Surah Al-Baqarah, ayat 136, merupakan salah satu pilar akidah dalam Islam yang menetapkan prinsip universalitas kenabian dan persatuan risalah Ilahi. Ayat ini tidak hanya berfungsi sebagai pernyataan iman (syahadat) bagi umat Muhammad, tetapi juga sebagai sebuah deklarasi yang menyatukan seluruh mata rantai kenabian yang telah diutus sejak permulaan sejarah manusia. Dalam konteks pertentangan antara umat-umat terdahulu di Madinah, ayat ini datang sebagai jawaban yang tegas, membedakan identitas sejati seorang mukmin yang menerima kebenaran secara menyeluruh, bukan secara parsial.
Katakanlah (wahai orang-orang mukmin): Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan hanya kepada-Nyalah kami berserah diri (Islam).
Ayat mulia ini terdiri dari tiga komponen fundamental yang saling terkait, yang mana setiap komponen tersebut memerlukan kajian mendalam untuk memahami implikasi teologisnya yang luas. Tiga komponen tersebut adalah: Perintah untuk Menyatakan Iman (Qūlū Āmannā), Daftar Iman yang Komprehensif (Rantai Kenabian), dan Deklarasi Prinsip Universalitas (Lā Nufarriqu) yang diikuti dengan Pengakuan Keislaman (Muslimūn).
I. Pilar Iman Pertama: Tauhid dan Wahyu yang Diturunkan kepada Kita
Ayat dimulai dengan perintah, "Qūlū Āmannā billāh" (Katakanlah: Kami beriman kepada Allah). Ini adalah fondasi mutlak. Keimanan harus diucapkan, diikrarkan, dan menjadi pegangan hidup. Pengakuan tauhid ini adalah syarat pertama menjadi seorang mukmin. Tidak ada keraguan atau dualisme dalam ketaatan kepada Sang Pencipta.
Setelah pengakuan Tauhid, ayat melanjutkan dengan "wa mā unzila ilainā" (dan apa yang diturunkan kepada kami). Frasa ini secara spesifik merujuk pada Al-Qur'an, wahyu pamungkas yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Keimanan kepada Al-Qur'an mencakup keyakinan akan kebenaran isinya, keasliannya yang terjaga, dan kewajiban untuk mengikuti hukum-hukumnya. Ini merupakan pengakuan bahwa Islam, dalam bentuknya yang sempurna, adalah penutup dari seluruh risalah Ilahi.
Detail dari iman kepada apa yang diturunkan kepada kita ini sangat esensial. Ini bukan sekadar pengakuan lisan, tetapi penerimaan total terhadap Syariat yang dibawa oleh Rasulullah. Penerimaan ini mencakup pemahaman bahwa Al-Qur’an datang sebagai penyempurna, sebagai pembenar (muhaimin) atas kitab-kitab sebelumnya yang mungkin telah mengalami distorsi atau perubahan. Oleh karena itu, bagi seorang Muslim, wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad menjadi tolok ukur akhir bagi kebenaran dan kebatilan.
Analisis Mendalam tentang ‘Mā Unzila Ilainā’
Wahyu yang ‘diturunkan kepada kita’ (umat Islam) mengandung tiga komponen utama keimanan: Al-Qur'an sebagai Kalamullah, As-Sunnah sebagai penjelas dan implementasi dari Kalamullah, dan kesepakatan umat (ijma’) yang merujuk kembali kepada kedua sumber tersebut. Keimanan yang sempurna mengharuskan seseorang menerima seluruh paket ini, menyadari bahwa tanpa wahyu terakhir, pemahaman tentang ajaran nabi-nabi sebelumnya mungkin tidak akan lengkap atau terdistorsi oleh waktu dan interpretasi manusia.
Penting untuk dipahami bahwa keimanan kepada ‘apa yang diturunkan kepada kita’ juga mencakup keyakinan terhadap proses penurunan wahyu itu sendiri. Keimanan terhadap Jibril sebagai pembawa wahyu, keimanan terhadap cara wahyu disampaikan kepada Nabi, serta keimanan terhadap kesinambungan dan pemeliharaan wahyu tersebut hingga hari Kiamat. Ini adalah fondasi yang membedakan kaum mukminin dari kelompok lain yang hanya mengakui sebagian kitab atau sebagian syariat yang mereka yakini sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka.
II. Pilar Iman Kedua: Rantai Kenabian Universal
Bagian tengah ayat 136 adalah inti dari universalitas Islam. Ayat ini mencantumkan serangkaian nama nabi mulia dari masa lampau dan secara eksplisit menyatakan keimanan kepada wahyu yang mereka terima. Daftar ini berfungsi untuk menghilangkan klaim eksklusivitas yang sering dipegang oleh kaum Yahudi dan Nasrani pada masa itu, yang hanya mengakui nabi-nabi dari garis keturunan atau kelompok mereka sendiri.
1. Ibrahim, Ismail, Ishaq, dan Ya’qub (Para Leluhur)
Penyebutan nama-nama ini—Ibrahim (Abraham), Ismail (Ishmael), Ishaq (Isaac), dan Ya’qub (Jacob)—menegaskan bahwa Islam memiliki akar yang sama dengan agama-agama samawi lainnya, yang semuanya kembali kepada ajaran tauhid murni yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, Khalīlullāh (Kekasih Allah). Ibrahim dikenal sebagai ‘Abu al-Anbiya’ (Bapak Para Nabi) karena darinya mengalir dua garis keturunan kenabian: Ismail (yang darinya muncul Nabi Muhammad) dan Ishaq (yang darinya muncul Musa dan Isa).
Keimanan kepada nabi-nabi ini merupakan penolakan terhadap pemisahan historis yang dilakukan oleh umat terdahulu. Islam menegaskan bahwa risalah Ibrahim adalah murni penyerahan diri (Islam), sebuah konsep yang diperkuat dalam ayat-ayat sebelumnya di Al-Baqarah. Dengan beriman kepada Ibrahim, umat Islam menegaskan bahwa mereka adalah penerus sejati ajaran Tauhid yang otentik, bukan sekadar peniru atau sekte baru.
Penyebutan Nabi Ibrahim secara khusus memberikan legitimasi historis dan teologis bagi kaum Muslimin. Kontribusi Ibrahim terhadap peradaban tauhid meliputi pembangunan Ka’bah, pengorbanan yang agung, dan dialog filosofis tentang keesaan Allah. Semua kisah ini, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, harus diyakini sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah petunjuk Ilahi.
2. Al-Asbāt (Anak Cucu Ya’qub)
‘Al-Asbāt’ merujuk kepada dua belas anak cucu Nabi Ya’qub (yang juga dikenal sebagai Israel) yang merupakan asal mula Bani Israil. Dalam konteks ayat ini, beriman kepada Al-Asbāt berarti beriman bahwa di antara keturunan Ya’qub terdapat nabi-nabi dan orang-orang saleh yang menerima wahyu dan petunjuk dari Allah. Ini menunjukkan inklusivitas Islam, mengakui peran penting yang dimainkan oleh Bani Israil dalam menjaga api tauhid di zaman kuno, meskipun kemudian mereka menyimpang.
Penyertaan Al-Asbāt menekankan bahwa keimanan tidak terbatas pada nabi-nabi utama saja, tetapi juga mencakup para utusan dan pembawa risalah minor yang mungkin kurang dikenal, namun tetap menjadi bagian dari rantai Ilahi. Keyakinan ini mengajarkan umat Islam untuk menghargai setiap titik terang petunjuk yang muncul dalam sejarah umat manusia.
3. Musa dan Isa (Pemilik Syariat Agung)
Penyebutan Nabi Musa (Moses) dan Nabi Isa (Jesus) dalam ayat 136 adalah penekanan kritis. Mereka adalah dua nabi besar yang menerima kitab suci dengan syariat (Taurat dan Injil) yang memiliki pengaruh besar pada peradaban dunia. Keimanan kepada wahyu yang diberikan kepada Musa dan Isa berarti mengakui kebenaran Taurat dan Injil (dalam bentuk aslinya yang belum terdistorsi) sebagai firman Allah.
Musa dan Taurat
Nabi Musa membawa syariat yang ketat dan rinci, memimpin Bani Israil keluar dari perbudakan Mesir. Keimanan kepada ‘Mā Ūtiya Mūsā’ mencakup pengakuan terhadap mukjizatnya, perjuangannya melawan Firaun, dan hukum-hukum dasar yang diwahyukan melalui Taurat. Bagi umat Islam, Musa adalah nabi yang sangat dihormati, dan kebenaran ajarannya adalah bagian integral dari akidah.
Elaborasi atas peran Musa harus mencakup pemahaman bahwa syariatnya, meskipun spesifik untuk Bani Israil pada masanya, tetap berpusat pada Tauhid. Hukum-hukum yang diterima di Sinai, seperti Sepuluh Perintah Allah, merupakan cerminan dari kehendak Ilahi yang harus diimani oleh setiap mukmin, meskipun rincian praktis (furu’ al-fiqh) kemudian disempurnakan oleh syariat Nabi Muhammad.
Isa dan Injil
Nabi Isa, diutus untuk memverifikasi Taurat dan untuk melegakan beberapa beban syariat yang berlaku bagi Bani Israil. ‘Mā Ūtiya ‘Īsā’ merujuk pada Injil, yang berfokus pada kasih sayang, spiritualitas, dan esensi moral. Keimanan kepada Isa mencakup pengakuan bahwa ia adalah hamba dan rasul Allah, bukan Anak Allah, serta pengakuan terhadap mukjizatnya yang menakjubkan yang terjadi atas izin Allah.
Penyebutan Isa dalam ayat ini secara efektif menantang klaim ketuhanan Isa yang dianut oleh sebagian besar kaum Nasrani. Dalam pandangan Islam, Isa adalah bagian dari rantai kenabian, yang ajarannya sejalan dengan seluruh nabi lainnya, yaitu penyerahan diri total kepada Allah. Dengan demikian, ayat 136 menegaskan posisi teologis yang benar mengenai Isa dalam akidah Islam.
4. Nabi-Nabi Lain dari Tuhan Mereka
Ayat ditutup dengan frasa yang mencakup segalanya: "wa mā ūtiya an-nabiyyūna min Rabbihim" (serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka). Frasa ini memastikan bahwa keimanan tidak terbatas pada nama-nama yang disebutkan secara eksplisit. Ayat ini mencakup seluruh nabi dan rasul yang mungkin tidak tercantum namanya di dalam Al-Qur’an (seperti Nuh, Hud, Saleh, Daud, Sulaiman, Yunus, dll.) dan juga para nabi yang diutus ke berbagai pelosok bumi pada waktu yang berbeda.
Inklusivitas ini menunjukkan luasnya rahmat Allah dan kesempurnaan akidah Islam yang menerima semua utusan-Nya tanpa pengecualian. Prinsip ini menegaskan bahwa ajaran dasar Tauhid adalah satu, universal, dan abadi, meskipun bentuk syariatnya mungkin berbeda sesuai dengan kebutuhan zaman dan kaum yang dituju.
***
III. Pilar Iman Ketiga: Prinsip Non-Diskriminasi dan Penyerahan Diri (Lā Nufarriqu wa Muslimūn)
Setelah merinci objek keimanan, ayat 136 mencapai puncaknya dengan dua pernyataan akidah yang paling menentukan yang membedakan kaum mukminin dari kaum Ahli Kitab yang telah mendahului mereka.
1. Lā Nufarriqu Baina Ahadin Minhum (Kami Tidak Membeda-bedakan Seorang Pun di Antara Mereka)
Inilah prinsip emas dari universalitas kenabian dalam Islam. "Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka" berarti umat Islam menerima semua nabi yang diutus oleh Allah sebagai utusan yang sah dan mulia. Mereka tidak menerima sebagian dan menolak sebagian lainnya, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi (yang menolak Isa dan Muhammad) atau kaum Nasrani (yang menolak Muhammad).
Diskriminasi terhadap nabi berarti menolak sumber wahyu itu sendiri. Karena semua nabi menyampaikan pesan dasar yang sama—Tauhid—menolak salah satu dari mereka sama dengan menolak Allah yang mengutus mereka. Prinsip non-diskriminasi ini adalah lambang kematangan iman yang hanya ditemukan dalam Islam. Umat Islam memandang Musa, Isa, Ibrahim, Nuh, dan Muhammad, sebagai satu keluarga kenabian yang utuh, yang masing-masing memiliki derajat kemuliaan yang diberikan oleh Allah, namun seluruh risalah mereka berasal dari satu sumber tunggal.
Konsekuensi dari prinsip ini sangat dalam. Ini menuntut umat Islam untuk menghormati sejarah agama-agama samawi lainnya dan memahami bahwa konflik yang terjadi bukanlah konflik antara nabi-nabi, melainkan konflik yang timbul karena penafsiran manusia, kepentingan pribadi, atau distorsi syariat seiring berjalannya waktu. Umat Islam, dengan menerima seluruh rantai nabi, berdiri di atas landasan kebenaran sejarah agama yang paling komprehensif.
2. Wa Nahnu Lahu Muslimūn (Dan Hanya Kepada-Nyalah Kami Berserah Diri)
Ayat ditutup dengan deklarasi tertinggi: "Dan hanya kepada-Nyalah kami berserah diri." Kata 'Muslimūn' adalah jamak dari 'Muslim', yang secara harfiah berarti ‘orang yang berserah diri’. Ini adalah penegasan identitas. Setelah merangkum semua objek keimanan—Allah, Al-Qur'an, dan seluruh nabi—umat mukmin menyatakan bahwa tujuan akhir dari seluruh keimanan tersebut adalah penyerahan diri (Islam) secara total dan tanpa syarat kepada Allah semata.
Pernyataan ini berfungsi sebagai kesimpulan yang ringkas dan kuat: akidah yang benar adalah akidah yang universal, yang mengakui semua utusan Allah, dan yang pada akhirnya memuncak dalam penyerahan diri total kepada Sang Pencipta. Ini adalah definisi Islam yang sebenarnya, bukan hanya nama agama, tetapi esensi spiritual dan praktis dari kehidupan yang taat.
IV. Konteks Historis dan Tujuan Ayat 136
Untuk memahami kedalaman Al-Baqarah 136, kita harus melihat konteks Madinah pasca-hijrah. Ayat-ayat sebelumnya (khususnya 130–135) membahas perdebatan sengit antara kaum Muslimin yang baru muncul dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) mengenai identitas Ibrahim dan agama yang benar. Ahli Kitab mengklaim bahwa Ibrahim adalah bagian dari kelompok mereka, dan bahwa keselamatan hanya bisa dicapai melalui agama mereka.
Ayat 136 datang sebagai strategi dakwah dan pertahanan akidah. Ia memerintahkan kaum Muslimin untuk secara aktif menyatakan keimanan mereka (Qūlū), yang berfungsi sebagai pembeda yang jelas dari orang-orang yang hanya menerima kebenaran secara selektif. Ini bukan hanya sebuah pernyataan pasif, tetapi sebuah tuntutan untuk berdiri teguh dalam keyakinan universal ini.
Menjawab Klaim Eksklusivitas
Kaum Yahudi berfokus pada Musa dan mengabaikan Isa, apalagi Muhammad. Kaum Nasrani meninggikan Isa hingga derajat ketuhanan sambil mengabaikan Muhammad. Al-Baqarah 136 menolak kedua pandangan tersebut. Ayat ini menegaskan bahwa keimanan sejati tidak boleh memiliki bias etnis atau kronologis. Semua utusan adalah bagian dari skema Ilahi yang sama.
Dengan mengakui Taurat, Injil, dan Suhuf Ibrahim (lembaran-lembaran Ibrahim) secara bersamaan, Islam memposisikan dirinya sebagai pewaris sah dari semua warisan profetik. Ini membuat posisi Muslim secara teologis lebih kuat dan lebih inklusif, karena mereka mengakui kebenaran yang dipeluk oleh semua kelompok, namun menolak kesalahan dan penyimpangan yang mereka ciptakan setelahnya. Ini adalah argumen yang tak terbantahkan: bagaimana mungkin Anda, wahai Ahli Kitab, menolak nabi kami, padahal kami menerima nabi Anda semua?
V. Elaborasi Filosofis Mengenai Rantai Kenabian
Konsep rantai kenabian yang disajikan dalam ayat 136 bukanlah sekadar daftar nama; ini adalah kerangka kerja filosofis mengenai bagaimana Allah berkomunikasi dengan manusia. Setiap nabi datang membawa petunjuk yang sesuai dengan tingkat kedewasaan spiritual umatnya pada masanya, tetapi inti pesannya selalu sama: Tauhid. Ini menunjukkan kesempurnaan Allah dalam perencanaan-Nya dan kesinambungan rahmat-Nya.
Prinsip Kesinambungan (Al-Ittisal)
Keimanan kepada nabi-nabi berarti kita percaya pada ittisal, atau kesinambungan, risalah. Wahyu bukanlah serangkaian peristiwa acak, melainkan sebuah kurikulum yang terencana dari Allah. Ibrahim meletakkan dasar monoteisme murni. Musa memperkenalkan Syariat dan hukum. Isa menekankan semangat dan etika. Muhammad menyempurnakan syariat dan moralitas tersebut untuk semua manusia dan untuk sepanjang masa.
Jika kita menolak salah satu mata rantai ini, maka pemahaman kita terhadap Tauhid menjadi terputus. Misalnya, tanpa memahami Syariat Musa, kita mungkin tidak memahami keadilan Allah. Tanpa spiritualitas Isa, kita mungkin hanya berfokus pada legalitas kering. Al-Baqarah 136 memaksa kita untuk melihat gambaran besar: semua nabi adalah guru yang diutus oleh Guru Yang Maha Agung (Allah).
Prinsip Akibat dan Kausalitas (Al-Sababiyyah)
Setiap nabi adalah sebab bagi nabi berikutnya. Turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad (Mā Unzila Ilainā) adalah akibat logis dari seluruh kenabian yang mendahuluinya. Al-Qur'an mengakui dan membenarkan nabi-nabi terdahulu, namun juga memperbaiki interpretasi yang salah. Ini berarti penerimaan terhadap wahyu terakhir adalah penerimaan yang paling sempurna terhadap seluruh sejarah wahyu, karena ia memberikan konteks yang benar untuk semuanya.
Sebagai contoh pendalaman, renungkanlah kisah Nabi Yusuf (yang termasuk dalam Al-Asbāt). Kisah tersebut bukan sekadar cerita sejarah, tetapi pelajaran tentang kesabaran, takdir, dan integritas. Dengan beriman kepada Al-Asbāt, kita menerima pelajaran etika dan moral yang disampaikan melalui kisah mereka, menyadari bahwa nilai-nilai tersebut bersifat universal dan tidak lekang oleh waktu, bahkan sebelum Syariat Islam disempurnakan.
VI. Implementasi Praktis: Membangun Etika Persatuan
Ayat 136 memiliki implikasi mendalam bagi perilaku Muslim dalam masyarakat global. Jika kita tidak membeda-bedakan nabi, maka kita tidak boleh membeda-bedakan dasar-dasar moral dan keadilan yang mereka ajarkan. Prinsip universalitas ini mendorong etika persatuan dan toleransi.
1. Menghormati Sumber Asli
Keimanan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa mengharuskan seorang Muslim untuk menghormati Taurat dan Injil dalam bentuk aslinya (yang diyakini telah hilang atau terdistorsi). Penghormatan ini bukan berarti mengikutinya saat bertentangan dengan Al-Qur'an, tetapi menghargai fakta bahwa kitab-kitab tersebut pernah menjadi petunjuk suci dari Allah. Hal ini menumbuhkan sikap hormat terhadap umat beragama lain yang masih berpegang pada kitab-kitab tersebut, meskipun dalam bentuknya yang diubah.
2. Toleransi dan Dialog
Karena kita memiliki kesamaan fondasi Tauhid yang diakui melalui Ibrahim, Musa, dan Isa, dasar untuk dialog antaragama menjadi sangat kuat. Al-Baqarah 136 memberikan landasan teologis bagi Muslim untuk mendekati Ahli Kitab bukan sebagai orang asing total, tetapi sebagai kerabat spiritual yang hanya berbeda dalam hal penerimaan terhadap nabi penutup. Kita berbagi Tuhan yang sama, akar nabi yang sama, dan kewajiban moral yang sama untuk berserah diri kepada Allah.
Ayat ini berfungsi sebagai manual untuk dialog: mulailah dengan kesamaan (Tauhid dan nabi-nabi terdahulu), tegaskan perbedaan dengan jelas (penerimaan terhadap Muhammad dan non-diskriminasi), dan akhiri dengan identitas sejati (penyerahan diri total). Ini adalah metode dakwah yang efektif dan damai.
3. Persatuan Umat Islam
Bahkan dalam internal umat Islam, prinsip non-diskriminasi ini penting. Semua nabi, termasuk nabi yang disebutkan dalam ayat ini, memiliki derajat yang berbeda, tetapi semua harus dihormati. Seorang Muslim tidak boleh meremehkan peran Isa atau Musa dalam rangka memuliakan Nabi Muhammad. Kemuliaan Muhammad adalah karena ia menyempurnakan risalah, bukan karena ia menolak risalah sebelumnya. Keseimbangan ini adalah kunci untuk menghindari ekstremisme dan sektarianisme dalam memahami sejarah kenabian.
VII. Elaborasi Lanjut Mengenai Makna ‘Muslimūn’ (Berserah Diri)
Penutupan ayat dengan "Wa Nahnu Lahu Muslimūn" (Dan hanya kepada-Nyalah kami berserah diri) adalah inti teologis terkuat. Mengapa penyerahan diri ini menjadi penutup setelah daftar nabi yang panjang?
Penyerahan diri (Islam) adalah tujuan akhir dari semua risalah kenabian. Ibrahim adalah seorang Muslim sejati. Musa membawa syariat untuk menciptakan masyarakat yang berserah diri. Isa menekankan hati yang berserah diri. Muhammad menyatukan aspek hukum dan spiritualitas dalam bentuk yang paling lengkap, semuanya menuju kesimpulan bahwa tidak ada tujuan yang lebih tinggi bagi seorang hamba selain tunduk sepenuhnya kepada kehendak Penciptanya.
Definisi Islam dalam Konteks Ayat 136
Di sini, istilah Islam tidak hanya merujuk pada komunitas agama yang dipimpin oleh Nabi Muhammad, tetapi pada kondisi spiritual abadi. Ketika seorang Muslim menyatakan dirinya ‘Muslimūn’ dalam konteks Al-Baqarah 136, ia menyatakan:
- Penolakan terhadap Syirik: Berserah diri berarti menolak semua bentuk kemitraan atau asosiasi (syirik) dalam ketuhanan Allah.
- Penerimaan terhadap Semua Kebenaran: Berserah diri berarti menerima semua wahyu dan nabi yang diutus-Nya, tanpa memilih-milih.
- Ketaatan Total: Berserah diri berarti menerima semua perintah dan larangan yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai syariat terakhir dan terlengkap.
Jika seseorang mengaku beriman kepada Allah, tetapi hanya memilih nabi yang disukainya (diskriminasi), maka ia belum sepenuhnya berserah diri. Keimanan yang terpecah adalah keimanan yang cacat. Al-Baqarah 136 mengajarkan bahwa persatuan iman adalah syarat mutlak bagi persatuan penyerahan diri.
Oleh karena itu, ketika seorang mukmin mengucapkan janji yang terkandung dalam ayat ini, ia tidak hanya sekadar mengulang formula, tetapi ia sedang mengikat dirinya pada janji universal yang mencakup sejarah ribuan tahun wahyu. Janji ini menempatkan tanggung jawab besar di pundak umat Islam untuk menjadi saksi kebenaran dan keadilan yang mencerminkan ajaran semua utusan Allah.
VIII. Analisis Linguistik dan Retorika Ayat
Struktur ayat ini sangat kuat secara retoris, menggunakan pengulangan dan penekanan untuk mengukuhkan konsep inti.
1. Perbedaan Penggunaan Kata ‘Unzila’ dan ‘Ūtiya’
Ayat menggunakan dua kata berbeda untuk menggambarkan bagaimana wahyu diterima:
- Mā Unzila (ما أنزل): Digunakan untuk wahyu yang diturunkan kepada kita (Al-Qur'an) dan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan Al-Asbāt. Kata unzila (diturunkan) seringkali merujuk pada wahyu dalam bentuk lembaran (Suhuf) atau kitab yang mendasar, meskipun Taurat dan Injil juga merupakan inzal (penurunan).
- Mā Ūtiya (ما أوتي): Digunakan untuk Musa dan Isa, serta para nabi secara umum. Kata ūtiya (diberikan) menekankan pemberian dan karunia Allah, yang mungkin mencakup Kitab secara fisik (Taurat dan Injil) maupun otoritas (kekuatan mukjizat dan hikmah).
Meskipun ulama berbeda pendapat tentang apakah perbedaan ini memiliki makna teologis yang substansial, banyak yang sepakat bahwa penggunaan dua istilah ini menunjukkan cara yang berbeda di mana Nabi-nabi besar (Musa dan Isa, yang membawa Syariat yang sangat rinci) menerima karunia Ilahi, menekankan betapa besarnya pemberian yang mereka terima dalam memimpin umat yang besar.
2. Perintah ‘Qūlū’ (Katakanlah)
Perintah ini adalah jamak, ditujukan kepada seluruh komunitas mukmin. Ini menunjukkan bahwa keimanan yang terkandung dalam ayat 136 bukanlah sekadar keyakinan pribadi, tetapi sebuah deklarasi komunal yang harus dipegang teguh oleh seluruh umat. Ini menciptakan identitas kolektif yang berbeda dari umat-umat yang memecah belah kenabian.
Kewajiban untuk mengucapkan dan mendeklarasikan keimanan ini merupakan respons aktif terhadap lingkungan yang bermusuhan atau skeptis. Di Madinah, di mana kaum Muslimin sering ditantang untuk memilih pihak (antara Yahudi atau Nasrani), ‘Qūlū’ adalah instruksi untuk menegaskan pihak ketiga yang benar dan universal: Islam.
IX. Pendalaman Teologis: Maqam Kenabian dalam Akidah
Al-Baqarah 136 adalah penentu maqam (kedudukan) kenabian dalam Islam. Semua nabi, tanpa terkecuali, adalah manusia pilihan yang tidak memiliki sifat ketuhanan. Pengakuan ini melawan dua penyimpangan besar yang terjadi di kalangan umat terdahulu:
1. Melawan Pengecilan Derajat Nabi (Contoh: Yahudi terhadap Isa)
Kaum Yahudi meremehkan Nabi Isa dan bahkan mencoba membunuhnya. Al-Qur'an mengutuk tindakan ini. Dengan beriman kepada Isa, Muslim memulihkan kehormatan kenabian Isa, namun tetap menjaganya pada batas kemanusiaan, sebagai utusan Allah.
2. Melawan Pengangkatan Derajat Nabi (Contoh: Nasrani terhadap Isa)
Kaum Nasrani mengangkat Nabi Isa ke derajat ketuhanan atau anak Allah, sebuah bentuk syirik. Al-Baqarah 136, yang merupakan bagian dari deklarasi Tauhid, secara implisit menolak hal ini. Dengan menyatakan "Lā Nufarriqu" (Kami tidak membeda-bedakan) dan "Muslimūn" (Kami hanya berserah diri kepada Allah), ayat ini memastikan bahwa semua nabi, termasuk Isa, adalah hamba yang sama-sama tunduk kepada Allah.
Akidah Islam menjamin bahwa kehormatan yang diberikan kepada setiap nabi adalah murni karena tugas risalah mereka. Tidak ada nabi yang boleh dipertuhankan, dan tidak ada nabi yang boleh dihina. Prinsip keseimbangan ini adalah ciri khas teologi Islam yang mempertahankan kemurnian Tauhid di tengah pengakuan terhadap seluruh sejarah profetik.
X. Hubungan Al-Baqarah 136 dengan Ayat-ayat Lain
Kekuatan ayat ini semakin diperkuat ketika dilihat bersamaan dengan ayat-ayat lain yang membahas topik serupa. Salah satu ayat paralel yang paling terkenal adalah Surah Ali Imran ayat 84, yang menegaskan kembali ide non-diskriminasi ini:
"Katakanlah: Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami hanya kepada-Nyalah berserah diri."
Pengulangan hampir kata per kata dari deklarasi ini menunjukkan betapa sentralnya prinsip non-diskriminasi dan universalitas dalam identitas keimanan. Ayat ini bukan sekadar tanggapan lokal Madinah, melainkan sebuah prinsip akidah yang diulang dan ditegaskan dalam berbagai konteks untuk membentuk inti keyakinan Muslim.
Keimanan Universal vs. Syariat Tertentu
Meskipun Muslim beriman kepada seluruh nabi dan kitab, ini tidak berarti Muslim harus mengikuti syariat yang dibawa oleh Musa atau Isa, karena syariat mereka telah dibatalkan (dinaskh) dan disempurnakan oleh Syariat Muhammad. Keimanan yang dituntut adalah keimanan akan kebenaran historis risalah mereka, bukan keharusan mengikuti hukum praktis mereka saat ini. Inilah pemahaman mendalam yang membedakan akidah (keyakinan) dari fiqh (hukum praktis).
Akidah yang universal ini menjadi payung besar yang mencakup seluruh nabi, tetapi hanya Syariat Nabi Muhammad yang menjadi panduan operasional bagi umat manusia hingga akhir zaman. Dengan demikian, Al-Baqarah 136 menyeimbangkan antara penghormatan historis dan ketaatan kontemporer.
XI. Refleksi dan Konklusi: Kedalaman Janji Seorang Mukmin
Al-Baqarah 136 adalah sumpah teologis. Ketika seorang Muslim mengucapkan sumpah ini, ia tidak hanya menyatakan dirinya sebagai pengikut Nabi Muhammad, tetapi sebagai pewaris sah dari tradisi Tauhid yang dimulai sejak Nabi Adam dan dihidupkan kembali secara definitif oleh Nabi Ibrahim.
Ayat ini mengajak kita untuk memperluas pandangan historis kita, dari sekadar membatasi diri pada komunitas Muslim saja, untuk melihat diri kita sebagai bagian dari warisan monoteisme global. Ini adalah warisan yang menuntut tanggung jawab moral, yaitu menyebarkan pesan Tauhid yang murni, adil, dan universal, sebagaimana diajarkan oleh semua nabi.
Keimanan yang terkandung dalam ayat ini adalah benteng pertahanan umat Islam melawan kefanatikan sempit, melawan rasisme spiritual, dan melawan diskriminasi kenabian. Setiap nabi adalah mercusuar cahaya di zamannya, dan Muslim mengakui cahaya tersebut, mengakui bahwa semua itu berasal dari Matahari Ilahi yang sama.
Pada akhirnya, keseluruhan ayat 136 adalah ringkasan sempurna tentang apa arti menjadi 'Muslimūn'. Itu berarti melihat kebenaran dalam semua utusan Allah yang telah lewat, menemukan kesempurnaan dalam wahyu terakhir, dan mengakhiri semua perdebatan dengan satu tindakan yang tidak dapat dipertanyakan: penyerahan diri total dan eksklusif kepada Allah SWT.
Deklarasi "Wa Nahnu Lahu Muslimūn" adalah penutup yang menenangkan dan meyakinkan. Di tengah hiruk pikuk klaim keagamaan yang berbeda, persatuan iman kepada semua nabi membawa kedamaian dan kejelasan. Dengan memegang teguh prinsip ini, umat Islam menjamin bahwa mereka berdiri di atas kebenaran yang tidak terbagi, sebuah kebenaran yang universal, abadi, dan sepenuhnya tunduk pada kehendak Allah Yang Maha Esa.
Keberlanjutan risalah ini, dari Ibrahim hingga Muhammad, menegaskan bahwa petunjuk Allah adalah rahmat yang berkelanjutan. Setiap nabi membawa bagian dari teka-teki, dan Al-Qur'an menyajikan gambarannya secara keseluruhan. Inilah mengapa keimanan harus komprehensif, tidak boleh ada diskriminasi, dan harus diakhiri dengan sikap penyerahan diri yang utuh. Setiap detail dari ayat ini, mulai dari perintah untuk menyatakan iman, daftar nabi yang panjang, hingga penegasan non-diskriminasi, semuanya berujung pada satu titik: Islam sebagai jalan hidup yang sempurna.
Jika umat manusia hari ini mampu merenungkan kedalaman universalitas yang diajarkan dalam Al-Baqarah 136—bahwa semua ajaran suci berakar pada Tauhid—maka banyak konflik sektarian dan agama akan menemukan jalan penyelesaiannya. Ayat ini adalah panggilan kepada persatuan di bawah panji Tauhid, mengakui kebaikan di masa lalu sambil memegang teguh petunjuk yang paling sempurna di masa kini.
Penekanan pada ‘apa yang diberikan kepada Musa dan Isa’ (Mā Ūtiya Mūsā wa ‘Īsā) secara historis sangat relevan. Kedua nabi ini mewakili puncak teologi profetik sebelum kedatangan Nabi Muhammad, dan mereka memiliki komunitas pengikut yang masif. Pengakuan Muslim terhadap mereka bukanlah sekadar basa-basi, melainkan pengakuan bahwa keberkahan risalah mereka adalah nyata, dan bahwa tugas Muslim adalah memurnikan kembali ajaran mereka dari segala bentuk inovasi yang ditambahkan manusia setelah mereka wafat. Dengan demikian, Muslim menjadi pelindung kebenaran hakiki dari ajaran nabi-nabi terdahulu, sebagaimana dipelihara oleh Allah dalam Al-Qur'an.
Ayat ini berfungsi sebagai pernyataan identitas yang abadi bagi umat Muslim di sepanjang masa. Selama ada orang yang beriman kepada Allah, kepada wahyu terakhir, dan kepada semua nabi tanpa diskriminasi, dan tunduk sepenuhnya kepada kehendak Ilahi, maka mereka adalah ‘Muslimūn’ sejati. Inilah makna terdalam dan tak terhingga dari Surah Al-Baqarah ayat 136.
Seluruh ayat, dengan segala kompleksitas dan keindahan teologisnya, mengajarkan umat Muslim bahwa kebenaran adalah satu, risalahnya berlanjut, dan tugas kita adalah menjadi saksi yang adil bagi seluruh perjalanan petunjuk Ilahi ini. Tidak ada ruang untuk keraguan, diskriminasi, atau eksklusivitas sektarian. Hanya ada satu jalan: Tauhid dan penyerahan diri (Islam) kepada Allah, Tuhan semesta alam.
Pengulangan dan penegasan terhadap keimanan kepada seluruh nabi, termasuk Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Al-Asbāt, Musa, dan Isa, merupakan pengakuan tegas bahwa pondasi agama adalah inklusif dan universal. Ini adalah keimanan yang mencakup sejarah, mengakui jasa setiap utusan, dan menempatkan setiap risalah dalam kerangka waktu yang benar. Tanpa pemahaman ini, keimanan seseorang akan kehilangan kedalaman historis dan keluasan spiritualnya. Al-Baqarah 136 adalah cetak biru untuk jiwa yang merdeka dan universal, jiwa yang tunduk hanya kepada Allah, setelah mengakui setiap jejak petunjuk yang telah Ia kirimkan.
Refleksi ini menegaskan bahwa keimanan sejati adalah menerima keseluruhan mata rantai, dan memahami bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah penutup kenabian yang membawa Kitab yang paling lengkap dan terjaga keasliannya. Dengan demikian, deklarasi dalam Al-Baqarah 136 adalah penegasan status umat Islam sebagai ummatan wasatan (umat pertengahan), yang mampu menengahi antara klaim-klaim eksklusif umat terdahulu dan menyajikan kebenaran yang komprehensif kepada seluruh dunia.
Kajian mendalam terhadap setiap nama nabi dalam ayat ini membawa kita pada kesimpulan bahwa kisah mereka adalah satu narasi agung tentang perjuangan Tauhid melawan Syirik. Musa berjuang melawan tirani Firaun; Isa berjuang melawan formalisme agama yang kaku; dan Muhammad berjuang melawan kejahilan dan penyembahan berhala di Jazirah Arab. Semua perjuangan ini, meski berbeda konteks sosial dan historisnya, memiliki benang merah yang sama: penyeruan kepada Tauhid. Oleh karena itu, beriman kepada mereka semua berarti beriman kepada inti perjuangan Ilahi ini, dan inilah esensi dari ‘Lā Nufarriqu Baina Ahadin Minhum’.
Kesempurnaan ayat 136 terletak pada kemampuannya untuk merangkum seluruh sejarah spiritual manusia dalam beberapa baris, sambil memberikan panduan praktis dan teologis yang kuat bagi umat yang mengucapkannya. Ayat ini adalah kunci menuju pemahaman yang damai dan inklusif terhadap keberagaman risalah, yang semuanya berhulu pada satu sumur keesaan Allah.