Hakekat Balasan Ilahi terhadap Permainan Orang Munafik
Surah Al-Baqarah, surah terpanjang dalam Al-Qur'an, memulai pembahasannya dengan menggariskan tiga kategori utama umat manusia di hadapan risalah kenabian: kelompok mukmin (ayat 1-5), kelompok kafir (ayat 6-7), dan kelompok munafik (ayat 8-20). Kelompok ketiga ini adalah yang paling berbahaya karena sifatnya yang samar dan merusak dari dalam. Puncak deskripsi mengenai kebohongan dan tipu daya mereka dirangkum dengan sangat tegas dalam ayat ke-15, sebuah pernyataan tentang keadilan dan pembalasan Ilahi yang mendalam.
Ayat ini adalah jawaban langsung terhadap klaim dan perilaku orang-orang munafik yang dibahas dalam ayat-ayat sebelumnya (khususnya ayat 14), di mana mereka mengejek orang-orang mukmin sejati. Orang-orang munafik mengira mereka telah berhasil mengakali Allah dan Rasul-Nya, namun Allah menegaskan bahwa ejekan mereka adalah bumerang yang akan berbalik kepada mereka sendiri. Ayat ini memperkenalkan konsep yang sangat penting: bagaimana Allah 'membalas' atau 'mengejek' (يَسْتَهْزِئُ) mereka, serta implikasi dari 'membiarkan mereka terombang-ambing' (يَمُدُّهُمْ).
Visualisasi kondisi orang munafik yang dibiarkan dalam kesesatan yang membutakan.
Kata kunci dalam ayat ini adalah يَسْتَهْزِئُ (yastahzi’u), yang secara harfiah berarti 'mengejek' atau 'mengolok-olok'. Ketika istilah ini diterapkan pada Allah SWT, maknanya harus dipahami secara berbeda dari bagaimana manusia mengejek. Ejekan manusia seringkali didorong oleh rasa superioritas yang palsu, kesombongan, atau niat buruk yang tidak adil.
Dalam konteks teologis, para mufassir menjelaskan bahwa 'Istihza' Allah bukanlah ejekan dalam arti kekurangan atau frivolitas. Sebaliknya, ini adalah 'Balasan Sempurna' (Jaza'ul Istihza') yang setimpal. Ini adalah hukum kausalitas Ilahi yang memastikan bahwa siapa pun yang mempermainkan agama dan kaum mukmin, maka permainannya akan berbalik padanya. Ini adalah bentuk keadilan mutlak.
Tafsir klasik sering menggunakan konsep *Muqabalah* (perimbangan atau pembalasan setimpal) untuk menjelaskan Istihza' Allah. Karena orang munafik mengejek orang beriman dengan berpura-pura seolah-olah beriman, balasan dari Allah adalah memperlakukan mereka seolah-olah mereka adalah orang beriman (misalnya, diberi keamanan sementara di dunia), padahal hakikatnya mereka adalah pendusta. Mereka dibiarkan terus berlanjut dalam kebohongan mereka sehingga hukuman di akhirat menjadi lebih berat dan pantas. Allah membiarkan mereka merasakan buah manis dari sandiwara mereka di dunia ini, yang pada akhirnya akan menjadi racun abadi di akhirat.
Istihza' Allah berarti bahwa mereka akan diolok-olok di Hari Kiamat. Ketika cahaya para mukmin bersinar, cahaya orang munafik akan padam. Mereka akan memohon kepada orang mukmin: "Tunggulah kami, agar kami dapat mengambil cahaya kamu." Lalu dikatakan kepada mereka: "Kembalilah ke belakangmu dan carilah cahaya di sana!" Pada saat itulah olok-olok Ilahi mencapai puncaknya. Mereka akan dipanggil dengan nama-nama ejekan dan dipisahkan dari rahmat, persis seperti yang mereka lakukan di dunia: memisahkan diri dari kebenaran sambil berpura-pura menjadi bagian darinya.
Bagian kedua ayat ini sangat penting: “وَيَمُدُّهُمْ فِى طُغْيَٰنِهِمْ يَعْمَهُونَ” – “dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan (kekafiran) mereka.” Kata يَسْتَهْزِئُ (yastahzi’u) tidak hanya berupa pembalasan di akhirat, tetapi juga terkait erat dengan يَسْتَهْزِئُ (yamudduhum), yaitu perpanjangan waktu yang mereka dapatkan di dunia ini.
Thughyan (طُغْيَٰنِهِمْ) berarti melampaui batas. Ini adalah puncak dari kesesatan, di mana individu tidak hanya tersesat, tetapi juga melampaui batas-batas kemanusiaan dan keimanan. Orang munafik melampaui batas dengan berani berdusta atas nama Allah dan mempermainkan agama-Nya. Allah tidak segera menghukum mereka di dunia, melainkan membiarkan mereka dalam kebebasan mereka. Ini dikenal sebagai *Istidraj*—pemberian kenikmatan atau kelonggaran kepada seseorang yang terus berbuat maksiat, yang secara bertahap menyeretnya menuju kehancuran yang lebih besar.
Allah membiarkan mereka semakin dalam terjerumus dalam tipu daya mereka sendiri. Mereka mengira kelimpahan harta dan keamanan hidup yang mereka nikmati adalah bukti bahwa Allah merestui perbuatan mereka, padahal ini adalah jebakan. Mereka terus berbuat dosa, dan Allah terus ‘memanjangkan’ (yamudduhum) waktu mereka, mempertebal ilusi mereka tentang keselamatan.
Ini adalah manifestasi paling menakutkan dari hukuman Ilahi di dunia. Hukuman fisik atau bencana alam mungkin bisa menyadarkan, tetapi hukuman yang paling parah adalah hukuman spiritual, yaitu ketika Allah menarik hidayah dan membiarkan jiwa tersesat dalam kegelapan yang ia pilih sendiri.
Kata kunci terakhir adalah يَعْمَهُونَ (ya’mahun), yang berarti mereka terombang-ambing, bingung, atau buta dalam kesesatan mereka. Kata ini biasanya merujuk pada seseorang yang berjalan tanpa arah dalam kebutaan, meskipun mereka mungkin memiliki penglihatan fisik yang sempurna.
Ini adalah gambaran psikologis dan spiritual yang sempurna bagi orang munafik. Meskipun mereka hidup di tengah-tengah cahaya kenabian (Rasulullah SAW dan para sahabat), hati mereka tidak melihat kebenaran. Mereka bingung menentukan sikap, selalu berayun antara keimanan dan kekafiran. Kebingungan ini adalah hasil langsung dari pilihan mereka untuk berbohong. Ketika seseorang terus-menerus berdusta, ia kehilangan kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, antara hakikat dan sandiwara.
Mereka terombang-ambing karena:
Untuk memahami sepenuhnya dampak Ayat 15, kita harus melihat konteks ayat 8 hingga 14. Ayat-ayat tersebut menyajikan potret yang rinci tentang orang munafik, mulai dari motif, perilaku, hingga hasil akhirnya. Ayat 15 berfungsi sebagai penutup dari potret ini, memberikan kesimpulan tentang nasib spiritual mereka.
Ayat 14 adalah deklarasi olok-olok mereka terhadap kaum mukmin: “Dan apabila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok.’” Mereka menganggap keimanan sebagai sebuah permainan yang bisa mereka mainkan di hadapan orang mukmin. Mereka melihat diri mereka sebagai pihak yang cerdas, yang mampu 'menang' di kedua kubu.
Ayat 15 membalikkan narasi ini. Olok-olok yang mereka lakukan terhadap Allah dan kaum mukmin hanya menghasilkan balasan dari Allah yang jauh lebih dahsyat. Ini bukan sekadar pembalasan, tetapi penyingkapan hakekat diri mereka yang kosong. Mereka mengira mereka menipu orang lain, padahal mereka menipu diri sendiri.
Mereka beranggapan bahwa kepura-puraan mereka adalah sebuah strategi yang cerdik, padahal itu adalah awal dari kehancuran rohani. Kebohongan yang mereka tanamkan dalam hati mereka bertumbuh menjadi kebutaan yang permanen. Kesombongan mereka dalam menolak kebenaran, sambil berpura-pura menerimanya, merupakan akar dari segala kesesatan.
Konsep pembalasan Ilahi yang setimpal ini harus terus direnungkan. Jika manusia menipu dengan kata-kata, Allah membalas dengan tindakan yang membiarkan penipuan itu menjadi kenyataan hidup mereka. Mereka ingin hidup dalam kegelapan tipu daya, maka Allah mengabulkannya, tetapi kegelapan itu bukan lagi pilihan, melainkan penjara abadi.
Hukuman yang dijelaskan dalam Ayat 15 tidak terbatas pada Hari Akhir semata; ini adalah proses degradasi spiritual yang berlangsung di dunia. Kehidupan seorang munafik dicirikan oleh kebingungan, kegelisahan, dan ketidakmampuan untuk menemukan kedamaian sejati, meskipun mereka menikmati kenikmatan duniawi.
Di awal surah, setelah deskripsi orang munafik, Allah memberikan perumpamaan tentang mereka (ayat 17): seperti orang yang menyalakan api, tetapi ketika api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahayanya dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Ayat 15 adalah inti teologis dari perumpamaan tersebut. Allah mengambil 'cahaya' (iman dan petunjuk) yang mereka pura-pura miliki, karena mereka tidak menghargainya.
Penarikan cahaya ini adalah Istihza’ (ejekan) Allah. Allah memperlakukan mereka sesuai dengan sandiwara mereka. Mereka berpura-pura ingin cahaya, tetapi dalam hati mereka mencintai kegelapan. Maka, Allah membiarkan mereka tenggelam dalam kegelapan abadi yang mereka pilih. Ini adalah bentuk hukuman yang sempurna karena sangat sesuai dengan kejahatan yang mereka lakukan.
Penting untuk membedakan hukuman orang kafir murni (yang dijelaskan dalam Ayat 6-7) dan orang munafik (Ayat 8-20). Orang kafir adalah orang yang menolak kebenaran secara terang-terangan; hati mereka dikunci oleh Allah karena penolakan mereka. Namun, orang munafik menolak kebenaran sambil mengklaim menerimanya. Mereka menambahkan dimensi penipuan dan makar.
Oleh karena itu, hukuman orang munafik adalah yang terberat, karena mereka merusak komunitas mukmin dari dalam. Ayat 15 menunjukkan bahwa bagi mereka, hukumannya adalah penguatan tipu daya diri mereka sendiri. Orang kafir mungkin menyadari bahwa mereka melawan Allah, tetapi orang munafik, dalam kebodohan mereka, mengira mereka mengakali Allah dan menang. Kebutaan (Ya'mahun) orang munafik jauh lebih parah daripada kebutaan orang kafir.
Kita harus menilik lebih dalam konsep *Istidraj* yang terkandung dalam *Yamudduhum*. Istidraj adalah proses di mana seseorang diangkat (diberi kemudahan, kekayaan, dan kesehatan) sedikit demi sedikit, tetapi setiap kenaikan itu justru mendekatkannya pada azab yang pedih. Ini adalah kelonggaran yang diberikan Allah, bukan sebagai kasih sayang, melainkan sebagai perangkap yang tersembunyi. Orang munafik adalah contoh utama dari Istidraj.
Mereka melihat diri mereka berhasil di dunia: harta mereka berlimpah, pengaruh mereka besar, dan mereka dihormati oleh komunitas mukmin karena penampilan luarnya. Semua ini meyakinkan mereka bahwa jalan yang mereka ambil adalah benar—jalan tipu daya dan kompromi. Inilah puncak Istihza' Allah: Allah membiarkan mereka mabuk dalam keberhasilan palsu mereka, sampai mereka tidak lagi mampu mengenali bahaya yang akan datang.
Salah satu ciri yang paling menyakitkan dari orang yang di-istidraj adalah hilangnya rasa takut kepada Allah. Mereka menjadi berani dalam kemaksiatan dan penipuan karena mereka melihat tidak ada hukuman segera yang menimpa mereka. Mereka menafsirkan penundaan hukuman sebagai persetujuan Ilahi atau bahkan kelemahan Tuhan. Inilah yang membuat mereka semakin jauh terombang-ambing (Ya’mahun). Mereka membangun tembok kesombongan yang tidak bisa ditembus oleh nasihat atau ayat-ayat Al-Qur'an.
Ketika seseorang dibiarkan mencapai titik ini, hatinya menjadi keras, dan proses kembali kepada kebenaran menjadi hampir mustahil, kecuali melalui rahmat yang luar biasa dari Allah. Ayat 15 berfungsi sebagai peringatan bahwa ketika Allah memutuskan untuk 'membiarkan' seseorang, itu bukanlah tanda kemurahan, melainkan penarikan diri dari sisi perlindungan dan petunjuk-Nya.
Ayat-ayat tentang kemunafikan, khususnya Ayat 15, bukanlah sekadar kisah sejarah tentang para penentang Nabi di Madinah. Ayat-ayat ini abadi dan relevan bagi setiap generasi umat Islam. Kemunafikan adalah penyakit hati yang selalu mengancam komunitas beriman.
Pelajaran utama dari ayat ini adalah pentingnya keikhlasan dan konsistensi. Jika seseorang memiliki perbedaan mendasar antara apa yang ia ucapkan di lisan dan apa yang ia yakini di hati, ia berada di jalan kemunafikan. Istihza' Allah mengajarkan bahwa tidak ada yang tersembunyi dari pandangan-Nya, dan pembalasan-Nya adalah konsekuensi logis dari ketidakjujuran internal seseorang.
Seorang mukmin harus senantiasa memeriksa hatinya. Apakah tindakan dan ibadahnya didorong oleh keinginan untuk mendapatkan pujian manusia atau keridhaan Allah? Ketakutan akan menjadi salah satu dari ‘Ya’mahun’ seharusnya mendorong setiap mukmin untuk mencari kejelasan dan kejujuran spiritual secara terus-menerus.
Ayat 15 juga berfungsi sebagai peringatan tegas bagi siapa pun yang cenderung mempermainkan ajaran agama. Olok-olok yang dilakukan orang munafik (seperti meremehkan syariat, menganggap remeh perintah, atau menertawakan orang beriman) adalah tindakan yang sangat berbahaya. Balasan Istihza’ dari Allah adalah kepastian, dan itu jauh lebih menakutkan daripada ejekan manusia mana pun.
Kita harus menyadari bahwa mempermainkan hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran Ilahi berarti mengundang balasan yang setimpal, yaitu dicabutnya hidayah dan dibiarkannya kita terombang-ambing dalam kebingungan (Ya’mahun).
Kita kembali fokus pada kata يَعْمَهُونَ (ya’mahun). Ini menggambarkan kondisi kebingungan mental dan spiritual yang begitu dalam sehingga individu tersebut benar-benar kehilangan arah. Ini bukan sekadar kesesatan, tetapi ketidakmampuan untuk menemukan jalan keluar dari kesesatan itu sendiri. Orang munafik, karena terlalu banyak berpura-pura dan berbohong, telah melatih hati mereka untuk menolak cahaya, sampai pada titik di mana cahaya pun tidak lagi terlihat oleh mereka.
Ketika Allah 'membiarkan mereka terombang-ambing' (Yamudduhum), ini berarti Allah menangguhkan pertolongan-Nya. Biasanya, ketika seorang hamba tersesat, ia mungkin mengalami guncangan, cobaan, atau bisikan hati nurani yang menariknya kembali. Namun, bagi orang munafik yang disebutkan dalam Ayat 15, guncangan itu ditiadakan, dan bisikan hati nurani dimatikan. Mereka terus berjalan di jalur yang salah, semakin cepat, semakin yakin bahwa mereka benar. Ini adalah 'perpanjangan' yang membawa mereka semakin jauh dari titik penyelamatan.
Kesesatan mereka menjadi siklus yang menguatkan diri sendiri. Kebohongan hari ini membutuhkan kebohongan yang lebih besar besok. Sandiwara kecil di hadapan mukminin harus dilanjutkan dengan sandiwara yang lebih besar di hadapan para setan mereka. Kebingungan mereka semakin kompleks, membuat mereka lelah secara batin, meskipun secara lahir mereka tampak tenang dan sukses.
Mufassir klasik seperti Imam At-Tabari dan Ibnu Katsir menekankan bahwa Istihza' Allah adalah pembalasan yang nyata. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah membalas olok-olok mereka karena mereka menyangka dengan munafik mereka akan selamat dari hukuman Allah. Allah memberi mereka waktu untuk bertindak, tetapi hukuman itu pasti akan datang, dan akan lebih menyakitkan karena mereka telah merasa aman dalam waktu yang lama.
Tafsir kontemporer, sementara itu, sering menyoroti dimensi psikologis dari Ayat 15. Mereka menjelaskan bahwa ketika seseorang hidup dalam kemunafikan, ia secara internal menciptakan neraka psikologis bagi dirinya sendiri. Kebingungan, kecurigaan terus-menerus, dan hilangnya kepercayaan diri dan orang lain adalah bentuk azab duniawi yang sesuai dengan Istihza' Ilahi. Mereka adalah yang 'terombang-ambing' (Ya’mahun) karena mereka tidak pernah tenang dengan kebenaran. Mereka selalu berada di tengah pusaran kebohongan yang mereka ciptakan.
Inti dari semua tafsir adalah: Istihza' Allah adalah reaksi yang adil dan sempurna terhadap aksi kemunafikan. Itu adalah hukuman yang diberikan melalui penarikan petunjuk, bukan melalui hukuman yang sewenang-wenang. Allah tidak membutuhkan olok-olok untuk menunjukkan keperkasaan-Nya; olok-olok-Nya adalah konsekuensi dari perbuatan hamba itu sendiri, yang dibiarkan terus berjalan di jalan kehancuran.
Penyebutan *Thughyan* (melampaui batas) dalam ayat ini sangat spesifik. Orang munafik bukan hanya tidak percaya, tetapi mereka aktif melampaui batas etika dan spiritual. Mereka menggunakan agama sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan duniawi, menempatkan diri mereka sebagai hakim atas kaum mukmin, dan mencoba menggagalkan misi kenabian dari dalam.
Thughyan mereka terlihat dalam beberapa aspek:
Karena mereka melampaui batas kebohongan, Allah membalas mereka dengan pembalasan yang melampaui batas kesengsaraan spiritual. Semakin besar thughyan, semakin besar pula azab yang tersembunyi dalam 'perpanjangan waktu' (Yamudduhum) mereka.
Ayat Al-Baqarah 15 adalah salah satu pernyataan Al-Qur'an yang paling menakutkan mengenai keadilan. Ayat ini mengajarkan bahwa Allah tidak pernah terakali, dan bahwa setiap tindakan penipuan akan berbalik kepada pelakunya dalam bentuk hukuman yang sempurna dan setimpal. Orang munafik mengira mereka telah memenangkan permainan dunia, padahal Allah telah membiarkan mereka masuk ke dalam labirin kegelapan yang tidak berujung. Mereka buta dalam kebingungan (Ya’mahun), dan inilah Istihza' (ejekan/balasan) terberat yang bisa diterima oleh jiwa manusia.
Kelonggaran waktu yang diberikan oleh Allah adalah bagian dari strategi Istihza' tersebut. Seandainya mereka dihukum segera, mereka mungkin sempat bertaubat atau menyadari kesalahan mereka. Tetapi dengan membiarkan mereka terus dalam thughyan, Allah memastikan bahwa mereka benar-benar memilih kesesatan mereka dengan penuh kesadaran dan kebebasan. Mereka menggunakan kebebasan memilih mereka untuk berbohong, dan hasilnya adalah hilangnya kebebasan spiritual, yang berujung pada kebingungan abadi di dunia dan azab yang kekal di akhirat.
Bagi orang beriman, Ayat 15 adalah penguat keyakinan bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang. Sementara musuh-musuh agama mungkin tampak sukses untuk sementara, Allah sedang merencanakan balasan yang jauh lebih besar dan final. Kemenangan sejati bukanlah kemenangan materi yang dinikmati orang munafik, tetapi kemenangan spiritual yang dibuktikan dengan hati yang tenang dan konsisten, bebas dari penyakit kemunafikan dan kebingungan.
Dalam refleksi mendalam, Istihza' Allah dalam ayat ini mengajarkan kita tentang sifat keadilan-Nya yang unik. Keadilan-Nya bukanlah pembalasan dendam yang emosional, melainkan penegasan kosmik bahwa hukum kausalitas spiritual tidak bisa dilanggar. Jika seseorang menanam kebohongan, ia akan menuai kebingungan; jika seseorang menanam tipu daya, ia akan menuai pembalasan. Inilah janji yang termaktub dalam Al-Baqarah Ayat 15, sebuah janji yang harus selalu mengingatkan kita akan pentingnya kejujuran, keikhlasan, dan ketakutan yang benar kepada Sang Pencipta.
Kesempurnaan balasan ini terletak pada kesesuaian antara hukuman dan kejahatan. Orang munafik bermain-main, maka Allah memperlakukan hidup mereka sebagai permainan yang akan berakhir tragis. Mereka menyalakan api untuk keuntungan duniawi, maka Allah memadamkan cahaya yang diperlukan untuk keselamatan akhirat. Mereka memilih jalan yang buta, maka Allah membiarkan mereka tersesat di jalan itu tanpa kompas petunjuk. Ini adalah bentuk hukuman yang paling mengerikan: hukuman yang datang melalui 'pengabaian' Ilahi.
Kita harus memohon perlindungan kepada Allah dari penyakit hati yang merusak ini, agar kita tidak termasuk ke dalam golongan yang terombang-ambing dalam kebutaan mereka sendiri, dan agar setiap langkah kita di dunia ini selalu berpedoman pada cahaya kebenaran, bukan fatamorgana tipu daya yang menjanjikan keselamatan sementara. Itulah inti dari pelajaran abadi yang terkandung dalam Al-Baqarah Ayat 15, sebuah ayat yang menggetarkan jiwa setiap orang yang merenungkan makna keadilan dan konsekuensi spiritual dari setiap pilihan yang diambil.
Penghayatan terhadap kalimat Yamudduhum harus menghasilkan kewaspadaan yang tinggi. Setiap kenikmatan atau kelonggaran yang didapatkan oleh orang yang ragu atau munafik harusnya menjadi tanda tanya besar, bukan kepuasan. Apakah kenikmatan ini anugerah, atau Istidraj? Seorang mukmin sejati akan selalu merasa takut terhadap kelonggaran yang terlalu mudah, karena ia tahu bahwa ujian terberat seringkali datang dalam bentuk kenyamanan yang melenakan, persis seperti yang terjadi pada orang-orang munafik yang disebutkan dalam ayat ini.
Kebenaran yang disampaikan dalam ayat ini bersifat mutlak. Mereka yang berusaha mengakali sistem Ilahi hanya akan menemukan diri mereka terperangkap dalam jaring yang mereka anyam sendiri. Tipu daya mereka adalah alat ukur yang digunakan Allah untuk menghukum mereka. Mereka ingin terlihat baik di depan manusia dan menipu mereka, maka Allah membuat mereka terlihat baik untuk sementara, tetapi membiarkan hati mereka busuk dan buta secara permanen. Inilah harga yang harus dibayar untuk kemunafikan: kehilangan panduan spiritual, ditukar dengan ilusi kekuasaan dan kecerdasan duniawi.
Dalam konteks akhir zaman, di mana kebenaran seringkali tercampur aduk dengan kebohongan dan penampilan luar mendominasi substansi batin, Ayat 15 menjadi mercusuar yang sangat penting. Ia mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati terletak pada kejujuran hati (sidq), dan bukan pada kecanggihan sandiwara (nifaq). Siapapun yang memilih jalur nifaq, cepat atau lambat, akan menemukan dirinya tersesat dan terombang-ambing, di tengah lautan kebingungan yang tiada bertepi—sebuah realitas yang disaksikan oleh Allah dan ditegaskan dalam firman-Nya yang mulia.
Pengulangan dan penegasan makna Istihza’ dan Ya’mahun adalah hal yang esensial. Istihza’ bukan berarti Allah bermain-main. Ia berarti Allah memberikan hasil logis dari tindakan mereka, yaitu membiarkan mereka menikmati sandiwara mereka hingga azab yang sesungguhnya tiba. Yamudduhum bukanlah pemurah, tetapi penangguhan hukuman yang memperberat beban dosa. Dan Ya’mahun adalah kondisi psikologis spiritual, di mana mereka benar-benar kehilangan kemampuan navigasi hati, terperangkap dalam kegelapan batin yang mereka kira adalah cahaya.
Mereka yang mencoba menipu Allah dengan ibadah pura-pura, dengan amal yang didorong riya’, atau dengan kesetiaan yang terbelah, harus merenungkan nasib orang munafik yang dibahas di sini. Setiap tindakan yang didasari ketidakjujuran berisiko menyeret pelakunya lebih dekat kepada kondisi Thughyan dan Ya’mahun. Allah menawarkan jalan yang jelas dan lurus, tetapi mereka memilih jalur berbelok-belok, dan pada akhirnya, mereka terombang-ambing hingga Hari Perhitungan.
Pelajaran terpenting dari ayat ini adalah bahwa hukuman Ilahi tidak selalu datang dalam bentuk petir yang menyambar atau penyakit yang tiba-tiba. Seringkali, hukuman yang paling menyakitkan adalah hukuman yang tidak terlihat, yaitu penarikan petunjuk dan cahaya dari hati. Inilah balasan yang adil, setimpal, dan sangat sesuai dengan sifat kejahatan kemunafikan itu sendiri. Mereka mengira menipu, tetapi mereka sendirilah yang ditipu oleh kelonggaran waktu dari Allah SWT.
Oleh karena itu, jika kita melihat ketidaknyamanan, kesulitan, atau rasa takut dalam diri kita setelah melakukan kesalahan, kita harus bersyukur, karena itu adalah tanda bahwa Allah belum sepenuhnya mencabut cahaya dan bimbingan dari hati kita. Rasa takut dan kebingungan yang sehat adalah dorongan untuk bertaubat. Sebaliknya, orang munafik yang di-Istihza'i oleh Allah tidak merasakan rasa takut yang sehat itu; mereka malah merasa aman dalam kegelapan mereka, dan itulah puncak dari hukuman Ilahi yang digambarkan dalam Al-Baqarah Ayat 15.
Kita harus senantiasa menjaga keikhlasan agar terhindar dari pembalasan setimpal ini. Keikhlasan adalah benteng yang melindungi hati dari Istihza’ Ilahi. Ketika hati jujur kepada Allah, maka Allah akan melindunginya dari kebutaan dan kebingungan. Tetapi ketika hati memilih untuk berbohong, pintu menuju Thughyan akan terbuka lebar, dan Yamudduhum akan menjadi kenyataan yang menakutkan, di mana setiap hari yang berlalu hanya menambah jarak antara diri mereka dan jalan keselamatan yang hakiki.
Pemahaman yang mendalam terhadap Ayat 15 memantapkan keyakinan kita bahwa tidak ada tempat berlindung dari mata Allah. Setiap bisikan hati, setiap niat tersembunyi, dan setiap sandiwara yang dimainkan di hadapan manusia dicatat dan akan dibalas dengan keadilan yang sempurna. Balasan itu adalah Istihza', dan ia berujung pada kebingungan abadi yang disebut Ya’mahun.
Oleh karena itu, setiap kali kita membaca atau mendengar firman Allah: “Allah akan membalas olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka,” kita harus merenungi betapa seriusnya penyakit munafik dan betapa mengerikannya hukuman yang telah disiapkan bagi mereka yang memilih jalan dua wajah. Ini adalah panggilan untuk introspeksi yang tak henti-hentinya, memastikan bahwa cahaya iman yang kita bawa tidak palsu, tidak goyah, dan tidak akan padam.
Siklus kemunafikan yang dijelaskan di Al-Baqarah mencapai puncaknya di sini, menunjukkan bahwa tidak ada jalan tengah yang aman antara kebenaran dan kebatilan. Siapa pun yang mencoba berjalan di batas tipis itu akan jatuh ke dalam lubang kebingungan yang dalam dan gelap. Kesombongan mereka untuk menipu adalah benih dari kebutaan mereka. Mereka mengira mereka bijak, tetapi mereka adalah yang paling bodoh di hadapan hukum-hukum Allah yang abadi dan tak terbantahkan. Mereka terombang-ambing, dan mereka tidak akan pernah menemukan jalan kembali, kecuali dengan kehendak Allah, yang mana bagi orang munafik, bimbingan itu telah dicabut sebagai balasan atas penipuan mereka yang disengaja.
Keseluruhan narasi ini memperkuat pandangan bahwa keadilan Allah adalah sempurna. Ia tidak tergesa-gesa dalam menghukum, tetapi penundaan-Nya bukanlah kelupaan. Penundaan itu adalah bagian dari Istihza' itu sendiri—membiarkan mereka membangun kerajaan pasir kebohongan mereka, hanya untuk melihatnya dihancurkan di saat yang paling krusial. Ini adalah peringatan bagi kita semua bahwa keberkahan duniawi bukanlah indikator utama keridhaan Ilahi, terutama jika disertai dengan inkonsistensi spiritual dan kemunafikan.
Dengan demikian, Al-Baqarah Ayat 15 berdiri tegak sebagai monumen peringatan terhadap bahaya kemunafikan, menjanjikan balasan yang setimpal dan menghukum jiwa dengan cara yang paling fundamental: menghilangkan kemampuan mereka untuk melihat, berpikir jernih, dan kembali kepada kebenaran, membiarkan mereka terombang-ambing selamanya di dalam kegelapan yang mereka anggap sebagai cahaya.
Pengulangan konsep ini diperlukan karena betapa vitalnya pemahaman tentang Istihza’ Ilahi. Ini bukan tindakan yang remeh, melainkan penarikan substansi spiritual. Orang munafik ingin terlihat cerah tanpa memiliki sumber cahaya; mereka ingin terlihat saleh tanpa memiliki keimanan. Istihza' Allah adalah membiarkan kepura-puraan mereka berjalan di dunia, tetapi di saat yang paling dibutuhkan—saat Kiamat—cahaya itu dicabut sepenuhnya, meninggalkan mereka dalam kegelapan total, kebingungan, dan penyesalan yang tidak berkesudahan. Ini adalah pembalasan yang sempurna, di mana ilusi mereka diubah menjadi realitas azab. Mereka memilih kegelapan, dan Allah mengunci mereka di dalamnya.
Mereka terus berjalan di jalan yang gelap, mengira mereka menuju terang, padahal setiap langkah hanya memperdalam jurang pemisah antara mereka dan hidayah. Ini adalah definisi Ya’mahun yang paling menyakitkan—kebutaan yang disertai dengan kesombongan. Mereka tidak hanya buta, tetapi mereka bangga akan kebutaan mereka, menganggap penglihatan orang mukmin sebagai kebodohan. Balasan Istihza’ adalah penghapusan total panduan internal. Allah telah memberikan mereka akal dan nurani, tetapi karena mereka memilih untuk menggunakannya untuk menipu, akal dan nurani itu dicabut fungsinya, membuat mereka terombang-ambing tanpa harapan.
Penting untuk diingat bahwa setiap penundaan hukuman bagi orang munafik dalam sejarah Islam, atau dalam kehidupan kontemporer, adalah cerminan dari Yamudduhum. Mereka mungkin memenangkan pertempuran politik atau ekonomi hari ini, namun kemenangan itu adalah fatamorgana yang akan menguap. Kemenangan mereka di dunia hanyalah perpanjangan waktu untuk mempertebal Thughyan mereka, memastikan bahwa hukuman akhir mereka lebih pantas dan lebih menyakitkan. Ini adalah strategi Ilahi yang menakutkan bagi mereka yang berani mempermainkan janji dan ancaman-Nya.
Maka, pemahaman terhadap Ayat 15 harus membawa kita pada evaluasi diri yang ketat. Apakah kita memiliki konsistensi batin? Apakah kita takut dicabutnya hidayah lebih daripada dicabutnya harta? Jika kita takut dicabutnya cahaya iman, maka kita akan berjuang melawan setiap kecenderungan kemunafikan dalam hati kita, agar kita tidak termasuk di antara mereka yang dibalas dengan Istihza' dan dibiarkan terombang-ambing tanpa arah, selamanya buta dalam kegelapan pilihan mereka sendiri.
Ayat ini adalah inti dari pelajaran moral dan spiritual Surah Al-Baqarah mengenai kelompok paling berbahaya dalam masyarakat—mereka yang menggunakan wajah keimanan untuk menutupi hati kekafiran. Allah tidak membiarkan tipu daya mereka berhasil. Hukuman-Nya datang bukan dari luar, melainkan dari dalam: tipu daya mereka sendiri menjadi rantai yang membelenggu mereka, dan inilah kesempurnaan Istihza' Allah SWT.