari juga menekankan bahwa ayat ini berlaku umum bagi seluruh umat Islam dan ahli ilmu di setiap zaman. Larangan ini mencakup:

At-Tabari melihat bahwa dosa *kitmanul haq* (menyembunyikan kebenaran) sama parahnya dengan dosa *syirk* (menyekutukan Allah) karena keduanya merusak fondasi agama yang benar.

3. Al-Qurtubi: Implikasi Fiqih

Imam Al-Qurtubi fokus pada kewajiban ulama. Beliau menegaskan bahwa jika seorang ulama diminta fatwa atau pandangan hukum, ia wajib menyampaikan kebenaran, meskipun hasilnya tidak disukai oleh penanya atau penguasa. Menyembunyikan hukum syariat karena takut celaan manusia atau demi imbalan duniawi dianggap sebagai wujud langsung dari pelanggaran Al-Baqarah 2:42.

Konsep *kitman* dalam pandangan Al-Qurtubi meluas hingga mencakup larangan menahan pengetahuan yang krusial bagi keselamatan umat, seperti penjelasan tentang halal dan haram, atau bahaya bid’ah. Ini adalah amanah yang harus disampaikan tanpa syarat.

Implikasi Kontemporer: Talbisul Haq di Era Digital

Ayat Al-Baqarah 2:42 bukanlah sekadar kritik sejarah terhadap ahli kitab masa lampau; ia adalah peta jalan abadi untuk integritas intelektual dan kejujuran dalam menyampaikan pesan. Di era informasi modern, praktik *talbisul-haq* (pencampuran kebenaran) dan *kitmanul-haq* (penyembunyian kebenaran) telah mengambil bentuk-bentuk baru yang canggih.

1. Talbis dalam Narasi Media dan Politik

Di masa kini, *talbis* adalah strategi utama dalam propaganda dan penyebaran misinformasi.

Fakta Parsial (Partial Truth):

Informasi disajikan berdasarkan data yang benar, tetapi konteksnya dihilangkan secara strategis, mengubah makna keseluruhan. Misalnya, mengutip sebagian hadis tanpa mengutip hadis pelengkap yang menjelaskan pengecualian, sehingga menghasilkan hukum yang ekstrem atau menyesatkan. Ini adalah *talbis* yang sempurna: menggunakan Al-Haqq untuk mencapai Al-Batil.

Opini sebagai Fakta:

Presentasi pandangan subjektif atau interpretasi yang lemah sebagai sebuah kepastian ilmiah atau doktrinal. Hal ini sering terjadi ketika seseorang yang memiliki otoritas (publik figur, akademisi, atau penceramah) menyampaikan pandangannya, tetapi gagal membedakan antara yang disepakati (mu’tabar) dan pandangan minoritas (syādh), menyebabkan kebingungan di tengah masyarakat.

2. Kitman dalam Lingkup Akademik dan Keilmuan

Penyembunyian kebenaran tidak hanya terjadi di ranah agama, tetapi juga di lingkungan ilmiah dan profesional.

Bahaya terbesar dari *kitmanul haq* dalam konteks modern adalah erosi kepercayaan. Ketika masyarakat mengetahui bahwa otoritas yang seharusnya menyampaikan kebenaran justru menyembunyikannya, mereka kehilangan pegangan moral dan spiritual, membuka pintu bagi relativisme dan skeptisisme yang merusak.

Studi Mendalam: Peran Kesadaran ("Wa Antum Ta‘lamūn")

Kondisi "sedangkan kamu mengetahuinya" (wa antum ta‘lamūn) adalah inti moralitas dalam ayat ini. Ini memindahkan perbuatan dari kategori kesalahan yang dapat dimaafkan menjadi kejahatan moral yang disengaja.

1. Pengetahuan dan Tanggung Jawab

Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang tentang Al-Haqq, semakin besar tanggung jawabnya untuk menyampaikannya secara murni. Ayat ini menetapkan prinsip pedagogi Islam: penyampaian ilmu harus transparan, jujur, dan bebas dari agenda tersembunyi.

Ulama yang mengetahui sebuah hadis sahih yang bertentangan dengan praktik umum di wilayahnya, tetapi memilih untuk diam karena takut konflik, telah jatuh dalam perangkap *kitman*. Dokter yang mengetahui efek samping fatal dari obat, tetapi menyembunyikannya dari pasien demi keuntungan farmasi, melakukan *kitman* dalam ranah profesional. Ayat ini menembus semua batas profesi.

2. Hukuman bagi Kitmanul Haq

Dalam Surah Al-Baqarah ayat 159, Allah berfirman mengenai mereka yang menyembunyikan keterangan yang jelas:

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.” (QS. Al-Baqarah: 159)

Ancaman laknat ini menunjukkan betapa seriusnya dosa menyembunyikan ilmu. Pengetahuan yang disembunyikan ibarat harta karun yang dikunci di bawah tanah saat manusia kelaparan; ia bukan lagi milik pribadi, melainkan amanah universal yang harus diedarkan.

Motif di Balik Penyembunyian

Menurut kajian psikologi agama, *kitmanul haq* hampir selalu didorong oleh motif duniawi (al-a’rāḍ ad-dunyawiyyah), yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis:

  1. Kekuatan dan Kedudukan (Za’āmah): Takut kehilangan pengikut, jabatan, atau otoritas keagamaan.
  2. Kekayaan (Māl): Menjual fatwa atau menyembunyikan fakta demi imbalan materi atau sumbangan.
  3. Kedengkian dan Kebencian (Ḥasad): Tidak mau mengakui kebenaran yang datang dari pihak yang tidak disukai atau dipandang sebagai saingan.

Kebenaran sebagai Pilar Akhlak dan Dakwah

Ayat 42 dari Al-Baqarah tidak hanya berisi larangan, tetapi juga perintah implisit untuk menjunjung tinggi kejujuran dan transparansi. Ini adalah prinsip etika yang mendasar bagi dakwah yang efektif.

1. Prinsip Klarifikasi (At-Tabayyun)

Jika dilarang mencampur adukkan, maka wajib hukumnya untuk memurnikan. Prinsip *tabayyun* (klarifikasi) menjadi kewajiban bagi setiap muslim yang berilmu. Dalam menyampaikan ajaran, seorang dai harus memastikan bahwa audiensnya dapat membedakan mana yang merupakan dalil qath'i (pasti) dan mana yang merupakan ijtihad (pendapat manusia yang relatif). Mencampuradukkan keduanya adalah bentuk *talbis* yang sering dilakukan tanpa disadari, merusak kredibilitas wahyu.

Dakwah yang jujur adalah dakwah yang mengakui kompleksitas. Seorang ulama sejati akan mengatakan, "Ini adalah nash yang pasti, dan ini adalah interpretasi A, B, dan C yang disepakati ulama." Menyajikan satu pendapat ijtihadi sebagai satu-satunya kebenaran mutlak (Al-Haqq) adalah pelanggaran terhadap semangat ayat ini, karena ia menyembunyikan keragaman yang sah (kitman) dan mencampur adukkan pandangan ulama dengan wahyu Allah (talbis).

2. Dampak Negatif Talbisul Haq terhadap Umat

Ketika kebenaran dikaburkan, yang terjadi adalah lahirnya fanatisme buta (*ta’assub*). Umat mulai mengikuti personalitas atau mazhab, bukan dalil. Kebatilan yang dibungkus rapi dengan kebenaran (talbis) akan menciptakan perselisihan yang tidak berdasar. Orang akan berdebat tentang detail ijtihad, sementara melupakan prinsip-prinsip dasar agama yang jelas. Ini adalah kemenangan bagi setan, yang berhasil mengalihkan fokus dari esensi kepada formalitas yang telah dikaburkan.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berulang kali menekankan bahwa salah satu penyakit terbesar umat adalah menjadikan pendapat pemimpin mereka setara dengan nash, atau bahkan lebih diutamakan. Ini adalah hasil dari proses *talbis* di mana ajaran manusia dikemas sebagai ajaran Ilahi.

3. Manifestasi Talbis dalam Hubungan Sosial

Ayat ini juga memiliki dimensi sosial. Dalam berinteraksi, seorang Muslim dilarang mencampuradukkan kejujuran dan kebohongan, bahkan jika tujuannya adalah perdamaian (kecuali dalam batasan syar’i yang sangat sempit).

Misalnya, dalam kesaksian di pengadilan, menyembunyikan fakta (kitman) atau memberikan kesaksian yang ambigu (talbis) adalah kejahatan serius yang merusak keadilan sosial yang diperintahkan oleh Islam. Kebenaran harus ditegakkan tanpa takut pada celaan, kerugian materi, atau ancaman.

Pertahanan Diri dari Talbis

Bagaimana umat awam dapat melindungi diri dari *talbis*?

  1. Kembali ke Sumber Asli: Selalu merujuk pada Al-Qur'an dan As-Sunnah yang murni.
  2. Menuntut Bukti (Dalil): Tidak menerima klaim doktrinal tanpa dasar nash yang jelas.
  3. Bertanya kepada Ahlinya: Mencari ulama yang dikenal karena integritas, ketakwaan, dan kejujuran ilmiahnya, bukan hanya popularitasnya.
  4. Membedakan Konteks: Memahami perbedaan antara kebenaran mutlak, interpretasi, dan pandangan pribadi.

Kajian Mendalam: Dimensi Hukum dan Teologis Kitmanul Haq

Untuk mencapai bobot pembahasan yang komprehensif, kita perlu meninjau implikasi hukum dan teologis dari larangan ini, khususnya dalam konteks perbandingan dengan dosa-dosa besar lainnya.

1. Kitmanul Haq sebagai Kejahatan Epistemologis

Dalam teologi Islam, kebenaran (Al-Haqq) adalah nama Allah (Asmaul Husna). Ketika seseorang menolak atau menyembunyikan kebenaran, ia secara tidak langsung menentang sifat dasar Allah. *Kitmanul haq* bukan sekadar dosa akhlak; ia adalah kejahatan epistemologis (kerusakan terhadap cara kita mengetahui). Ia merusak saluran pengetahuan yang murni dari Allah kepada manusia. Oleh karena itu, hukumannya setara dengan dosa-dosa besar yang mengganggu ketertiban fundamental agama, seperti bersaksi palsu atau sihir.

Para fuqaha telah membahas bahwa jika seorang hakim atau ulama menyembunyikan nash yang akan mengubah hasil vonis atau fatwa, ia tidak hanya berdosa tetapi juga dapat dimakzulkan dari jabatannya, karena ia telah melanggar sumpah amanah ilmu. Pengkhianatan terhadap ilmu adalah pengkhianatan terhadap umat.

2. Interkoneksi dengan Ayat-Ayat Lain

Ayat Al-Baqarah 2:42 diperkuat oleh serangkaian ayat lain yang menekankan kewajiban menyampaikan dan larangan menyembunyikan.

Perintah Menyampaikan (Tabligh):

Allah berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang menukarkan janji (mereka dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak memperoleh bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan mereka, bagi mereka azab yang pedih." (QS. Ali Imran: 77). Ayat ini sering ditafsirkan sebagai ancaman bagi mereka yang menahan atau menukar kebenaran demi keuntungan dunia.

Kewajiban Bersaksi Jujur:

Allah memerintahkan umat Islam untuk menjadi saksi yang adil, bahkan jika itu merugikan diri sendiri atau kerabat: "Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu." (QS. An-Nisa: 135). Ayat ini menunjukkan bahwa kejujuran (anti-talbis) dan penyampaian kebenaran (anti-kitman) adalah fondasi keadilan sosial.

3. Talbisul Haq dalam Ilmu Tasawuf

Dalam konteks sufisme, *talbis* juga merujuk pada penipuan diri sendiri (ghurur) dan penipuan spiritual. Imam Al-Ghazali dalam karyanya *Ihya' Ulumiddin* membahas secara rinci tentang "talbis iblis" (penyesatan iblis). Setan sering menggunakan *talbis* untuk menyesatkan para ahli ibadah dengan membuat mereka mencampuradukkan amal yang baik (Al-Haqq) dengan niat yang buruk (Al-Batil), seperti riya' (pamer) atau ujub (bangga diri).

Seorang sufi yang mengajarkan zuhud tetapi secara diam-diam menumpuk harta, atau seorang dai yang berdakwah tentang keikhlasan tetapi haus pujian, adalah bentuk-bentuk *talbisul haq* terhadap umat dan, yang lebih parah, terhadap jiwanya sendiri. Mereka menyembunyikan realitas batin mereka (kitman) sambil menampilkan citra kesalehan (talbis).

Melawan Kabut Kebatilan: Strategi Kejelasan

Ayat 2:42 menuntut setiap Muslim untuk menjadi agen kejernihan dan transparansi. Untuk melawan *talbis* dan *kitman*, dibutuhkan strategi yang berakar pada ilmu dan moralitas.

1. Teks dan Konteks (Naṣṣ wa Siyāq)

Musuh utama *talbis* adalah metodologi ilmiah yang ketat. Para ahli ilmu harus selalu menyajikan Teks (Al-Qur'an dan Sunnah) bersama dengan Konteks historis, linguistik, dan hukumnya. *Talbis* seringkali terjadi ketika sebuah teks suci ditarik keluar dari konteksnya (*al-iṣti’māl al-mujazza’*), dan maknanya dipaksakan untuk melayani agenda tertentu.

Pencegahan *talbis* membutuhkan kejujuran akademis untuk mengakui: "Ayat ini diturunkan dalam konteks perang, dan penerapannya di masa damai membutuhkan penyesuaian ijtihadi." Menyembunyikan konteks ini adalah *kitmanul haq* yang dapat menyebabkan kesalahpahaman ekstremis atau liberalis yang sama-sama merusak.

2. Integritas Bahasa (Shiqd al-Lughah)

Sebagian besar *talbis* terjadi melalui manipulasi bahasa. Ulama yang murni akan menggunakan bahasa yang lugas dan jelas (qaul al-sadīd), sedangkan mereka yang ingin membingungkan akan menggunakan bahasa yang kabur, multi-tafsir, dan berbelit-belit, seringkali disamarkan sebagai kedalaman filosofis. Kejernihan adalah tanda kebenaran; kekaburan yang disengaja adalah ciri kebatilan.

3. Menjaga Kesucian Sumber

Perjuangan melawan *kitman* membutuhkan komitmen untuk menjaga keutuhan sumber agama. Ini berarti memastikan bahwa Al-Qur'an dan hadis diakses dalam bentuknya yang paling sahih. Para ulama harus memastikan bahwa terjemahan dan tafsir yang mereka gunakan adalah yang paling mendekati kebenaran linguistik dan doktrinal, tanpa ada penambahan atau pengurangan yang didorong oleh ideologi tertentu.

Tugas mulia para ulama warasatul anbiya' (pewaris para nabi) adalah memegang lampu kebenaran tinggi-tinggi agar sinarnya dapat menjangkau semua orang, dan tidak membiarkan kabut kesesatan (al-batil) menutupi cahaya tersebut, sebagaimana diamanahkan oleh ayat 2:42.

Penutup: Panggilan Universal menuju Kejujuran

Al-Baqarah ayat 42 berdiri sebagai salah satu peringatan moral yang paling keras dalam Al-Qur'an. Ayat ini bukan sekadar larangan, melainkan sebuah pernyataan komprehensif tentang pentingnya kejujuran mutlak dalam interaksi manusia dengan wahyu dan dalam interaksi sesama manusia.

Tingkat bahaya *talbis* dan *kitman* tidak hanya mengancam individu, tetapi juga merusak tatanan sosial, spiritual, dan intelektual umat. Mereka yang melakukan kedua perbuatan ini menempatkan kepentingan diri sendiri (materi, kekuasaan, atau ego) di atas perintah Allah untuk menyampaikan kebenaran yang murni.

Tuntutan bagi setiap Muslim adalah menjadi penegak kebenaran. Ini menuntut keberanian untuk berbicara ketika kebenaran disembunyikan dan kejelasan untuk memisahkan kebenaran dari kebatilan ketika keduanya dicampuradukkan. Dalam dunia yang semakin kompleks dan sarat dengan misinformasi, kewajiban untuk memegang teguh "Al-Haqq" adalah amanah terberat dan paling mulia yang diemban oleh manusia beriman.

Ayat ini adalah undangan abadi menuju integritas—menolak zona abu-abu, menolak kompromi moral, dan memastikan bahwa cahaya petunjuk Ilahi tidak pernah dikaburkan oleh ambisi fana manusia.

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya."

🏠 Kembali ke Homepage