Tiga ayat mulia dalam Surah Al-Baqarah—ayat 183, 184, dan 185—adalah fondasi utama yang menetapkan kewajiban puasa bagi umat Islam. Rangkaian ayat ini tidak hanya memerintahkan umat untuk berpuasa, tetapi juga memberikan alasan filosofis, menetapkan durasi waktu, memberikan keringanan (rukhshah) bagi yang berhalangan, dan mengaitkan ibadah puasa dengan momentum agung turunnya Al-Qur'an. Memahami tiga ayat ini secara mendalam adalah kunci untuk menghayati hakikat dan tujuan sebenarnya dari ibadah Ramadhan.
Ayat 183 dibuka dengan seruan agung: Yā ayyuhā alladhīna āmanū (Wahai orang-orang yang beriman). Seruan ini spesifik ditujukan kepada kaum Mukmin, menunjukkan bahwa puasa adalah ibadah yang memerlukan keyakinan dan kesadaran spiritual. Para ulama tafsir menekankan bahwa seruan seperti ini biasanya diikuti dengan perintah yang penting dan mulia, dan dalam konteks ini, perintah tersebut adalah puasa (as-Siyām).
Kata Kutiba secara harfiah berarti 'telah ditulis' atau 'telah ditetapkan'. Dalam terminologi syariat, kata ini memiliki konotasi hukum yang tegas, menunjukkan kewajiban (fardhu) yang tidak dapat ditinggalkan. Penggunaan bentuk pasif ini (diwajibkan) menyiratkan bahwa kewajiban ini datang langsung dari sumber otoritas tertinggi, yaitu Allah SWT, menegaskan bahwa puasa bukanlah pilihan atau tradisi buatan manusia, melainkan ketetapan Ilahi.
Meskipun sering digunakan bergantian, ulama bahasa membedakan sedikit makna antara As-Siyām (yang digunakan dalam ayat ini) dan As-Saum. Secara bahasa, As-Saum berarti menahan diri secara mutlak dari segala sesuatu. Namun, As-Siyām dalam konteks syariat merujuk pada menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan lainnya, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, disertai niat tertentu. Pemilihan kata As-Siyām di sini mengkhususkan ibadah ini sesuai tata cara yang ditetapkan, membedakannya dari puasa (menahan bicara) yang pernah dilakukan oleh Maryam AS sebagaimana disebutkan dalam ayat lain.
Salah satu poin paling menarik dalam ayat 183 adalah frasa kamā kutiba ‘ala alladhīna min qablikum (sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu). Frasa ini memberikan dimensi universal terhadap ibadah puasa. Ini bukan kewajiban baru yang memberatkan, melainkan suatu bentuk ibadah yang sudah dikenal dan dipraktikkan oleh umat-umat terdahulu (Yahudi, Nasrani, dan umat para nabi sebelumnya).
Tafsir mengenai frasa ini memiliki dua hikmah utama:
Ayat 183 ditutup dengan tujuan utama dan filosofis dari puasa: la’allakum tattaqūn (agar kamu bertakwa). Ini adalah poin krusial yang menjelaskan mengapa puasa diwajibkan. Taqwa, secara umum diartikan sebagai "menjaga diri" atau "kesadaran penuh akan kehadiran Allah," adalah hasil akhir yang diharapkan dari latihan spiritual selama Ramadhan.
Bagaimana puasa menghasilkan takwa? Puasa melatih empat aspek utama:
Keseimbangan dalam menjalankan hukum dan meraih tujuan spiritual (Taqwa).
Ayat ini segera merincikan durasi puasa setelah menetapkan kewajibannya. Frasa ayyāman ma‘dūdāt (hari-hari yang tertentu) menunjukkan dua hal penting:
Ayat 184 memperkenalkan konsep Rukhshah (keringanan) yang merupakan ciri khas ajaran Islam yang mengedepankan kemudahan. Keringanan ini diberikan kepada dua kategori utama:
Sakit yang membolehkan berbuka puasa adalah sakit yang apabila ia berpuasa, akan memperparah sakitnya, memperlambat penyembuhan, atau menyebabkan kesulitan luar biasa. Jika sakitnya hanya ringan dan tidak berdampak serius, puasa tetap wajib. Syaratnya adalah orang sakit ini wajib mengganti puasanya (qadha) di hari-hari lain setelah ia sembuh, sejumlah hari yang ia tinggalkan.
Musafir (orang yang bepergian) juga diberi keringanan untuk tidak berpuasa. Para ulama fiqh bersepakat bahwa perjalanan yang membolehkan berbuka adalah perjalanan yang memenuhi syarat qashar salat (jarak minimal sekitar 81 km menurut mayoritas ulama kontemporer). Meskipun safar yang tidak melelahkan sekalipun tetap membolehkan berbuka, ulama mengingatkan bahwa jika puasa tidak menimbulkan kesulitan, maka berpuasa lebih utama, sebagaimana penegasan di akhir ayat ini.
Kewajiban Penggantian (Faidah min Ayyamin Ukhar): Baik orang sakit yang sembuh maupun musafir, wajib mengganti (qadha) puasa yang ditinggalkan. Ini menunjukkan bahwa meskipun diberi keringanan, kewajiban inti terhadap puasa Ramadhan tetap harus dipenuhi di waktu yang lain.
Bagian ayat yang paling memerlukan perhatian tafsir mendalam adalah: Wa ‘ala al-ladhīna yutīqūnahu fidyatun ṭa‘āmu miskīn (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, memberi makan seorang miskin).
Kata yutīqūnahu memiliki dua penafsiran historis yang penting:
Bagi kategori kedua ini, kewajiban puasa digantikan sepenuhnya oleh Fidyah (memberi makan satu orang miskin per hari puasa yang ditinggalkan). Fidyah adalah bentuk sedekah wajib yang menggantikan ibadah fisik yang tidak bisa dilakukan.
Ayat 184 ditutup dengan dorongan spiritual yang kuat: Wa an taṣūmū khayrun lakum (Dan berpuasa lebih baik bagimu). Ini adalah penegasan bahwa meskipun ada rukhshah, memilih untuk tetap berpuasa (jika tidak memberatkan secara ekstrem atau membahayakan) membawa keutamaan yang lebih besar, baik dari segi pahala maupun manfaat spiritual. Ini adalah pengingat bahwa tujuan syariat adalah kemaslahatan hamba, tetapi kemaslahatan tertinggi ada pada ketaatan.
Ayat 185 secara eksplisit menyebut nama bulan yang diwajibkan puasa: Ramadhan. Definisi Ramadhan dalam ayat ini tidak hanya sebagai penanda waktu ibadah, tetapi sebagai ‘Bulan diturunkannya Al-Qur’an’. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa puasa dan Al-Qur'an memiliki hubungan simbiosis yang erat.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa puasa adalah sarana pembersihan jiwa dan penajaman hati, mempersiapkan seorang Muslim untuk menerima dan mengamalkan petunjuk Al-Qur'an. Puasa tanpa refleksi dan tilawah Qur'an ibarat wadah kosong. Al-Qur'an disebut sebagai Hudā li-nnās (petunjuk bagi manusia), Bayyināt (penjelasan-penjelasan), dan Al-Furqān (pembeda antara hak dan batil). Oleh karena itu, Ramadhan adalah bulan ganda: bulan ibadah fisik (puasa) dan bulan ibadah rohani (interaksi intensif dengan kalamullah).
Inilah bagian ayat yang menghapus (nāsikh) keraguan dan pilihan bebas yang mungkin ditimbulkan oleh Ayat 184 sebelumnya. Frasa fa-man syahida minkum asy-syahra falyasumhu (barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa) menetapkan puasa Ramadhan sebagai kewajiban mutlak (fardhu 'ain) bagi setiap Muslim baligh, berakal, dan bermukim (tidak dalam perjalanan).
Syahida Asy-Syahra: Merujuk pada kehadiran fisik dan kesaksian atas masuknya bulan Ramadhan (baik melalui rukyah hilal atau perhitungan astronomi yang sah). Ini menegaskan bahwa setelah Ramadhan tiba, pilihan untuk membayar fidyah bagi yang mampu (yang berlaku di awal syariat) telah dicabut. Puasa adalah satu-satunya kewajiban, kecuali ada rukhshah yang sah.
Ayat 185 mengulang kembali rukhshah bagi yang sakit dan musafir, tetapi menambah penegasan filosofis yang penting: Yurīdullāhu bikumul yusra wa lā yurīdu bikumul ‘usra (Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu).
Prinsip Yusr (kemudahan) ini adalah ruh dari syariat Islam. Ayat ini meyakinkan kaum Muslimin bahwa keringanan yang diberikan (rukhshah) bukanlah sekadar pengecualian, melainkan manifestasi langsung dari kasih sayang dan keinginan Allah untuk tidak memberatkan hamba-Nya. Konsep ini menjadi dasar fiqh dalam memutuskan berbagai permasalahan kontemporer terkait ibadah.
Ayat ini ditutup dengan tiga tujuan akhir:
Bulan Ramadhan, Bulan Turunnya Al-Qur'an.
Meskipun ayat-ayat ini jelas, implementasinya memerlukan perincian fiqhiyah yang mendalam, terutama dalam membedakan antara jenis-jenis keringanan dan bagaimana penggantiannya dilakukan.
Berdasarkan Ayat 183 dan 185, kewajiban puasa hanya berlaku jika terpenuhi syarat-syarat berikut, yang disarikan dari seruan kepada "orang-orang yang beriman" dan perintah "falyasumhu":
Penafsiran rukhshah safar dalam Ayat 184 dan 185 menjadi bahan perdebatan empat mazhab utama:
Mazhab Hanafi: Musafir boleh berbuka jika perjalanannya mencapai jarak minimal dan ia meninggalkan batas pemukimannya sebelum fajar. Berbuka lebih diutamakan jika puasa memberatkan.
Mazhab Maliki: Musafir dianjurkan berbuka jika perjalanannya melelahkan. Jika puasa lebih memberatkan, wajib berbuka. Jarak safar harus memenuhi syarat qashar. Mereka menekankan bahwa berpuasa saat safar yang melelahkan adalah melanggar prinsip Yusra (kemudahan) yang disebut dalam Ayat 185.
Mazhab Syafi’i dan Hanbali: Kedua mazhab ini berpendapat bahwa musafir memiliki pilihan (takhyir) antara berpuasa atau berbuka, asalkan perjalanannya memenuhi syarat qashar. Mereka berargumen berdasarkan hadis bahwa Nabi SAW terkadang berpuasa saat safar dan terkadang berbuka. Namun, jika puasa membahayakan, berbuka menjadi wajib.
Prinsip utama yang ditarik dari Ayat 185 adalah Yurīdullāhu bikumul yusra. Oleh karena itu, jika puasa di tengah perjalanan menimbulkan kesulitan yang nyata (masyaqqah), mengambil rukhshah (berbuka) adalah yang sesuai dengan kehendak Allah.
Ayat 184 memperkenalkan Fidyah dan Qadha, tetapi Fiqh membedakan ketiganya secara tegas:
Qadha adalah mengganti puasa yang ditinggalkan hari demi hari. Ini wajib bagi: musafir, orang sakit yang sembuh, wanita haid/nifas, dan orang yang sengaja membatalkan puasa tanpa alasan syar’i (namun ada dosa tambahan).
Fidyah adalah memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Ini wajib bagi mereka yang tidak mampu berpuasa secara permanen dan tidak mungkin mengqadha (lansia, sakit kronis). Fidyah berdasarkan penafsiran akhir Ayat 184.
Kaffarah adalah denda berat yang tidak disebutkan langsung dalam Ayat 183-185, namun ditetapkan oleh Sunnah. Kaffarah wajib bagi orang yang membatalkan puasa Ramadhan di siang hari dengan Jima’ (hubungan suami istri) secara sengaja. Hukumannya lebih berat daripada Qadha atau Fidyah (berupa puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin).
Wanita hamil dan menyusui seringkali diklasifikasikan sebagai maridh (orang sakit) yang ditakutkan keselamatannya. Namun, ada perbedaan fiqh mengenai bentuk penggantiannya:
Perbedaan pendapat ini menunjukkan betapa kompleksnya penerapan keringanan (rukhshah) dan upaya untuk memastikan bahwa prinsip kemudahan (yusr) dalam Ayat 185 tetap seimbang dengan kewajiban (kutiba) dalam Ayat 183.
Tiga ayat ini memberikan cetak biru (blueprint) spiritual. Jika tujuan puasa adalah takwa (Ayat 183) dan mediumnya adalah bulan Al-Qur'an (Ayat 185), maka implementasinya harus melampaui sekadar menahan lapar dan haus.
Taqwa yang sesungguhnya menuntut puasa dari anggota badan (Jawarih). Puasa perut adalah tingkatan terendah. Tingkatan yang lebih tinggi meliputi:
Jika puasa fisik tidak diiringi dengan puasa spiritual, ia hanya menghasilkan lapar dan haus, bukan takwa, sebagaimana disinyalir dalam hadis Nabi SAW: "Berapa banyak orang yang berpuasa namun bagian yang didapatkannya hanyalah lapar dan dahaga."
Penutup Ayat 185, la‘allakum tasykurūn, mengingatkan bahwa puncak dari ibadah yang benar adalah kesadaran syukur. Syukur bukan sekadar ucapan terima kasih, tetapi kesadaran bahwa nikmat terbesar adalah nikmat hidayah dan kemampuan untuk taat. Ketika seorang Muslim menyempurnakan puasanya, ia telah memanfaatkan nikmat kehidupan dan kesehatan yang diberikan Allah untuk beribadah sesuai tuntunan Al-Qur'an. Ini adalah syukur dalam tindakan.
Ayat 184, dengan penetapan fidyah, menunjukkan dimensi sosial yang kuat dari puasa. Jika seseorang tidak dapat memenuhi kewajiban vertikal (ibadah fisik), ia menggantinya dengan kewajiban horizontal (memberi makan orang miskin). Ini mencegah ibadah menjadi murni ritual individualistik, melainkan menjadikannya jembatan bagi keadilan sosial. Kewajiban memberi makan ini memastikan bahwa walaupun yang kaya mendapatkan keringanan (karena sakit permanen), kewajiban hartanya tetap menyejahterakan kaum fakir miskin, melengkapi pelajaran empati yang diajarkan melalui rasa lapar.
Pemahaman mengenai tiga ayat ini tidak lengkap tanpa meninjau konteks historis penurunannya, yang dikenal sebagai fase-fase pensyariatan puasa. Ayat 183-185 mencerminkan transisi bertahap dalam hukum Islam (Tadarruj fi tasyri').
Sebelum turunnya Ayat 185, umat Islam diwajibkan puasa beberapa hari (kemungkinan tiga hari atau puasa Asyura). Ketika puasa Ramadhan diperkenalkan (Ayat 184), pada mulanya puasa ini bersifat opsional bagi yang mampu: berpuasa atau membayar fidyah (berdasarkan penafsiran awal yutīqūnahu).
Ini adalah bukti kemudahan awal. Allah tidak ingin memberatkan umat Islam yang baru saja hijrah dan menghadapi perubahan drastis dalam hidup mereka. Mereka diizinkan memilih yang paling mudah, sehingga kewajiban terasa diterima secara bertahap.
Fase ini ditandai dengan turunnya bagian sentral Ayat 185: fa-man syahida minkum asy-syahra falyaṣumhu. Ini menasakh (menghapus) pilihan fidyah bagi orang sehat dan bermukim. Puasa menjadi fardhu ‘ain, kewajiban tunggal bagi yang hadir di bulan Ramadhan. Pilihan fidyah hanya tersisa bagi mereka yang secara permanen tidak mampu (seperti yang dijelaskan dalam tafsir muhkam Ayat 184).
Meskipun tidak termasuk dalam 183-185, ayat setelahnya (Ayat 187) kemudian merincikan waktu puasa (sejak fajar hingga malam) dan membolehkan makan, minum, dan berhubungan intim pada malam hari. Proses ini menunjukkan bahwa syariat Islam tidak bersifat statis dan memaksa, melainkan bertahap dan penuh pertimbangan terhadap kemampuan manusia.
Seluruh proses ini, dari fleksibilitas awal hingga penetapan mutlak, menunjukkan konsistensi dengan prinsip Yusr (kemudahan) yang ditekankan dalam Ayat 185. Kemudahan ini diwujudkan bukan hanya dalam rukhshah, tetapi juga dalam penahapan syariat itu sendiri.
Ayat 185 menempatkan Takbir sebagai ritual penutup yang menyempurnakan puasa: Wa litukabbirū Allāha ‘alā mā hadākum (dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu).
Takbir pada Idul Fitri adalah puncak pengagungan. Ini adalah deklarasi publik bahwa seorang hamba telah berhasil menyelesaikan ujian spiritual. Takbir tidak hanya berarti ucapan 'Allahu Akbar', tetapi juga pengakuan bahwa Allah Maha Besar dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam penetapan hukum-Nya.
Penyempurnaan puasa (litukmilū al-‘iddah) dan Takbir (litukabbirū) adalah dua sisi mata uang. Tidak ada Takbir yang sempurna tanpa penyelesaian ibadah puasa, baik di bulan Ramadhan itu sendiri, atau dengan mengqadha di hari-hari lain bagi yang mendapatkan rukhshah. Ini menekankan pentingnya disiplin hukum dalam rangka meraih tujuan spiritual, yaitu takwa dan syukur.
Kesimpulannya, tiga ayat sentral ini adalah inti ajaran Ramadhan. Mereka mengajarkan kita bahwa puasa adalah kewajiban yang universal (Ayat 183), memiliki batasan waktu yang jelas dan keringanan yang adil (Ayat 184), serta terikat erat dengan petunjuk Ilahi (Al-Qur’an) di bawah payung prinsip kemudahan dan kasih sayang Tuhan (Ayat 185).
***
Ayat 184, yang berbicara tentang ‘alā al-ladhīna yuṭīqūnahu fidyatun ṭa‘āmu miskīn, memberikan solusi permanen bagi orang tua lanjut usia (syekh dan syekhah kabir) yang kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk berpuasa sama sekali, dan tidak memiliki harapan untuk mengqadha. Dalam kondisi ini, mereka wajib membayar fidyah. Fiqh mengatur bahwa fidyah harus dibayarkan sejumlah hari yang ditinggalkan. Ini menunjukkan penghormatan syariat terhadap kondisi alamiah manusia dan usia lanjut, sekaligus memastikan bahwa mereka tetap terhubung dengan dimensi sosial ibadah melalui pemberian nafkah kepada yang membutuhkan.
Perhitungan praktisnya: Jika Ramadhan 30 hari, maka wajib dibayarkan fidyah untuk 30 porsi makanan. Porsi makanan ini harus berupa makanan pokok yang mengenyangkan, sesuai dengan standar makanan yang biasa dikonsumsi oleh pembayar fidyah di wilayah tersebut. Mazhab Syafi’i dan Maliki menekankan bahwa fidyah harus diberikan dalam bentuk bahan makanan (misalnya beras atau gandum), sementara Mazhab Hanafi membolehkan pembayaran dalam bentuk uang tunai yang senilai.
Rukhshah bagi orang sakit (marīd) dalam Ayat 184 memerlukan interpretasi yang hati-hati dalam dunia medis. Tidak semua penyakit membatalkan puasa. Penyakit yang membolehkan berbuka terbagi menjadi dua kategori utama:
Poin pentingnya adalah, dalam Islam, kesehatan fisik adalah bagian dari Maqasid Syariah (tujuan syariat). Mengambil rukhshah saat sakit adalah bentuk ketaatan, bukan kemalasan, sesuai prinsip Yusr (kemudahan) dalam Ayat 185.
Keterkaitan Ramadhan dengan Al-Qur’an (Ayat 185) memunculkan praktik-praktik ibadah lain selain puasa, yaitu Tilawah (membaca), Tadabbur (merenungkan), dan Qiyamul Lail (salat malam). Puasa menciptakan kondisi spiritual yang optimal (hati yang jernih karena lapar) untuk menerima cahaya petunjuk (Hudā). Al-Qur’an adalah al-Furqān, pembeda antara yang hak dan batil. Puasa melatih daya pembeda ini dalam diri Mukmin, sehingga ia mampu melihat realitas dengan pandangan yang lebih jernih, menjauhkan diri dari syahwat, ghadab (amarah), dan kerancuan berpikir. Ini adalah manifestasi takwa yang utuh.
Seluruh rangkaian ayat 183 hingga 185 ini berdiri sebagai pilar utama syariat puasa, menyeimbangkan kewajiban yang tegas, keringanan yang manusiawi, dan tujuan spiritual yang mulia, semuanya terangkum dalam bingkai waktu suci: Bulan Ramadhan.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-Nya yang mampu menyempurnakan bilangan puasa dan meraih derajat takwa, serta senantiasa bersyukur atas petunjuk-Nya yang agung.