Petunjuk Ilahi sebagai perisai dari kecemasan dan kesedihan.
Surah Al-Baqarah, ayat ke-38, merupakan poros penentuan nasib dan peta jalan bagi seluruh keturunan Adam setelah peristiwa monumental di Taman Surga. Ayat ini bukan sekadar kalimat penutup dari sebuah episode dramatis, melainkan sebuah proklamasi universal yang menawarkan solusi definitif terhadap kondisi eksistensial manusia: ketakutan akan masa depan dan kesedihan atas masa lalu.
Ayat ini hadir sebagai mercusuar harapan setelah pengusiran Adam dan Hawa. Ketika manusia dihadapkan pada dunia yang penuh tantangan, janji Ilahi ini menegaskan bahwa keterpisahan dari Surga bukanlah akhir dari segalanya, melainkan permulaan dari ujian yang disertai dengan panduan yang jelas. Memahami 2:38 secara komprehensif adalah memahami fondasi psikologi, spiritualitas, dan tujuan hidup dalam pandangan Islam.
Ayat ini terbagi menjadi tiga komponen utama yang saling terkait erat: perintah penempatan di bumi ("Turunlah kamu semua"), penetapan kondisi ("jika datang petunjuk-Ku kepadamu"), dan janji kebahagiaan universal ("tidak ada rasa takut... dan tidak bersedih hati"). Analisis mendalam terhadap setiap frasa akan mengungkapkan kekayaan makna yang menyelimuti jaminan ketenangan abadi ini.
Frasa "قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا" (Kami berfirman, 'Turunlah kamu semua dari surga!') merupakan pengulangan penegasan yang sebelumnya disebutkan secara terpisah (ayat 36). Kata اِهْبِطُوا (ihbiṭū) yang berarti 'turun' atau 'tinggal di suatu tempat baru' menunjukkan transisi dari dimensi spiritual penuh kenyamanan (Surga) ke dimensi material penuh ujian (Bumi).
Penambahan kata جَمِيعًا (jamī‘an), yang berarti 'semua' atau 'bersama-sama', menggarisbawahi bahwa keturunan Adam secara kolektif diamanahkan untuk menjalani kehidupan di bumi. Ini bukan hukuman individu, melainkan penetapan takdir kolektif. Konteks ini sangat penting; petunjuk yang akan datang (Hudan) bukanlah petunjuk yang bersifat kedaerahan atau temporal, tetapi petunjuk yang universal, berlaku untuk semua manusia di setiap lini waktu dan lokasi.
Kesadaran akan keturunan kolektif ini menuntut pemahaman bahwa solusi terhadap masalah manusia juga harus bersifat kolektif, berbasis pada panduan yang sama. Jika satu manusia mendapatkan solusi melalui wahyu, maka solusi itu juga diperuntukkan bagi semua ‘yang turun’ bersamanya.
Bagian kedua ini adalah inti janji tersebut. فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى (Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu). Frasa ini menggunakan partikel إِمَّا (immā) yang menunjukkan kondisi dan penekanan. Kata هُدًى (Hudan), atau Petunjuk, di sini di-nakirah (indefinite) namun disandarkan pada Allah (مِّنِّي - dari-Ku). Ini merujuk kepada wahyu Ilahi yang akan diutus melalui para nabi dan kitab suci—yaitu syariat, pedoman hidup, dan jalan yang benar.
Pentingnya Hudan terletak pada pengakuan bahwa akal manusia, betapapun cemerlangnya, tidak dapat sepenuhnya memahami tujuan penciptaan, hakikat akhirat, dan cara terbaik untuk menyucikan jiwa tanpa intervensi Ilahi. Kehidupan di bumi, sebagai medan ujian, memerlukan manual operasional yang berasal dari Sang Pencipta. Petunjuk ini mencakup segala hal, mulai dari etika pribadi, hukum sosial, hingga keyakinan metafisik.
Implikasi dari frasa ini adalah: selama manusia hidup di dunia, Allah tidak akan pernah membiarkan mereka tersesat tanpa arah. Pintu petunjuk akan selalu terbuka. Tugas manusia hanyalah menyambut dan mencari Petunjuk tersebut ketika ia datang.
فَمَن تَبِعَ هُدَايَ (Maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku). Ini adalah tindakan responsif manusia. تَبِعَ (tabi‘a) berarti 'mengikuti', 'menuruti', atau 'menjalankan'. Ini menuntut bukan hanya pengakuan intelektual terhadap kebenaran Petunjuk (Hudan), tetapi juga komitmen praktis untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari (amal).
Mengikuti Petunjuk (Hudan) berarti menjadikan wahyu sebagai filter utama dalam setiap keputusan, baik kecil maupun besar. Ini mencakup kepatuhan pada perintah (wajib) dan menjauhi larangan (haram). Ketaatan yang dimaksud bukanlah ketaatan buta, melainkan ketaatan yang berakar pada keyakinan mendalam bahwa Petunjuk Ilahi adalah yang terbaik dan paling sempurna bagi kesejahteraan jiwa dan raga.
Jalan Petunjuk ini adalah jalan yang menawarkan konsistensi dan kepastian di tengah kekacauan dunia. Ketika manusia menyimpang dari Petunjuk, ia mulai merumuskan standar moralnya sendiri yang rentan terhadap perubahan nafsu dan kepentingan pribadi, yang pada akhirnya membawa kepada ketidakpastian dan penderitaan kolektif.
Puncak dari ayat 38 adalah janji yang merupakan solusi utama bagi krisis spiritual manusia modern: فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (niscaya tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati).
Dalam bahasa Arab, الْخَوْفُ (al-khawf) secara spesifik merujuk pada rasa khawatir atau cemas yang timbul dari antisipasi masa depan. Khawf adalah ketakutan akan hal yang belum terjadi—takut akan kemiskinan, takut akan kematian yang buruk, takut akan kegagalan, takut akan hukuman di akhirat, atau takut kehilangan orang yang dicintai.
Bagi orang yang mengikuti Petunjuk Ilahi, janji فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ (tidak ada rasa takut pada mereka) bukan berarti mereka kebal dari bahaya fisik, tetapi bahwa mereka memiliki jaminan keamanan spiritual yang mutlak. Rasa takut mereka terhadap masa depan digantikan oleh tawakal (penyerahan diri penuh) dan keyakinan pada janji Allah. Mereka tahu bahwa hasil akhirnya, baik di dunia maupun di akhirat, berada dalam kendali Allah dan akan berakhir baik bagi mereka yang taat.
Ketiadaan Khawf menciptakan keberanian etis dan moral. Orang yang tidak takut pada masa depan duniawi lebih mudah berbicara kebenaran, berjuang untuk keadilan, dan berkorban karena mereka yakin bahwa rezeki dan nasib mereka telah ditetapkan, dan hasil spiritual jauh lebih berharga daripada keuntungan material sementara.
الْحُزْنُ (al-ḥuzn), atau kesedihan, adalah emosi yang berorientasi ke masa lalu. Huzn timbul karena penyesalan atas kehilangan, kegagalan, atau kesempatan yang terlewatkan. Ini adalah duka cita yang mendalam atas apa yang telah terjadi dan tidak bisa diubah.
Janji وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (dan mereka tidak pula bersedih hati) berarti bahwa para pengikut Petunjuk memiliki perspektif abadi yang menempatkan kehilangan duniawi dalam konteks yang benar. Ketika musibah menimpa, mereka memahami itu sebagai ujian, yang jika disikapi dengan sabar, akan menjadi penebus dosa atau pengangkat derajat.
Kesedihan mendalam yang berkepanjangan seringkali muncul dari pandangan bahwa nilai diri (self-worth) terikat pada kepemilikan atau pencapaian duniawi. Ketika nilai-nilai ini hilang, jiwa menjadi hancur. Namun, bagi orang yang berpegang pada Petunjuk, nilai sejati mereka terletak pada hubungan mereka dengan Allah, hubungan yang tidak dapat diambil oleh musibah dunia mana pun. Dengan demikian, kesedihan mendalam (putus asa) atas masa lalu dapat diatasi dengan harapan akan pahala di masa depan.
Penggabungan janji untuk menghilangkan Khawf (masa depan) dan Huzn (masa lalu) adalah cerminan dari solusi psikologis yang sempurna. Mayoritas penderitaan mental dan spiritual manusia kontemporer berakar pada dua poros waktu ini: kecemasan akan hari esok dan penyesalan atas hari kemarin. Ayat 38 menawarkan pembebasan total dari beban waktu tersebut.
Ketenangan yang dijanjikan oleh Petunjuk Ilahi (Al-Qur'an dan Sunnah) adalah ketenangan holistik, mencakup:
Karena janji keselamatan (hilangnya khawf dan huzn) bergantung sepenuhnya pada kepatuhan terhadap Hudan, kita harus menganalisis karakter Petunjuk Ilahi ini secara mendalam. Petunjuk yang dimaksud dalam 2:38 adalah manifestasi dari Rahmat Allah kepada manusia.
Petunjuk yang diturunkan, khususnya melalui wahyu terakhir (Al-Qur'an), bersifat universal, tidak terikat pada budaya atau ras tertentu. Ayat ini ditujukan kepada "kamu semua" (jamī‘an), menegaskan bahwa kebutuhan akan panduan adalah sifat dasar manusia setelah turun ke bumi. Hudan mencakup:
Ketika Hudan diterapkan secara komprehensif, ia menghilangkan kekosongan spiritual dan konflik moral yang menjadi sumber utama kecemasan (khawf) di era modern.
Di dunia yang sangat menekankan pencapaian material dan validasi eksternal, Al-Baqarah 38 menawarkan narasi tandingan. Khawf seringkali muncul karena ketidakstabilan material, dan Huzn seringkali muncul karena kegagalan material. Hudan mengubah pusat gravitasi hidup manusia:
Kepatuhan pada Hudan mengalihkan fokus dari kesuksesan duniawi (fana) menjadi penerimaan Ilahi (baqa’). Selama seseorang mengikuti petunjuk, hasil duniawi yang baik atau buruk tidak lagi menjadi penentu kebahagiaan sejati. Inilah sumber ketahanan jiwa.
Dalam Islam, akal (rasio) dan wahyu (Hudan) tidak bertentangan. Akal berfungsi sebagai alat untuk memahami dan mengimplementasikan Hudan, bukan untuk menentukannya. Ketika akal mencoba mendefinisikan kebenaran spiritual secara independen, ia sering kali terperangkap dalam relativisme dan inkonsistensi, yang pada gilirannya menghasilkan keraguan dan kegelisahan. Hudan menyediakan batas dan tujuan, membebaskan akal dari beban menentukan segalanya sendiri.
Implementasi Hudan dalam kehidupan memerlukan studi mendalam, refleksi (tadabbur), dan konsistensi (istiqamah). Tidak cukup sekadar mengetahui; Petunjuk harus dijalankan (fa-man tabi‘a hudāyā).
Janji pada ayat 38 bukan hanya berlaku bagi kaum di masa Nabi Muhammad, tetapi merupakan prinsip universal yang mengatasi zaman dan geografi. Di era modern, di mana tingkat kecemasan (khawf) dan depresi (huzn) mencapai puncaknya, relevansi ayat ini semakin mendesak.
Kecemasan modern sering kali berakar pada hilangnya makna dan ketidakpastian masa depan. Kita takut akan perubahan iklim, ketidakamanan ekonomi, dan kehampaan setelah mencapai tujuan. Al-Baqarah 38 merespons ini dengan keras:
"Ketakutanmu akan masa depan hanya dapat ditenangkan jika kamu menyandarkan dirimu pada Sumber Kepastian yang tidak terpengaruh oleh kefanaan dunia."
Petunjuk Ilahi menyediakan kerangka kerja di mana setiap tindakan, bahkan yang paling kecil, memiliki makna abadi. Ketika hidup dilihat sebagai ibadah dan ujian, Khawf akan hasil duniawi berkurang drastis, karena fokus beralih pada kualitas usaha (amal) bukan pada hasil (qadar).
Media sosial dan budaya perbandingan modern memicu Huzn yang akut. Kita terus-menerus membandingkan hidup kita dengan versi ideal yang dipamerkan orang lain, yang menghasilkan penyesalan atas pilihan masa lalu atau peluang yang hilang. Al-Baqarah 38 mengajarkan bahwa setiap dosa atau kegagalan yang dialami di masa lalu dapat dihapus melalui taubat yang jujur (yang merupakan bagian dari Hudan).
Islam, melalui Petunjuknya, memberikan mekanisme pemulihan jiwa yang sangat kuat. Taubat mengalihkan Huzn yang merusak menjadi harapan yang konstruktif. Kesedihan atas dosa diubah menjadi motivasi untuk berbuat lebih baik, dan kesedihan atas kehilangan diubah menjadi keridhaan terhadap ketetapan Allah.
Ayat 38 tidak hanya menjanjikan ketenangan individu. Jika sebuah komunitas secara kolektif berpegang teguh pada Petunjuk Ilahi, maka Khawf dan Huzn juga akan berkurang dalam skala sosial. Masyarakat yang berlandaskan Hudan cenderung lebih adil, stabil secara etis, dan kurang rentan terhadap konflik internal yang didorong oleh keserakahan (sumber Khawf) atau dendam (sumber Huzn).
Ketaatan pada hukum-hukum Allah dalam interaksi sosial menciptakan rasa aman yang menghilangkan kebutuhan individu untuk terus-menerus bersaing dan mencurigai satu sama lain. Ketika keadilan ditegakkan berdasarkan wahyu, ketakutan akan penindasan berkurang, dan kesedihan akan ketidakadilan masa lalu dapat dipulihkan.
Para mufassir sepanjang sejarah telah menekankan bahwa janji pada 2:38 memiliki cakupan yang luas, mencakup dunia dan akhirat. Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Al-Tabari sepakat bahwa ketiadaan Khawf dan Huzn ini adalah ganjaran tertinggi yang diberikan kepada pengikut para nabi.
Makna paling hakiki dari ayat ini adalah janji keselamatan abadi. Khawf terbesar manusia adalah takut akan siksa neraka, dan Huzn terbesar adalah penyesalan di Hari Kiamat. Bagi mereka yang mengikuti Hudan, janji ini menjamin bahwa mereka akan selamat dari kengerian Hari Penghisaban dan tidak akan ada rasa takut atau duka cita saat memasuki Surga.
Allah SWT mengulangi formula ini berkali-kali dalam Al-Qur'an, misalnya:
Meskipun puncak janji ini adalah akhirat, banyak ulama juga melihat implementasi ketenangan di dunia. Ketenangan duniawi (sakinah) bagi pengikut Petunjuk adalah sebuah kekayaan batin yang membuat mereka tidak mudah tergoyahkan oleh pasang surut kehidupan. Mereka mungkin kehilangan harta, tetapi tidak kehilangan iman; mereka mungkin menghadapi kesulitan, tetapi tidak kehilangan harapan.
Ketenangan ini adalah hasil dari pemahaman bahwa kehidupan dunia adalah sementara, dan fokus utama adalah mempersiapkan diri untuk kembali kepada-Nya. Dengan perspektif ini, Khawf dan Huzn menjadi emosi yang terkendali, bukan yang mengendalikan.
Syarat "barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku" (fa-man tabi‘a hudāyā) adalah syarat berkelanjutan. Ketenangan adalah hadiah yang diberikan kepada mereka yang secara konstan berupaya menyesuaikan hidup mereka dengan wahyu, bukan hanya mereka yang pernah taat di masa lalu. Ketenangan adalah hasil yang harus dipertahankan melalui pembaruan niat dan praktik ibadah yang konsisten.
Ayat 38 mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah pencarian eksternal—bukan kekayaan, jabatan, atau popularitas—melainkan hasil dari penyelarasan internal antara kehendak manusia dengan kehendak Ilahi, sebagaimana termuat dalam Petunjuk yang diturunkan.
Ketiadaan Khawf dan Huzn adalah manifestasi nyata dari hubungan yang sehat dan harmonis dengan Pencipta. Ini adalah pembebasan dari penjara kecemasan diri sendiri dan penyesalan terhadap apa yang di luar kendali kita.
Untuk memahami kedalaman janji ini, perlu dipertimbangkan bagaimana Khawf dan Huzn bekerja pada tingkat jiwa (nafs). Dalam konteks filosofi Islam, jiwa manusia memiliki kecenderungan untuk meraih kesempurnaan, tetapi juga rentan terhadap kegelapan yang disebabkan oleh ketidakpastian.
Khawf yang patologis (berlebihan) seringkali merupakan proyeksi dari kurangnya kepercayaan pada diri sendiri atau kurangnya pengakuan terhadap kekuasaan Allah. Ketika manusia merasa bahwa keselamatan masa depan mereka sepenuhnya bergantung pada perencanaan mereka yang terbatas, mereka akan selalu cemas. Hudan memberikan solusi dengan mentransfer rasa aman mutlak dari usaha manusia yang rapuh kepada janji Allah yang Abadi.
Khawf yang dihilangkan oleh ayat 38 adalah Khawf yang melumpuhkan, yang mencegah tindakan kebajikan. Khawf yang sehat (takut kepada Allah) justru diperkuat, karena Khawf yang sehat adalah penggerak untuk mengikuti Petunjuk. Jadi, Hudan menyaring jenis ketakutan: menghilangkan ketakutan pada ciptaan, tetapi menguatkan ketakutan pada Pencipta.
Huzn, sebagai duka cita masa lalu, seringkali membuat manusia terjebak dalam lingkaran penyesalan yang tidak produktif. Hudan mengajarkan konsep takdir (qada dan qadar). Apa yang sudah terjadi adalah ketetapan Allah, dan tugas kita adalah mengambil pelajaran (ibrah) dan bergerak maju.
Dengan adanya Petunjuk, setiap momen kehilangan dapat dilihat sebagai kesempatan untuk meraih pahala kesabaran. Setiap kesalahan masa lalu dapat dilihat sebagai titik balik menuju taubat. Konsekuensinya, pengikut Hudan tidak membiarkan masa lalu memenjarakan mereka, melainkan menggunakan masa lalu sebagai landasan untuk membangun masa depan spiritual yang lebih baik. Inilah mekanisme anti-Huzn yang ditawarkan oleh Islam.
Keseluruhan Al-Baqarah 38 dapat dipandang sebagai kontrak yang mengikat antara Pencipta dan ciptaan. Manusia diizinkan hidup di Bumi, tetapi dengan klausul penting: jika Petunjuk diterima dan diikuti, maka jaminan ketenangan batin mutlak (bebas Khawf dan Huzn) akan diberikan. Kontrak ini bersifat adil dan logis; hanya Sumber Petunjuk yang dapat menjamin ketenangan, karena Dia adalah Sumber Ketenangan itu sendiri (As-Salam).
Implikasi bagi setiap Muslim adalah perlunya evaluasi diri yang konstan: seberapa jauh saya telah mengikuti Hudan? Tingkat kecemasan atau kesedihan yang dialami seseorang dapat menjadi indikator langsung dari tingkat penyimpangan atau ketaatan mereka terhadap Petunjuk yang telah diturunkan. Semakin dekat dengan Hudan, semakin tipis dinding antara jiwa dan ketenangan. Sebaliknya, menjauh dari Hudan adalah menjauh dari janji ketenangan Ilahi, yang pasti akan menghasilkan Khawf dan Huzn duniawi dan ukhrawi.
Ayat Al-Baqarah 38 adalah janji universal, sebuah undangan terbuka kepada seluruh umat manusia. Meskipun manusia telah ‘turun’ dari kesempurnaan Surga ke medan kesulitan Bumi, Allah dengan Rahmat-Nya tidak pernah meninggalkan kita tanpa panduan. Kunci untuk membuka pintu ketenangan dan menghilangkan segala bentuk kecemasan ada di tangan kita sendiri: yaitu mengikuti Petunjuk Ilahi yang telah diutus.
Penerapan janji Al-Baqarah 38 dalam praktik hidup modern memerlukan mekanisme yang jelas, mengubah konsep teologis menjadi tindakan nyata yang mengurangi beban psikologis Khawf dan Huzn.
Khawf dalam konteks dunia modern seringkali berupa kecemasan karir, kesehatan, atau bencana global. Hudan menawarkan solusi melalui pemahaman Takdir (Qadar) dan Tawakal:
Ketiadaan Khawf sejati berarti tidak ada musuh di masa depan yang lebih kuat daripada janji perlindungan Ilahi.
Huzn dipicu oleh penyesalan atas kesalahan moral, kegagalan finansial, atau kehilangan orang tercinta. Hudan mengatasi Huzn melalui konsep Penebusan dan Sabar:
Penghilangan Huzn sejati berarti bahwa masa lalu tidak lagi memiliki kekuatan untuk mendefinisikan rasa sakit atau nilai diri seseorang.
Petunjuk Ilahi (Hudan) yang dimaksud dalam Al-Baqarah 38 tidak bersifat pasif. Ia adalah energi yang membentuk kembali karakter manusia, memproduksikan pribadi yang secara internal siap menghadapi tekanan dunia.
Mengikuti Hudan menuntut kejujuran absolut, baik kepada diri sendiri, sesama, maupun kepada Allah. Kejujuran ini menciptakan konsistensi batin. Orang yang jujur tidak memiliki Khawf akan terbongkarnya kebohongan, dan tidak memiliki Huzn atas tindakan yang disembunyikan. Keterbukaan dan integritas yang dibangun atas Petunjuk menjadi perisai psikologis yang menghilangkan kebutuhan untuk cemas akan pengawasan atau penghakiman manusia.
Hudan mengajarkan pentingnya evaluasi diri (muhasabah). Muhasabah yang dilakukan sesuai Petunjuk mencegah akumulasi dosa yang dapat menjadi sumber Khawf (takut akan pembalasan) dan Huzn (penyesalan yang terlambat). Dengan memeriksa niat dan tindakan setiap hari, pengikut Hudan mampu melakukan koreksi cepat, mencegah masalah kecil berkembang menjadi bencana spiritual besar.
Proses introspeksi ini, yang berlandaskan panduan wahyu, menghasilkan kedewasaan spiritual dan emosional yang jauh melampaui kemampuan terapi non-spiritual. Ia mengajarkan manusia bahwa pengendalian diri adalah kunci menuju kebebasan sejati, dan kebebasan sejati adalah ketiadaan Khawf dan Huzn.
Mengikuti Hudan adalah sebuah perjuangan yang berkelanjutan (jihad). Jihad terbesar adalah melawan godaan hawa nafsu yang selalu ingin menyimpang dari Petunjuk. Setiap kali seorang mukmin berhasil mengendalikan nafsu demi ketaatan, ia mendapatkan peningkatan ketenangan (sakinah). Ketenangan ini adalah hadiah instan di dunia, yang memvalidasi janji dalam Al-Baqarah 38.
Jika Khawf dan Huzn adalah penyakit, maka Tabi‘a Hudāyā (Mengikuti Petunjuk-Ku) adalah obatnya, dan jihad an-nafs adalah proses pengobatan yang harus dilalui dengan disiplin spiritual yang ketat.
Oleh karena itu, ayat 38 bukan hanya sebuah pernyataan pasif tentang nasib, melainkan seruan aktif untuk berjuang mencapai kondisi spiritual tertinggi yang ditandai oleh ketenangan absolut di tengah hiruk pikuk kehidupan dunia.
Al-Baqarah 38 diletakkan pada konteks kisah awal manusia, yang menunjukkan bahwa Petunjuk (Hudan) adalah kebutuhan primer manusia sejak awal eksistensi mereka di bumi. Ini bukan penemuan baru, melainkan sebuah kontrak yang diperbarui secara berkala.
Petunjuk yang Allah janjikan kepada keturunan Adam terus diutus melalui rantai kenabian (Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, hingga Muhammad). Meskipun bentuk syariat mungkin berbeda dalam detail praktis sesuai zaman, pesan inti Hudan selalu sama: Tauhid (Keesaan Allah) dan kewajiban untuk hidup sesuai kehendak-Nya.
Ketenangan yang dijanjikan pada ayat ini berlaku bagi setiap umat yang tulus mengikuti petunjuk nabi mereka masing-masing pada masanya. Namun, bagi umat Islam, Petunjuk terakhir yang komprehensif dan terjaga keasliannya adalah Al-Qur'an dan Sunnah, yang berfungsi sebagai pelaksanaan final dari janji yang diucapkan pada awal penciptaan manusia.
Al-Qur'an adalah Hudan (petunjuk) yang paling sempurna dan final. Berpegang teguh pada Al-Qur'an berarti secara langsung mengambil bagian dalam janji Al-Baqarah 38. Kitab suci ini adalah panduan yang menghilangkan kebingungan tentang benar dan salah, mengurangi konflik internal, dan menyediakan solusi spiritual terhadap masalah Khawf dan Huzn.
Oleh karena itu, studi, penghayatan, dan pengamalan Al-Qur'an secara serius bukanlah sekadar ritual keagamaan, tetapi merupakan strategi bertahan hidup paling efektif di dunia yang penuh ketidakpastian. Ia adalah jembatan yang menghubungkan manusia kembali ke kondisi batiniah yang damai, yang dijanjikan di Surga.