Prinsip Universal: Berlomba-lomba dalam Kebaikan (Fastabiqul Khairat)
Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, kaya akan pedoman fundamental, mencakup hukum, akidah, sejarah, dan prinsip kehidupan sosial. Ayat 148, meskipun singkat, memuat salah satu ajaran moral dan spiritual paling transformatif dalam Islam: Fastabiqul Khairat, atau berlomba-lomba dalam kebaikan.
Ayat ini diturunkan dalam konteks perubahan kiblat, sebuah peristiwa besar yang menguji iman dan kesatuan umat Islam. Setelah umat diperintahkan untuk mengalihkan wajah mereka dari Baitul Maqdis ke Ka'bah di Makkah (Ayat 144), muncul berbagai pertanyaan dan keraguan, terutama dari kaum ahli kitab yang sebelumnya menghadap Yerusalem. Ayat 148 berfungsi sebagai penutup dari perdebatan kiblat, mengarahkan fokus umat dari masalah arah fisik menuju tujuan yang lebih tinggi dan universal.
Dan bagi setiap umat ada kiblat (arah) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah tiga frasa kuncinya secara linguistik:
Kata wijhah merujuk pada arah atau orientasi. Dalam konteks awal ayat, "وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا" (Dan bagi setiap umat ada kiblat yang ia menghadap kepadanya) menegaskan pluralitas dalam praktik keagamaan historis. Ayat ini mengakui bahwa umat-umat terdahulu memiliki orientasi ibadah mereka sendiri. Ini adalah pengakuan akan keragaman cara beribadah yang diizinkan oleh Allah pada zamannya masing-masing. Namun, poin pentingnya, sebagaimana ditafsirkan oleh para mufassir seperti Ibnu Katsir dan At-Tabari, adalah bahwa perbedaan arah ini tidak boleh menjadi fokus utama perpecahan umat.
Ibnu Ashur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir menjelaskan bahwa wijhah di sini merangkum baik kiblat fisik (arah salat) maupun kiblat maknawi (prinsip dan tujuan utama syariat). Dengan kata lain, fokus pada ritual (arah) adalah sekunder dibandingkan fokus pada substansi (kebaikan).
Ini adalah inti ajaran moral ayat tersebut.
Perintah ini adalah perintah aksi. Ia mengubah energi yang mungkin dihabiskan untuk berdebat tentang kiblat menjadi energi yang terfokus pada kemajuan moral dan sosial. Perlombaan ini bersifat mulia, karena kemenangan satu pihak tidak berarti kekalahan bagi pihak lain; justru memotivasi pihak lain untuk berbuat lebih banyak.
Frasa ini menjamin universalitas dan keadilan ilahi. Ia menekankan bahwa lokasi fisik atau perbedaan arah ibadah (kiblat) tidaklah signifikan di hadapan Allah. Baik di Timur, Barat, darat, laut, di masa lalu atau di masa depan, Allah akan mengumpulkan semua manusia untuk perhitungan amal.
Makna ini diperkuat oleh penutup ayat: "إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ" (Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu). Kekuasaan Allah menjamin bahwa perbedaan geografis atau waktu tidak menghalangi-Nya untuk membangkitkan dan membalas setiap amal kebaikan yang telah diperlombakan umat manusia.
Konsep berlomba dalam kebaikan jauh melampaui perintah ibadah ritual. Ini adalah sebuah metodologi hidup yang harus diterapkan dalam setiap aspek eksistensi seorang mukmin.
Bentuk perlombaan yang paling utama adalah melawan hawa nafsu dan keterbatasan diri. Setiap hari, seorang mukmin harus berkomitmen untuk lebih baik dari hari sebelumnya. Ini melibatkan:
Sebagaimana Imam Al-Ghazali menjelaskan, perlombaan sejati terjadi di dalam hati; perjuangan untuk mendahulukan ridha Allah di atas keinginan pribadi adalah puncak dari *istibaq*.
Kebaikan (khairat) juga mencakup ilmu pengetahuan. Berlomba dalam kebaikan berarti berlomba dalam mencari ilmu yang bermanfaat dan menerapkannya. Ilmu yang dicari haruslah ilmu yang dapat meningkatkan kualitas spiritual, sosial, dan peradaban umat.
Dalam konteks modern, hal ini mencakup persaingan yang sehat dalam inovasi, penelitian, teknologi, dan penyebaran informasi yang benar dan mencerahkan. Orang yang berilmu, ketika mengamalkan ilmunya, berada di barisan terdepan perlombaan ini.
Mufassir kontemporer sering menafsirkan *khairat* sebagai kapital moral dan intelektual yang harus ditingkatkan terus-menerus. Umat yang berhenti berlomba dalam ilmu akan tertinggal dalam memimpin kebaikan dunia.
Kebaikan tidak pernah bersifat individualistik. Ia harus bermuara pada manfaat bagi orang lain (nafi'un li ghairih). Ayat ini mendorong persaingan yang bersifat komunal, seperti:
Berlomba-lomba dalam kebaikan sosial menciptakan lingkungan masyarakat yang saling mendukung dan kompetitif secara positif, di mana setiap orang termotivasi oleh prestasi kebaikan orang lain.
Ayat 148 adalah salah satu landasan teologis yang paling kuat untuk memahami hubungan antar-umat beragama dan fokus esensial dalam kehidupan beragama.
Dengan mengatakan, "Dan bagi setiap umat ada kiblat (arah) yang ia menghadap kepadanya," Allah SWT seolah-olah merelatifkan signifikansi absolut dari kiblat ritual semata, terutama ketika kiblat tersebut menjadi sumber perselisihan. Kiblat, apakah Ka'bah atau Yerusalem, hanyalah sarana. Tujuan utama adalah khairat. Ini adalah pengalihan fokus dari perdebatan ritualistik yang dangkal menuju inti spiritual yang substansial.
Imam Ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib menekankan bahwa perbedaan kiblat, yang merupakan perintah syariat temporer, tidak boleh mengalihkan perhatian dari tujuan abadi, yaitu ketaatan dan amal saleh.
Bagian kedua ayat ini memberikan penegasan kuat tentang hari akhir. "Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya." Janji ini memiliki implikasi ganda:
Kekuasaan Allah (Qadir) pada akhir ayat berfungsi sebagai jaminan keadilan mutlak. Tidak ada seorang pun yang dapat bersembunyi atau melarikan diri dari perhitungan amal. Oleh karena itu, jika penghakiman pasti terjadi, maka prioritas mutlak haruslah pada pengumpulan bekal (kebaikan) secepat mungkin.
Perintah *Fastabiqū* melahirkan sebuah konsep dalam Fiqh Prioritas (Fiqh Al-Aulawiyyat) dan etika kecepatan (Istibaq).
Para ulama ushul fiqh membahas apakah perintah dalam Al-Qur'an menunjukkan pelaksanaan segera (*faur*) atau kelonggaran waktu (*tarākhi*). Dalam konteks ayat ini, bentuk *Istabiqū* secara eksplisit menuntut kecepatan. Kebaikan tidak boleh ditunda, karena penundaan adalah pintu masuk bagi godaan syaitan dan hilangnya kesempatan.
Nabi Muhammad SAW bersabda: "Bersegeralah kamu beramal sebelum datangnya fitnah seperti malam yang gelap gulita..." (HR. Muslim). Ayat 148 memberikan landasan Qur'ani bagi prinsip bersegera ini.
Ketika dihadapkan pada banyak peluang kebaikan, bagaimana kita berlomba? Fiqh prioritas mengajarkan kita untuk memilih kebaikan yang:
Oleh karena itu, berlomba dalam kebaikan bukanlah perlombaan tanpa arah, melainkan perlombaan yang strategis dan bijaksana, di mana pelaksanaannya didasarkan pada kebutuhan riil dan manfaat tertinggi.
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di menjelaskan bahwa perintah *Fastabiqul Khairat* adalah peringatan keras terhadap sikap menunda-nunda (taswif) atau berpuas diri dengan amal yang telah dilakukan. Orang yang menunda amal saleh seringkali kehilangan kesempatan emas karena kematian datang tiba-tiba, atau karena perubahan keadaan yang menghalangi terlaksananya niat baik tersebut.
Seorang mukmin sejati yang menerapkan ayat 148 adalah mereka yang hidup dalam kondisi siaga amal, selalu mencari dan memanfaatkan setiap celah waktu untuk menanam benih kebaikan.
Ayat 148 mengubah konsep persaingan dari persaingan yang destruktif (iri, dengki, mengalahkan orang lain demi keuntungan pribadi) menjadi persaingan yang konstruktif dan memajukan kolektivitas.
Dalam Islam, iri hati (hasad) terhadap nikmat duniawi seseorang adalah tercela. Namun, berlomba dalam kebaikan mendorong jenis iri hati yang terpuji (*ghibtah*). *Ghibtah* adalah ketika seseorang melihat kebaikan yang dilakukan orang lain (misalnya, kedermawanan atau ketaatan seseorang) dan berharap dapat melakukan amal yang sama atau lebih baik, tanpa berharap nikmat itu hilang dari orang tersebut.
Ayat ini mengajarkan bahwa prestasi orang lain dalam kebaikan seharusnya tidak membuat kita kecil hati, melainkan memicu semangat kompetisi untuk meningkatkan standar amal kita sendiri. Kebaikan orang lain menjadi standar minimum yang harus kita lampaui.
Perlombaan dalam kebaikan adalah perlombaan tanpa garis akhir di dunia. Selama nafas masih berdetak, perlombaan terus berjalan. Hal ini memberikan motivasi tak terbatas kepada mukmin untuk terus berbuat baik, karena peluang untuk mendahului selalu terbuka.
Ayat ini berfungsi sebagai self-starter spiritual, mendorong inisiatif individu. Mukmin tidak menunggu perintah untuk berbuat baik; mereka secara proaktif mencari peluang kebaikan di lingkungan sekitar mereka, baik dalam skala kecil (senyum, menyingkirkan duri) maupun skala besar (membangun fasilitas umum, advokasi keadilan).
Tantangan terbesar dalam *Fastabiqul Khairat* adalah menjaga keikhlasan (ikhlas). Ketika seseorang berlomba dan berpotensi meraih pujian (sanjungan), risiko terjerumus ke dalam riya (pamer) sangat besar. Oleh karena itu, perlombaan yang diajarkan Al-Qur'an harus dibingkai dengan kesadaran penuh bahwa perlombaan ini hanya ditujukan untuk meraih ridha Allah semata, bukan pujian manusia.
Kecepatan dan kualitas amal harus tinggi, namun mata hati harus selalu tertuju pada Yang Maha Melihat, memastikan bahwa motivasi utama tetap murni dan tidak tercemari oleh ambisi duniawi.
Bagaimana prinsip *Fastabiqul Khairat* diterjemahkan dalam dunia modern yang kompleks?
Media sosial dan platform digital saat ini menjadi "medan perlombaan" baru. Berlomba dalam kebaikan di sini berarti:
Isu lingkungan adalah bagian krusial dari *khairat* kontemporer, karena menjaga bumi adalah bagian dari menjaga amanah Allah (khalifah fil ardh). Perlombaan di bidang ini mencakup:
Perlombaan untuk mengembangkan teknologi energi terbarukan, menjadi komunitas yang paling sedikit menghasilkan sampah, atau mendahului dalam program reboisasi. Ini adalah manifestasi nyata dari berlomba dalam kebaikan yang memberikan manfaat muta'addi (meluas) bagi generasi mendatang.
Di tempat kerja, *Fastabiqul Khairat* menuntut seorang mukmin untuk menjadi profesional yang paling jujur, paling berdedikasi, dan paling bermanfaat. Berlomba dalam kebaikan di sini berarti:
Ketika etos kerja dilandasi oleh niat perlombaan meraih ridha Ilahi, hasilnya adalah peningkatan produktivitas yang adil dan beretika, yang pada gilirannya mengangkat martabat seluruh komunitas.
Syeikh Muhammad Abduh menegaskan bahwa jika umat Islam ingin kembali meraih kejayaan, mereka harus memahami *Fastabiqul Khairat* bukan hanya sebagai perintah salat sunnah, tetapi sebagai perintah untuk mengungguli peradaban lain dalam sains, teknologi, keadilan sosial, dan pemerintahan yang baik.
Tentu, perlombaan ini tidak hanya menuntut usaha keras di dunia, tetapi juga menjanjikan ganjaran besar di akhirat, yang merupakan motivasi utama bagi seorang mukmin.
Al-Qur'an berulang kali menyebutkan adanya tingkatan (darajat) di surga, yang secara langsung berkorelasi dengan kualitas dan kuantitas amal kebaikan yang dilakukan di dunia. Mereka yang berlomba dalam kebaikan (as-sabiqun al-awwalun) dijanjikan kedudukan yang paling mulia. Mereka yang bercepat-cepat dalam amal kebaikan, memiliki tempat yang lebih tinggi daripada mereka yang hanya melakukan kebaikan sebatas kemampuan standar.
Ini adalah perlombaan yang sangat adil; bukan didasarkan pada kekayaan atau status sosial, melainkan murni pada inisiatif, ketulusan, dan pengorbanan yang dicurahkan dalam mengejar *khairat*.
Dalam banyak ayat lain, Allah memerintahkan umatnya untuk berlomba meraih ampunan-Nya: "Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi..." (Q.S. Al-Hadid [57]: 21). Ini menunjukkan bahwa inti dari semua perlombaan kebaikan adalah mencapai ampunan dan rahmat Ilahi.
Ketika seseorang secara aktif mencari dan mendahulukan amal kebaikan, ia secara otomatis menutupi potensi kesalahan atau kekurangan yang mungkin ia miliki. Kebaikan yang diperlombakan menjadi penebus dosa dan kunci pembuka rahmat.
Walaupun ayat ini menekankan pada persaingan individu, hasilnya secara kolektif adalah persatuan. Ketika setiap individu atau kelompok sibuk berlomba dalam kebaikan, mereka tidak memiliki waktu dan energi untuk berselisih atau berdebat mengenai hal-hal sekunder seperti arah kiblat atau perbedaan madzhab. Fokus bersama pada *khairat* secara intrinsik menyatukan energi umat menuju satu tujuan yang sama: kemajuan moral dan keridhaan Allah.
Oleh karena itu, ayat 148 adalah formula Qur’ani untuk perdamaian internal umat. Perlombaan bukan berarti permusuhan, melainkan sinergi positif yang menghasilkan kemaslahatan kolektif yang tak terhitung.
Ayat mulia dari Surah Al-Baqarah ini, dengan perintahnya yang tegas, menempatkan amal kebaikan sebagai prioritas tertinggi di atas segala bentuk perdebatan teologis atau ritualistik yang berpotensi memecah belah. Ini adalah seruan untuk beraksi, bukan beretorika.
Filosofi *Fastabiqul Khairat* mengubah pandangan hidup dari menunggu kesempatan menjadi menciptakan peluang. Ia menuntut kepekaan terhadap kebutuhan sesama, keberanian untuk menjadi yang pertama dalam berkorban, dan disiplin untuk menjaga konsistensi amal. Mengingat janji Allah bahwa Dia akan mengumpulkan kita semua, di mana pun kita berada, menegaskan bahwa tidak ada kebaikan sekecil apa pun yang akan terlewat dari perhitungan-Nya.
Setiap mukmin didorong untuk mengevaluasi diri: Dalam bidang kebaikan apa saya menjadi yang terdepan? Dalam amal saleh apa saya telah menyalip orang lain? Dan bagaimana saya dapat memastikan bahwa kecepatan dan kualitas amal saya hari ini melampaui hari kemarin?
Implementasi total dari Al-Baqarah 148 adalah kunci menuju kejayaan individu dan kolektif, memastikan bahwa seluruh energi umat tercurah pada pembangunan moral, spiritual, dan sosial yang berkelanjutan. Ini adalah warisan abadi yang harus terus dihidupkan dalam setiap tarikan napas dan setiap langkah kehidupan.
Kita menutup kajian ini dengan memohon taufik kepada Allah SWT agar diberikan kemampuan untuk senantiasa mendahulukan dan memperlombakan kebaikan dalam setiap aspek kehidupan kita, demi mencapai keridhaan dan surga-Nya.