Al-Baqarah 233: Pilar Keadilan dalam Hak Menyusui dan Nafkah Anak

Ilustrasi Pengasuhan "Wal Walidatu Yurdhi'na" Kewajiban dan Hak Keluarga

Gambar SVG: Representasi stilasi hubungan ibu dan anak, simbolisasi tanggung jawab pengasuhan yang diatur dalam Al-Baqarah 233.

Surah Al-Baqarah ayat 233 adalah salah satu fondasi utama dalam hukum keluarga Islam, khususnya yang mengatur periode krusial setelah terjadinya perceraian. Ayat ini tidak hanya menetapkan hak dan kewajiban secara legalistik, tetapi juga menanamkan prinsip moralitas, keadilan, dan kasih sayang yang harus dipegang teguh demi kesejahteraan anak, yang merupakan pihak paling rentan dalam konflik rumah tangga. Konteks ayat ini muncul setelah pembahasan panjang mengenai talak, menjadikannya penutup yang sempurna mengenai bagaimana seharusnya tanggung jawab bersama atas buah hati tetap berjalan meskipun ikatan pernikahan telah terputus.

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi siapa yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah (yang berhak atas anak) memberi nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang patut (ma’ruf). Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga janganlah seorang ayah (yang berhak atas anak) menderita kesengsaraan karena anaknya. Ahli waris pun berkewajiban seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan kerelaan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada perempuan lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 233)

I. Penetapan Periode Menyusui: Dua Tahun Penuh

Ayat ini dimulai dengan penegasan hak dan kewajiban ibu: "Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi siapa yang ingin menyempurnakan penyusuan." Ungkapan "dua tahun penuh" (hawlaini kamilaini) bukan sekadar saran, melainkan batasan waktu ideal yang ditetapkan oleh syariat Islam untuk manfaat maksimal bagi anak, baik secara fisik maupun emosional. Periode ini adalah waktu terpanjang yang dianggap sempurna dalam perspektif Islam.

1. Implikasi Hukum dan Medis

Penetapan dua tahun penuh ini bersifat fleksibel tetapi didasari oleh hikmah ilahiah. Secara medis, batas waktu ini sejalan dengan rekomendasi kesehatan modern mengenai ASI eksklusif dan ASI lanjutan. ASI selama dua tahun memberikan kekebalan optimal, nutrisi lengkap, dan membangun ikatan psikologis yang kuat antara ibu dan anak.

Para ulama tafsir menekankan bahwa frasa "bagi siapa yang ingin menyempurnakan penyusuan" menunjukkan bahwa dua tahun adalah batas maksimal yang paling utama. Jika penyapihan dilakukan sebelum itu, hal tersebut diperbolehkan, asalkan memenuhi syarat yang akan dibahas kemudian, yaitu kerelaan dan musyawarah.

Diskusi fiqh mengenai menyusui terbagi menjadi dua aspek: hak ibu dan hak anak. Pada dasarnya, menyusui adalah hak anak. Jika ibu bercerai dan menolak menyusui kecuali dengan imbalan, sebagian besar mazhab fiqh (khususnya Syafi'i dan Hanbali) berpendapat bahwa jika ibu masih terikat dalam masa iddah, ia tidak berhak meminta upah karena nafkah dan tempat tinggalnya masih menjadi kewajiban suami. Namun, jika masa iddah telah berakhir, atau jika ibu memiliki alasan kuat (misalnya sakit, atau jika menyusui bukan lagi kewajiban yang dituntut secara umum), ia berhak meminta upah (ujrah) yang harus ditanggung oleh ayah.

2. Menyusui Sebagai Kewajiban Moral dan Hak Anak

Walaupun ayat ini menekankan pada peran ibu (wal walidatu yurdhi'na), para fukaha sepakat bahwa menyusui adalah kewajiban agama yang sangat dianjurkan. Jika seorang ibu sehat dan mampu, ia dianjurkan kuat untuk menyusui anaknya sendiri. Hal ini bahkan dianggap sebagai salah satu bentuk jihad seorang ibu, perjuangan yang pahalanya sangat besar di sisi Allah SWT.

Apabila ibu menolak menyusui tanpa alasan yang syar'i, ini bisa menimbulkan permasalahan hukum, terutama jika ayah tidak mampu menyediakan pengganti. Namun, ayat ini sangat manusiawi; ia tidak memaksakan beban yang tidak realistis. Jika ibu tersebut memang tidak mampu menyusui karena kondisi fisik atau psikologis, Islam memberikan solusi melalui mekanisme upah untuk ibu susu (wet nurse), yang akan dibahas pada bagian akhir ayat.

Penting untuk dipahami bahwa meskipun ikatan pernikahan putus, ikatan pengasuhan tidak boleh terputus. Penetapan jangka waktu dua tahun ini adalah jaminan perlindungan bagi anak untuk mendapatkan yang terbaik dari kedua orang tuanya, bahkan setelah mereka berpisah. Ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan anak dalam sistem hukum Islam.

II. Kewajiban Nafkah Ayah: Prinsip Al-Ma’ruf (Kepatutan)

Bagian kedua ayat 233 mengalihkan fokus kepada kewajiban finansial ayah (suami) terhadap ibu yang menyusui: "Kewajiban ayah (yang berhak atas anak) memberi nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang patut (ma’ruf)."

1. Pembebanan Finansial Kepada Ayah (Al-Mawludu Lahu)

Ayat ini secara eksplisit menggunakan frasa al-Mawludu Lahu (orang yang baginya anak itu dilahirkan), yang merujuk kepada ayah. Ini adalah penegasan tegas bahwa tanggung jawab primer dan mutlak dalam pemenuhan kebutuhan finansial anak, termasuk nafkah bagi ibu yang menyusui, berada di tangan ayah. Islam membebankan tugas mencari nafkah kepada pria, sementara wanita dibebaskan dari kewajiban ini, bahkan dalam kondisi perceraian.

Nafkah yang dimaksud mencakup dua hal pokok: rizquhunna (makanan, rezeki, atau biaya hidup sehari-hari) dan kiswatuhunna (pakaian). Pemberian nafkah ini diberikan kepada ibu sebagai imbalan atau biaya pemenuhan kebutuhan dasar selama ia mendedikasikan dirinya untuk menyusui dan merawat anak tersebut, terutama jika ia bukan lagi istrinya (telah cerai dan habis iddah).

2. Standar Kepatutan (Bil Ma’ruf)

Kata kunci dalam penetapan nafkah ini adalah bil ma’ruf, yang berarti ‘dengan cara yang patut, adil, wajar, atau sesuai kebiasaan yang baik’. Konsep ma’ruf ini memberikan fleksibilitas hukum yang sangat penting, karena standar hidup dan kemampuan finansial sangat bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya, dan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.

Tafsir mengenai bil ma’ruf mensyaratkan bahwa nafkah harus diberikan sesuai dengan:

Prinsip bil ma’ruf menjamin bahwa ayah tidak boleh memberikan nafkah yang terlalu sedikit hanya karena ingin menyengsarakan mantan istrinya, dan ibu juga tidak boleh menuntut nafkah yang berlebihan di luar kemampuan mantan suaminya. Keseimbangan adalah inti dari keadilan Islam.

III. Prinsip Universal: Tidak Dibebani Kecuali Sesuai Kesanggupan

Ayat 233 kemudian memperkenalkan kaidah fiqh yang sangat fundamental dan universal: "Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya (La tukallafu nafsun illa wus'aha)."

1. Penerapan Kaidah Wus’ah dalam Nafkah

Prinsip la tukallafu nafsun illa wus'aha menjadi regulator utama dalam penetapan nafkah bil ma’ruf. Jika ayah benar-benar tidak mampu secara finansial, ia tidak akan dipaksa untuk memberikan nafkah yang melebihi batas kemampuannya. Ini adalah bentuk rahmat dan keadilan ilahiah. Meskipun tanggung jawab nafkah tetap ada padanya, pelaksanaan kewajiban tersebut disesuaikan dengan realitas ekonomi.

Para ulama menjelaskan bahwa prinsip ini bertujuan menghindari kesulitan yang tidak perlu (haraj). Jika beban terlalu berat, kemungkinan besar salah satu pihak akan gagal melaksanakannya, yang justru akan merusak kesejahteraan anak. Oleh karena itu, hukum Islam selalu mencari titik tengah antara kewajiban ideal dan kapasitas aktual seseorang.

2. Larangan Saling Menyengsarakan (La Tudaarra)

Ayat ini melanjutkan dengan larangan yang sangat tegas: "Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga janganlah seorang ayah (yang berhak atas anak) menderita kesengsaraan karena anaknya." Frasa ini, la tudaarra (janganlah menyengsarakan/membahayakan), menunjukkan bahwa kedua pihak harus menghindari tindakan yang merugikan pihak lain demi kepentingan anak.

Ayah tidak boleh menahan atau mengurangi nafkah sebagai bentuk balas dendam atau upaya untuk menekan mantan istri agar meninggalkan hak asuhnya. Sebaliknya, ibu tidak boleh menuntut upah menyusui yang berlebihan atau menolak menyusui hanya untuk menyulitkan ayah. Anak adalah titik fokus yang harus dilindungi; ia tidak boleh dijadikan alat tawar-menawar atau senjata dalam perseteruan orang tua yang telah bercerai.

Ini adalah seruan etis yang sangat kuat. Meskipun ada konflik pribadi antara mantan suami dan istri, hak anak harus tetap di atas segalanya. Tindakan yang menyebabkan kerugian pada pihak lain demi keuntungan pribadi dianggap sebagai pelanggaran terhadap etika Islam yang diajarkan oleh ayat ini.

IV. Tanggung Jawab Ahli Waris (Al-Warith)

Ayat ini juga mengatur situasi darurat atau ketidakmampuan ayah: "Ahli waris pun berkewajiban seperti itu pula." (Wa 'alal warithi mitslu dzalik).

1. Identifikasi Al-Warith

Siapakah yang dimaksud dengan al-Warith (ahli waris)? Ada perbedaan pendapat besar di kalangan ulama mengenai penafsiran frasa ini, yang pada intinya terkait dengan kesinambungan nafkah anak dan ibu menyusui jika ayah (al-Mawludu Lahu) meninggal dunia atau tidak mampu.

Inti dari bagian ini adalah: anak tidak boleh terlantar. Jika ayah yang bertanggung jawab utama gugur atau tidak mampu, tanggung jawab sosial dan finansial harus dipikul oleh kerabat terdekat. Ini menunjukkan mekanisme jaminan sosial yang ketat dalam Islam, yang menempatkan kesejahteraan anak di atas semua pertimbangan material.

2. Kesamaan Kewajiban

Frasa "seperti itu pula" (mitslu dzalik) menegaskan bahwa standar kewajiban ahli waris sama dengan kewajiban ayah. Mereka harus memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu (jika masih menyusui) dan anak bil ma’ruf, sesuai dengan prinsip non-pembebanan di luar kesanggupan (la tukallafu nafsun illa wus'aha).

Transisi kewajiban ini sangat penting untuk stabilitas keluarga setelah kematian, memastikan bahwa kerabat yang mengambil alih warisan juga mengambil alih tanggung jawab moral dan finansial terhadap keturunan pewaris yang masih kecil.

V. Prinsip Musyawarah dan Kerelaan dalam Penyapihan

Ayat ini kemudian memberikan pedoman kapan dan bagaimana penyapihan dapat dilakukan sebelum mencapai batas dua tahun: "Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan kerelaan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya."

1. Dua Pilar Keputusan: Taradhin dan Tasyawur

Islam sangat menghargai musyawarah (tasyawur) dan kerelaan (taradhin) dalam keputusan keluarga. Keputusan menyapih, yang berdampak besar pada kesehatan dan psikologi anak, tidak boleh diputuskan sepihak, meskipun ikatan pernikahan telah putus.

Kehadiran prinsip tasyawur dalam konteks perceraian menunjukkan bahwa hubungan orang tua harus tetap bersifat kolaboratif dalam hal pengasuhan. Bahkan setelah talak, mereka harus mampu duduk bersama, berdiskusi secara dewasa, dan mengesampingkan perbedaan pribadi demi anak.

2. Fleksibilitas Waktu Menyusui

Ayat ini memberikan fleksibilitas. Jika karena alasan kesehatan (ibu sakit, produksi ASI tidak cukup, atau anak perlu nutrisi tambahan lebih cepat) atau alasan sosial yang kuat, mereka bisa menyapih lebih awal. Namun, fleksibilitas ini harus ditebus dengan persetujuan bersama dan musyawarah yang transparan. Ini menegaskan bahwa dua tahun adalah batas kesempurnaan, bukan keharusan yang tidak dapat diganggu gugat dalam kondisi tertentu.

VI. Solusi Alternatif: Penggunaan Ibu Susu

Ayat 233 juga menyediakan solusi jika ibu kandung tidak dapat atau tidak mau menyusui, atau jika terjadi penyapihan dini: "Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada perempuan lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut."

1. Hukum dan Syarat Ijaratul Radha’ah (Sewa Ibu Susu)

Ayat ini melegitimasi praktik menyewa ibu susu (wet nurse) atau istirdha’ (mencari penyusuan). Ini adalah solusi praktis dan legal untuk memastikan anak mendapatkan ASI jika ibu kandung berhalangan.

Namun, penggunaan ibu susu harus memenuhi syarat ketat yang berlandaskan bil ma’ruf:

2. Kapan Ibu Susu Diperlukan?

Penggunaan ibu susu bisa terjadi karena beberapa alasan:

  1. Ibu kandung meninggal dunia.
  2. Ibu kandung menolak menyusui setelah masa iddah berakhir dan ayah mampu membayar upah untuk pengganti.
  3. Ibu kandung secara medis tidak mampu memproduksi ASI yang cukup atau kualitasnya buruk.
  4. Orang tua sepakat untuk menyapih dini dan menggantikannya dengan ASI dari ibu susu lain (walaupun opsi terbaik adalah ASI ibu kandung).
Ini menunjukkan betapa Islam menjamin setiap bayi berhak mendapatkan nutrisi terbaik (ASI), bahkan jika itu harus melalui mekanisme sewa-menyewa.

VII. Penutup Ayat: Taqwa dan Pengawasan Ilahi

Ayat 233 ditutup dengan seruan moral dan spiritual yang kuat, mengingatkan semua pihak akan tanggung jawab abadi di hadapan Allah: "Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."

1. Implikasi Taqwa dalam Hukum Keluarga

Perintah untuk bertakwa (Ittaqullah) diletakkan di akhir ayat yang penuh dengan rincian hukum. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum keluarga tidak boleh hanya berorientasi pada legalitas semata, melainkan harus dilandasi oleh kesadaran spiritual. Dalam urusan yang melibatkan anak, mantan suami dan istri cenderung digerakkan oleh emosi dan dendam. Ketakwaan berfungsi sebagai rem dan pemandu, mengingatkan mereka bahwa setiap tindakan yang diambil (nafkah yang adil, musyawarah yang tulus, atau pembayaran upah yang patut) adalah ibadah dan akan dipertanggungjawabkan.

2. Pengawasan Abadi (Bashir)

Peringatan bahwa "Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan" (annallaha bima ta'maluna bashir) adalah penekanan bahwa tidak ada negosiasi tersembunyi, penipuan, atau niat buruk yang luput dari pandangan Allah. Bahkan jika secara lahiriah suatu tindakan terlihat sesuai hukum, jika niatnya adalah untuk menyengsarakan pihak lain atau merugikan anak, maka ia tetap tercela di sisi Allah. Hal ini berfungsi sebagai dorongan untuk selalu bertindak dengan keikhlasan dan niat baik, khususnya dalam konteks pengasuhan bersama pasca-perceraian.


VIII. Analisis Fiqh Mendalam: Perbedaan Mazhab dalam Al-Baqarah 233

Ayat 233 adalah sumber utama bagi banyak hukum fiqh mengenai hak asuh (hadhanah) dan nafkah. Meskipun terdapat kesamaan mendasar, perbedaan interpretasi ulama mazhab memberikan kekayaan dalam pelaksanaan hukum ini.

1. Kewajiban Menyusui (Jumhur vs. Hanafi)

Mazhab Hanafi, berbeda dengan mayoritas mazhab (Maliki, Syafi'i, Hanbali), berpendapat bahwa secara umum, ibu kandung tidak wajib menyusui anaknya sendiri jika ia menolak, terutama setelah masa iddah. Dasar argumen mereka adalah bahwa menyusui adalah bagian dari pemanfaatan tubuh (seperti melayani suami), dan setelah cerai, seorang wanita bebas dari kewajiban tersebut. Namun, jika anak tidak menerima susu dari wanita lain, atau jika ayah tidak mampu menyewa ibu susu, maka kewajiban tersebut kembali kepada ibu kandung.

Sebaliknya, Mazhab Syafi'i dan Hanbali cenderung lebih menekankan bahwa menyusui adalah kewajiban yang sangat dianjurkan. Mereka berpendapat bahwa seorang ibu tidak berhak menuntut upah jika dia masih dalam ikatan pernikahan atau masa iddah, karena nafkahnya masih ditanggung suami. Setelah iddah, barulah ia berhak menuntut upah menyusui.

2. Interpretasi ‘Al-Warith’ dan Batasan Nafkah

Perbedaan interpretasi al-warith sangat memengaruhi siapa yang harus menanggung biaya nafkah jika ayah meninggal.

Fleksibilitas penafsiran ini menunjukkan adaptasi hukum Islam terhadap berbagai kondisi ekonomi dan sosial, tetapi prinsip utamanya tetap teguh: anak harus dinafkahi.

3. Keadilan dalam Penentuan Ujrah (Upah)

Semua mazhab sepakat bahwa upah ibu susu harus bil ma’ruf. Namun, bagaimana cara menentukannya? Para fukaha menyarankan agar hakim atau lembaga syariat melihat harga pasar lokal untuk jasa penyusuan. Upah tidak boleh terlalu rendah (merugikan ibu) dan tidak boleh terlalu tinggi (memberatkan ayah). Keadilan distributif adalah kunci dalam bagian ayat ini.

Jika ibu kandung yang bercerai bersedia menyusui dan menuntut upah yang sama dengan yang dituntut oleh ibu susu lain, ulama sepakat bahwa ibu kandung harus diprioritaskan, selama tuntutannya wajar. Ini karena menyusui oleh ibu kandung memiliki manfaat psikologis dan fisik yang tidak tergantikan.

IX. Dimensi Sosial dan Psikologis Ayat

Di balik regulasi hukum, Al-Baqarah 233 mengandung kebijaksanaan mendalam yang relevan bagi masyarakat modern, terutama dalam menangani isu perceraian dan pengasuhan bersama (co-parenting).

1. Pencegahan Kerusakan Psikologis Anak

Larangan la tudaarra (janganlah saling menyengsarakan) adalah perintah psikologis yang penting. Perceraian sering kali melibatkan konflik emosional yang tinggi, yang berisiko merugikan perkembangan psikologis anak. Ayat ini memaksa orang tua untuk menempatkan kepentingan anak di atas emosi pribadi mereka. Anak yang disusui dan dirawat dalam lingkungan yang saling menghormati, meskipun orang tuanya berpisah, cenderung memiliki perkembangan emosional yang lebih stabil.

Penyapihan yang dilakukan melalui musyawarah dan kerelaan (taradhin wa tasyawur) juga menunjukkan perlunya transisi yang lembut bagi anak. Keputusan menyapih bukan hanya tentang nutrisi, tetapi juga tentang pemutusan ikatan ketergantungan pertama anak, yang harus dilakukan dengan hati-hati dan pertimbangan matang dari kedua orang tua.

2. Nilai Keseimbangan (Moderasi) dalam Nafkah

Prinsip bil ma’ruf dan la tukallafu nafsun illa wus'aha mengajarkan konsep moderasi dan realisme ekonomi. Dalam masyarakat yang konsumtif, orang sering menuntut nafkah di luar kemampuan mantan pasangan mereka. Ayat ini menetapkan batasan etis bahwa nafkah harus adil bagi penerima sekaligus tidak merusak kemampuan finansial pemberi. Keadilan adalah memastikan bahwa kewajiban tidak menyebabkan keruntuhan ekonomi pada pihak yang memikulnya, karena hal itu pada akhirnya akan merugikan anak juga.

3. Pengakuan Kontribusi Ibu (Upah Menyusui)

Penetapan kewajiban ayah untuk membayar nafkah dan upah menyusui kepada mantan istrinya setelah iddah adalah pengakuan syariat terhadap nilai kerja keras ibu. Menyusui dan merawat anak adalah pekerjaan yang menuntut fisik dan waktu. Ayat ini memastikan bahwa kontribusi tersebut dihargai secara material dan tidak dianggap remeh, memberikan perlindungan ekonomi bagi ibu yang mungkin tidak memiliki sumber penghasilan lain saat mendedikasikan waktu untuk anak.

X. Telaah Mendalam Terhadap Konsep Al-Ma'ruf

Konsep Al-Ma'ruf adalah salah satu elemen terpenting yang diulang dalam ayat-ayat hukum keluarga di Al-Qur'an, termasuk Al-Baqarah 233. Konsep ini adalah katup pengaman sistem hukum Islam.

1. Ma’ruf sebagai Standar Moralitas Sosial

Ma’ruf secara harfiah berarti 'sesuatu yang dikenal' atau 'sesuatu yang baik'. Dalam konteks hukum, ia merujuk pada kebiasaan, tradisi, atau standar moral yang diterima secara luas oleh masyarakat yang sehat dan tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariat. Dengan menggunakan standar ma’ruf, Al-Qur'an memberikan ruang bagi hukum Islam untuk beradaptasi dengan perubahan zaman dan lokasi.

Contoh penerapan ma’ruf dalam ayat ini:

2. Menghindari Extremitas

Ma’ruf selalu berada di tengah-tengah dua ekstrem: pelit (bukhl) dan boros (israf). Ayah yang kaya tidak boleh bakhil dengan memberikan nafkah seadanya yang tidak sebanding dengan kekayaannya. Sebaliknya, ibu tidak boleh menuntut di luar batas kewajaran. Ma’ruf menjamin keadilan bagi kedua belah pihak dan menjaga martabat mereka.

Penerapan konsep ma’ruf membutuhkan kebijaksanaan dari hakim atau mediator. Mereka harus mempertimbangkan kondisi spesifik keluarga, sumber pendapatan ayah, kebutuhan spesifik anak (misalnya alergi atau penyakit yang membutuhkan susu khusus), serta inflasi dan biaya hidup di wilayah tersebut.

XI. Kepentingan Jangka Panjang Anak

Seluruh ayat 233, dari awal hingga akhir, adalah sebuah Piagam Hak Anak. Semua regulasi—mulai dari periode menyusui ideal, kewajiban nafkah ayah, peran ahli waris, hingga kebutuhan musyawarah—bermuara pada satu tujuan: menjamin masa depan dan kesejahteraan anak.

Penekanan pada dua tahun penuh penyusuan memberikan manfaat yang luar biasa bagi pertumbuhan kognitif dan fisik. Ini adalah investasi kesehatan dari sisi syariat. Sementara itu, pengaturan finansial yang ketat memastikan bahwa anak tidak menjadi korban kemiskinan akibat perpecahan rumah tangga orang tua.

Musyawarah (tasyawur) dalam keputusan menyapih mengajarkan kepada orang tua bahwa meskipun mereka berpisah, mereka tetap menjadi tim pengasuhan (co-parenting) seumur hidup. Anak membutuhkan kerjasama dan stabilitas dari kedua figur utama dalam hidupnya. Ketika orang tua mampu berdiskusi dan berkompromi secara damai mengenai urusan anak, itu adalah bukti nyata dari ketakwaan yang diperintahkan di akhir ayat.

Keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab yang berkelanjutan adalah inti dari Al-Baqarah 233, menjadikannya pedoman abadi bagi setiap keluarga Muslim yang menghadapi tantangan pengasuhan pasca-perceraian. Ayat ini memastikan bahwa hak-hak paling mendasar dari seorang anak yang baru lahir selalu terlindungi di bawah naungan hukum Ilahi.

***

🏠 Kembali ke Homepage